Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

PELAKSANAAN KONTRAK BAKU WARALABA DI INDONESIA


DITINJAU DARI PRINSIP-PRINSIP UNIDROIT DAN KUH PERDATA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.


Perkembangan awal hukum kontrak internasional yang dibentuk oleh para
pedagang, sudah barang tentu hanya berlaku untuk para pedangang sendiri, atau
yang sering dikenal dengan istilah lex Mercantoria. Sejarah menunjukan bahwa
lex mercantoria tumbuh subur diabad pertengahan (khususnya abad ke-18 dan 19)
di Eropa. Perkembangan ini dipicu oleh lahirnya revolusi industri di Eropa,
khususnya setelah teknologi mesin uap ditemukan, dimana teknologi ini telah
mengubah teknik-teknik produksi barang secara massal (industrialisasi).
Kelebihan produk ini mendorong produsen atau para pedagang untuk menjual
produknya melintasi batas negaranya. Perkembangan ini sudah barang tentu sulit
diterima oleh sistem hukum nasional dari suatu negara. Yang dimaksud dengan
hukum adalah aturan atau norma yang sifatnya mengikat dan dibentuk antara lain
oleh suatu lembaga resmi pemerintah agar hukum tersebut berlaku di suatu
wilayah (negara).1
Sifat pembentukan hukum lex mercantoria tidak memenuhi persyaratan
demikian. Oleh karena itulah pada abad ke-19 negara-negara mulai menyusun
hukum nasionalnya terkait dengan hukum kontrak, termasuk Belanda
merumuskan dan menetapkan Burgerlijkewetboek yang didalam buku III
mengatur tentang verbintenis. Kemudian berdasarkan asas konkordansi
diberlakukan di Indonesia, dan kemudian berdasarkan pasal II aturan peralihan
UUD 1945 sebelum amandemen diberlakukan di Indonesia sebagai Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang
internasional ini paling tidak disebabkan oleh adanya jasa teknologi sehingga
transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara
1
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 34

1
bukan lagi halangan dalam bertransaksi.2
Di era globalisasi sekarang ini interaksi antar pelaku usaha tidak hanya satu
negara tapi bisa juga dengan berbagai negara. pelaku usaha dari berbagai negara
jika mereka akan membuat suatu usaha harus diwujudkan melalui sebuah kontrak.
Kesepakatan Kontrak bisnis menjadi instrumen penting dalam dunia usaha. Oleh
karena itu untuk melaksanakan suatu proyek dibutuhkan investasi yang tinggi dan
harus mempunyai standar keselamatan yang tinggi pula, yang mana kesemua itu
diatur dalam suatu kontrak bisnis yang bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum bagi pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
Pentingnya kontrak bisnis terkait pula dengan aspek-aspek yang hendak
dicapai oleh pihak-pihak yang membuatnya. Mengingat pentingnya suatu kontrak
dalam suatu transaksi bisnis, maka dalam pembuatan kontrak diperlukan
persyaratan tertentu sehingga kontrak tersebut tetap sesuai dengan aturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam dunia bisnis, kontrak sangat diperlukan
dengan pertimbangan adanya hubungan saling menguntungkan. Hubungan saling
menguntungkan para pihak sebagai pelaku bisnis tentunyan harus didukung oleh
berbagai peraturan hukum sebagai landasan hukumnya dan berbagai jenis
kesepakatan-kesepakatan yang tertuang di dalam kontrak. Tidak ada aktivitas
bisnis yang terjadi dalam pertukaran kepentingan tanpa didasarkan atas perikatan
yang bersumber dari suatu kontrak.
Kewenangan dan kecakapan dalam membuat kontrak ada pada subjek hukum,
baik orang perseorangan (manusia pribadi) maupun badan hukum (yang diwakili
oleh pengurusnya). Kontrak dipahami dapat melindungi proses dan hubungan
hukum bisnis yang dilakukan oleh para pihak pelaku bisnis. Secara konkrit
kontrak merupakan refleksi dari kehendak para pihak yang bertujuan saling
menguntungkan berdasarkan asas-asas berkontrak sebagai konsep dasar dalam
setiap perjanjian. Perjanjian waralaba adalah salah satu bentuk kegiatan bisnis
yang berkembang di Indonesia berdasarkan asas kebebasan berkontrak, dimana
seseorang atau badan hukum diberikan hak untuk menggunakan merek dagang

2
Sarah S. Kuahaty, Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Perkembangan Hukum Kontrak Di
Indonesia, Jurnal Sasi Vol.20 No. 2 Bulan Juli – Desember 2014.

2
orang lain atau konsep bisnis tertentu yang operasinya dikendalikan oleh
persyaratan perjanjian waralaba.3
Khusus di Indonesia, waralaba ini sudah berkembang cukup pesat. Menurut
catatan Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) yaitu organisasi yang merupakan mitra
pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan dunia usaha waralaba, terdapat
lebih dari empat puluh pemberi waralaba asing di Indonesia, seperti produk Circle
K, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, Starbucks, J-co dounuts, dan lainnya.
Masyarakat Indonesia sepertinya cukup termotivasi melihat kesuksesan
perusahaan bersistem waralaba ini. Baru-baru ini pun sering diadakan pameran
waralaba lokal di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa perusahaan waralaba
yang sudah tidak asing di masyarakat juga ikut serta seperti Alfamart, Es Teler 77,
Martabak Sarang Semut, Kebab turki, Mulibu Photo Studio, LP31, Cipaganti
Travel, dan lainnya.
Perjanjian waralaba merupakan suatu perjanjian tidak bernama (inominaat)
sebagai akibat dari perkembangan hukum kontrak di luar KUHPerdata
memberikan warna tersendiri dalam praktik bisnis di Indonesia. Secara konseptual
perjanjian waralaba tidak terlepas dari asas-asas yang berlaku dalam hukum
kontrak, karena dasar timbulnya bisnis waralaba adalah kesepakatan yang diawali
dengan proses negosiasi diantara para pihak. Melalui negosiasi, para pihak
berupaya menciptakan sebuah kontrak yang saling menguntungkan dan tidak berat
sebelah. Sifat hukum kontrak tidak terlepas dari keberadaan asas kebebasan
membuat kontrak yang terkandung dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
merefleksikan kehormatan terhadap hak-hak asasi manusia dibidang harta
kekayaan. Perjanjian waralaba diharapkan dapat membangun hukum kontrak yang
ideal dan proporsional sesuai dengan kebutuhan para pihak.4
Untuk menjalankan bisnis dengan pola franchise ini, pengusaha yang
bersangkutan dapat melakukan penawaran atau negosiasi dengan pihak franchisor
dari bisnis yang bersangkutan. Transaksi bisnis yang terjadi antara pelaku bisnis
ini dituangkan dalam kontrak yang telah disepakati oleh para pihak dalam proses

3
Lina Maulidiana, Bisnis Waralaba Dalam Prospektif Hukum Kontrak, Pranata Hukum Volume 9
Nomor 1 Januari 2014.
4
Ibid.

3
negosiasi. Namun dalam praktik bisnis dengan pola franchise ini, biasanya
kontrak franchise telah disiapkan oleh pihak franchisor dan pihak franchisee
hanya menandatangani saja kontrak tersebut, jadi tidak ada kegiatan tawar
menawar dalam pembuatan kontrak. Hubungan hukum antara franchisor dan
franchisee ditandai dengan ketidakseimbangan kekuatan tawar menawar. Dalam
keadaan seperti itu kedudukan franchisee selalu di bawah franchisor.
Menurut Salim, perjanjian baku atau standar kontrak merupakan perjanjian
yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini
telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi
kuat terhadap pihak ekonomi lemah. Dalam keadaan seperti ini tentu saja
kebebasan franchisee dalam menentukan kontrak menjadi tertutup dan franchisee
berada pada posisi tawar yang lemah.5
Di Indonesia, ketentuan mengenai kontrak ini diatur dalam KUHPerdata.
Dalam perdagangan Internasional, khususnya tentang kontrak dagang
internasional telah berlaku ketentuan UNIDROIT (UNIDROIT Principle of
International Commercial Contract), yang dikenal dengan istilah Prinsip Kontrak
Komersial Internasional di Indonesia. UNIDROIT merupakan suatu bentuk
harmonisasi hukum kontrak komersial Internasional, hal ini karena di dalam
pedagangan internasional melibatkan berbagai macam sistem hukum yang ada di
dunia, antaranya civil law yang umumnya dianut oleh negara-negara Eropa
daratan termasuk Indonesia dan commom law yang dianut oleh negara-negara
Anglo Amerika, liberal dan sosialis.6
Tujuan dibuatnya prinsip-prinsip UNIDROIT adalah untuk menentukan aturan
umum bagi kontrak komersial Internasional. Prinsip ini berlaku apabila para pihak
telah sepakat bahwa kontrak mereka tunduk pada prinsip tersebut dan pada prinsip
hukum umum (general principles of law), lex marcatoria Prinsip UNIDROIT
memberikan solusi terhadap masalah yang timbul ketika terbukti bahwa tidak
mungkin untuk menggunakan sumber hukum yang relevan dengan hukum yang

5
Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007,
hlm.145
6
Susiana, Kontrak baku Franchise Ditinjau Dari Ketentuan Unidroit dan KUHPerdata, Kamus Jurnal
Ilmu Hukum No. 65 April 2015.

4
berlaku di suatu negara.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengetengahkan
PELAKSANAAN KONTRAK WARALABA DI INDONESIA
judul makalah “PELAKSANAAN
DITINJAU DARI PRINSIP-PRINSIP UNIDROIT DAN KUH PERDATA.
PERDATA.”

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dapat di kemukakan beberapa rumusan
masalah yaitu:
1. Bagaimana kontrak baku waralaba ditinjau dari prinsip-prinsip UNIDROIT
dan KUHPerdata ?
2. Bagaimana pelaksanaan kontrak waralaba dalam praktik bisnis di Indonesia ?

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. TINJAUAN UMUM WARALABA.


1. Pengertian dan Definisi Waralaba.
Istilah franchise dipakai sebagai padanan istilah bahasa Indonesia“waralaba”.
Waralaba terdiri atas kata “wara” dan “laba”. Wara artinya lebih atau istimewa,
sedangkan laba artinya untung. Jadi, menurut arti kata, waralaba dapat diartikan
sebagai usaha yang memberikan untung lebih atau laba istimewa. Istilah waralaba
diperkenankan pertama kali oleh lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen
dunia bisnis para pelaku bisnis di Indonesia lebih mengenal dan senang
menggunakan istilah aslinya franchise daripada waralaba. Kedua istilah tersebut
muncul dalam hukum bisnis di Indonesia.7
Franchise berasal dari bahasa Prancis, yaitu franchir yang mempunyai arti
memberi kebebasan kepada para pihak. Pengertian franchise dapat dilihat dari 2
(dua) aspek yaitu aspek yuridis dan bisnis.8

7
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm.
560-561.
8
Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,

5
Franchise adalah pemilik dari sebuah merek dagang, nama, dagang, sebuah
rahasia dagang, paten, atau produk yang memberikan lisensi ke pihak lain menjual
atau memberi pelayanan dari produk di bawah nama franchisor. Franchisee
biasanya membayar semacam fee terhadap aktivitas yang mereka lakukan.9
Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007 tentang
Waralaba, didefinisikan waralaba sebagai :
“Hak khusus yang dimiliki oleh orang perorangan atau badan usaha terhadap
sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau
jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan /atau digunakan oleh
pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.
British Franchise Association mendefinisikan franchise sebagai berikut : franchise
adalah contractual licence yang diberikan oleh suatu pihak (franchisor) kepada
pihak lain (franchisee) yang :10
1. Mengizinkan franchisee untuk menjalankan usaha selama periode franchise
berlangsung, suatu usaha tertentu yang menjadi milik franchisor.
2. Franchisor berhak untuk menjalankan kontrol yang berlanjut selama periode
franchise.
3. Mengharuskan franchisor untuk memberikan bantuan pada franchisee dalam
melaksanakan usahanya sesuai dengan subjek franchisenya (berhubungan
dengan pemberian pelatihan, merchandising, atau lainnya).
4. Mewajibkan franchisee untuk secara periodik franchise berlangsung,
membayar sejumlah uang sebagai pembayaran atas franchise atau produk atau
jasa yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee.
5. Bukan merupakan transaksi antara perusahaan induk (Holding Company)
dengan cabangnya atau antara cabang dan perushaan induk yang sama, atau
antara individu dengan perusahaan yang dikontrolnya.

2. Pengaturan Waralaba Di Indonesia.

hlm. 164.
9
Abdul R Saliman,, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenadamedia
Group, Jakarta, 2014, hlm. 58.
10
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 57-58.

6
Di Indonesia ada beberapa peraturan yang mengatur mengenai waralaba,
antara lain :
a) Tonggak kepastian hukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada
tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP)
RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 tahun 1997 tentang
waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007 tentang
Waralaba. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara
Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
b) Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba
c) Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
d) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
e) Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
Sebagai bahan perbandingan pengaturan mengenai waralaba di beberpa negara di
dunia, antara lain:11
1. Amerika Serikat.
Pengaturan Waralaba di Amerika Serikat, The US Federal Trade Commission
(FTC) memberlakukan the trade regulations rule relating disclosure Requirements
and Prohibitions, concercing franchising franchising and business opportunity
ventures. Peraturan FTC tidak mensyaratkan pendaftaran atau pengarsipan
dokumen pengungkapan semacam propektus.
Peraturan ini tidak mengandung sanksi apabila ternyata didapati bahwa suatu
informasi terbukti berisiskan informsi yang tidak benar. Peraturan ini berisikan 8
pasal yang terdiri dari introductions, business covered by the rule, the disclosure
document, earnings claims, acts or practices which violate the rule, state
franchise laws, the uniforms franchise offering circular, relevant legal citations.
2. Inggris.
Inggris merupakan Negara yang termasuk menganut asas common law. Di
Inggris suatu hubungan yang diatur berdasarkan kebiasaan. Sejak Inggris

11
www.repo.lain-tulungagung.ac.id yang diakses pada tanggal 10 Desember 2020.

7
bergabung dengan common market maka franchisor di Inggris yang ingin
mengadakan perjanjian tunduk pada pengaturan hukum yang berbeda yakni
antara hukum Inggris sendiri dan hukum dari European Community (Masyarakat
Eropa- yang selanjutnya disebut EC). Berdasarkan Government‟s white paper
Cmnd 727 ( Juli 1989) dinyatakan bahwa yang berlaku adalah hukum EC. Hukum
EC khusus untuk franchise regulation 4087/ 88 OJ L35, p 46, 28 December 1988.
Selain itu Negara-negara di Eropa diantaranya inggris mengadopsi pula European
Code of Ethics for franchising sebagai kode etik yang berlaku untuk hubungan
antara franchisor dan franchisee di Inggris.
Kode ini memang bukan merupakan aturan hukum yang mengikat akan tetapi
dalam praktek sehari-hari, etik ini secara efektif ditaati oleh masyarakat Negara
yang tergabung dalam masyarakat Eropa sebagai suatu tata susila yang mengikat
mereka dalam hubungan antara franchisor dan franchisee. European Code of
Ethics for franchising terdiri dari definisi franchise, pedoman umum yang
berisikan mengenai kewajiban bagi franchisor, kewajiban bagi franchisee,
kewajiban kedua belah pihak, cara rekuitmen franchisee, iklan dan dokumen
pengungkapan, seleksi individual franchisee, serta perjanjian franchise dan
diakhiri dengan pengaturan kode etik dan sistem master franchise.
3. Austria
Sampai saat ini Austria tidak memiliki ketentuan hukum dasar mengenai franchise,
akan tetapi pada tahun 1990 AFA memberlakukan the European Rules of Conduct
sebagai pola pengaturan yang wajib diterapkan bagi seluruh anggotanya.
4. Australia
Trade practices (Industry Codes-Franchising) Regulations 1998- Statutory Rules
1998 Nomor 162 as amended made under the Trade Practices Act 1974. Peraturan
ini pada dasarnya merupakan franchising code of conduct (kode etik franchise).
5. Brazil
Brazilian franchising Association (ABF) menyatakan bahwa di brazil terdapat
pengaturan hukum khusus mengenai franchise. Pengaturan tersebut diatur dalam
law 8955. Pengaturan hukum tersebut terdapat dari 11 pasal dimana didalamnya
mengatur definisi franchise dan sebagian besar mengatur mengenai isi serta

8
pelaksanaan dari circular letter of offer.
6. Argentina
Asociacion Argentina De Franchising memberikan informasi bahwa sampai saat
ini di Argentina belum terdapat pengaturan hukum mengenai franchising secara
khusus. Hubungan antara franchisor dan franchisee yang ada hanya diatur
berdasarkan perjanjian franchise yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jadi
pengaturannya masih terletak dalam pengaturan umum dibidang hukum yang
mengatur mengenai hukum perdata.
7. Hongkong
Hingga saat ini di hongkong belum terdapat pengaturan hukum yang mengatur
mengenai franchise. Pengaturan hukum yang relevan dengan franchise adalah
pengaturan hukum mengenai pendaftaran dan lisensi dari merek dagang serta
hukum kontrak. Sejak 1 juli 1987 hukum yang berlaku di Hongkong adalah basic
law. Hukum lain yang mengatur franchise di Hongkong dikaitkan dengan
pengaturan dibidang lisensi dan proteksi hak milik Intelektual yakni the trade
marks (Caps. 43), Trade Discriptions Ordinance (Cap. 362), Copyrighta
Ordinance (1997), Registered Designs Ordinance and Patents Ordinance (1997)

B. PRINSIP KONTRAK DALAM UNIDROIT DAN KUHPERDATA


1. Prinsip kontrak dalam UNIDROIT
Terkait dengan prinsip-prinsip kontrak, dalam pembukaan UNIDROIT
PRINCIPLE (UP) dinyatakan bahwa:
a) UP dirancang sebagai sekumpulan asas-asas dan aturan-aturan umum untuk
kontrak-kontrak perdagangan internasional;
b) UP akan berlaku apabila pihak-pihak telah bersepakat bahwa kontrak akan
diatur berdasarkan UP, baik seluruhnya maupaun sebagian, akan mengikat
para pihak apabila mereka dengan tegas melakukan pilihan hukum UP untuk
mengatur kontrak mereka;
c) UP dapat diterapkan bila para pihak telah sepakat bahwa kontrak mereka akan
ditundukkan pada prinsip-prinsip hukum umum atau lex mercatoria.
Berikut ini akan diuraikan beberapa prinsip kontrak perdagangan Internasional

9
di dalam UNIDROIT 2004, yaitu:
a) Prinsip kebebasan berkontrak
Dalam Article 1 ayat (1) UP disebutkan bahwa: “ The Parties are free to enter
into a contract and to determine its content ” Seperti umumnya kaidah-kaidah
hukum perjanjian di berbagai sistem hukum di dunia, UP juga bertitik tolak dari
kebebasan para pihak untuk membuat kontrak, sebagi asas pokok yang mendasari
keseluruhan struktur hukum perjanjian. Namun dalam menafsirkan pengertian
kebebasan berkontrak dalam konteks kontrak-kontrak perdagangan internasional,
ada beberapa aspek yang perlu disadari yaitu:12
1. Kebebasan berkontrak sebagai basic principle dalam perdagangan
Internasional. UP mengganggap asas ini sebagai asas terpenting dalam
perdagangan internasional dan mengimplikasikan pengakuan atas hak para
pelaku bisnis internasional untuk memutuskan secara bebas mengenai:
kepada siapa mereka akan menawarkan barang atau jasa mereka; dari
siapa mereka hendak memperoleh pemasokan barang dan atau jasa; dan
persyaratan-persyaratan apa yang diberlakukan untuk setiap transaksi yang
dibuatnya.
2. Penerapan asas kebebasan berkontrak dalam sektor-sektor perdagangan
yang dikecualikan dari persaingan pasar. Mislanya dalam regulasi nasional
ditetapkan kebijaksanaan bahwa untuk meningkatkan daya saing
perusahaan-perusahaan asuransi nasional domestik, maka setiap kegiatan
asuransi dalam kegiatan ekspor impor harus menggunakan perusahaan
asuransi nasional/domestik. Jadi ketentuan ini membatasi kebebasan para
pihak.
3. Pembatasan terhadap kebebasan para pihak melalui pemberlakuan
aturan-aturan hukum yang memaksa. Prinsip ini dapat dilihat dari article
1.4. Article 1.4 UP tentang kaidah-kaidah hukum memaksa, menentukan:
“nothing in these principle shall restrict the application of mandatory rules
whether of nationalor supranational origin, which are applicable in

12
Bayu Seto Hardjowahono, Kontrak-Kontrak Bisnis Internasional & UNIDROIT Principle Of
International Comercial Contracts, Bahan Perkuliahan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan,
2006, hlm.19.

10
accordance with the relevant rules of private internasional law”
Dari pasal di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah-kaidah hukum memaksa
harus diberlakukan. Dalam penentuan kaidah-kaidah memaksa mana yang harus
diberlakukan, UP menetapkan bahwa hal itu harus dilakukan mel alui penggunaan
aturan-aturan hukum perdata internasional yang relevan. Seorang perancang
kontrak bisnis diharapkan selalu memperhatikan kaidah-kaidah hukum memaksa
dari semua negara yang sistem hukumnya terlibat dalam kontrak dan sejauh
mungkin mencegah pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum memaksa pada saat
negosiasi dan perancangan kontrak.
Ada beberapa prinsip dalam UP yang bersifat memaksa, yaitu:
1. Tentang itikad baik dan kewajaran/kejujuran dalam transaksi (article 1.7 UP);
2. Ketentuan-ketentuan di dalam chapter 3 UP, khususnya tentang substantive
validity, sejauh mengenai keabsahan kontrak ditinjau dari ada atau tidaknya
kekeliruan (mistake) dan initial impossibility;
3. Tentang penentuan harga (Article 5.1.7 butir 2)
4. Tentang pembayaran sejumlah uang untuk tidak dilaksanakannya perjanjian
( Article 7.4.13 butir 2)
5. Tentang tenggang waktu daluarsa (Article 10.3 butir 2)
6. Tentang perilaku yang inkosisten ( Article 1.8)
7. Klausula pembebasan diri dari tanggung jawab (Article 7.1.6)
Prinsip UNIDROIT bertujuan untuk mengharmonisasikan hukum kontrak
komersial di negara-negara yang mau menerapkannya, sehingga materinya
difokuskan pada persoalan yang dianggap netral. Dengan demikian ruang lingkup
yang diatur oleh prinsip UNIDROIT adalah kebebasan berkontrak. Dasar
pemikirannya adalah bahwa apabila kebebasan berkontrak ini tidak diatur maka
dapat terjadi distorsi, tetapi sebaliknya apabila pengaturannya terlalu ketat maka
akan hilanglah makna dari kebebasan berkontrak itu sendiri. Oleh karena itu
UNIDROIT berusaha untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang
diharapkan dapat memberikan solusi persoalan perbedaan sistem hukum dan
kepentingan ekonomi lainnya.13

13
Taryana Soenandar, Tinjauan Atas Beberapa Aspek Hukum dari Prinsip-Prinsip UNIDROIT dan CISG

11
b) Prinsip itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing)
Dalam Article 1.7 UP ditentukan bahwa :
(1) Each party must act in accordance with good faith ad fair dealing in
international trade.
(2) The parties may not exclude or limit this duty Landasan utama dari setiap
transaksi komersial adalah prinsip itikad baik dan transaksi jujur. Setiap
pihak wajib menjunjung tinggi prinsip itikad baik dan transaksi jujur
dalam keseluruhan proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai pada
berakhirnya kontrak.14 Penggunaan asas good faith dan fair dealing dalam
perdagangan internasional dalam konteks UP sebaiknya tidak dikaitkan
dengan ukuran/standar yang biasanya digunakan dalam sistem hukum
domestik/nasional. Di samping itu asas tersebut harus digunakan dengan
memperhatikan kondisi-kondisi khusus dalam perdagangan internasional,
dan standar yang digunakan dalam praktek bisnis di satu sektor sangat
mungkin berbeda dengan standar yang digunakan dalam sektor lain.15
c) Prinsip diakuinya kebiasaan dan praktik yang dibentuk para pihak.
Prinsip ini terdapat dalam Article 1.9 UP, yaitu:
(1) The parties are bound by any usage to which they have agreed and by any
practices which they have established between themselves
(2) The parties are bound by a usage that is widely known to and regularly
observed in international trade by parties in the parti cular trade concerned
except where the application of such usage would be unreasonable.
Article 1.9 UP pada dasarnya menetapkan bahwa, para pihak dengan
sendirinya tetap terikat dengan kebiasaan dan praktek perdagangan yang ada,
walaupun mereka sepakat untuk menundukkan kontrak mereka pada UP. Dalam
ayat 1 ditetapkan bahwa mereka terikat pada kebiasaan yang disepakati oleh para
pihak sendiri serta pada pola perilaku yang telah dibentuk di antara mereka sendiri
untuk melaksanakan kontrak. Dan pada ayat 2 ditentukan bahwa para pihak terikat
pada kebiasaan-kebiasaan yang umum dikenal pihak-pihak dalam perdagangan

dalam Buku Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.159.
14
Ibid, hlm.168.
15
Bayu Seto Hardjowahono, Op,Cit, hlm. 30.

12
yang sama dengan transaksi dan kontrak yang diadakan oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, artinya tidak perlu disepakati dengan tegas.
d) Prinsip kesepakatan melalui penawaran (offer) dan penerimaan
(acceptance).
Article 2.1.1 UP menetapkan: “A contract may be concluded either by the
acceptance of and offer or by conduct of the parties that is sufficient to show
agreement ”. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut
UP suatu kontrak terbentuk karena adanya penerimaan dan atas penawaran atau
karena adanya tindak tanduk para pihak yang dianggap cukup membuktikan
adanya kesepakatan di antara mereka. Pada prinsipnya kata sepakat dicapai
melalui penawaran dan penerimaan, intinya adalah persetujuan terjadi karena
penawaran dan penerimaan serta perilaku yang menunjukkan adanya persetujuan
untuk terikat kontrak.
e) Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk
Mengenai hal ini diatur di dalam Article 2.1.15 ayat (1) dan ayat (2) UP.
Prinsip hukum yang berlaku bagi proses negosiasi adalah: kebebasan negosiasi,
tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk dan tanggung jawab atas
pembatalan negosiasi dengan itikad buruk. Tanggung jawab atas negosiasi dengan
itikad buruk terbatas hanya pada kerugian yang diakibatknnya terhadap pihak lain.
Pihak yang dirugikan dapat meminta pengembalian biaya yang telah dikeluarkan
ketika negosiasi dan ganti rugi atas kehilangan kesempatan untuk melakukan
kontrak dengan orang ketiga (prinsip ini disebut bungan kepercayaan atau bunga
negatif). Akan tetapi, tidak ada kewajiban mengganti keuntungan yang
seyogiyanya diperoleh dari kontrak yang batal dibuat.16
f) Prinsip kewajiban menjaga kerahasiaan
Pada prinsipnya dalam suatu kontrak ada hal-hal bersifat rahasia yang harus
dijaga oleh para pihak agar tidak dimanfaatkan untuk merugikan pihak lain, hal ini
diatur di dalam Article 2.1. 6 UP, yaitu: “Where information is given as
confidential by one party in the course of negotiations, the other party is under a
duty not to disclose that information or use it improperly for its own purposes,

16
Taryana Soenandar, Op.Cit, hlm. 54.

13
whether or not a contract subsequently concluded. Where appropriate, the remedy
for breach of that duty may include compensation based on the benefit received by
the other party”. Para pihak pada dasarnya tidak wajib menjaga rahasia. Akan
tetapi, ada informasi yang memiliki sifat rahasia sehingga perlu dirahasiakan dan
dimungkinkan adanya kerugian yang harus dipulihkan. Apabila tidak ada
kewajiban yang disepakati, para pihak dalam negosiasi pada dasarnya tidak wajib
untuk memberlakukan bahwa informasi yang mereka pertukarkan sebagai hal
yang rahasia.17
g) Prinsip perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku
Article 2.1.19 sampai dengan Article 2.1.22 memuat ketentuan syarat-syarat
baku. Article 2.1.19 UP menetapkan :
(1) Where one party or both parties use standard terms in concluding a
contract, the general rules on formation apply, subject to articles
2.1.20-2.1.22.
(2) Standard terms are provisions which are prepared in advance for general
and repeated use by one party and actually used without negotiations with
the other party.
Berdasarkan article 2.1.19 ayat 2, standard term atau persyaratan standar
adalah persyaratan-persyaratan dalam kontrak yang telah dipersiapkan terlebih
dahulu oleh salah satu pihak untuk penggunan secara umum/missal dan berulang
kali, dan dalam kenyataannya digunakan tanpa perundingan dengan pihak yang
lain. Pada umumnya ketentuan-ketentuan umum UP tentang pembentukan kontrak
berlaku pula terhadap kontrak-kontrak standar.
Artinya persyaratan standar yang ditawarkan oleh salah satu pihak akan mengikat
pihak yang lain melalui acceptance.
Berdasarkan Article 2.1.20 ayat (1) dan (2) UP dapat disimpulkan bahwa pada
prinsipnya pihak yang menerima persyaratan standar yang dibuat oleh pihak lain,
akan terikat oleh persyaratan itu tanpa memperhatikan apakah ia
mengetahui/memahami atau tidak akibat dari pemberlakuan persyaratan itu.
Terlepas dari penerimaan pihak itu terhadap seluruh persyaratan standar yang

17
Ibid, hlm. 56.

14
diajukan oleh pihak yang lain, pihak itu tidak terikat oleh persyaratan-persyaratan
tertentu yang karena isi, bahasa, atau cara perumusannya bersifat sedemikian rupa
sehingga ia tidak mungkin telah menduga adanya persyaratan semacam itu.
Dalam Article 2.1.21 UP ditentukan bahwa apabila terjadi perselisihan antara
persyaratan standar dengan persyaratan bukan standar (persyaratan yang
disepakati oleh para pihak melalui negosiasi di antara para pihak) maka ketentuan
yang bukan standar yang berlaku. Selanjutnya, Article 2.1.22 UP menetapkan
bahwa dalam hal para pihak mencapai kesepakatan mengenai persyaratan
perjanjian, kecuali mengenai persyaratan-persyaratan standar yang saling berbeda,
maka kontrak dianggap tetap terbentuk atas dasar persyaratan yang disepakati dan
persyaratan standar yang isinya sama.
h) Prinsip syarat sahnya kontrak
Bab 3 UP memuat asas-asas yang berkaitan dengn kontrak. Berbeda dari
sistem yang dikenal di dalam Buku III KUHPerdata, yang dimaksud dengan
validity di dalam UP hanyalah keabsahan kontrak ditinjau dari proses
pembentukan kesepakatan (agreement) di antara para pihak. KUHPerdata
menetapkan sahnya sebuah kontrak ditentukan oleh adanya kesepakatan di antara
para pihak, persyaratan tentang kapasitas hukum pihak-pihak, adanya hal tertentu
dan causa yang halal. Sedangkan UP bertitik tolak dari asumsi bahwa kesepakatan
sudah terbentuk , hanya saj dalam situasi tertentu menyebabkan cacadnya
kesepakatan itu, misalnya adanya kekeliruan, paksaan, penipuan yang juga diatur
dalam KUHPerdata.18
Article 3.1 menyatakan bahwa prinsip UNIDROIT tidak mengatur mengenai
tidak sahnya kontrak (invalidity) yang timbul dari tidak memiliki kemampuan
hukum (legal capacity maupun legal authority) dari pihak-pihak pembuat kontrak,
karena kontrak dianggap bertentangan dengan kesusilaan (immorality) atau
bertentangan dengan undang-undang dan sifat melawan hukum. Dari article 3.1
dapat diswsimpulkan secara tersirat bahwa persoalan-persoalan yang menyangkut
kemampuan/kewenangan hukum para pihak serta moralitas dan legalitas sebuah
kontrak yang ditundukkan pada UP pun harus diatur oleh kaidah-kaidah hukum

18
Bayu Seto Hardjowahono, Op.Cit, hlm. 66.

15
nasional yang ditetapkan melalui pendekatan hukum perdata hukum
internasional.19
i) Prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar
Dalam Article 3.10 ayat (1) UP menyebutkan pada dasarnya salah satu pihak
dapat menolak suatu kontrak atau salah satu persyaratan di dalamnya pada saat
kontrak terbentuk, bila tanpa ada pembenaran yang sah kontrak atau persyaratan
itu memberikan keunggulan kedudukan yang berlebihan (excessive advantage)
kepada pihak yang lain. Pengertian excessive advantage ini harus sudah ada pada
saat kontrak terbentuk.
Dalam menetapkan ada tidaknya excessive advantage, ada beberapa factor
yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Adanya kenyataan bahwa pihak yang lain itu telah mengambil manfaat
secara tidak adil (unfair advantage) dari ketergantungan, keterdesakan
ekonomis atau kebutuhan yang mendesak dari pihak yang pertama, atau
dari keterbelakangan, ketidaktahuan, tidak adanya pengalaman atau tidak
adanya kemampuan berunding/tawar -menawar dari pihak yang pertama.
2. Hakekat dan tujuan kontrak.
3. Faktor-faktor lain yang masuk dalam etika bisnis yang berlaku dalam
suatu bidang bisnis tertentu.
Selanjutnya Article 3.10 ayat (2) membuka kemungkinan bagi pihak yang
berhak untuk menolak pelaksanaan kontrak karena alasan adanya ancaman, dapat
mengajukan permohonan ke pengadilan agar kontrak atau pasal tertentu dari
kontrak disesuaikan sehingga sesuai dengan standar berkontrak yang wajar dan
adil. Jadi pengadilan dapat memerintahkan penyesuaian kontrak atau persyaratan
di dalamnya pada standard perdagangan yang wajar dan fair.20
j) Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku
Diatur di dalam Article 4.6 UP ynag menyebutkan bahwa: “If contract terms
supplied by one party are unclear, an interpretation against that party is preferred” .
Berdasarkan asas ini, apabila persyaratan suatu kontrak yang diajukan oleh salah

19
Ibid, hlm. 67.
20
Ibid, hlm. 77

16
satu pihak dianggap kurang jelas maka penafsiran yang berlawanan dengan pihak
tersebut harus didahulukan. Namun penerapan asas ini harus dilakukan secara
kasuistis, dengan berpedoman bahwa semakin kecil kemungkinan bagi para pihak
untuk menegosiasikan arti dan makna dari suatu pasal standard, maka semakin
kuat alas an pembenar untuk menafsirkan pasal itu dengan cara yang bertentangan
dengan maksud pihak pembuatnya.

2. Prinsip Kontrak Dalam KUHperdata.


Di dalam KUHPerdata syarat sahnya perjanjian (kontrak) diatur di dalam Buku
III. Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan, “untuk sahnya persetujuan
-persetujuan diperlukan empat syarat :
a) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
b) cakap untuk membuat suatu perikatan,
c) suatu hal tertentu,
d) suatu sebab yang halal.
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat
tersebut mengenai subjek perjanjian, apabila syarat ini tidak terpenuhi perjanjian
dapat dimintakan pembatalan. Sedangkan kedua syarat terakhir dinamakan syarat
objektif, karena mengenai objek dari perjanjian, bila syarat ini tidak terpenuhi
maka perjanjian batal demi hukum yang dapat dianggap bahwa perjanjian ini tidak
pernah ada.
Dilihat dari syarat sahnya perjanjian ini, Asser membedakan bagian perjanjian,
yaitu bagian inti (wezenlijk oordeel) dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk
oordeel). Bagian inti disebutkan esensialia, bagian non inti terdiri dari naturalia
dan eksidentialia.21 Esensialia, bagian ini merupakan sifat yang harus ada di
dalam perjanjian, sifat yang menetukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta
(constructieve oordeel). Seperti persetujuan antara para pihak dan objek perjanjian.
Naturalia: bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara
diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dalam benda

21
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan, PT. Alumni,
Bandung, 1996, hlm. 99.

17
yang dijual (vrijwaring). Aksidentialia: bagian ini merupakan sifat yang melekat
pada perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti
ketentuan mengenai domisili para pihak.
Cakap menurut KUHPerdata adalah cakap unt uk membuat perjanjian, kecuali
undang-undang menyatakan bahwa orang tersebut tidak cakap, seperti
orang-orang yang belum dewasa dan orang yang berada di bawah pengampuan.
Undang-undang juga menentukan bahwa benda-benda yang dipergunakan untuk
kepentingan umum tidak dapat dijadikan objek dari perjanjian.
Syarat Sahnya suatu perjanjian yang lain adalah adanya kausa yang halal.
Undang-undang tidak memberikan pengertian kausa. Yang dimaksud dengan
kausa bukan hubungan sebab akibat, tetapi isi atau maksud dari perjanjian.
Melalui syarat ini, di dalam praktik maka hakim dapat mengawasi perjanjian
tersebut. Hakim dapat menilai apakah perjanjian ini tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.22
Asas pacta sunt survanda juga dianut di dalam KUHPerdata yaitu dalam Pasal
1338 ayat (1), “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Munir Fuady mengatakan
bahwa, suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak
tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah ini terkenal “my word is
my bonds”. Apabila suatu pihak dalam kontrak tidak menuruti kontrak yang telah
dibuatnya, oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksanaan kontrak
secara paksa.23
Pasal 1338 ayat (2) menyatakan “suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.” Di sini dapat diartikan bahwa para
pihak tidak dapat membatalkan kontrak secara sepihak, kontrak yang telah dibuat
dapat dibatalkan jika para pihak setuju untuk itu atau ada alasan dari
undang-undang bahwa kontrak yang telah dibuat tersebut dapat dibatalkan.
Pasal 1338 ayat (3) menyatakan “suatu perjanjian dilaksanakan dengan itikad

22
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Penerbit Alumni., Bandung, 1994, hlm. 26.
23
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm 12.

18
baik”. KUHPerdata mengatur suatu kontrak harus dilaksanakan dengan adanya
itikad baik dari para pihak dan tidak dibenarkan mengadakan kontrak dengan
itikad buruk sehingga menyebabkan kerugian bagi salah satu pihak.
Di dalam KUHPerdata juga mengenal prinsip atau asas kebiasaan. Hal ini
diatur di dalam Pasal 1339 dan Pasal 1337 KUHPerdata. Secara garis besar kedua
pasal ini mengatur bahwa kontrak yang dibuat tidak hanya mengikat para pihak
dari segi isinya saja, akan tetapi kebiasaan yang berlaku baik tempat diadakan
kontrak atau tempat kontrak dilaksanakan juga harus diperhatikan.

BAB III
ANALISIS

A. Kontrak baku Waralaba Ditinjau dari prinsip-prinsip UNIDROIT dan


KUHPerdata.
Dalam era globalisasi seperti dewasa ini, transaksi bisnis tidak hanya
dilakukan antar sesama pelaku bisnis yang berasal dari satu negara, namun
transaksi bisnis dapat terjadi antara pelaku bisnis yang berasal dari negara berbeda.
Transaksi bisnis dengan melewati batas negara atau transaksi bisnis Internasional
ini dilakukan oleh para pelaku bisnis berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang
dikenal oleh semua negara di dunia. Transaksi bisnis Internasional yang dilakukan
oleh pelaku-pelaku bisnis ini dituangkan dalam sebuah kontrak bisnis.
Kontrak bisnis internasional adalah kontrak yang dibentuk oleh dua atau lebih
pihak yang melakukan traksaksi lintas batas negara, yang berkebangsaan berbeda.
Jadi, karakteristik utama kontrak dagang Internasional adalah terdapatnya unsur
asing di dalam kontrak yang dibentuk. Prinsip hukum yang memberi peluang
untuk berkembangnya bentuk-bentuk kontrak tersebut adalah prinsip kebebasan
para pihak untuk berkontrak (party autonomy). Dengan prinsip inilah hukum
kontrak Internasional berkembang dengan pesat, dan memberi peluang kepada
para pihak untuk secara kreatif menemukan bentuk-bentuk kontrak dengan

19
berbagai variannya.24
Salah satu kontrak bisnis internasional yang marak digunakan dewasa ini
adalah kontak waralaba. Bentuk kontrak ini adalah bentuk yang relatif baru.
Bentuk ini adalah suatu mekanisme transaksi bisnis yang diciptakan oleh para
pedagang untuk memasarkan produknya tanpa harus mengeluarkan modal. Oleh
karena melibatkan pihak-pihak dari negara berbeda, dan tentunya mempunyai
hukum yang berbeda maka sangat diperlukan suatu pengaturan kontrak yang baik
yang dapat mengantisipasi apabila timbul sengketa di kemudian hari.
Waralaba merupakan salah satu pola bisnis yang sangat digemari oleh para
pelaku usaha, karena dengan bisnis ini pelaku usaha tidak perlu lagi
memperkenalkan atau mempromosikan bisnis yang dijalankannya. Pelaku bisnis
yang ingin melakukan usaha yang sudah dirintis pihak lain (tentu saja bisnis yang
sudah terkenal, misalnya KFC yang sudah terkenal di seluruh dunia) tidak perlu
lagi mengeluarkan biaya yang besar untuk merintis usaha. Hal ini disebabkan
antara lain, karena produk-produk atau jasa-jasa yang dimiliki oleh franchisor
telah terbukti kualitasnya, dikenal dan memiliki pangsa pasar yang jelas. Dengan
demikian pelaku bisnis yang menggunakan metode franchise ini dapat
mengurangi risiko usaha. Selain itu bisnis dengan pola franchise ini juga
mempunyai keuntungan memperoleh bantuan manajemen dan pelatihan-pelatihan
yang dilakukan oleh tenaga-tenaga ahli dari franchisor. Pola bisnis franchise ini
dapat berupa hak menjual produk dari franchisor atau hak untuk menjual produk
dan menggunakan merek yang dimiliki franchisor, menggunakan suatu sistem
operasi yang lengkap, seperti pemasaran, periklanan, strategi perencanaan,
pelatihan, standar operasi, dan pedoman pengendalian mutu. Pola ini merupakan
pola yang paling sering digunakan dalam transaksi bisnis internasional.
Apabila dilihat dari prinsip perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku
sebagaimana diatur dalam Article 2.1.19 sampai dengan Article 2.1.22 UP maka
pada dasarnya persyaratan standar yang ditawarkan oleh salah satu pihak akan
mengi kat pihak yang lain melalui acceptance. Berdasarkan Article 2.1.20 ayat (1)
dan (2) UP dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya pihak yang menerima

24
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm.105.

20
persyaratan standar yang dibuat oleh pihak lain, akan terikat oleh persyaratan itu
tanpa memperhatikan apakah ia mengetahui/memahami atau tidak akibat dari
pemberlakuan persyaratan itu. Terlepas dari penerimaan pihak itu terhadap seluruh
persyaratan standar yang diajukan oleh pihak yang lain, pihak itu tidak terikat oleh
persyaratan-persyaratan tertentu yang karena isi, bahasa, atau cara perumusannya
bersifat sedemikian rupa sehingga ia tidak mungkin telah menduga adanya
persyaratan semacam itu.
Dalam Article 2.1.21 UP ditentukan bahwa apabila terjadi perselisihan antara
persyaratan standar dengan persyaratan bukan standar (persyaratan yang
disepakati oleh para pihak melalui negosiasi di antara para pihak) maka
ketentuan yang bukan standar yang berlaku. Selanjutnya, Article 2.1.22 UP
menetapkan bahwa dalam hal para pihak mencapai kesepakatan mengenai
persyaratan perjanjian, kecuali mengenai persyaratan-persyaratan standar yang
saling berbeda, maka kontrak dianggap tetap terbentuk atas dasar persyaratan
yang disepakati dan persyaratan standar yang isinya sama.
Jadi penggunaan kontrak standar franchise sama sekali tidak bertentangan
dengan prinsip UNIDROIT, namun UP memberikan perlindungan bagi pihak yang
lemah dalam pemberlakuan syarat standar yang dibuat oleh franchisor tersebut
tidak boleh merugikan pihak franchisee di mana syarat standar yang dibuat
haruslah bersifat wajar, yang dapat diterima oleh orang pada umumnya. Kemudian
apabila dilihat dari klausul dalam kontrak franchise yang menetapkan kewajiban
menjaga kerahasian, misalnya tentang rahasia dagang yang dilisensikan kepada
franchisee, di dalam UP ditentukan bahwa pada prinsipnya dalam suatu kontrak
ada hal-hal bersifat rahasia yang harus dijaga oleh para pihak agar tidak
dimanfaatkan untuk merugikan pihak lain, hal ini diatur di dalam Article 2.1. 6 UP,
yaitu: “ Where information is given as confidential by one party in the course of
negotiations, the other party is under a duty not to disclose that information or use
it improperly for its own purposes, whether or not a contract subsequently
concluded. Where appropriate, the remedy for breach of that duty may include
compensation based on the benefit received by the other party”.
Para pihak pada dasarnya tidak wajib menjaga rahasia. Akan tetapi, ada

21
informasi yang memiliki sifat rahasia sehingga perlu dirahasiakan dan
dimungkinkan adanya kerugian yang harus dipulihkan. Apabila tidak ada
kewajiban yang disepakati, para pihak dalam negosiasi pada dasarnya tidak wajib
untuk memberlakukan bahwa informasi yang mereka pertukarkan sebagai hal
yang rahasia. Ditinjau dari KUHPerdata, syarat sahnya suatu perjanjian standar
adalah sama halnya dengan syarat sahnya perjanjian pada umumnya, yaitu
sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat sebagai berikut:
a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, secara formil suatu
pernyataan kesepakatan para pihak dalam suatu perjanjian tertulis cukup
dengan pembubuhan tanda tangan pada perjanjian tersebut.
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, kecakapan para pihak dalam
membuat suatu perikatan pada dasarnya adalah sebagaimana bunyi Pasal 1330
KUHPerdata, yaitu sudah dewasa (jo. Pasal 330 KUHPerdata, umur 21 tahun
ke atas), dan tidak sedang berada di bawah pengampuan (jo. Pasal 433
KUHPerdata). Namun selain itu juga memerlukan ketentuan-ketentuan
tertentu yaitu mengenai orang yang berhak atau memiliki kapasitas untuk
membuat perjanjian. Misalnya suatu Perseroan Terbatas, maka pihak yang
memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian adalah Direksi dari Perseroan
Terbatas sebagaimana diatur dalam UUPT.
c) Suatu hal tertentu, artinya suatu perikatan harus mempunyai suatu objek
tertentu.
d) Suatu sebab yang halal.
Apabila suatu perjanjian standar telah dibuat dengan memenuhi syarat-syarat
sahnya perjanjian, maka berlaku ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi pihak yang membuatnya dengan disertai konsekuensi pada
ayat (2) yang menyatakan bahwa suatu persetujuan tidak dapat ditarik kembali
selain melalui kesepakatan atau oleh undang-undang. Lebih lanjut pada ayat (3)
menekankan bahwa pelaksanaan perjanjian harus dengan itikad baik.
Menurut KUHPerdata, suatu perjanjian standar adalah sah sepanjang secara

22
formil dan materiil ter penuhi ketentuan pasal 1320 KUHPerdata. Artinya kontrak
franchise yang dibuat dalam bentuk standar berlaku bagi para pihak setelah
kontrak ditandatangani, hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak di mana
para pihak bebas untuk menerima atau tidak menerima persyaratan kontrak
tersebut dan menandatanganinya.

B. Pelaksanaan Kontrak Waralaba Dalam Praktik Bisnis Di Indonesia.


Waralaba yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Franchise telah menjadi
istilah yang cukup dikenal dewasa ini ditengah-tengah masyarakat, khususnya
pelaku usaha.Mengingat waralaba merupakan pola pengembangan usahayang
cukup menarik dan banyak dilakukan. Berbagai bentuk usaha yang telah
mempunyai brand image atau terkenaldi masyarakat kemudian diwaralabakan.
Gerai-gerai waralaba sangat mudah ditemukan terutama di kawasan perkotaan
sampai pedesaan, dewasa ini begitu mudah kita menemukan jaringan waralaba
minimarket maupun waralaba makanan cepat saji, baikwaralaba asing maupun
lokal, semuanya berkompentisi merebut pangsa pasar masing-masing..hampir
semua segmen bisnis telah diwaralabakan, seperti salon kecantikan, apotik, mini
markert, usaha makanan, layanan perkantoran, dan masih banyak lagi jenis usaha
waralaba tersebut. Waralaba telah menjadi strategi pemasaran yangbertujuan
untuk memperluas jangkauan usaha untukmeningkatkan pangsa pasar atau
penjualannya. Pengembangan usaha semakin cepat dengan dana yangrelatif
terbatas, karena dengan melibatkan investor lainuntuk turut serta menggunakan
pengalaman, hak kekayaan intelektual, sistem atau cara kerja serta ketrampilan
yang dimilikinya.
Seringkali antara waralaba atau franchise disamakan dengan lisensi, padahal
keduanya berbeda. Pada lisensi hanya memberikan ijin untuk menggunakan hak
kekayaan intelektual tertentu saja, sedangkan pada waralaba lebih luas daripada
lisensi. Hal ini disebaban pada waralaba didalamnya antara lain ada lisensi
penggunaan hak kekayaan intelektual yang disertai dengan suatu sistem
kerja,ketrampilan, pengalaman dan berbagai sistem pelayanan yang dimilikinya.
Waralaba memungkinkan perusahaan untuk melakukan penetrasi pasar tanpa

23
harus keluar biaya sendiri. Perusahaan sebagai pemberi waralaba atau dalam
Bahasa Inggiris diistilahkan dengan franchisor dapat memegang kendali atas
penerima waralaba (franchisee) dengan memberikan dukungan perihal strategi
penjualan-pelayanan, reputasi, merek, dan standard kualitas serta dukungan
lainnya. Dukungan ini tentunya diimbangi dengan imbalan fee yang fixed atau
variabel secara periodik. Jadi intinya waralaba memungkinkan perusahaan untuk
memperluas jaringan bisnis dan sekaligus memperkecil risiko karena ada proses
berbagi risiko dengan franchisee.25
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang
Waralaba, pengertian waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang
perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khasusaha
dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasayang telah terbukti berhasil dan
dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan
perjanjianwaralaba. Dengan cara waralaba perusahaan melakukan pengembangan
pasar tanpa harus mengeluarkan investasi baru, bahkan dapat memberikan
kesempatan kepada pihak lain untuk turut serta menjalankan usahanya.
Perusahaan sebagai pemberi waralaba akan mengendalikan penerima waralaba
dalam menjalankan usahanya, yaitu dengan memberikan dukungan sepenuhnya
sesuai dengan yang diperjanjikan.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
menjelaskan bahwa suatu waralaba memiliki kriteria-kriteria yang khusus yaitu:
a. Memiliki ciri khas usaha, yaitu suatu usaha yangmemiliki keunggulan atau
perbedaan yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenis,
dan membuat konsumen selalu mencari ciri khas dimaksud.Misalnya, sistem
manajemen, cara penjualan dan pelayanan, atau penataan atau cara distribusi
yang merupakan karakteristik khusus dari Pemberi Waralaba.
b. Terbukti sudah memberikan keuntungan, hal ini menunjuk pada pengalaman
Pemberi Waralaba yang telah dimiliki kurang lebih 5 (lima) tahun dan telah
mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-masalah dalam

25
Roy Sembel dan Tedy Ferdiansyah, Tujuh Jurus Pendanaan di Tahun Kuda Air, Jakarta : USAHAWAN
No. 03 Th. XXXI, (2002).

24
perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan masih bertahan dan
berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan.
c. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan
yang dibuat secara tertulis, adalah standar secara tertulis supaya Penerima
Waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan
sama (Standard Operational Procedure).
d. Mudah diajarkan dan diaplikasikan, sehingga Penerima Waralaba yang belum
memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat
melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan
manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh PemberiWaralaba.
e. Adanya dukungan yang berkesinambungan dari Pemberi Waralaba kepada
Penerima Waralaba secara terus menerus seperti bimbingan operasional,
pelatihan, danpromosi.
f. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar, adalah Hak Kekayaan
Intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, paten, dan
rahasia dagang, sudah didaftarkan dan mempunyai sertipikat atau sedang
dalam proses pendaftaran di instansi yang berwenang.
Pengembangan usaha melalui waralaba padadasarnya mengembangkan usaha
secara cepat memakaimodal pihak lain, tentu saja risikonya juga ditanggung
olehpenerima waralaba. Penerima waralaba akanmendapatkan pelatihan, sistem,
hak kekayaan intelektual,bahkan peralatan maupun bahan baku, tanpa harus
memiliki pengalaman usaha lebih dahulu. Adapunpemberi waralaba mempunyai
hak untuk mendapatkan franchise fee atas penggunaan merek dan sistem, yang
diterimakan pada awal perjanjian untuk suatu jangka waktutertentu biasanya
sekurang-kurangnya lima tahun. Selain itu juga mendapatkan royalty dari
penerima waralaba, yang berupa persentase dari nilai penjualan setiap bulannya.
Pada dasarnya waralaba terbentuk ketika pemberiwaralaba menjalin hubungan
hukum untuk melakukankontrak kerjasama secara terpadu terhadap merek,
desaintata letak dan lain sebagainya yang berkenaan dengan hak kekayaan
intelektual serta metode bisnis secara kontinyu dalam suatu periode tertentu
dengan penerima waralaba.

25
Berkembang dari bentuk dasar itu, dikenal empat jenis franchise atau waralaba
tambahan, yaitu :26
1. Master Franchise. Dalam kontrak ini, franchisee juga berhak menjual hak
franchise yang dimilikinya pada peminat lain yang berada dalam wilayah
tertentu;
2. Area Development Program. Di sini franchisee memiliki hak mengembangkan
bisnis franchise yang bersangkutan dalam suatu wilayah tertentu, tanpa
memiliki hak menjual ulang hak yang dimilikinya. Jadi bedanya dengan
master franchise hanya pada ada tidaknya hak untuk menjual ulang franchise
yang dibelinya.
3. Joint Venture Franchise Program. Kontrak ini terjadi jika francisor ikut
menginvestasikan dana selain memberikan dukungan manajemen dan teknis.
Franchisee tetap bertugas mengembangkan dan mengoperasikan tempat usaha
yang bersangkutan. Biaya-biaya yang timbul dan keuntungan yang diperoleh
akan dibagi oleh franchisor dan franchisee sesuai dengan perjanjian.
4. Mixed Franchise. Tipe ini terjadi jika franchisor menawarkan paket franchise
yang memungkinkan franchisee yang modalnya terbatas untuk mengelola
sebagian fungsi usaha saja. Misalnya produksi dilakukanh franchisor dan
franchisee hanya mengelola proses penjualannya saja. Selain paket seperti itu,
franchisor tersebut biasanya juga menawarkan paket utuh kepada franchisee
yangmemiliki modal cukup.
Perjanjian Waralaba mengatur hubungan hokum antara pemberi waralaba
dengan penerima waralaba untuk menjalankan kegiatan waralaba. Pada dasarnya
waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda
dengan pengertian lisensi padaumumnya, waralaba menekankan pada kewajiban
untuk menggunakan sistem, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan
penjualan maupun hal-hal lain yang ditentukan oleh pemberi waralaba secara
eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal
ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif. Seorang atau

26
Handowo Dipo, Sukses Usaha Memperoleh Dana, dengan Konsentrasi Modal Ventura, Grafiti Press,
Jakarta, 1993, hlm. 39

26
suatu pihak yang menerima waralaba tidaklah dimungkinkan untuk melakukan
kegiatan lain yang sejenis atau yang berada dalam suatu lingkungan yang
mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba yang
diperoleh olehnya dari pemberi waralaba.27
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh Gunawan Widjaya tersebut di
atas, maka dalam pembuatan perjanjian atau kontrak harus dibuat secara terang
dan sejelas jelasnya, hal ini disebabkan saling member kepercayaan dan
mempunyai harapan keuntungan bagi kedua pihak akan diperoleh secara cepat.
Karena itu kontrak waralaba merupakan suatu dokumen yang didalamnya berisi
suatu transaksi yang dijabarkan secaraterperinci.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2) PeraturanPemerintah No. 42 Tahun 2007
tentang Waralaba, menyebutkan bahwa Waralaba diselenggarakan berdasarkan
perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan
memperhatikan hukum Indonesia.Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia.28
Prospektus penawaran waralaba tersebut di atas memuat paling sedikit
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan MenteriPerdagangan
Republik Indonesia Nomor : 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan
Waralaba, yaitu:
1. Data identitas Pemberi Waralaba, yaitu fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau
paspor pemilik usaha apabila perseorangan, dan fotokopi Kartu Tanda
Penduduk atau paspor para Pemegang Saham, Komisaris dan Direksi apabila
berupa badan usaha.
2. Legalitas usaha Waralaba, yaitu izin usaha teknis seperti Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP), Izin Tetap Usaha Pariwisata, Surat Izin Pendirian Satuan
Pendidikan atau izin usaha yang berlaku di Negara Pemberi Waralaba.
3. Sejarah kegiatan usahanya, yaitu uraian yang mencakup antara lain mengenai
pendirian usaha, kegiatan usaha, dan pengembangan usaha.

27
Gunawan Widjaya, Lisensi Atau Waralaba, Suatu Panduan Praktis, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm. 20
28
Ibid, hlm. 21.

27
4. Struktur organisasi Pemberi Waralaba, yaitu struktur organisasi usaha Pemberi
Waralaba mulai dari Komisaris, Pemegang Saham dan Direksi sampai ke
tingkat operasional termasuk dengan Pewaralaba/Franchiseenya.
5. Laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir, yaitu laporan keuangan atau neraca
keuangan Perusahaan Pemberi Waralaba 2 (dua) tahun berturut-turut dihitung
mundur dari waktu permohonan Prospektus Penawaran Waralaba.
6. Jumlah tempat usaha, yaitu outlet/gerai usaha waralaba sesuai dengan
Kabupaten/Kota domisili untuk Pemberi Waralaba Dalam Negeri dan sesuai
dengan negara domisili outlet/gerai untuk Pemberi Waralaba Luar Negeri.
7. Daftar Penerima waralaba, yaitu daftar nama dan alamat perusahaan dan/atau
perseorangan sebagai Penerima waralaba dan perusahaan yang membuat
prospektus penawaran waralaba baik yang berdomisili di Indonesia maupun di
Luar Negeri.
8. Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba, yaitu hak yang
dimiliki baik oleh Pemberi Waralaba maupun PenerimaWaralaba, seperti;
a. Pemberi Waralaba berhak menerima fee atau royalty dari Penerima
Waralaba, dan selanjutnya Pemberi Waralaba berkewajiban memberikan
pembinaan secara berkesinambungankepada Penerima Waralaba.
b. Penerima Waralaba berhak menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau
ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba, dan selanjutnya Penerima
Waralaba berkewajiban menjaga Kode Etik/kerahasiaan HKI atau ciri khas
usaha yang diberikan Pemberi Waralaba.
Kewajiban yang melekat terhadap pemberi waralaba untuk prospektus
penawaran waralaba kepada penerima waralaba sebelum penandatanganan
perjanjian waralaba merupakan hal yang baru dalam pengaturan waralaba
diIndonesia, hal ini menurut penulis sangat signifikan dalam suatu kegiatan pra
kontrak, mengingat melalui prospectus tersebut penerima waralaba dapat
mempelajari serta mempertimbangankan berbagai aspek yang terkait dengan
waralaba yang ditawarkan, dalam hal ini termasuk aspek hukum.

28
BAB IV
PENUTUP

Dari hasil kajian dapat dijelaskan bahwa prinsip-prinsip kontrak yang diatur
dalam UNIDROIT PRINCIPLE (UP) antara lain: prinsip kebebasan berkontrak,
itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing), Prinsip kesepakatan
melalui penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance), Prinsip perlindungan
pihak lemah dari syarat -syarat baku, Prinsip contra proferentem dalam penafsiran
kontrak baku, dll. Penggunaan kontrak baku franchise tidak bertentangan dengan
prinsip UP dan KUHPerdata, di mana kontrak franchise yang dibuat dalam bentuk
baku berlaku bagi para pihak setelah kontrak ditandatangani, hal ini sesuai dengan
asas kebebasan berkontrak di mana para pihak bebas untuk menerima at au tidak
menerima persyaratan kontrak tersebut dan menandatanganinya.
Waralaba merupakan suatu perikatan/perjanjian antara dua pihak. Sebagai
perjanjian dapat dipastikan terikat pada ketentuan dalam Hukum Perdata (KUH
Perdata) tentang perjanjian (pasal 1313), sahnya perjanjian (pasal 1320) dan
kebebasan berkontrak (pasal 1338).Ada beberapa syarat untuk kontrak yang
berlaku umum tetapi di atur di luarpasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai
berikut :
1) Kontrak harus dilakukan dengan itikad baik
2) Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
3) Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
4) Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum
Apabila kontrak dilakukan dengan melanggar salah satu dari 4 (empat) prinsip
tersebut, maka konsekuensi yuridisnya adalah bahwa kontrak yang demikian tidak
sah dan batal demi hukum (null and void) .Dalam Peraturan Pemerintah Nomor
42 Tahun 2007 tentang Waralaba, terdapat beberapa konsep perlindungan hukum
terhadap usaha waralaba, yaitu:Pasal 3 huruf f yang menyebutkan bahwa waralaba
harus merupakan suatu hak kekayaan intelektual yang sudah terdaftar sehingga
terdapat kepastian hukum dalam bisinis waralaba, menghilangkan keragu-raguan

29
akan waralaba yang ditawarkan. Kemudian terdapatnya ketentuan yang
mengharuskan dibuatnya perjanjian waralaba dalam Bahasa Indonesia .Keharusan
pemberi waralaba untuk memberikan prospektus dan profit sebelum membuat
perjanjian waralaba harus dimunculkan, sehingga sangat melindungi kepentingan
calon penerima waralaba. Adanya aturan ini memberikan ruang bagi calon
penerima waralaba untuk terlebih dahulu mempelajari waralaba yang
bersangkutan, keharusan untuk mencantumkan klausula minimal dalam perjanjian
waralaba, hal ini akan menciptakan keseimbangan posisi para pihak dalam
perjanjian sekaligus memberikan perlindungan hukum. Usaha bisnis waralaba
sudah bukan merupakan sesuatu hal yang baru lagi, sudah semestinya model
usaha seperti demikian memiliki pengaturan yang memadai untuk menunjang
perkembangan dunia usaha, dan juga memberikan proteksi bagi pihak-pihak
dalam perjanjiannya dan seharusnya juga hukum posifif Indonesia memiliki
pengaturan undang-undang untuk penerapan klausula baku dalam hal kontrak
bisnis, untuk mencegah maupun melindungi pebisnis skala kecil dan menengah
dari kerugian.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010.

Abdul R Saliman,, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus,
Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014.

Bayu Seto Hardjowahono, Kontrak-Kontrak Bisnis Internasional & UNIDROIT


Principle Of International Comercial Contracts, Bahan Perkuliahan Fakultas
Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 2006.

Gunawan Widjaya, Lisensi Atau Waralaba, Suatu Panduan Praktis, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002.

30
Handowo Dipo, Sukses Usaha Memperoleh Dana, dengan Konsentrasi Modal
Ventura, Grafiti Press, Jakarta, 1993.

Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama,


Bandung, 2007.

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Penerbit Alumni., Bandung,


1994.

-----------------------------------, KUHPerdata Buku III: Hukum Perikatan dengan


Penjelasan, PT. Alumni, Bandung, 1996.

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta,
2007.

Sarah S. Kuahaty, Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Perkembangan


Hukum

Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, PT. Raja Grafindo


Persada, Jakarta, 2007.

Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Sinar


Grafika, Jakarta, 2010.

Taryana Soenandar, Tinjauan Atas Beberapa Aspek Hukum dari Prinsip-Prinsip


UNIDROIT dan CISG dalam Buku Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001.

B. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten.

Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba

Peraturan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Ri No. 31/M-Dag/Per/8/2008


Tentang Penyelenggaraan Waralaba

31
C. Lainnya
Kontrak Di Indonesia, Jurnal Sasi Vol.20 No. 2 Bulan Juli – Desember 2014.
Lina Maulidiana, Bisnis Waralaba Dalam Prospektif Hukum Kontrak, Pranata
Hukum Volume 9 Nomor 1 Januari 2014.

Susiana, Kontrak baku Franchise Ditinjau Dari Ketentuan Unidroit dan


KUHPerdata, Kamus Jurnal Ilmu Hukum No. 65 April 2015.

www.repo.lain-tulungagung.ac.id yang diakses pada tanggal 10 Desember 2020.

Roy Sembel dan Tedy Ferdiansyah, Tujuh Jurus Pendanaan di Tahun Kuda Air,
Jakarta : USAHAWAN No. 03 Th. XXXI, (2002).

32

Anda mungkin juga menyukai