Anda di halaman 1dari 7

1. Jelaskan apa prinsip-prinsip yang berlaku dan cara-cara menentukan pilihan hukum.

2. Jelaskan pengertian dari Pilihan Forum dan batasan-batasan atas Pilihan Forum tersebut.

3. Sebutkan minimal 2 konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan Pilihan Forum.

4. Sebut dan jelaskan macam-macam aliran yang dianut dalam teori Persoalan Pendahuluan, dan
teori manakan yang sebaiknya dianut oleh Indonesia menurut Prof. S. Gautama beserta
alasannya.

Jawaban

1. Pilihan hukum dikenal dengan berbagai macam istilah, dari berbagai istilah yang digunakan
untuk pilihan hukum ini, Sudargo Gautama berpendapat bahwa istilah choice of law,
rechtskeuze, dan rechtswahl adalah iatilah yang paling sesuai untuk menggambarkan
pengertian teori ini, sedangkan istilah partij-autonomie rentan membawa kita pada
pemahaman yang keliru akan substansi teori ini. Para pihak hanya memiliki kebebasan untuk
memilih hukum yang berlaku dan bukan memiliki kebebasan untuk menciptakan hukum
yang berlaku bagi kontrak mereka. Sudargo Gautama juga telah merujuk pada pendapat dari
Kollewijn yang secara praktis bahwa pilihan hukum dapat dilakukan dalam batas-batas
tertentu. Kollewijn condong untuk pemakaian istilah rechtskeuze (pilihan hukum) dan bukan
partij-autonomie.
Adapun prinsip-prinsip yang berlaku dalam menentukan pilihan hukum antara lain :
 Adanya persetujuan, persetujuan disini dimaksud adalah kesepakatan antara dua
belah pihak atau lebih dalam memilih hukum yang dipakai dalam suatu kontrak.
Karena dengan adanya kesepakatan ini maka nantinya akan menimbulkan
perjanjian-perjanjian yang memiliki unsur hukum di dalamnya yang harus ditaati
dalam melaksanakan kontrak tersebut. Jika tidak adanya kesepakatan dalam
pemilihan hukum maka akan sulit dalam menyelesaikan sengketa dalam kontrak
tersebut. Namun terkadang kedua belah pihak tidak melakukan suatu kesepakatan
dalam pemilihan hukum jadi apabila terjadi sengketa para pihak menyelesaiakan
dengan prinsip-prinsip HPI.

 Adanya kebebasan, dalam menentukan pilihan hukum terdapat prinsip kebebasan


disini yang dimaksud dengan kebebasan adalah tidak ada aturan hukum mana yang
akan dipilih. Para pihak dalam membuat suatu kontrak internasional dibebaskan
dalam menentukan pilihan hukum yang dianggap mereka menguntungkan dalam
kontak tersebut atau dianggap netral. Dalam menentukan pilihan hukum tidak harus
menggunakan hukum nasional tetapi sangat dipersilakan mempergunkan hukum
negara lain apabila hal tersebut dianggap menguntungkan bagi kedua belah pihak
yang membuat kontrak internasional. Selain itu Para pihak tidak harus melakukan
pilihan hukum sebelum kontrak disepakati, tetapi dapat pula melakukannya setelah
kontrak disepakati. Apabila hukum telah dipilih, para pihak dapat pula mengubah
atau memodifikasinya kapan pun sesuai dengan kesepakatan di antara mereka.
Namun, perubahan ini tidak boleh merugikan hak-hak pihak ketiga ataupun
keberlakuan formal dari kontrak Hukum yang dipilih atau setiap perubahan
terhadapnya harus dinyatakan secara jelas atau tampak jelas dari ketentuan-
ketentuan dalam kontrak
 Para pihak dapat memilih hukum secara keseluruhan ataupun parsial untuk kontrak
mereka. Ini artinya bagian-bagian dalam satu kontrak dapat tunduk pada hukum
yang berbeda-beda. Contohnya, hukum Indonesia berlaku untuk aturan pembayaran
atas suatu kontrak jual beli antara pihak yang berkedudukan d Indonesia dan
Belanda; sedangkan untuk ketentuan mengenai perlindung asuransi terhadap objek
jual beli tunduk pada hukum Inggris. Hal ini dikenal dengan istilah depeçage.

 Bersifat netral, para pihak dapat memilih ketentuan yang secara umum diterima di
tingkat ternasional, supranasional, atau regional sebagai ketentuan yang netral dan
seimbang atau sebagai hukum yang berlaku untuk kontrak mereka." Ins artinya
hukum yang dipilih tidak harus selalu merupakan hukum nasional suatu segara.

 Adanya prinsip itikad baik. Pada intinya bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi
para pihak dalam bertransaksi. Prinsip ini merupakan landasan utama untuk para
pihak mengadakan kontrak, sesuai dengan teori kepercayaan sebagai daya
mengikatnya suatu kontrak karena diawali dengan itikad baik maka akan
menumbuhkan saling kepercayaan sehingga kontrak dapat direalisasikan dengan
baik. Setiap pihak harus menjiunjung tinggi prinsip ini dalam keseluruhan jalannya
kontrak mulai dari proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai kepada
berakhirnya kontrak.

 Prinsip Kepastian Hukum Adanya prinsip kepastian hukum memberikan


perlindungan bagi para pihak dari itikad tidak baik pihak –pihak bersangkutan
ataupun pihak ketiga. Kontrak yang telah disepakati dianggap berlaku mengikat
seperti undang-undang bagi para pembuatnya dan tidak bisa diubah tanpa
persetujuan dari pihak-pihak yang membuatnya.

Namun Sudargo Gautama mengembangkan suatu teori bahwa pilihan hukum memiliki
beberapa batasan antara lain : Pilihan hukum tidak boleh melanggar ketertiban umum,
Pilihan hukum tidak boleh menjadi penyelundupan hukum, pilihan hukum harus
memperhatikan kaidah supermemaksa, dan pilihan hukum hanya boleh dalam bidang
hukum kontrak.

Sumber : Taryana Soenandar. 2002. Prinsip-Prinsip UNIDROIT Sebagai Sumber Hukum


Kontrakdan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional. Jakarta : Sinar Gafika.

Adapun beberapa cara dalam menentukan pilihan hukum menurut Sudargo Gautama,
antara lain :

 Pilihan Hukum secara Tegas

Para pihak diperbolehkan secara tegas untuk merumuskan kontrak apa yang telah
menjadi kesepakatan mereka terkait dengan hukum yang berlaku atau dipilih dalam
kontrak tersebut. Berbagai kontrak internasional memuat klausul-klausul yang
menunjukkan adanya pilihan hukum secara tegas dilakukan oleh para pihak untuk
kontrak bersangkutan. Dalam praktik faktanya memperlihatkan bahwa dalam kontrak-
kontrak dagang internasional, para pihak yang merupakan orang-orang biasa atau awam
pada waktu melangsungkan kontrak mereka tidak sampai pada mengutarakan kemauan
mereka tentang hukum yang hendak diperlakukan. Tanpa pendampingan dari praktisi
hukum atau karena kemungkinan para pihak yang tergesa-gesa ingin segera
menandatangani kontrak, mereka tidak sampai memikirkan untuk melakukan pilihan
hukum secara tegas. Adanya pilihan hukum secara tegas dalam kontrak akan
memudahkan hakim dan cepat dalam menentukan hukum yaitu hukum yang telah
ditentukan para pihak dalam kontrak di antara mereka sebagai titik taut penentunya.

 Pilihan Hukum secara Diam-Diam

Selain dinyatakan secara tegas dengan sedemikian banyak perkataan dalam kontrak,
pilihan hukum juga dapat terjadi secara diam-diam (stilzwijgend, implied, tacitly).
Maksud dari peihak mengenai hukum yang akan digunakan dapat terlihat dari isi kontrak
tersebut. Sebagai contoh, para pihak tidak secara tegas menyebutkan hukum nasional
negara X berlaku untuk kontrak mereka. Akan tetapi, dari hal-hal dan keadaan dalam isi
kontrak tersebut, terlihat bahwa para pihak memang atau telah secara diam-diam
menghendaki hukum nasional negara X yang dipakai. Apa yang menjadi kehendak para
pihak ini dapat disimpulkan, misalnya dari bahasa yang dipakai, format kontrak
sedemikian rupa, hingga dapat diikuti cara pemikiran para pihak ke arah pemakaian
hukum nasional negara tertentu. Pilihan hukum secara diam-diam ini membawa lebih
banyak persoalan dan keraguan daripada pilihan hukum secara tegas. Kelemahan dari
pilihan hukum secara diam-diam ini adalah jika hakim hanya menekankan pada kemauan
para pihak yang sifatnya merupakan dugaan. Akibatnya, yang dikedepankan adalah
kemauan para pihak yang fiktif.

 Pilihan Hukum secara Dianggap


Pilihan hukum yang dianggap (vermoedelijke partijwil, preasumptio iuris) ini sering
kali digunakan dalam praktik dimana para pihak tidak mengadakan pilihan hukum
secara tegas. Yang terjadi adalah adanya dugaan belaka dari hakim, yaitu dapat
berakibat bahwa para pihak sebenarnya sama sekali tidak pernah memikirkan ke
arah pemakaian suatu sistem hukum tertentu, tetapi hakim mengonstruksi adanya
pilihan hukum semata-mata berdasarkan asumsinya. Sehubungan dengan pilihan
hukum, Sudargo Gautama mengemukakan hal berikut.

“pilihan hukum oleh para pihak hanya beralasan untuk diterima apabila memang
benar-benar terdapat pilihan hukum secara tegas hingga tak timbul keragu-raguan
lagi. Akan tetapi, pilihan hukum yang dilakukan secara implicite dapat kami terima.
Yang disyaratkan ialah memang benar-benar telah terjadi pilihan hukum. Apabila
para pihak tidak benar benar telah melakukan pilihan hukum, tidak perlu
mengonstruir pilihan hukum ini, baik secara dugaan belaka maupun secara [fiktif)].
Yang disebut terakhir ini adalah lebih berbahaya”

 Pilihan Hukum secara Hipotetis


Dalam pilihan hukum secara hipotetis, hakimlah yang menentukan bahwa para pihak
memiliki kehendak yang fiktif dan hipotetis dimana para pihak tidak melakukan
pilihan hukum. Para pihak dalam suatu kontrak harus benar-benar telah
menghendaki hukum tertentu. Mereka harus menyatakan kehendaknya itu secara
tegas atau secara diam-diam. Tidak dapat diterima pilihan hukum yang didasarkan
atas dugaan-dugaan belaka dan juga tidak dapat diterima pilihan hukum secara
hipotetis.

Dari empat macam pilihan hukum di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
sebenarnya ada dua jenis pilihan hukum, yakni pilihan hukum yang benar-benar dan
pilihan hukum yang tidak benar-benar. Pilihan hukum yang dianggap dapat masuk ke
dalam keduanya karena berdasarkan sifatnya ia berada di antara pilihan hukum
secara diam-diam dan pilihan hukum secara hipotesis. Dapat dikatagorikan sebagai
pilihan hukum yang benar-benar ketika memang ada kehendak para pihak untuk
tunduk pada suatu hukum tertentu. Kehendak ini, meskipun harus dicari atau
ditelusuri oleh hakim, haruslah didukung oleh kehendak para pihak yang didukung
oleh fakta hukum yang ada.

Sementara itu, kehendak para pihak yang dikonstruksi oleh hakim, tanpa benar-
benar didukung fakta hukum yang ada, akan dikategorikan sebagai pilihan hukum
yang tidak benar-benar dan pilihan hukum secara hipotetis. Hal ini terjadi karena
hukum yang berlaku dalam pilihan hukum secara hipotetis adalah berdasarkan
penemuan hakim. Dalam praktiknya, sulit untuk menentukan dan menemukan
perbedaan antara pilihan hukum yang dianggap dan pilihan hukum hipotetis. Oleh
karena itu, dalam praktik sehari-hari, secara umum hanya dikenal pilihan hukum
secara tegas dan pilihan hukum diam-diam.

2. Pilihan forum dikenal pula dengan istilah choice of forum atau choice of jurisdiction.
Sebenarnya, istilah forum mengacu pada suatu lembaga sebagai tempat suatu sengketa
dicarikan penyelesaiannya. Sementara itu, kata yurisdiksi/jurisdiction lebih mengacu pada
kewenangan suatu lembaga. Sementara itu, forum yang dipilih untuk suatu sengketa adalah
arbitrase berdasarkan peraturan-peraturan International Chamber of Commerce (ICC).
Jadi pilihan forum atau pilihan yurisdiksi merupakan pemilihan forum atau lembaga baik
berupa instansi peradilan atau instansi lain yang telah disepakati oleh para pihak sebagai
forum yang akan memeriksa dan mengadili sengketa yang mungkin timbul pada kemudian
hari terkait hubungan hukum yang terjadi di antara mereka. Dalam Black's Law Dictionary,
pilihan forum diistilahkan sebagai forum selection clause. Forum selection clause
didefinisikan sebagai ketentuan kontraktual yang merupakan kesepakatan para pihak dalam
menentukan tempat (negara atau bentuk forum) untuk menyelesaikan perkara di antara
mereka.

Adapun batasan-batasan atas pilihan forum antara lain :

Batasan yang pertama yaitu tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan menjadi
berwenang apabila menurut kaidah-kaidah hukum intern negara-negara bersangkutan,
pengadilan itu tidak berwenang adanya. Hal ini merupakan salah satu pengaturan dalam
melakukan pilihan forum.

Batasan yang kedua yaitu forum yang dipilih harus selalu merupakan forum yang kompeten
menurut hukum intern dari negara yang bersangkutan. Apabila tidak terdapat forum yang
dianggap kompeten menurut sistem hukum dari negara yang bersangkutan, pilihan forum
tidak dapat dilakukan.
Batasan yang ketiga adalah pilihan forum hanya dapat dilakukan terhadap perkara-perkara
perdata atau dagang yang bersifat internasional. Pilihan forum tidak berlaku bagi persoalan-
persoalan berikut:
1. status atau kewarganegaraan orang-orang atau persoalan hukum keluarga, termasuk
kewajiban atau hak-hak pribadi atau finansial antara orang tua dan anak atau antara suami
istri;
2. persoalan tentang alimentasi yang tidak termasuk dalam nomor 1
3. persoalan warisan;
4. persoalan kepailitan dan homologasi atau acara-acara yang menyangkut sahnya tindakan
seorang debitur, dan

5. hak-hak atas benda-benda tak bergerak.

Ditentukan pula sifat nonexclusive dari suatu pilihan forum. Artinya, pilihan forum yang
telah dilakukan para pihak menjadi tidak mengikat apabila pilihan forum tersebut batal atau
dapat dibatalkan akibat adanya suatu penyalahgunaan kekuasaan ekonomi atau tidak
adanya permohonan tertulis dari salah satu pihak kepada pihak lain, Pilihan forum yang
dilakukan oleh para pihak ini juga menjadi bersifat nonexclusive apabila hanya berkaitan
dengan tindakan sementara (conservatoir).

3. Adapun dua konvensi internasional yang berkaitan dengan pilihan forum antara lain :
 Convention on the Choice of Court tahun 1965,

Dalam konvensi ini telah diatur hal-hal yang berkaitan dengan pembatasan pilihan
forum pengadilan yang berwenang. Menurut konvensi ini, pembatasan dalam
melakukan pilihan forum harus selalu ada karena forum yang dipilih harus selalu
merupakan forum yang kompeten menurut hukum intern dari negara yang
bersangkutan. Dengan demikian, apabila tidak terdapat forum yang dianggap
kompeten menurut sistem hukum dari negara yang bersangkutan, pilihan forum
tidak dapat dilakukan. Forum yang dapat dipilih adalah forum yang terdapat di
negara-negara peserta dari konvensi ini. Batasan lain yang ditentukan oleh konvensi
ini adalah pilihan forum hanya dapat dilakukan terhadap perkara-perkara perdata
atau dagang yang bersifat internasional.

 Convention on Choice of Courts Agreements tanggal 30 Juni 2005

Dalam konvensi internasional ini juga menetapkan ketentuan-ketentuan yang


berupa pengaturan dalam melakukan pilihan forum. Tujuan dari diadakannya
konvensi ini adalah meningkatkan perdagangan dan investasi internasional melalui
kerja sama di bidang hukum antarnegara-negara pesertanya. Pada konvensi ini,
pilihan forum yang eksklusif didefinisikan sebagai perjanjian tertulis antara dua atau
lebih pihak yang menunjuk forum atau forum-forum dari salah satu negara peserta
dari konvensi ini terkait dengan persoalan hukum yang ada di antara mereka.
Keberadaan dari Convention on Choice of Courts Agreements 2005 ini tidak
mencabut keberlakuan dari Convention on the Choice of Court tahun 1965.

Convention on Choice of Courts Agreements 2005 sampai pada saat ini belum
berlaku karena belum ada negara yang meratifikasi konvensi ini. Selain itu, Indonesia
tidak terikat dengan Convention on the Choice of Court tahun 1965 dan Convention
on Choice of Courts Agreement 2005 ini karena belum meratifikasinya.

4. Persoalan pendahuluan adalah suatu persoalan yang harus dipecahkan terlebih dahulu oleh
seorang hakim di suatu negara sebelum menyelesaikan suatu persoalan pokok (hauptfrage).
Persoalan pendahuluan sangat berpengaruh terhada hasil keputusan akhir persoalan pokok
yang akan dikeluarkan oleh hakim. Adapun aliran-aliran dalam teori persoalan pendahuluan
antara lain :

 Aliran Lex Causae


Aliran yang pertama ini mengajukan pendapat mereka bahwa hukum yang berlaku
untuk menyelesaikan persoalan pendahuluan (vorfrage) ini haruslah hukum yang
sama yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan pokok (hauptfrage). Aliran ini
memakai titik taut yang bergantung pada lex case, suatu afhankelijke aanknoping.
Aliran ini didukung oleh Melchior, Wolff. Robertson, dan lainnya, yaitu kelompok
pendukung dapat dinamakan sebagai les causards.

 Aliran Lex Fori

Aliran yang kedua ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku untuk
menyelesaikan persoalan pendahuluan (vorfrage) ini haruslah hukum sang hakim.
Pemakaian hukum sang hakim ini karena mendasarkan diri pada zelfstandige
aanknoping. Aliran ini didukung oleh Kegel, Raape, Rabel, dan lainnya, yaitu suatu
kelompok pendukung yang dapat dinamakan sebagai les foristes.

 Aliran Ketiga

Aliran yang ketiga ini mengajukan pendapat mereka dengan tidak secara apriori ke
salah satu aliran di atas, baik aliran lex causae maupun lex fori. Pemakaian hukum
yang berlaku bagi persoalan pendahuluan tergantung peristiwa yang dihadapi.
Setelah dianalisis peristiwa yang terjadi barulah kemudian ditentukan hukum yang
berlaku bagi persoalan pendahuluan (vorfrage). Pemilihan hukum yang berlaku
tergantung dari sumbernya atau kondisi suatu peristiwa. Dalam hal persoalan
pendahuluan (vorfrage) merupakan sumber, yang diperlakukan adalah lex causae.
Dalam hal persoalan pendahuluan (vorfrage) merupakan sumber, yang diperlakukan
adalah lex fori. Pendukung aliran ini dapat adalah Lemaire, Louis-Lucas, dan
Cheshire.

Menurut Prof. S. Gautama aliran yang sesuai untuk diaplikasikan di Indonesia adalah
aliran ketiga karena dalam menyelesaikan suatu sengketa harus diperhatikan
peristiwa dengan keadaan-keadaan khusus secara konkret. Namun terdapat
pembatasan yaitu dalam keadaan istimewa secara konkret dapat diadakan pilihan
yang berbeda. Beliau juga berpendapat bahwa persoalan pendahuluan merupakan
persoalan yang rumit dan konkret, tidak ada suatu penyelesaian mekanis dan
general yang dapat diberlakukan sama bagi keseluruhan persoalan pendahuluan
(vorfrage). Oleh karena itu, harus diperhatikan setiap peristiwa tertentu dan
keadaan-keadaan khusus secara konkret.

Anda mungkin juga menyukai