Anda di halaman 1dari 11

1. a.

Coba saudara kemukakan Laut Cina Selatan masuk lingkup Hukum Internasional apa
dan bedakan dengan lingkup hukum internasional lainnya dengan memberikan contoh
kasusnya?
Ruang lingkup Hukum Intenasional :
HUKUM INTERNASIONAL PUBLIK
•Hukum Internasional (HI)
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL (HPI)
•Keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang
melintasi batas negara
Ruang lingkup atau substansi dari hukum internasional yang menurut Mochtar
Kusumaatmadja meliputi: hubungan atau persoalan hukum antar negara dan negara;
hubungan atau persoalan hukum antar negara dan subyek hukum bukan negara;
hubungan atau persoalan hukum antara subyek hukum bukan negara dan subyek
hukum bukan negara satu dengan lainnya. internasional dalam arti luas mencakup
hukum internasional publik dan hukum internasional privat.
Hukum Internasional Publik (hukum antar negara) adalah hukum yang mengatur
hubungan antar negara yang satu dengan negara yang lain dalam hubungan
internasional. Sedangkan Hukum Perdata Internasional adalah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara warga negara suatu negara dengan warga negara dari lain
dalam hubungan internasional.
Persamaan dan Perbedaan Hukum Perdata Internasional dan Hukum Internasional
publik.
Hukum Internasional publik berbeda dengan Hukum Perdata Internasional. Hukum
Perdata Internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur
hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan
hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum
perdata (nasional) yang berlainan. Sedangkan Hukum Internasional adalah
keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.
Persamaannya adalah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara (internasional). Perbedaannya adalah sifat hukum atau
persoalan yang diaturnya (objeknya). Hukum publik internasional atau yang lazim
disebut “hukum internasional” adalah himpunan peraturan yang mengatur hubungan
antara negara-negara yang merdeka dan berdaulat. Subyek hukum internasional
adalah badan atau manusia (pribadi) yang memiliki hak dan kewajiban dalam
hubungan internasional sebagaimana hukum pidana dan perdata dan contohnya . pada
dasarnya hukum internasional meliputi tentang hukum damai dan hukum perang.
Contoh kasus Hukum Internasional publik :
Konvensi Deen Haag
Konvensi-konvensi Den Haag adalah dua perjanjian internasional sebagai hasil
perundingan yang dilakukan dalam konferensi-konferensi perdamaian internasional di
Den Haag, Belanda: Konvensi Den Haag Pertama (1899) dan Konvensi Den Haag
Kedua (1907). Bersama Konvensi-konvensi Jenewa, Konvensi-konvensi Den Haag
adalah sebagian dari pernyataan-pernyataan formal pertama tentang hukum perang
dan kejahatan perang dalam batang tubuh Hukum Internasional yang baru
berkembang pada waktu itu. Konferensi internasional yang ketiga direncanakan untuk
diadakan pada tahun 1914 dan kemudian dijadwal ulang untuk tahun 1915. Namun,
konferensi tersebut tidak pernah terlaksana karena pecahnya Perang Dunia I.
Walther Schücking, seorang sarjana hukum internasional dan aktivis perdamaian
aliran neo-Kant dari Jerman, menyebut konferensi-konferensi tersebut sebagai
“serikat internasional konferensi Den Haag”. Dia melihat konferensi-konferensi
tersebut sebagai inti dari sebuah federasi internasional yang akan mengadakan
pertemuan berkala untuk menegakkan keadilan dan menyusun prosedur hukum
internasional bagi penyelesaian damai atas sengketa sebagaimana fungsi hukum
menurut ahli . Dia menegaskan bahwa “dengan diselenggarakannya Konferensi yang
Pertama dan Kedua itu, sebuah serikat politik yang pasti yang terdiri dari negara-
negara di dunia telah tercipta.” Berbagai badan yang dibentuk oleh Konferensi-
konferensi tersebut, antara lain Pengadilan Arbitrase Permanen, adalah “agen-agen
atau organ-organ serikat tersebut.”
Usaha besar dalam kedua konferensi tersebut ialah untuk membentuk sebuah
pengadilan internasional yang mengikat yang melakukan arbitrase wajib untuk
menyelesaikan sengketa internasional, sebuah pengadilan yang waktu itu dianggap
perlu untuk menggantikan institusi perang. Namun, usaha ini tidak mencapai sukses
dalam konferensi 1899 maupun 1907. Konferensi Pertama secara umum sukses dan
berfokus pada usaha perlucutan senjata. Konferensi Kedua gagal menciptakan
pengadilan internasional yang mengikat yang melakukan arbitrase wajib, tetapi
berhasil memperbesar mekanisme arbitrase sukarela. Konferensi ini menetapkan
sejumlah konvensi yang mengatur penagihan utang, aturan perang, dan hak serta
kewajiban negara netral.
Hukum perdata internasional Prof. DR. Mr. Sudargo Gautama membagi HPI menjadi
empat konsepsi dalam lingkup HPI : 1. Yang paling sempit. Pendapat ini adalah yang
dianut di negara Jerman dan juga dalam sistim HPI Belanda. Di dalam sistimatik ini
maka HPI dianggap hanya terbatas pada masalah-masalah tentang "conflict of laws"
("conflits de lois") atau perselisihan hukum.
2. Yang luasan. Pendapat yang kedua adalah pendapat yang Iebih Iuas. Menurut
pendapat ini seperti dianut terutama dalam konsepsi HPI dari negara-negara Anglo-
Saxon, Inggris dan Amerika Serikat, HPI bukan saja terbatas pada masalah-masalah
"conmct of laws”. Disamping ini masih dianggap suatu bagian lain merupakan pula
persoalan HPI yaitu masalah-masalah yang termasuk persoalan "conflicts of
jurisdiction" (perselisihan tentang jurisdictie). Segala soal-soal tentang kompetensi
Hakim dalam menghadapi masalahmasalah HPI menurut konsepsi Anglo Saxon ini
dianggap pula termasuk bidang HPI.
3. Yang lebih luas lagi. Konsepsi yang ketiga, adalah konsepsi yang lebih luas yaitu
konsepsi yang berkenaan dengan sistim HPI seperti dikenal dalam negara-negara
Latin yaitu negara-negara !talia, Spanyol, Amerika Selatan. Didalam sistim dari
negara-negara bersangkutan, HPI ini terdiri dari tiga bagian yaitu: "Conflits de lois",
"conflicts de jurisdiction", ditambah dengan "condition des etragers" atau status orang
asing. Jadi termasuk bidang HPI Persoalan-persoalan berkenaan dengan masalah
hukum: mana yang harus dilakukan, persoalan mengenai wewenang hakim untuk
mengadili perkora bersangkutan, ditambah lagi dengan masalah-masalah yang
berkenaan dengan status orang asing. Berarti segala masalahmasalah berkenaan
dengan bidang orang asing, apakah orang asing dapat bekerja didalam negara
bersangkutan dengan leluasa, apakah ia bisa menanam modal dengan bebas, apakah
ada restriksi-restriksi tertentu berkenaan dengan masalah-masalah tanah, apakah ada
restriksi tertentu berkenaan dengan bidang perdagangan, industri, pertambangan,
perkayuan dan sebagainya, semua ini termasuk bidang HPI.
4. Pandangan keempat tentang HPI yang terIuas. Ini adalah sistim yang paling luas
dan dikenal antara lain dalam ilmu HPI di Perancis. Disini pada umumnya dipandang
termasuk pula dalam bidang HPI masalah-masalah tentang nationality atau
"Kewarganegaraan". Jadi disamping soal-soal yang dikenal sebagai masalah "Confiits
de lois", "Conflits de jurisdiction" dan "condition des etragers", maka di Perancis
dikenal juga bagian keempat dari HPI, yaitu segala masalah-masalah, yang berkenaan
dengan cara-cara memperoleh dan kehilangan nationalitas. Sistim yang dikenal di
Perancis dan dianut oleh para penulis terbanyak adalah sistim HPI yang paling luas
ini.
Berkaitan dengan penegakan hukum di laut, pemerintah Indonesia sampai saat ini
hanya menerapkan sanksi perdata berupa ganti rugi pada pelaku pencemaran di zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan pertimbangan bahwa sanksi perdata lebih
efektif untuk melindungi kelestarian sumber daya alam hayati laut meskipun pada
prinsipnya pelaku pencemaran dapat dikenakan sanksi perdata dan sanksi pidana yang
di dasarkan pada Undang – undang Nomor 5 tahun 1985 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia dan Undang – Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang ketentuan –
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam lingkup Hukum
Internasional , Kasus Laut China Selatan Termasuk Hukum Perdata Internasional
karena mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-
masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan.
Namun karena pemerintah Indonesia itu menggunakan dasar hukum internasional
yang lazim disebut UNCLOS 1982. Perbedaan situasi antara Indonesia dibandingkan
Filipina yang masih bermasalah soal batas Zona Ekonomi Ekslusif miliknya.
Seharusnya tidak ada celah untuk membuat Indonesia melunak atas hak berdaulat di
perairan Natuna Utara berdasarkan UNCLOS 1982.Sehingga Badan arbitrase
internasional publik ini adalah suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak
ketiga (badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara
sukarela untuk memutus sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat
final dan mengikat.
b. Coba saudara kemukakan mengapa dalam peristilahan mengenai ”Hukum Internasional”,
ternyata istilah yang dipakai adalah istilah Hukum Internasional Publik?
kita menggunakan istilah hukum internasional publik untuk membedakan dengan
istilah hukum perdata internasional . Ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk
hukum internasional ini,yaitu hukum bangsa-bangsa (the law of nations) sebagaimana
digunakan oleh J.L. Brierly2 yang memberi definisi tentang hukum bangsa-bangsa
atau hukum internasional sebagai berikut:’as the body of rules and principles of action
which are binding upon civilized states to their relations witahunone another’. Ada
juga yang memakai istilah hukum antar negara, hukum internasional publik (public
international law), Common Law of Mankind. Jika dipakai istilah hukum antar bangsa
maka di sini seolaholah hanya mempelajari hukum yang mengatur hubungan antar
bangsa saja, sedangkan kalau dipergunakan hukum antara negara maka seolah-olah
hukum internasional hanya mengatur hubungan antara negara saja. Kenyataannya
hukum internasional tidak hanya mengatur hubungan antar negara saja tetapi
mengatur hubungan yang dilakukan antara negara dengan subyek hukum
internasional bukan negara, misalkan hubungan antara negara dengan organisasi
internasional, hubungan antara organisasi internasional yang satu dengan organisasi
internasional yang lain, hubungan antara negara dengan Tahta Suci, hubungan antara
negara dengan individu dalam hal yang khusus, misalkan hubungan antara negara
dengan pengungsi (refugee).
Pemakaian istilah itu untuk menunjukkan bahwa hubungan hukum yang diatur oleh
hukum internasional tidak hanya mengatur hubungan antar bangsa/negara saja tetapi
lebih luas dari itu. Pemakaian istilah ini lebih mendekati kenyataan dan sifat
hubungan dan masalah yang menjadi obyek bidang hukum ini, yang pada masa
sekarang tidak hanya terbatas pada hukum antara bangsa-bangsa atau antara
negaranegara saja , Selain itu istilah hukum internasional sudah lazim dipakai.
c. Dalam teks di atas menyebutkan UNCLOS 1982, coba saudara kemukakan dan berikan
alasannya UNCLOS itu termasuk bentuk perwujudan Hukum Internasional yang mana?
UNCLOS ini adalah singkatan dari United Nations Convention on The Law of the
Sea (UNCLOS), yang sering disebut Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Indonesia
sudah meratifikasi Konvensi ini melalui UU No. 17 Tahun 1985. Sejak saat itu
Indonesia resmi tunduk pada rezim UNCLOS 1982. Konvensi ini mempunyai arti
penting karena konsep Negara Kepulauan yang diperjuangkan Indonesia selama 25
tahun secara terus menerus berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat
internasional. UNCLOS adalah hasil dari Konferensi-konferensi PBB mengenai
hukum laut yang berlangsung sejak 1973 sampai 1982. Hingga kini, tak kurang dari
158 negara yang telah menyatakan bergabung dengan Konvensi, termasuk Uni Eropa.
Pengakuan resmi secara internasional itu mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai
dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Kepulauan Indonesia sebagai satu
kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan tidak lagi sebatas
klaim sepihak pemerintah Indonesia. Negara Kepulauan menurut UNCLOS 1982
adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan
dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Negara Kepulauan dapat menarik garis
dasar/pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau
dan karang kering terluar kepulauan itu.
Termasuk dalam ketentuan konvensi adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di
wilayah perairan Natuna Utara. Kali ini kapal-kapal Cina berani kembali melakukan
kegiatan eksploitasi tanpa izin di wilayah tersebut. Tidak hanya tanpa izin, namun
juga bersikukuh pada klaim sepihaknya atas hak eksploitasi di sana. Klaim yang tidak
diakui hingga saat ini oleh hukum internasional
Penguatan kewilayahan laut Indonesia sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982 juga
telah diperkuat melalui UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Undang-Undang ini
menjadikan Deklarasi Djuanda 1957 juncto UNCLOS 1982 sebagai salah satu
momentum penting yang menjadi pilar memperkukuh keberadaan Indonesia suatu
negara. Dua momentum lain adalah Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Itu pula sebabnya, persoalan kedaualatan atas
perairan Natuna sangat penting bagi Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa UNCLOS 1982 mengatur syarat bagi suatu negara untuk
mengajukan klaim terhadap wilayahnya. Caranya dengan perundingan antara negara-
negara bersangkutan baik bilateral maupun multilateral untuk dituangkan dalam
perjanjian tertulis.
Pasal 48 UNCLOS mengatur kewenangan dan hak suatu negara dalam Konvensi.
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Atip
Latipulhayat, menegaskan hak berdaulat Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif atas
dasar UNCLOS 1982 di Natuna Utara. “Indonesia sudah menyatakan terikat dengan
ketentuan UNCLOS 1982 yang menjadi dasar melindungi hak Indonesia sebagai
negara kepulauan. Termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sepanjang 200 mil,”
kata Atip saat dihubungi terpisah. Perbedaan situasi antara Indonesia dibandingkan
Filipina yang masih bermasalah soal batas Zona Ekonomi Ekslusif miliknya.
Seharusnya tidak ada celah untuk membuat Indonesia melunak atas hak berdaulat di
perairan Natuna Utara berdasarkan UNCLOS 1982.
UNCLOS sebagai landasan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa
wilayah. Menurut rezim hukum internasional yang mengatur hak-hak kedaulatan atas
wilayah daratan dan perairan mempunyai perbedaan yang sangat mendasar.
Perbedaan tersebut mencakup perbedaan substantif dan procedural.

2. a. Coba saudara analisis mengenai uraian di atas, dimana Indonesia menggunakan


UNCLOS 1982 sebagai pedoman mempertahankan wilayah Natuna, apakah UNCLOS 1982
langsung berlaku di Indonesia berkaitan dengan Teori Hubungan Hukum Internasional
dengan Hukum Nasional?
Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat untuk mempertahankan kedaulatannya di
perairan Natuna. Sebaliknya, Indonesia menolak secara tegas klaim historis Tiongkok
atas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di perairan Natuna. Dalam pernyataan
resmi Kementerian Luar Negeri Indonesia ada tiga poin penting.
Pertama, klaim historis Tiongkok (China) bahwa sejak dulu nelayan China telah lama
beraktivitas di perairan tersebut bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum, dan
tidak pernah diakui UNCLOS 1982. Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan
melalui putusan SCS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah ‘relevant waters’
yang diklaim Tiongkok karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan
UNCLOS 1982. Kedua, Indonesia mendesak Tiongkok untuk menjelaskan dasar
hukum dan batas-batas yang jelas perikal klaim di ZEEI berdasarkan UNCLOS 1982.
Ketiga, berdasarkan UNCLOS 1982 Indonesia tidak memiliki overlapping claim
dengan Tiongkok sehingga berpendapat tidak relevan adanya dialog apapun tentang
delimitasi batas maritim.
Dari pernyataan resmi itu jelas bahwa pemerintah Indonesia itu menggunakan dasar
hukum internasional yang lazim disebut UNCLOS 1982. Apa sebenarnya UNCLOS
itu? Ini adalah singkatan dari United Nations Convention on The Law of the Sea
(UNCLOS), yang sering disebut Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Indonesia
sudah meratifikasi Konvensi ini melalui UU No. 17 Tahun 1985. Sejak saat itu
Indonesia resmi tunduk pada rezim UNCLOS 1982.
Sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982, Indonesia telah mempunyai aturan
dalam hukum nasionalnya yang mengatur tentang zona ekonomi eksklusif, yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Kemudian Indonesia pada tahun 1985 baru melakukan tindakan ratifikasi. Hal ini
berarti sebelum tindakan ini dilakukan, maka Indonesia harus melihat aturanaturan
hukum nasional dan menyelaraskannya dengan UNCLOS 1982 tersebut. Dengan telah
diratifikasinya UNCLOS 1982 dengan Undang — Undang Nomor 17 tahun 1985
telah menjadikan Dengan telah diratifikasinya konvensi PBB tentang UNCLOS 1982,
yaitu melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS
1982, maka Indonesia sebagai negara kepulauan harus mampu menampung
kepentingan internasional yang berkaitan dengan kedaulatan maupun hak berdaulat.
Hal ini mengakibatkan di laut disamping berlaku hukum nasional juga berlaku hukum
internasional. Kedua aturan ini yaitu UNCLOS 1982 dan aturan hukum nasional yang
berkaitan dengan pengaturan zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menunjukkan adanya
persamaan persepsi dan justru dengan diratifikasinya UNCLOS 1982 memperkuat
penerapan hukum nasional dalam lingkup internasional.
b. Coba saudara analisis kesamaan negara Indonesia dengan negara lain dalam menerapkan
Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasionalnya. Berikan dua contoh negara!
Hukum internasional banyak dipengaruhi oleh hukum nasional. Sebagai contoh
hukum internasional dapat tercipta dengan adanya kebiasaan nasional suatu Negara
yang dianut oleh banyak Negara, kebiasaan ini disepakati sebagai hukum
internasional. Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum
yang mengatur hubungan atau persoalan batas Negara (hubungan internasional) yang
bukan bersifat perdata, sedangkan hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang
sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati
oleh masyarakat dalam suatu negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam
hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya. Mengenai hubungan hukum
internasional dengan hukum nasional terdapat dua paham. Pertama, paham dualisme
yang menyatakan bahwa hukum internasional dengan hukum nasional merupakan dua
sistem hukum yang berbeda secara keseluruhannya. Kedua, Paham monisme
berpendapat hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama
lainnya.
Hukum internasional dengan hukum nasional sebenarnya saling berkaitan satu sama
lainnya, ada yang berpandangan hubungan antara kedua system hukum sangat
berkaitan dan ada yang berpandangan bahwa kedua system hukum ini berbeda secara
keseluruhan. J.G Starke berpandangan terdapat dua teori dalam mengenai hubungan
hukum nasional dengan hukum internasional, yaitu teori dualisme dan teori terdapat
dua paham tentang hubungan hukum nasional dengan hukum internasional. Pertama,
paham dualisme yang menyatakan bahwa hukum internasional dengan hukum
nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara keseluruhannya. Hakekat
hukum nasional berbeda dengan hukum nasional. Hukum Internasional dan Hukum
Nasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar terpisah,tidak saling
mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Kedua, Paham monisme
berpendapat hukum internasional dan hukum nasionalsaling berkaitan satu sama
lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum
nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum
nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum
nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.
Praktek di Inggris pada umumnya menunjukkan bahwa hukum kebiasaan
internasional dipandang secara otomatis sebagai bagian dari hukum nasional
Inggris.26 Pendekatan yang digunakan Inggris merupakan bentuk pengadopsian
prinsip inkorporasi.27 Prinsip ini menjadikan kedudukan hukum kebiasaan secara
otomatis menjadi bagian dari hukum nasional tanpa adanya sebuah pengumuman
resmi terlebih dahulu dari lembaga judisial ataupun legislatif.
Namun demikian, tidaklah berarti bahwa Inggris menerima begitu saja hukum
kebiasaan internasional Kemudian Shaw memperkuat doktrin tersebut, dengan
mendasarkan pada doktrin yang muncul dari praktek pengadilan yang menyatakan
bahwa hukum internasional sebagai hukum asing, tetapi dalam prakteknya harus
dipandang sebagai hukum bangsanya ('is not treated as a foreign law but in an
evidential manner as part of the law of the land'). Lebih jauh Shaw mengemukakan
bahwa Pengadilan dalam menentukan apakah suatu ketentuan telah menjadi hukum
kebiasaan internasional atau belum. Pengadilan akan berpaling pada 'traktat dan
perjanjian internasional, textbooks yang otoritatif, praktik atau pada putusan-putusan
pengadilan' asing. Dengan kata lain, Pengadilan akan Iebih memilih berpaling pada
buku daripada mendengar kesaksian para ahli. Dalam membahas Pengadilan Inggris
tidak bisa kita lepaskan dari doktrin preseden hukum (stare decisis). Dalam kaitannya
dengan ini Pengadilan lokal Inggris sangat konsisten dalam penerapan preseden
hukum dengan hukum kebiasaan internasional. Akan tetapi, dalam kasus Trendtex,
Lord Denning dan Malcolm LJ menyatakan bahwa hukum internasional tidak
mengenal apa yang disebut sebagai stare decisis. Oleh karena itu, dalam hal hukum
kebiasaan internasional mengalami perubahan, maka Peng~clilan dapat menerapkan
perubahannya tersebut tanpa menunggu keputusan yang dilakukan oleh the House of
Lord. Dalam hal traktat, untuk memberlakukan sebuah traktat membutuhkan legislasi
dari parlemen. Sehingga, di sini kita melihat adanya sebuah perbedaan. Traktat tidak
sebagaimana halnya kebiasaan yang merupakan norma yang berkembang dari
praktek-praktek negara-negara, traktat merupakan sebuah produk yang memuat
praktek-praktek kontemporer, yang pada umumnya bersifat terbatas. Sebagai
akibatnya pemberlakuan traktat doktrin inkorporasi tidak bisa digunakan, sebab
pemberlakuan traktat Sebagai kelanjutannya, Phillimore J menyatakan bahwa
kekebalan memang dikenal oleh hukum kebiasaan, namun kekebalan tidak dapat
diperluas kecuali oleh traktat yang telah disahkan sehingga memiliki efek di lingkup
lokal. Doktrin traktat yang belum mendapatkan pengesahan (unincorporated) tidak
memiliki pengaruh terhadap tatanan hukum lokal tampaknya semakin menguat.
Terutama sejak dinyatakan kembali oleh Lord Atkin dalam Attorney General of
Canada v. Attorney General of Ontario. Lord Oliver menambahkan sifat tidak dapat
mengikat (non-justiciability) dari traktat yang belum disahkan (untransformed) dan
beranggapan bahwa Pengadilan supaya tidak memper¬soalkan traktat yang tidak
mendapatkan pengesahan dari Pemerintahnya terkait dengan perihal penentuan hak-
hak substantif dari para pihak.
Sebelum menutup pembicaraan mengenai Inggris kita perlu memberikan perhatian
akan adanya sistem Strasbourg atau/dan hukum komunitas (Eropa) yang menuntut
para negara anggotanya menjadikan komunitas hukum sebagai lebih unggul dari
hukum nasional. Komunitas hukum memberikan pengaruh besar terhadap kedudukan
hukum internasional di Inggris pada masa mendatang.
b) Amerika Serikat
Dalam kaitannya dengan pelanggaran HAM, pengadilan AS menerapkan sikap yang
lebih maju, sebagaimana yang tercermin dalam kasus Filartiga v. Pena¬Irala. Kasus
tersebut mengakui kewenangan penyidangan atas penyiksaan (torture) yang terjadi di
luar yurisdiksi domestiknya.43 Lengkapnya kasus ini sebagai berikut.
Seseorang berkebangsaan Paraguay mengajukan tuntutan terhadap orang Paraguay
lainnya atas persoalan penyiksaan dan kematian dari anak sipenuntut. Tuntutan ini
berdasar pada the Alien Tort Claims Act 1789 yang menyatakan bahwa, 'pengadilan
distrik memiliki jurisdiksi atas suatu tuduhan seseorang dari warga asing untuk hanya
kasus penganiyaan, yang dilakukan bertentangan dengan hukum bangsa-bangsa ('the
districk court shall have original jurisdic¬ tion of any civil action by an alien for a tort
only, committed in Untuk perjanjian internasional dalam kategori berlaku dengan
sendirinya untuk dapat berlaku sebagai bagian dari hukum nasional Amerika Serikat,
perjanjian seperti itu harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari 2/3 dari
Kongres AS. Apabila parlemen atau Kongres telah menyetujuinya, sesuai dengan
prosedur yang berlaku menurut konstitusi Amerika Serikat, maka perjanjian tersebut
berlaku sebagai bagian dari hukum nasional Amerika Serikat.
c. Coba saudara analisis mengapa suatu negara harus memilih teori yang akan digunakan
dalam menerapkan Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasionalnya?
Untuk membedakan mana yang termasuk 'berlaku dengan sendirinya' dan 'yang tidak
berlaku dengan sendirinya' dapat merujuk pada kasus Sei Fujii v. California. Dalam
kasus ini yang menjadi penggugat.
3. a. Coba saudara uraikan Subyek Hukum Internasional yang ada dalam bacaan di atas!
Subyek hukum internasional adalah pihak-pihak pembawa hak dan kewajiban hukum
dalam pergaulan internasional. Subyek hukum internasional meliputi:
Negara
Negara yang menjadi subyek hukum internasional adalah negara yang merdeka,
berdaulat dan tidak merupakan bagian dari suatu negara. Artinya, mempunyai
pemerintahan sendiri secara penuh.
b. Coba saudara uraikan apakah Indonesia ikut melakukan klaim di wilayah Laut Cina
Selatan?
Garis-garis tersebut akhirnya berbalik arah kembali ke utara saat mendekati
Kalimantan. Tak jauh di luar putaran arah itu, ada sebuah noktah kecil bernama Pulau
Natuna Besar milik Indonesia. Namun, selama ini Indonesia selalu mengambil posisi
sebagai nonklaiman. Posisi itu membuat Indonesia sedianya mampu memainkan
peran lebih signifikan sebagai penengah yang adil antara Cina dan ASEAN
jika titik geografis klaim Cina diumumkan dan bersinggungan dengan Indonesia,
kondisinya akan menjadi lain di regional ASEAN. Sebagai klaiman, Indonesia dinilai
bisa secara signifikan menguatkan posisi negara-negara ASEAN yang ikut
bersengketa di Laut Cina Selatan.
Indonesia masih tetap sebagai nonklaiman dan tak memihak siapa pun. Buat
Indonesia, yang terpenting adalah sengketa di Laut Cina Selatan tak menjadi konflik
terbuka. Yang menjadi masalah, pihak-pihak di Washington dan Beijing atau juga di
Manila dan Hanoi belum ada yang bisa menjamin hal tersebut.
Secara formal, Indonesia menyatakan diri bukan sebagai negara pengklaim dalam
sengketa Laut Cina Selatan. Akan tetapi, banyak analis yang mengatakan bahwa
Indonesia seharusnya juga dianggap sebagai negara pengklaim. Hal ini didasarkan
pada fakta bahwa sebagian wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di
Perairan Natuna juga termasuk dalam wilayah yang diklaim oleh Tiongkok. Dengan
demikian, ada tumpang tindih wilayah antara Tiongkok dengan Indonesia. Jika dilihat
kembali berdasarkan perspektif hukum internasional, pendapat bahwa Indonesia
seharusnya menjadi negara pengklaim tidak dapat dibenarkan. Hal ini dikarenakan
klaim Tiongkok dengan sembilan garis putusputusnya tidak berdasarkan pada hukum
internasional yang sah, tetapi hanya berupa klaim sejarah. Padahal dalam hukum
internasional seperti UNCLOS (United Nations Convention on The Law of The Sea),
laut teritorial dan ZEE dihitung dari garis pangkal daratan. Jika daratan terdekat
adalah pulau-pulau di Spratly, maka baik laut teritorial maupun ZEE negara
pengklaim tidak akan bersinggungan dengan laut teritorial dan ZEE Indonesia.
Dengan posisi seperti ini, Indonesia membuka peluang dirinya untuk dapat berperan
menjadi pihak ketiga atau mediator dalam proses penyelesaian sengketa Laut Cina
Selatan. Peluang ini tidak akan diperoleh jika Indonesia menyatakan dirinya sebagai
negara pengklaim, yang berarti juga menjadi aktor langsung dalam sengketa tersebut.
c. Coba saudara uraikan mengapa suatu Subyek Hukum Internasional dapat melakukan klaim
atau tuntutan kepada negara lain atau ke Mahkamah Internasional?
Di bidang hukum internasional, istilah subyek hukum internasional mewakili para
pihak; aktor; pelaku di dalam hukum internasional. Sejumah pakar sesungguhnya
telah memberikan definisi subyek hukum internasional. Martin Dixon misalnya,
memberikan batasan sebagai berikut. “A subject of international law is a body or
entity that is capable of possessing and exercising rights and duties under
international.” (Terjemahan bebas: Subyek Hukum Internasional adalah sebuah
badan/lembaga atau entitas yang memiliki kemampuan untuk menguasai hak dan
melaksanakan kewajiban di dalam hukum internasional).
4. a. Coba saudara klasifikasikan klaim China terhadap LCS, apakah cara perolehan wilayah
tersebut dapat dibenarkan oleh Hukum Internasional?
“. . . the organization is an international person (…) that it is a subjects of
international law and capable of prossessing international rights and duties, and that it
has capacity to maintain its rights by bringing international claim . . .”
Dengan demikian jelaslah bahwa organisasi internasional merupakan international
person karena merupakan subjek hukum internasional dan mempunyai legal
personality yang artinya dapat memiliki hak dan kewajiban dalam hukum
internasional, dapat mengajukan klaim internasional dan juga memiliki terkait dengan
penguasaan wilayah laut yang diklaim berdasarkan kesejarahan melalui aturan
mengenai hak historis bahwa terdapat 3 (tiga) hal mendasar yang menjadi bahan
pertimbangan adanya hak historis21, yaitu:
1)Adanya penemuan Wilayah LCS yang diklaim oleh Cina tidak membuktikan bahwa
wilayah tersebut ditemukan pertama kali oleh Cina mengingat beberapa negara juga
melakukan kegiatannya di wilayah LCS. Hal ini membuat sulitnya ditentukan penemu
wilayah LCS pertama kali karena banyak negara sekitar wilayah LCS yang juga
melintasinya.
2) Penguasaan efektif Mengenai penguasaan efektif oleh Cina juga tidak terbukti
karena bukan hanya negara Cina saja yang melakukan kegiatannya di wilayah LCS
melainkan ada negara lain yang juga melakukan kegiatan di wilayah LCS.
3) Adanya tradisi lintas melintas yang lama secara turun menurun Cina benar
melakukan lintas melintas yang lama secara turun temurun, tetapi kembali lagi bahwa
ada negara lain yang juga melintasi wilayah LCS meskipun tidak selama Negara Cina.
Selain aturan tersebut, pendapat ahli yaitu Hans Kelsen mengemukakan prinsip-
prinsip perolehan wilayah, prinsip-prinsip tersebut meliputi:
1) Prinsip efektivitas Prinsip ini jika diterapkan dalam klaim wilayah LCS oleh Cina,
maka klaim tersebut tidak diakui oleh hukum internasional karena tidak ada
peraturan hukum nasional Cina yang mengatur wilayah LCS yang diklaim.
2) Prinsip Uti Possidetis Klaim Tiongkok atas wilayah LCS menurut prinsip ini juga
tidak dapat diakui oleh hukum internasional, karena wilayah yang diklaim tidak
masuk dalam peta resmi yang diakui oleh hukum internasional.

Dari teori yang dijelaskan diatas bahwa klaim hak bersejarah oleh Tiongkok tidak
dapat menjadikan wilayah LCS sebagai wilayah teritorial Tiongkok. Meskipun
Tiongkok memiliki Buku Putih yang menjadi bukti wilayah LCS merupakan
wilayahnya melalui hak bersejarah, tetapi sesuai dengan teori yang ada dan aturan
yang tertuang dalam UNCLOS, wilayah LCS bukan wilayah teritorial Tiongkok.
b. Coba saudara klasifikasikan cara perolehan wilayah yang diperbolehkan dalam Hukum
Internasional?
Dalam hukum internasional ada beberapa prinsip yang dapat digunakan oleh sebuah
negara terkait dengan cara perolehan wilayah. Mengutip apa yang dikemukakan oleh
Hans Kelsen prinsip-prinsip tersebut yaitu:
1. The Principle of effectiveness/ Prinsip efektivitas atau keefektivitasan atas
pemilikan suatu wilayah. Maksudnya bahwa kepemilikan negara atas suatu wilayah
ditentukan oleh berlakunya secara efektif peraturan hukum nasional di wilayah
tersebut.
2. Prinsip Uti Possidetis ialah prinsip yang terkait dengan perbatasan suatu wilayah.
Menurut prinsip ini, pada prinsipnya batas-batas wilayah negara baru akan mengikuti
batas-batas wilayah dari negara yang mendudukinya.
Prinsip ini lahir dari praktek negara-negara di Amerika Latin ketika negaranegara ini
memperoleh kemerdekaannya segera setelah kekaisaran Spanyol runtuh. Selain
dikemukan oleh Hans Kelsen, ada pula pendapatnya Martin Dixon tentang cara
perolehan wilayah diantaranya:
1. Adanya kontrol atau pengawasan dari negara terhadap suatu wilayah (the control
of the territory), dan
2. Adanya pelaksanaan fungsi-fungsi negara di wilayah tersebut secara damai
(peaceful exercise of the functions of a state).
cara perolehan wilayah yang dikemukakan oleh S.T. Bernandez, ketiga prinsip
tersebut adalah:
1. Prinsip larangan penggunaan kekerasan (the prohibition of resort to force), dimana
prinsip ini melarang suatu negara memperoleh suatu wilayah dengan menggunakan
kekuatan senjata. Prinsip ini juga termuat dalam Piagam PBB, Hasil Konferensi Asia
Afrika 1955 serta berbagai instrumen yang dikeluarkan ASEAN;
c. Coba saudara klasifikasikan perbedaan mengenai Sengketa Laut Cina Selatan dengan
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan!
Klaim yang dilakukan Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan membawa penyelesaian sengketa wilayah ini kepada pengadilan internasional
(ICJ) demi terciptanya hubungan bilateral yang baik diantara kedua negara. Pada
sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia,
tesis ini lebih menitikberatkan kepada penyelesaian sengketa wilayah dimana
kepentingan nasional Indonesia dapat terwakilkan melalui diplomasi. Diplomasi yang
yang diharapkan dapat dilakukan secara damai tanpa menggunakan kekuatan militer
mengingat hubungan Indonesia dan Malaysia dalam organisasi Associations of
Southeast Asian Nations (ASEAN).

Anda mungkin juga menyukai