2. Jelaskan pengertian dari Pilihan Forum dan batasan-batasan atas Pilihan Forum tersebut.
4. Sebut dan jelaskan macam-macam aliran yang dianut dalam teori Persoalan Pendahuluan, dan
teori manakan yang sebaiknya dianut oleh Indonesia menurut Prof. S. Gautama beserta
alasannya.
Jawaban
1. Pilihan hukum dikenal dengan berbagai macam istilah, dari berbagai istilah yang digunakan
untuk pilihan hukum ini, Sudargo Gautama berpendapat bahwa istilah choice of law,
rechtskeuze, dan rechtswahl adalah iatilah yang paling sesuai untuk menggambarkan
pengertian teori ini, sedangkan istilah partij-autonomie rentan membawa kita pada
pemahaman yang keliru akan substansi teori ini. Para pihak hanya memiliki kebebasan untuk
memilih hukum yang berlaku dan bukan memiliki kebebasan untuk menciptakan hukum
yang berlaku bagi kontrak mereka. Sudargo Gautama juga telah merujuk pada pendapat dari
Kollewijn yang secara praktis bahwa pilihan hukum dapat dilakukan dalam batas-batas
tertentu. Kollewijn condong untuk pemakaian istilah rechtskeuze (pilihan hukum) dan bukan
partij-autonomie.
Adapun prinsip-prinsip yang berlaku dalam menentukan pilihan hukum antara lain :
Adanya persetujuan, persetujuan disini dimaksud adalah kesepakatan antara dua
belah pihak atau lebih dalam memilih hukum yang dipakai dalam suatu kontrak.
Karena dengan adanya kesepakatan ini maka nantinya akan menimbulkan
perjanjian-perjanjian yang memiliki unsur hukum di dalamnya yang harus ditaati
dalam melaksanakan kontrak tersebut. Jika tidak adanya kesepakatan dalam
pemilihan hukum maka akan sulit dalam menyelesaikan sengketa dalam kontrak
tersebut. Namun terkadang kedua belah pihak tidak melakukan suatu kesepakatan
dalam pemilihan hukum jadi apabila terjadi sengketa para pihak menyelesaiakan
dengan prinsip-prinsip HPI.
Bersifat netral, para pihak dapat memilih ketentuan yang secara umum diterima di
tingkat ternasional, supranasional, atau regional sebagai ketentuan yang netral dan
seimbang atau sebagai hukum yang berlaku untuk kontrak mereka." Ins artinya
hukum yang dipilih tidak harus selalu merupakan hukum nasional suatu segara.
Adanya prinsip itikad baik. Pada intinya bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi
para pihak dalam bertransaksi. Prinsip ini merupakan landasan utama untuk para
pihak mengadakan kontrak, sesuai dengan teori kepercayaan sebagai daya
mengikatnya suatu kontrak karena diawali dengan itikad baik maka akan
menumbuhkan saling kepercayaan sehingga kontrak dapat direalisasikan dengan
baik. Setiap pihak harus menjiunjung tinggi prinsip ini dalam keseluruhan jalannya
kontrak mulai dari proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai kepada
berakhirnya kontrak.
Namun Sudargo Gautama mengembangkan suatu teori bahwa pilihan hukum memiliki
beberapa batasan antara lain : Pilihan hukum tidak boleh melanggar ketertiban umum,
Pilihan hukum tidak boleh menjadi penyelundupan hukum, pilihan hukum harus
memperhatikan kaidah supermemaksa, dan pilihan hukum hanya boleh dalam bidang
hukum kontrak.
Adapun beberapa cara dalam menentukan pilihan hukum menurut Sudargo Gautama,
antara lain :
Para pihak diperbolehkan secara tegas untuk merumuskan kontrak apa yang telah
menjadi kesepakatan mereka terkait dengan hukum yang berlaku atau dipilih dalam
kontrak tersebut. Berbagai kontrak internasional memuat klausul-klausul yang
menunjukkan adanya pilihan hukum secara tegas dilakukan oleh para pihak untuk
kontrak bersangkutan. Dalam praktik faktanya memperlihatkan bahwa dalam kontrak-
kontrak dagang internasional, para pihak yang merupakan orang-orang biasa atau awam
pada waktu melangsungkan kontrak mereka tidak sampai pada mengutarakan kemauan
mereka tentang hukum yang hendak diperlakukan. Tanpa pendampingan dari praktisi
hukum atau karena kemungkinan para pihak yang tergesa-gesa ingin segera
menandatangani kontrak, mereka tidak sampai memikirkan untuk melakukan pilihan
hukum secara tegas. Adanya pilihan hukum secara tegas dalam kontrak akan
memudahkan hakim dan cepat dalam menentukan hukum yaitu hukum yang telah
ditentukan para pihak dalam kontrak di antara mereka sebagai titik taut penentunya.
Selain dinyatakan secara tegas dengan sedemikian banyak perkataan dalam kontrak,
pilihan hukum juga dapat terjadi secara diam-diam (stilzwijgend, implied, tacitly).
Maksud dari peihak mengenai hukum yang akan digunakan dapat terlihat dari isi kontrak
tersebut. Sebagai contoh, para pihak tidak secara tegas menyebutkan hukum nasional
negara X berlaku untuk kontrak mereka. Akan tetapi, dari hal-hal dan keadaan dalam isi
kontrak tersebut, terlihat bahwa para pihak memang atau telah secara diam-diam
menghendaki hukum nasional negara X yang dipakai. Apa yang menjadi kehendak para
pihak ini dapat disimpulkan, misalnya dari bahasa yang dipakai, format kontrak
sedemikian rupa, hingga dapat diikuti cara pemikiran para pihak ke arah pemakaian
hukum nasional negara tertentu. Pilihan hukum secara diam-diam ini membawa lebih
banyak persoalan dan keraguan daripada pilihan hukum secara tegas. Kelemahan dari
pilihan hukum secara diam-diam ini adalah jika hakim hanya menekankan pada kemauan
para pihak yang sifatnya merupakan dugaan. Akibatnya, yang dikedepankan adalah
kemauan para pihak yang fiktif.
“pilihan hukum oleh para pihak hanya beralasan untuk diterima apabila memang
benar-benar terdapat pilihan hukum secara tegas hingga tak timbul keragu-raguan
lagi. Akan tetapi, pilihan hukum yang dilakukan secara implicite dapat kami terima.
Yang disyaratkan ialah memang benar-benar telah terjadi pilihan hukum. Apabila
para pihak tidak benar benar telah melakukan pilihan hukum, tidak perlu
mengonstruir pilihan hukum ini, baik secara dugaan belaka maupun secara [fiktif)].
Yang disebut terakhir ini adalah lebih berbahaya”
Dari empat macam pilihan hukum di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
sebenarnya ada dua jenis pilihan hukum, yakni pilihan hukum yang benar-benar dan
pilihan hukum yang tidak benar-benar. Pilihan hukum yang dianggap dapat masuk ke
dalam keduanya karena berdasarkan sifatnya ia berada di antara pilihan hukum
secara diam-diam dan pilihan hukum secara hipotesis. Dapat dikatagorikan sebagai
pilihan hukum yang benar-benar ketika memang ada kehendak para pihak untuk
tunduk pada suatu hukum tertentu. Kehendak ini, meskipun harus dicari atau
ditelusuri oleh hakim, haruslah didukung oleh kehendak para pihak yang didukung
oleh fakta hukum yang ada.
Sementara itu, kehendak para pihak yang dikonstruksi oleh hakim, tanpa benar-
benar didukung fakta hukum yang ada, akan dikategorikan sebagai pilihan hukum
yang tidak benar-benar dan pilihan hukum secara hipotetis. Hal ini terjadi karena
hukum yang berlaku dalam pilihan hukum secara hipotetis adalah berdasarkan
penemuan hakim. Dalam praktiknya, sulit untuk menentukan dan menemukan
perbedaan antara pilihan hukum yang dianggap dan pilihan hukum hipotetis. Oleh
karena itu, dalam praktik sehari-hari, secara umum hanya dikenal pilihan hukum
secara tegas dan pilihan hukum diam-diam.
2. Pilihan forum dikenal pula dengan istilah choice of forum atau choice of jurisdiction.
Sebenarnya, istilah forum mengacu pada suatu lembaga sebagai tempat suatu sengketa
dicarikan penyelesaiannya. Sementara itu, kata yurisdiksi/jurisdiction lebih mengacu pada
kewenangan suatu lembaga. Sementara itu, forum yang dipilih untuk suatu sengketa adalah
arbitrase berdasarkan peraturan-peraturan International Chamber of Commerce (ICC).
Jadi pilihan forum atau pilihan yurisdiksi merupakan pemilihan forum atau lembaga baik
berupa instansi peradilan atau instansi lain yang telah disepakati oleh para pihak sebagai
forum yang akan memeriksa dan mengadili sengketa yang mungkin timbul pada kemudian
hari terkait hubungan hukum yang terjadi di antara mereka. Dalam Black's Law Dictionary,
pilihan forum diistilahkan sebagai forum selection clause. Forum selection clause
didefinisikan sebagai ketentuan kontraktual yang merupakan kesepakatan para pihak dalam
menentukan tempat (negara atau bentuk forum) untuk menyelesaikan perkara di antara
mereka.
Batasan yang pertama yaitu tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan menjadi
berwenang apabila menurut kaidah-kaidah hukum intern negara-negara bersangkutan,
pengadilan itu tidak berwenang adanya. Hal ini merupakan salah satu pengaturan dalam
melakukan pilihan forum.
Batasan yang kedua yaitu forum yang dipilih harus selalu merupakan forum yang kompeten
menurut hukum intern dari negara yang bersangkutan. Apabila tidak terdapat forum yang
dianggap kompeten menurut sistem hukum dari negara yang bersangkutan, pilihan forum
tidak dapat dilakukan.
Batasan yang ketiga adalah pilihan forum hanya dapat dilakukan terhadap perkara-perkara
perdata atau dagang yang bersifat internasional. Pilihan forum tidak berlaku bagi persoalan-
persoalan berikut:
1. status atau kewarganegaraan orang-orang atau persoalan hukum keluarga, termasuk
kewajiban atau hak-hak pribadi atau finansial antara orang tua dan anak atau antara suami
istri;
2. persoalan tentang alimentasi yang tidak termasuk dalam nomor 1
3. persoalan warisan;
4. persoalan kepailitan dan homologasi atau acara-acara yang menyangkut sahnya tindakan
seorang debitur, dan
Ditentukan pula sifat nonexclusive dari suatu pilihan forum. Artinya, pilihan forum yang
telah dilakukan para pihak menjadi tidak mengikat apabila pilihan forum tersebut batal atau
dapat dibatalkan akibat adanya suatu penyalahgunaan kekuasaan ekonomi atau tidak
adanya permohonan tertulis dari salah satu pihak kepada pihak lain, Pilihan forum yang
dilakukan oleh para pihak ini juga menjadi bersifat nonexclusive apabila hanya berkaitan
dengan tindakan sementara (conservatoir).
3. Adapun dua konvensi internasional yang berkaitan dengan pilihan forum antara lain :
Convention on the Choice of Court tahun 1965,
Dalam konvensi ini telah diatur hal-hal yang berkaitan dengan pembatasan pilihan
forum pengadilan yang berwenang. Menurut konvensi ini, pembatasan dalam
melakukan pilihan forum harus selalu ada karena forum yang dipilih harus selalu
merupakan forum yang kompeten menurut hukum intern dari negara yang
bersangkutan. Dengan demikian, apabila tidak terdapat forum yang dianggap
kompeten menurut sistem hukum dari negara yang bersangkutan, pilihan forum
tidak dapat dilakukan. Forum yang dapat dipilih adalah forum yang terdapat di
negara-negara peserta dari konvensi ini. Batasan lain yang ditentukan oleh konvensi
ini adalah pilihan forum hanya dapat dilakukan terhadap perkara-perkara perdata
atau dagang yang bersifat internasional.
Convention on Choice of Courts Agreements 2005 sampai pada saat ini belum
berlaku karena belum ada negara yang meratifikasi konvensi ini. Selain itu, Indonesia
tidak terikat dengan Convention on the Choice of Court tahun 1965 dan Convention
on Choice of Courts Agreement 2005 ini karena belum meratifikasinya.
4. Persoalan pendahuluan adalah suatu persoalan yang harus dipecahkan terlebih dahulu oleh
seorang hakim di suatu negara sebelum menyelesaikan suatu persoalan pokok (hauptfrage).
Persoalan pendahuluan sangat berpengaruh terhada hasil keputusan akhir persoalan pokok
yang akan dikeluarkan oleh hakim. Adapun aliran-aliran dalam teori persoalan pendahuluan
antara lain :
Aliran yang kedua ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku untuk
menyelesaikan persoalan pendahuluan (vorfrage) ini haruslah hukum sang hakim.
Pemakaian hukum sang hakim ini karena mendasarkan diri pada zelfstandige
aanknoping. Aliran ini didukung oleh Kegel, Raape, Rabel, dan lainnya, yaitu suatu
kelompok pendukung yang dapat dinamakan sebagai les foristes.
Aliran Ketiga
Aliran yang ketiga ini mengajukan pendapat mereka dengan tidak secara apriori ke
salah satu aliran di atas, baik aliran lex causae maupun lex fori. Pemakaian hukum
yang berlaku bagi persoalan pendahuluan tergantung peristiwa yang dihadapi.
Setelah dianalisis peristiwa yang terjadi barulah kemudian ditentukan hukum yang
berlaku bagi persoalan pendahuluan (vorfrage). Pemilihan hukum yang berlaku
tergantung dari sumbernya atau kondisi suatu peristiwa. Dalam hal persoalan
pendahuluan (vorfrage) merupakan sumber, yang diperlakukan adalah lex causae.
Dalam hal persoalan pendahuluan (vorfrage) merupakan sumber, yang diperlakukan
adalah lex fori. Pendukung aliran ini dapat adalah Lemaire, Louis-Lucas, dan
Cheshire.
Menurut Prof. S. Gautama aliran yang sesuai untuk diaplikasikan di Indonesia adalah
aliran ketiga karena dalam menyelesaikan suatu sengketa harus diperhatikan
peristiwa dengan keadaan-keadaan khusus secara konkret. Namun terdapat
pembatasan yaitu dalam keadaan istimewa secara konkret dapat diadakan pilihan
yang berbeda. Beliau juga berpendapat bahwa persoalan pendahuluan merupakan
persoalan yang rumit dan konkret, tidak ada suatu penyelesaian mekanis dan
general yang dapat diberlakukan sama bagi keseluruhan persoalan pendahuluan
(vorfrage). Oleh karena itu, harus diperhatikan setiap peristiwa tertentu dan
keadaan-keadaan khusus secara konkret.