Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MATA KULIAH HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL

JUDUL

LEX MERCATORIA SEBAGAI SUBSTANTIVE APPLICABLE


LAW KONTRAK JUAL BELI INTERNASIONAL

HALAMAN JUDUL

DOSEN:

PROF. DR. ISNAENI, SH. MH.

KARMAL MASDUKI
NIM: 1321900006

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS SURABAYA

2020
ii

DAFTAR ISI

HAL
HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
A. Pendahuluan 1
B. Pembahasan 4
1. Lex Mercatoria dalam Kontrak Jual Beli Internasional 4
2. Lex Mercatoria Sebagai Substantive Applicable Law Kontrak Jual Beli
Internasional 6
C. Kesimpulan 12
DAFTAR PUSTAKA 12

ii
A. Pendahuluan
Praktek perdagangan internasional sangat membutuhkan harmonisasi dan
asas keseimbangan, oleh karenanya dibutuhkan hukum yang mengaturnya.
Hukum yang dimanfaatkan dalam perdagangan internasional karena
melibatkan banyak negara, maka melibatkan banyak hukum yang tidak
seragam, sehingga seringkali banyak permasalahan, diantaranya kekuatan
hukum negosiasi yang berbeda-beda antara hukum di satu negara dengan
negara lain. Oleh karenanya diperlukan applicable law dalam kontrak.

Salah satu permasalahan misalnya terdapat sistem hukum yang


mensyaratkan bahwa negosiasi kontrak belum mengikat sama sekali sebelum
kontrak ditandatangani. Sistem hukum di Indonesia (berdasarkan KUH
Perdata) menganut sistem ini. Akan tetapi ada sistem di negara tertentu secara
tegas menyatakan, bahwa negosiasi tidak mengikat berdasarkan ikatan yang
disebut preliminary contract. Apabila terjalin perjanjian akan menimbulkan
masalah yang harus diselesaikan di pengadilan. Pada umumnya di negara yang
menganut Sistem Hukum Common Law. Negosiasi sudah dianggap mengikat.1

Permasalahan selanjutnya akseptasi yang tidak sama dengan tawaran.


Akseptasi atau penerimaan tawaran oleh salah satu pihak dalam jual beli
internasional tidak persis sama dengan tawaran (offer) yang telah dilakukan
oleh pihak lain. Terhadap kejadian seperti ini pengaturan hukum di satu negara
dengan negara lain bervariasi. Hukum Perdata Indonesia, menganggap apabila
terdapat perbedaan antara offer oleh salah satu pihak dam akseptasi oleh pihak
lain, maka kita sepakat dianggap tidak terbentuk, sehingga kontrak belum
dianggap terjadi (Pasal 1320 KUH Perdata: sepakat, kecakapan, suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal). Akan tetapi hukum di USA melihat
akseptasi secara gradual, artinya dilihat seberapa jauh penyimpangan dilakukan
dalam akseptasi tersebut.2

1
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Hukum Dagang Internasional, (Bandung: Refika
Aditama, 2006), hal. 33.
2
Ibid, hal. 36

1
2

Perdagangan internasional juga berbeda dalam hal penawaran suatu


tawaran. Secara umum di USA menganggap tawaran selalu dapat dibatalkan
sebelum adanya kata sepakat. Akan tetapi di negara-negara yang mempunyai
ketentuan hukum yang menyatakan penawaran atau offer merupakan perbuatan
sepihak, apabila suatu waktu tertentu yang pantas (reasonable time) maka offer
sudah tidak dapat dicabut lagi, kecuali dibatalkan oleh kedua belah pihak.
Penawaran atau offer ini ada bermacam-macam antara lain: free offer, dimana
penjual hanya mencantumkan catatan harga barang yang sifatnya tidak
mengikat (without engagement).

Consideration dalam jual beli adalah suatu tindakan yang dilakukan atau
tidak dilakukan oleh salah satu pihak sebagai imbalan prestasi yang dilakukan
oleh pihak lain berdasarkan suatu kontrak. Tanpa adanya kontrak, tidak adanya
keharusan baginya untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Contohnya, pihak pembeli melakukan consideration berupa membayar harga
barang tersebut. Di negara menganut sistem Common Law (Anglo Saxon),
konsideran merupakan syarat sahnya suatu kontrak dengan beberapa
pengecualian dan sudah semakin berkurang daya berlakunya. Sementara di
Eropa Kontinental, termasuk Belanda dan Indonesia tidak memberlakukan
doktrin consideran.

Beberapa negara yang memberlakukan ketentuan bahwa akseptasi telah


terjadi, dan karena itu kata sepakat telah tercapai. Pada saat pihak penerima
tawaran tersebut secara wajar mengirim akseptasinya (persetujuannya) kepada
pihak yang melakukan offer (tawaran). Apabila dibandingkan dengan BW
Belanda Baru (NBW), segi praktis terjadinya kontrak sudah diatur dengan
tegas dan mengikuti prinsip-prinsip UNIDROIT.3 Pasal 217 NBW menyatakan:
(1) A contract is formed by formed by an offer and its acceptance, (2) Articles
219-225 apply unless the offer, another juridical act or usage produce a
different result.

3
Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan
Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 109.
3

Perbedaan hukum nasional antara satu negara dengan negara lainnya,


serta kebiasaan-kebiasaan yang dianut dalam suatu negara dalam perdagangan
internasional merupakan hal menarik untuk dikaji. Kebiasaan internasional di
bidang perdagangan telah diakui sebagai suatu aturan hukum yang mengikat.
Kebiasaan ini biasa disebut Lex Mercatoria (hukum para pedagang). Kebiasaan
ini lahir dan berkembang dari kebiasaan atau praktik yang dilakukan oleh
pedagang sendiri yang apabila tidak dilaksanakan ada perasaan bersalah dari
pedagang. Oleh karena itu kebiasaan perdagangan internasional ini dianggap
mengikat diantara mereka.

Menurut Horn dan Schmitthoff, kebiasaan perdagangan internasional


memiliki dua sifat, yaitu:4

a) Sumber hukum ini biasanya dirumuskan oleh Lembaga-lembaga


internasional atau asosiasi-asosiasi dagang; dan
b) Sumber hukum tersebut akan berlaku apabila para pihak menyatakan
atau memasukkannya ke dalam kontrak mereka.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka kekuatan hukum dari kebiasaan


internasional tidaklah mengikat secara otomatis. Para pihak harus
memasukkannya ke dalam klausula kontrak yang mereka sepakati. Jika para
pihak menyepakati untuk tidak menggunakan kebiasaan internasional tertentu,
maka tidak akan berlaku dan tidak mengikat bagi para pihak. Dalam
UNIDROIT5, kebiasaan dan praktek perdagangan diakui dalam berkontrak. Hal
ini daapt dipahami mengingat aturan dagang internasional merupakan
hukumnya para pedagang atau law among merchants atau lex mercatoria,
sehingga kebiasaan-kebiasaan dan praktek yang berlaku dan diakui dalam
kegiatan perdagangan internasional juga diakui dalam berkontrak.

4
lihat dalam Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Refika
Aditama, 2008), hal. 72
5
Principles of International Commercial Contract
4

B. Pembahasan

1. Lex Mercatoria dalam Kontrak Jual Beli Internasional

Lex Mercatoria adalah seperangkat prinsip hukum umum dan aturan


kebiasaan yang secara spontan merujuk pada atau mengelaborasi
perdagangan internasional tanpa merujuk pada sistem hukum nasional
sebuah negara. Sehingga lex mercatoria berlaku apabila para pihak
memasukkannya dalam kontrak mereka dengan didasarkan pada prinsip
party autonomy namun lex mercatoria tidak merujuk pada hukum nasional
tertentu para pihak.6
Praktek kebiasaan yang mengikat (binding customary internasional
law) merupakan praktek-praktek kebiasaan internasional dimungkinkan
mengalami perkembangan,7 karena adanya pengakuan terhadap prinsip
party autonomy yang telah dijelaskan adanya dasar hukum atau bahan acuan
jika nantinya terjadi sengketa kontrak dagang internasional seperti yang
diungkapkan oleh Fox berikut:
1) Prinsip Freedom of Contract/ Party Autonomy;
2) Prinsip Pacta Sunt Servanda;
3) Prinsip Good Faith;
4) Prinsip overmacht atau impossibility of performance; dan
5) Kekuatan mengikat dari praktek kebiasaan8
Kebiasaan di bidang pedagangan internasional menurut Horn dan
Schmitthoff mempunyai dua sifat yakni yang pertama dirumuskan oleh
lembaga internasional atau asosiasi dagang dan yang kedua berlaku apabila
para pihak menyatakan atau memasukannya ke dalam kontrak mereka.9

6
Huala Adolf, Op.Cit., hal. 68
7
Ibid, hal. 33
8
Ibid, hal. 28
9
Norbert Horn and C.M Schmitthoff, “The Transnational Law of International
Commercial Transactions”, Kluwer, Deventer, 1982, hal.24
5

Seorang advokat dan eksponen dari lex mercatoria, Professor


Goldman mendefinisikan secara spesifik pengertian dari lex mercatoria
sebagai berikut:10
“Lex mercatoria is a set of general principles, and customary
rules spontaneously referred to or elaborated in the framework of
international trade, without reference to a particular national system of
law”
Asal mula terbentuknya lex mercatoria, dapat ditelusuri dengan
melihat sumber hukum kontrak internasional. Sumber hukum kontrak
internasional ada tujuh golongan yaitu:11
1) Hukum nasional suatu negara baik secara langsung atau tidak
langsung terkait dengan kontrak;
2) Dokumen kontrak;
3) Kebiasaan-kebiasaan di bidang perdagangan internasional yang
terkait dengan kontrak;
4) Prinsip-prinsip hukum umum mengenai kontrak; e. Putusan
pengadilan;
5) Doktrin; dan
6) Perjanjian internasional mengenai kontrak.
Lex mercatoria merupakan salah satu praktek kebiasaan yang
mempunyai kekuatan mengikat karena telah menjadi hukum tertulis melalui
putusan hakim niaga, arbitrase,atau klausul kontrak standar yang
dikeluarkan oleh organisasi hukum bisnis. Oleh karena itu lex mercatoria
merupakan praktek kebiasaan yang telah dikodifikasikan sehingga dapat
digolongkan menjadi dua kategori, yakni kebiasaan perdagangan
internasional dan perjanjian internasional.

10
Berthald Goldman, “The Applicable Law: General Principles of Law: The Lex
Mercatoria”, Julian D.M. Lew ed., 1986, h.113-116, lihat juga Abul F.M. Maniruzzaman,
“The Lex Mercatoria And International Contracts: A Challenge For International
Commercial Arbitration” Maniruzzaman Published, 2006, hal.661
11
Huala Adolf, Op.Cit., hal. 69.
6

Pendapat tersebut dikuatkan oleh pendapat para sarjana, salah satunya


yaitu Alexander Goldstain12 yang membagi lex mercatoria menjadi 2 macam
sebagaimana berikut:
a. peraturan perundang-undangan internasional (international
legislation) yang mencakup hukum nasional suatu negara yang
diberlakukan untuk transaksi komersial internasional dan perjanjian
internasional;
b. kebiasaan komersial internasional (international commercial
custom) meliputi praktik komersial, standar yang digunakan oleh
pedagang yang dikeluarkan oleh asosiasi perdagangan
internasional.
Dua macam sumber hukum lex mercatoria seperti yang dijelaskan di
atas masih dibagi lagi menjadi empat kategori, yaitu prinsip hukum umum,
hukum uniform dari perdagangan internasional, kebiasaan dan kepatutan,
dan putusan arbitrase.

2. Lex Mercatoria Sebagai Substantive Applicable Law Kontrak Jual Beli


Internasional

Istilah international business transaction dapat diartikan sebagaima


berikut:
“International business transaction is any type of deal between
parties from at least two different countiries. These transactions include
sales, leases, licences, and investment, the parties to international
business deals include individuals, small, large multinational
corporations, and even countries” 13

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, untuk menjamin


kepastian hukum para pihak yang melakukan international business transaction
ini, maka hubungan hukum tersebut perlu dituangkan ke dalam kontrak bisnis
12
Alexandar Goldstain, “Usages of Trade and Other Autonomous Rules of International
Trade According to the UN (1980 Sales Convention)”, Oceana Publication Inc., New
York, 1996, lihat juga Taryana Sunandar, Op.Cit., hal. 23
13
Kenneth C. Randall dan John E. Norris, “A New Paradigm For International Business
Transactions”, Washington University Law Review Volume 71, 1993, h. 599
7

internasional. Penerapan lex mercatoria sebagai hukum substantif pada


arbitrase internasional tentunya harus dimulai dari titik terbentuknya kontrak
bisnis
Untuk menjamin kepastian hukum para pihak yang melakukan
international business transaction ini, maka hubungan hukum tersebut perlu
dituangkan ke dalam kontrak bisnis internasional. Penerapan lex mercatoria
sebagai hukum substantif pada arbitrase internasional tentunya harus dimulai
dari titik terbentuknya kontrak bisnis internasional antara para pihak.
Terbentuknya kontrak bisnis internasional tersebut tentu saja tidak langsung
berbentuk kontrak yang berisi hak dan kewajiban para pihak, namun terdapat
sistem hukum para pihak yang memperngaruhinya.
Perbedaan sistem hukum yang dianut negara-negara di dunia dapat
menimbulkan adanya sengketa antara para pihak yang melakukan jual beli
lintas batas negara. Terdapat 4 pembagian sistem hukum di dunia, yakni sistem
hukum Eropa Kontinental (civil law), sistem hukum Anglo Saxon (common
law), sistem hukum adat, dan sistem hukum berdasar agama.14 Dua sistem
hukum dominan yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia adalah sistem
hukum civil law dan common law.
Terdapat beberapa perjanjian internasional yang termasuk kedalam lex
mercatoria yang berhubungan dengan kontrak dagang internasional atau oleh
para sarjana disebut sebagai General Principles of International Contract Law 15
sebagai berikut:
a. The International Institution for the Unification of Private Law
(UNIDROIT) tentang Principles of International Commercial Law
dari UNIDROIT;
b. United Nations Conventions on International Sale of Goods (CISG)
dibuat oleh United Nations Commission on International Trade Law

14
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2005), hlm. 67
15
Istilah ini diambil penulis dari Jurnal International Dispute Resolution: The Comparative
Law Yearbook of International Business Special Issue2010, Kluwer Law International
8

(UNCITRAL)yang berisi tentang konvensi internasional tentang jual


beli internasional dari UNCITRAL
c. United Nations Conventions on the Use of Electronic Communication
in International Contracts 2005 (ECC) merupakan konvensi PBB
tentang penggunaan komunikasi elektronik dalam kontrak
internasional 2005.16

Oleh karena dikodifikasikan dalam perjanjian internasional maka lex


mercatoria menjadi bersifat hard law. Hal tersebut ditegaskan oleh Legal
Studies Research University Of Minnesota Law School sebagai berikut:
“Private organizations may take the lead in developing self-
regulatory lex mercatoria regimes. However, where these regimes
become codified in international hard law.”17
Organisasi internasional yang bersifat privat dapat mengambil peranan
dalam menyeimbangkan sifat dari rezim lex mercatoriadengan jalan kodifikasi
dalam hukum internasional yang bersifat hard law. Untuk berlakunya hard law
di suatu negara, perjanjian internasional tersebut harus terlebih dahulu di
ratifikasi atau pengesahan berupa aksesi, atau pernyataan penundukan secara
sukarela terhadap perjanjian internasional tersebut.18
Sehingga suatu negara untuk dapat tunduk pada ketentuan lex mercatoria,
maka negara tersebut harus meratifikasi perjanjian yang dimaksud terlebih
dahulu. Ketentuan lex mercatoria yang diratifikasi oleh negara tersebut dapat
dijadikan sebagai salah satu referensi pilihan hukum dalam memutuskan
sengketa kontrak dagang internasional, khususnya pada arbitrase internasional.

Arbitrase dalam konteks kontrak dagang internasional telah


mengembangkan hukum kontrak internasional secara cepat karena para
16
Lihat John John B. Tieder, Jr dan Carter B. Reid, “International Contract Law As The
Substantive Law Applicable to International Contracts,Kluwer Law International, New
York, 2010, h.110-
17
Gregory C. Shaffer dan Mark A. Pollack, “Hard vs Soft Law: Alternatives Complements
and Antagnists in International Governance”, Legal Studies Research Paper Series,
University of Minnesota Law School, 2010, hal. 767
18
Huala Adolf, Op.Cit., hal. 78
9

pedagang berbisnis dari satu tempat ke tempat lain “Arbitration developed as a


method of resolving disputes rapidly as traders traveled from place to place”.19
Lex mercatoria dan arbitrase mempunyai korelasi yang sangat kuat, seperti
yang digambarkan oleh John B. Tieder bahwa terdapat empat bidang yang
saling berkaitan satu sama lain yang dicakup oleh Lex Mercatoria yaitu: “Lex
mercatoria covered four interrelated areas (1) contracts, (2) bills of exchange,
(3) shipping, and (4) arbitration.20
Pada dua dekade terakhir, para pihak yang melakukan kontrak dagang
internasional, memiliki kecenderungan untuk mengadakan hubungan perjanjian
dengan klausula arbitrase, hal tersebut dikarenakan arbitrase merupakan forum
penyelesaian sengketa yang berkualitas, netral dan tidak corrupt.21
Pemilihan forum arbitrase merupakan kewenangan para pihak
sehubungan dengan kontrak yang mereka buat, sehingga untuk menentukan
forum mana yang berwenang mengadili sengketa bisnis internasional maka
jawabannya adalah tergantung dari kehendak para pihak itu sendiri yang
bersumber dari teori pilihan forum (choice of forum).22 Pemilihan choice of
forum berbeda dengan pemilihan choice of law dimana kedua klausul ini tidak
ada keharusan untuk ada dalam suatu kontrak, namun berbagai literatur
menyarankan agar kedua klausul ini sebaiknya ada dalam kontrak-kontrak
internasional.23
Pemilihan choice of law berbeda dari choice of forum, misalnya apabila
ada pebisnis asal Iran dan Indonesia melakukan kontrak perdagangan
internasional, di dalam kontrak mereka dicantumkan klausul penyelesaian
sengketa berupa choice of law hukum Indonesia namun tidak serta merta,
choice of forum nya adalah pengadilan Indonesia, para pihak tersebut
diperbolehkan untuk memilih forum yang lain, misalnya arbitrase Indonesia
(BANI) atau pengadilan Indonesia ataupun arbitrase internasional pihak ketiga

19
Ibid
20
John B. Tieder, Jr dan Carter B. Reid, Op.Cit., hal.105
21
M. Yahya Harahap, Arbitrase, Ed.2 cet. 2, (Jakarta, 2003), hal.4
22
Leonora Bakarbessy, “Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional Melalui Forum
Arbitrase”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2002
23
Huala Adolf, Op.Cit., hal. 166
10

misalnya arbitrase Singapura dengan syarat arbitrase pihak ketiga tersebut


berhubungan dengan kontrak jual beli yang mereka buat.
Penentuan forum yang mengadili sengketa kontrak internasional adalah
kesepakatan para pihak (prinsip party autonomy) sehingga kesepakatan inilah
yang memberikan dan melahirkan kewenangan kepada forum yang dipilih
untuk menangani sengketa para pihak.24 Dalam pemilihan forum arbitrase
khususnya arbitrase internasional terdapat dua jenis hukum yang dapat
diterapkan (law applicable) pada arbitrase internasional seperti yang
dikemukakan oleh Tieder sebagai berikut:25
“There are two distinct bodies of law applicable to every
international arbitration. The first is the law applicable to the arbitral
proceedings itself. This is usually determined by the parties choice of
the arbitral administrative body, such as the International Chamber of
Commerce (ICC), and the corresponding arbitration rules.”
“The second body of law is the substantive law applicable to the
matter being arbitrated. This is usually decided by the parties in the
contract that is the subject of the arbitration or in the separate arbitration
agreement in a post-dispute agreement to arbitrate. In the absence of an
agreement, the substantive law applicable to the matter is decided by
arbitral tribunal applying the choice of law provision of the seat of
arbitration.”

Menurut pendapat Tieder tersebut di atas pada arbitrase internasional


terdapat dua jenis hukum yang diterapkan yaitu yang pertama adalah hukum
yang berlaku pada proceeding arbitase internasional yakni prosedur dari proses
arbitrase itu sendiri. Hukum ini biasanya ditentukan berdasarkan pilihan dari
para pihak dari lembaga administratif arbitrase seperti International Chamber
of Commerce (selanjutnya disebut ICC) dan aturan-aturan arbitrase yang
berkaitan.
Selanjutnya hukum substantif yang berlaku atas perkara yang sedang
diperiksa. Hukum substantif ini biasanya dipilih oleh para pihak dalam kontrak
yang merupakan pokok perkara dari arbitrase atau dibuat dalam perjanjian
arbitrase yang terpisah yang dibuat setelah timbulnya sengketa. Jika tidak
terdapat perjanjian semacam ini, maka hukum substantif yang dapat diterapkan
24
Ibid, hal. 164.
25
John B.Tieder Jr., et.al, Op.Cit, hal. 103
11

pada kasus tersebut dapat ditentukan oleh badan arbitrase yang akan
menerapkan ketentuan pilihan hukum (choice of law) dari badan arbitrase.
Konvensi internasional yang merupakan lex mercatoria atau apabila
berhubungan dengan kontrak internasional, lex mercatoria tersebut salah
satunya dikenal sebagai general principles of international contract law.
General principles of law ini dipergunakan dalam arbitrase yakni:26
1) When these general principles are selected as the substantive law by
the contracting parties;
2) When the contract has no choice of law provision; and
3) When they are applied even though the parties have selected a
national law.
Kontrak jual beli internasional merupakan bentuk kontrak dagang
internasional yang paling umum dalam transaksi dagang, dipandang sebagai
bentuk kontrak tertua dan merupakan dasar bagi kontrak-kontrak lainnya.27
Disebutkan dalam pasal 1 (1) CISG, ruang lingkup dari berlakunya CISG
sebagai sumber hukum kontrak jual beli adalah sebagai berikut:
“This convention applies to contracts of sale of goods between parties
whose places of business are in different states:
a. When the states are contracting parties
b. When the rules of private international law lead to application of
the law of a contracting states”

Dari bunyi pasal 1 ayat 1 diatas, dapat diketahui bahwa CISG tersebut
berlaku apabila para pihak dalam kontrak, salah satu atau kedua-duanya
merupakan warganegara dari negara peserta Konvensi CISG dan apabila
penerapan hukum perdata internasional dari negara orang tersebut merujuk
pada berlakunya hukum dari suatu negara peserta Konvensi. Kemudian, pada
poin terakhir hukum perdata internasional yang menunjuk hukum dari suatu
negara peserta apabila, para pihak yang berkontrak tidak menentukan choice of
law pada kontraknya.
C. Kesimpulan
Terdapat dua macam hukum yang berlaku dan digunakan pada arbitrase
internasional yaitu hukum prosedur proses arbitrase dan hukum substantif

26
John B.Tieder Jr., et.al, Op.Cit, h. 124
27
Huala Adolf, Op.cit. hal. 107
12

arbitrase. Hukum substantif tersebut berupa hukum nasional suatu negara dan
atau konvensi internasional yang berhubungan dengan kontrak dan lex
mercatoria. Lex mercatoria merupakan hukum para pedagang yang berasal dari
trade usages dan general principles of law. CISG dapat digolongkan sebagai
salah satu lex mercatoria karena terdapat prinsip-prinsip yang mengatur secara
umum kontrak jual beli yang disebut sebagai the general principles of
international contract law, sehingga prinsip hukum umum pada kontrak inilah
yang diterapkan menjadi hukum substantif oleh hakim arbitrator dalam
memutuskan sengketa kontrak jual beli internasional pada arbitrase
internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Abul F.M. Maniruzzaman. 2006. “The Lex Mercatoria And International


Contracts: A Challenge For International Commercial Arbitration”
Maniruzzaman Published.

Alexandar Goldstain. 1996. “Usages of Trade and Other Autonomous Rules of


International Trade According to the UN (1980 Sales Convention)”, Oceana
Publication Inc., New York.

Berthald Goldman. 1986. “The Applicable Law: General Principles of Law: The
Lex Mercatoria”, Julian D.M. Lew ed.

Gregory C. Shaffer dan Mark A. Pollack. 2010. “Hard vs Soft Law: Alternatives
Complements and Antagnists in International Governance”, Legal Studies
Research Paper Series, University of Minnesota Law School.

John John B. Tieder, Jr dan Carter B. Reid. 2010. “International Contract Law As
The Substantive Law Applicable to International Contracts, Kluwer Law
International, New York.

Jurnal International Dispute Resolution: The Comparative Law Yearbook of


International Business Special Issue 2010, Kluwer Law International

Kenneth C. Randall dan John E. Norris. 1993. “A New Paradigm For International
Business Transactions”, Washington University Law Review Volume 71
13

Leonora Bakarbessy. 2002 “Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional Melalui


Forum Arbitrase”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Surabaya.

M. Yahya Harahap. 2003. Arbitrase, Ed.2 cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika.

Norbert Horn and C.M Schmitthoff. 1982. “The Transnational Law of


International Commercial Transactions”, Kluwer, Deventer.

R. Abdoel Djamali. 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: PT.
Grafindo Persada.

Soedjono Dirdjosisworo. 2006. Pengantar Hukum Dagang Internasional.


Bandung: Refika Aditama.

Taryana Soenanda. 2004., Prinsip-Prinsip UNIDROIT Sebagai Sumber Hukum


Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis. Jakarta: Sinar Grafika.

Vienna Convention on Contracts for International Sales of Goods (CISG 1980)

United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)

The International Institution for the Unification of Private Law (UNIDROIT

UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICC)

Anda mungkin juga menyukai