A. Pendahuluan
Kemajuan dunia teknologi informasi sekarang ini terus berkembang,
berbagai temuan baru di bidang ini seakan tidak pernah berhenti. Manfaat
paing penting dari kemajuan itu adalah terhubungnya manusia yang hidup di
berbagai belahan dunia. Dengan kemajuan teknologi informasi sekarang ini
semua aspek kehidupan yang sebelumnya tidak dapat dilakukan secara jarak
jauh (long distance) kini telah dapat dilakukan walaupun manusia hidup
yang satu hidup di belahan dunia yang lainnya.
Salah satu kemudahan yang dicapai dari kemajuan itu adalah
kemudahan manusia untuk melakukan transaksi perdagangan dengan
menggunakan internet. Sekarang ini tingkat penggunaan internet sebagai
sarana untuk melakukan transaksi perdagangan antar negara meningkat
cukup signifikan. Seorang pelaku bisnis dapat dengan mudah membeli atau
menjual barang dagangannya lewat media internet. Mereka tidak saling
bertemu karena terpisah oleh benua yang berbeda. Walaupun begitu, mereka
dapat melakukan penawaran dan pembelian melalui internet.
Perbuatan jual beli yang dilakukan oleh pembeli dan penjual tadi
walupun dilakukan pada dunia maya (cyber), namun membawa akibat dalam
bentuk-bentuk yang nyata, yaitu si pembeli berkewajiban untuk membayar
dan si penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang. Hukum telah
mengkonstruksi hubungan mereka tadi sebagai bentuk hubungan hukum
berupa jual beli2. Jika hubungan hukum yang dilakukan mereka tadi
dilakukan pada wilayah negara di mana mereka berada dalam satu
yurisdiksi3, maka tidak menimbulkan komplikasi hukum yang signifikan,
mereka tunduk pada hukum yang sama. Ataupun jika mereka memiliki
1
Staf Pengajar Pada Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Mataram, email: muh
risnain <risnain82@gmail.com>.
2
Yudha Bhakti A, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 34.
3
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi Revisi, Rajawali Press, Jakarta,
2002, hlm. 156.
13
kewarganegaraan yang sama tidak menjadi masalah mereka pun otomatis
tunduk pada yurisdiksi negaranya.
Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber
(cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai
tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada
ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum
konvensional saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak
kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam
ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun
alat buktinya bersifat elektronik.4
Masalahnya akan menjadi berbeda ketika mereka melakukan transaksi
bisnis tadi pada wilayah negara yang berbeda dan mereka memiliki
kewarganegaraan yang berbeda pula. Dapatkah hukum nasional dari salah
satu negara mengatur hubungan mereka? Dalam transaksi perdagangan
melalui internet umumnya perdagangan dilakukan dilakukan oleh orang-
orang yang berada dan tunduk pada negara dan yurisdiksi yang berbeda. Hal
ini menimbulkan masalah hukum tersendiri bagi kedua belah pihak, seperti
transaksi mereka tadi tunduk pada hukum negara yang mana? atau
bagaimana menyelesaikan sengketa di antara mereka jika salah satu pihak
melakukan pelanggaran kontrak yang telah mereka tanda tangani? kedua
masalah ini merupakan masalah krusial yang dihadapi negara-negara dalam
mengatur transkasi perdagangan melalui internet dewasa ini.
Indonesia, sebagai negara yang menggunakan teknologi internet tidak
terlepas dari masalah-masalah hukum yang kami sebutkan di atas? tidak
menutup kemungkinan pada waktu yang akan datang seorang warga negara
Indonesia atau perusahaan Indonesia akan mengadakan kontrak dagang
melalui internet (e-commerce) dengan mitra dagangnya di luar negeri? jika
muncul masalah di atas maka hukum apa yang dapat diterapkan untuk
megatur hubungan hukum mereka, atau forum apa yang digunakan untuk
menyelesaikan sengketa mereka? kedua masalah ini perlu dicarikan
solusinya untuk memberikan kepastian bagi pelaku bisnis dalam
menjalankan transaksi melalui internet.
Pada tahun 2008 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR
RI) dan pemerintah telah menyetujui Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, untuk selanjutnya disebut
UU ITE. Kehadiran Undang-undang ini merupakan instrumen yuridis untuk
memberikan kepastian hukum terhadap hubungan hukum yang dilakukan
oleh para pebisnis dewasa ini. Namun, bagaimana Undang-undang ini
menjangkau hal-hal yang bersifat lintas batas negara yang merupakan ciri
4
Penjelasan UU ITE
2
khas transaksi elekronik? apakah cukup memberikan kepastian hukum atau
tidak?. Tulisan ini hendak mendiskripsikan dan mengkritisi persoalan pilihan
hukum dan pilihan forum dalam Undang-undang yang ITE di atas.
13
“hukum nasional suatu negara, khususnya hukum nasional dari salah satu
pihak, hukum kebiasaan, perjanjian internasional dan hukum
internasional.”
Para ahli memandang bahwa pilihan hukum merupakan hal penting
dalam sebuah kontrak internasional, Schmitthoff memandang bahwa
kontrak internasional yang tidak terdapat klausul pilihan hukumnya
merupakan kontrak yang cacat. Di samping itu UNCITRAL menganjurkan
agar pelaku bisnis internasional dalam membuat kontrak internasional
sebaiknya mencantumkan klausul pilihan hukum sebagai langkah
antisipatif untuk mencegah ketidakpastian hukum pada waktu penyelesaian
sengketanya.6 Lebih jauh Huala Adolf menuliskan bahwa klausul pilihan
hukum berfungsi sebagai berikut:
1) Untuk menentukan hukum apa yang digunakan untuk
menentukan atau menerangkan syarat-syarat kontrak atau hukum
yang akan menentukan dan mengatur kontrak.
2) Menghindarkan ketidakpastian hukum yang berlaku terhadap
kontrak selama pelaksanaan kewajiban-kewajiban kontraktual
para pihak.
3) Sumber hukum berfungsi pula sebagai sumber hukum manakala
kontrak tidak mengatur sesuatu hal.7
Dalam prakteknya pilihan hukum yang terdapat dalam kontrak
internasional terdapat beberapa kemungkinan yang terjadi, yaitu sebagai
berikut:
1) Pilihan hukum secara tegas, dalam hal ini para pihak telah secara
tegas menentukan pilihan hukum dalam klausul kontraknya. Para
pihak memilih salah satu sistem hukum nasional tertentu yang
akan berlaku dan mengatur kontrak yang dibuat oleh mereka.
2) Pilihan hukum secara diam-diam: pilihan hukum secara diam-
diam terjadi manakala para pihak tidak secara spesifik memilih
hukum tertentu dalam kontraknya. Pilihan hukum dapat dilihat
dari substansi kontrak yang ada dalam yang menundukkan diri
pada hukum nasional tertentu.
3) Pilihan hukum diserahkan kepada Pengadilan. Pilihan hukum
diserahkan kepada pengadilan manakala terjadi para pihak tidak
mencapai kesepakatan untuk menentukan pilihan hukum dalam
kontraknya. Mereka memilih solusi untuk menyerahkan masalah
pilihan hukum kepada lembaga pengadilan.
4
6
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung 2007, hlm. 139.
7
Ibid.
13
4) Tidak ada Pilihan Hukum. Jika tidak terdapat pilihan hukum yang
terdapat dalam sebuah kontrak internasional maka untuk
menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak internasional
digunakan prisnip-prinsip hukum perdata internasional yang
berlaku.
Dalam Hukum Perdata Internasional menurut Sudargo Gautama terdapat
beberapa teori untuk memecahkan masalah pilihan hukum, yaitu :
(a) The Proper Law Theory : dalam menentukan hukum yang
sebenarnya berlaku dalam kontrak pengadilan akan melakukan
analisis terhadap fakta-fakta dan ketentuan-ketentuan sekitar
kontrak yang bersangkutan.
(b) Teori Lex loci contractus : menurut teori ini hukum yang
berlaku dalam suatu kontrak ditentukan oleh hukum di mana
tempat kontrak tersebut dibuat, diciptakan dan dilahirkan.
(c) Teori Lex Loci Solutionis: menurut teori ini hukum yang
berlaku dalam sebuah kontrak adalah hukum ditempat
dilaksanakannya kontrak.
(d) Teori Lex Fori : berdasarkan teori ini hukum yang berlaku
dalam dalam sebuah kontrak internasional yang tidak terdapat
pilihan hukumnya adalah hukum dari pihak pengadilan (hakim).
(e) Teori The most characteritic connection : menurut teori ini
hukum yang berlaku dalam kontrak internasional yang tidak
memiliki pilihan hukum adalah hukum dari salah satu pihak
yang melakukan prestasi paling karakteristik dalam suatu
transaksi.
Walaupun para pihak diberikan kebebasan untuk melakukan pilihan
hukum sebagai cerminan dari asas kebebasan berkontrak dalam hukum
perjanjian internasional, dalam pilihan hukum terdapat pembatasan-
pembatasan yuridis yang mengikat para pihak, yaitu :
(a) pilihan hukum tidak melanggar ketertiban umum
(b) pilihan hukum hanya dapat dilakukan dalam bidang hukum
kontrak
(c) harus ada kaitan dengan kontrak yang bersangkutan
(d) tidak untuk menyelundupkan hukum
(e) tidak untuk transaksi tanah atau hak-hak atas benda bergerak
(f) tidak boleh mengenai ketentuan hukum perdata dengan sifat
publik
6
(g) melanggar itikad baik
13
(h) pilihan hukum digunakan untuk menghindar tanggung jawab
pidana
(i) adanya aturan-aturan hukum yang bersifat memaksa
(j) hukum substantif yang dipilih mengatur objek kontrak.8
b. Pilihan Forum
Pilihan forum dalam sebuah kontrak internasional merupakan
langkah antisipatif para pihak untuk mengantisipasi sengketa yang
muncul kemudian hari dalam pelaksanaan kontrak. Pilihan forum
memberikan kepastian bagi kedua belah pihak untuk memilih forum
penyelesaian sengketa dan meminimalisir terjadinya konflik kewenangan
lembaga penyelesaian sengketa dalam penyelesaian sengketa yang
terjadi.
Dalam hukum perdata internasional yang diperbolehkan untuk
melakukan pilihan forum adalah hukum menyangkut hukum susbtantif
dari para pihak bukan hukum acara, ketentuan prosedural mengikuti
ketentuan hukum yang terdapat dalam pengadilan sebagai forum yang
dipilih oleh para pihak. Berbeda halnya jika forum arbitrase yang dipilih
maka ketentuan hukum acara mengikuti ketentuan hukum acara dari
forum arbitrase yang dipilih. Dalam praktek hukum acara yang dipilih
adalah hukum acara yang terdapat dalam ketentuan arbitrase
internasional yang tertuang dalam perjanjian intenasional seperti
UNCITRAL arbitration rules tahun 19769.
2. Keadaan Memaksa, Wanprestasi, Perbuatan Melawan Hukum dan
Breach of Contract dalam Kontrak Internasional.
a. Keadaan Memaksa (Overmacht atau Force Majeure)
Keadaan Memaksa atau Force Majeure adalah klausula yang biasa
dicantumkan dalam pembuatan kontrak dengan maksud melindungi pihak-
pihak. Hal ini terjadi apabila terdapat bagian dari kontrak yang tidak dapat
dilaksanakan karena sebab-sebab yang berada diluar kontrol para pihak dan
tidak bisa dihindarkan dengan melakukan tindakan sewajarnya. 10 Selain itu,
ada yang disebut Act of God, yaitu suatu kejadian atau peristiwa yang
semata-mata karena kekuatan alam tanpa ada campur tangan manusia. Yaitu
setiap bencana atau kecelakaan yang disebabkan oleh sebab fisik yang tidak
bisa ditahan, seperti kilat, angin ribut, bencana laut (peril of the sea),
tornado, gempa bumi dan semacamnya.11
Dalam pencantuman klausula keadaan memaksa ini biasanya terdapat
penekanan pada keadaan memaksa yang diluar kekuasaan para pihak. Untuk
8
Ibid.
9
Ibid.
8
10
I.G Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak Contract Drafting Teori dan Praktik, Megapoin, Jakarta,
2007, hlm. 75.
13
kedaan yang demikian tidak ada pihak yang dibebankan tanggung jawab
atau risiko untuk setiap kegagalan atau penundaan terhadap pelaksanaan
kewajiban sesuai dengan kontrak.
b. Wanprestasi
Umumnya semua kontrak diakhiri dengan pelaksanaan dan memang
demikianlah yang seharusnya terjadi. Itu berarti bahwa para pihak memenuhi
kesepakatan untuk dilaksanakan berdasarkan persyaratan yang tercantum
dalam perjanjian atau kontrak. Pemenuhan perjanjian atau hal-hal yang harus
dilaksanakan disebut prestasi. Dengan terlaksanakanya prestasi, kewajiban-
kewajiban para pihak berakhir. Sebaliknya apabila debitur tidak
melaksanakannya maka disebut melakukan wanprestasi.
Secara sederhana wanprestasi adalah tidak melakukan prestasi atau
melakukan prestasi tetapi yang dilaksanakan tidak tepat waktu dan tidak
sesuai dengan yang seharusnya. Jadi debitur telah melakukan wanprestasi
karena dia tidak atau terlambat melaksanakan prestasi dari waktu yang
ditentukan atau tidak sesuai menurut apa yang semestinya dan ini merupakan
suatu pelanggaran hukum atau tindakan melawan hukum terhadap hak
kreditur yang lebih dikenal dengan istilah onrechtmatigedaad. 12
c. Perbuatan Melawan Hukum
Menurut Pasal 1365 KUH Perdata yang dimaksud dengan perbuatan
melawan hukum adalah setiap perbuatan yang membawa kerugian kepada
orang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan
kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
Apabila keadaan memaksa yang telah dibicarakan diatas dibandingkan
dengan wanprestasi keduanya mempunyai persamaan pada akhirnya yang
berujung tidak terlaksanakannya perjanjian. Namun berbeda dalam risiko
atau tanggung jawab karena antara keduanya mempunyai perbedaan yang
mendasar. Dalam keadaan memaksa seseorang melakukan wanprestasi atau
melalaikan kewajibannya disebabkan karena suatu keadaan di luar
kekuasaannya sebaliknya seseorang dikatakan melakukan wanprestasi bukan
karena keadaan memaksa melainkan telah melakukan pelanggaran terhadap
syarat perjanjian. Dengan demikian akibatnyapun berbeda .
Dalam hal ini apabila seseorang dapat membuktikan bahwa dia berada
dalam keadaan memaksa atau force majeure justru dia dibebaskan dari
resiko atau tanggung jawab (Pasal 1254 KUH Perdata). Apabila seseorang
memang lalai telah melakukan wanprestasi bukan karena force majeure
akibatnya dapat terkena sanksi, sanksi yang dimaksud dapat berupa:13
12
Ibid., hlm. 77.
13
Ibid., hlm. 78.
10
a) kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita oleh pihak
lawan (ganti rugi);
b) berakibat pembatalan perjanjian;
c) peralihan risiko; dan
d) pembayaran biaya perkara (apabila masalahnya sampai di bawa
ke pengadilan).
13
memberikan hak kepadanya untuk menggugat dipenuhinya sebagian dari isi
kontrak.
12
mana tempat kontrak tersebut dibuat,
15
Penjelasan UU ITE.
13
diciptakan dan dilahirkan, c). Asas Lex Loci Solutionis: menurut teori ini
hukum yang berlaku dalam sebuah kontrak adalah hukum ditempat
dilaksanakannya kontrak, Asas Lex Fori : berdasarkan teori ini hukum
yang berlaku dalam dalam sebuah kontrak internasional yang tidak
terdapat pilihan hukumnya adalah hukum dari pihak pengadilan (hakim),
dan Asas The most characteristic connection : menurut teori ini hukum
yang berlaku dalam kontrak internasional yang tidak memiliki pilihan
hukum adalah hukum dari salah satu pihak yang melakukan prestasi
paling karakteristik dalam suatu transaksi.
Namun demikian, ketentuan pilihan hukum dalam UU ITE di atas,
belum maksimal mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan
larangan untuk melakukan pilihan hukum. Padahal ketentuan ini sangat
penting untuk mengatur kontrak-kontrak antar pelaku bisnis yang justru
bertentangan dengan kaidah hukum dan ketertiban hukum yang beraku di
Indonesia. Sebagaimana diuraikan dimuka bahwa walaupun dalam
kontrak berlaku asas kebebasan berkontrak, namun tidak bebas tanpa
batas. Negara berhak melakukan pembatasan dengan mencantumkan
larangan seperti larangan adanya pilihan hukum untuk hal-hal tertentu.
Namun hal ini belum terakomodir diatur dalam UU ITE.
Seharusnya dalam UU ITE ada aturan yang memperinci larangan
para pihak untuk melakukan pilihan hukum manakala mereka
mengadakan kontrak transaksi yang bersifat internasional. Umumnya
pembatasan yang diakukan terhadap pilihan hukum yaitu : a). pilihan
hukum tidak melanggar ketertiban umum b). pilihan hukum hanya dapat
dilakukan dalam bidang hukum kontrak, c). harus ada kaitan dengan
kontrak yang bersangkutan d). tidak untuk menyelundupkan hukum e).
tidak untuk transaksi tanah atau hak- hak atas benda bergerak, f). tidak
boleh mengenai ketentuan hukum perdata dengan sifat publik g).
melanggar itikad baik, h). pilihan hukum digunakan untuk menghindar
tanggung jawab pidana, i). adanya aturan-aturan hukum yang bersifat
memaksa, dan j). hukum substantif yang dipilih mengatur objek kontrak.
Adanya ketentuan hukum yang mengikat para pihak yang
membatasi mereka untuk melakukan pilihan hukum memberikan dasar
bagi pemerintah untuk menegakan hukum siber. Sebaliknya jika tidak
ada ketentuan itu maka negara mengalami kesulitan untuk intervensi dan
membatalkan kontrak transaksi elektronik yang bertentangan dengan
ketertiban umum dan hal-hal ain yang beraku di Indonesia.
14
D. Penutup
Pengaturan pilihan hukum dalam Undang-undang No.11 Tahun
2008 telah diakomodir. Dalam UU ini pilihan hukum diberikan
kebebasan kepada para pihak yang melakukan transaksi elekronik yang
bersifat internasional, namun jika tidak ada pilihan hukum, maka
Undang-undang merujuk pada asas-asas hukum perdata internasional
yang berlaku selama ini dalam menyelesaikan perkara peerdata
internasional. Namun, dalam UU ITE belum membatasi kebebasan para
pihak untuk tidak memilih hukum dalam hal-hal tertentu. Hal ini
merupakan hambatan tersendiri bagi pemerintah dalam menegakan
hukum siber yang berkaitan dengan kontrak. Terutama kontrak- kontrak
internasional yang merugikan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A, Yudha Bhakti., Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung,
2002.
Adolf, Huala., Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama,
Bandung, 2007.
-----------------, Arbitrase Komersil Internasional, Rajawali Press, Jakarta,
2003
Calamari, John D dan Joseph M Perillo, Contracts, Third edition Handbook
Series, West Publishing, ST PaulMinn, 1987
Gautama, Sudargo., Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II Bagian
4 Buku Ke-5, Alumni, Bandung, 1998.
Makarim, Edmon., Kompilasi Hukum Telematika, Rajawali Press, Jakarta,
2003.
Ramli, Ahmad M., Status Perusahaan dalam Hukum Perdata
Internasional : Teori dan Praktik, Mandar maju, Bandung, 1994.
------------------, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia,
cetakan pertama, Refika Aditama, Bandung, 2004.
Widjaya, I.G Rai., Merancang Suatu Kontrak Contract Drafting Teori dan
Praktik, Megapoin, Jakarta, 2007.
13
NAMA : MOCH REZA NUGRAHA
NIM : P2B119063