Anda di halaman 1dari 20

UNIDROIT Principles perlu di adopsi ke dalam hukum Nasional Republik Indonesia Analisis : Hukum kontrak internasional merupakan bidang

hukum yang sangat penting di era globalisasi terutama dalam mendukung kegiatan di sektor perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem, paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing negara. Kegiatan bisnis atau perdagangan internasional baik yang dilakukan oleh negara maupun pihak swasta di Indonesia harus terus berjalan. Kenafikan payung hukum atau aturan hukum kontrak dalam konteks hukum kontrak internasional akan menimbulkan kerugian bagi negara maupun pihak swasta diIndonesia sendiri. Apalagi pada tanggal 2 September 2008 Indonesia sudah mengesahkan Statuta UNIDROIT dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of The International Institute For The Unification of Private Law. Perpres tersebut telah membuka lebar pintu harmonisasi hukum bagi Indonesia dalam konteks hukum kontrak internasional untuk menghilangkan hambatan pelaksanaan perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Kegiatan perdagangan dan transaksi bisnis internasional dilakukan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam suatu kontrak internasional. Kontrak internasional memiliki posisi yang sangat penting sebagai rujukan yang paling utama bagi para pihak dalam pelaksanaan suatu hal yang diperjanjikan, bahkan sampai
1

pada penentuan bagaimana cara penyelesaian yang akan ditempuh jika dikemudian hari pelaksanaan kontrak tidak dapat direalisasikan sebagaimana mestinya Dalam hal ini, harmonisasi hukum merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan yang harus dipenuhi bagi para pihak dalam pelaksanaan perdagangan atau transaksi bisnis internasional. Upaya harmonisasi menurut Hannu Honka dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: 1. peraturan perundang-undangan nasional di bidang kontrak; 2. penggunaan kontrak baku; 3. penerapan hukum kebiasaan internasional (international customs) 4. prinsip-prinsip hukum internasional (international legal principles); 5. putusan pengadilan arbitrase; dan 6. harmonisasi menurut panduan hukum (legal guide/guidelines) dan doktrinhukum (legal doctrine). Di samping itu secara lebih lengkap, Roy Goode menyatakan bahwa harmonisasi hukum dapat dilakukan melalui: 1. a multilateral convention without a uniform law as such; 2. a multilateral convention embodying a uniform law; 3. a set of bilateral treaties; 4. community legislation, typically, a directive; 5. a model law; 6. a codification of custom and usage promulgated by an international nongovernmental organization; 7. international trade terms promulgated by such an organization;
2

8. model contracts and general contractuals conditions. Upaya harmonisasi hukum kontrak dalam konteks internasional secara efektif dilakukan oleh lembaga atau organisasi internasional, baik yang sifatnya publik seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan badan kelengkapannyaseperti United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) atauorganisasi internasional yang independen seperti International Institute for the Unification of Private Law atau Institut International Pour L'unification Du Droit Prive yang lazim dikenal dengan UNIDROIT. UNIDROIT adalah organisasi internasional independen yang berkedudukan di Roma, Italia yang tujuan didirikannya adalah untuk mengkaji kebutuhan dan metode-metode dalam rangka modernisasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional di antara negara maupun perserikatan negara di dunia. Pada prinsipnya pendirian UNIDROIT mememiliki latar belakang yang sama dengan UNCITRAL, yaitu dalam rangka mengatasi hambatan dalam pelaksanaan perdagangan

internasional yang disebabkan oleh perbedaan hukum nasional masing-masing negara. Peran yang dilakukan oleh berbagai organisasi internasional ini adalah mengeluarkan berbagai perjanjian atau kesepakatan internasional yang dapatdijadikan pedoman dalam penyusunan kontrak internasional. Perjanjian internasional di bidang kontrak, seperti halnya hukum nasional, adalah sumber hukum utama (primer). Sumber ini tidak kalah pentingnya dibanding sumber hukum utama lainnya, yaitu hukum nasional dan dokumen kontrak yang mengatur para pihak. Kecenderungan harmonisasi hukum sangat potensial mengingat

mayoritas negara memiliki kepentingan dalam perdagangan bebas sehingga harmonisasi hukum merupakan kebutuhan. Dengan demikian, melalui intensitas transaksi bisnis dan pembaruan hukum,akan timbul lex mercatoria melalui kontrak, penyelesaian perselisihan, maupun pembentukan hukum. Prinsi-prinsip lex mercatoria dikaitkan dengan hukum nasional bukanlah merupakan suatu aturan formal yang bersifat memaksa (mandatory rules) melainkan merupakan media dalam menjembatani perbedaan sistem hukum dalam pelaksanaan perdagangan atau transaksi bisnis internasional. Dengan demikian, penyesuaian hukum kontrak nasional terhadap ketentuan atau prinsip kontrak internasional tentunya sebagai harus dipandang sebagai suatu kebutuhan yang bertujuan untuk kepentingan nasional karena dengan peningkatan perdagangan atau transaksi bisnis internasional tentunya akan memberikan keuntungan bagi negara maupun pihak swasta. Dengan demikian, harus dilaksanakan pembaruan hukum kontrak untuk menggantikan BW yang sudah sangat tertinggal sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada tingkat

perkembangan mutakhir, sesuatu yang biasa disebut sebagai modernisasi hukum. Dalam pembaruan hukum ini perlu dibuat pendekatan dengan pengkajian hukum yang bertujuan mencapai jaminan dan kepastian hukum bagi kegiatan investasi dan perdagangan secara global. Pembaruan hukum kontrak sebenarnya sudah dilakukan melalui pendekatan parsial, dalam arti pembaruan hukum diprioritaskan pada bidang hukum yang sifatnya khusus mengatur sektor tertentu, misalnya adanya Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat, Undang-Undang tentang
4

Penanaman Modal, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan lain-lain sebagainya. Dalam rangka pembaharuan hukum ini, perlu dipahami pendapat Burgs. Menurut studi yang dilakukan Burgs mengenai hukum dan pembangunan, terdapat5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat ekonomi, yaitu : 1. stabilitas ( stability ); 2. prediksi ( preditability ); 3. keadilan (fairness); 4. pendidikan( education); 5. dan pengembangan khusus dari sarjana hukum ( the specialdevelopment abilities of the lawyer ). Selanjutnya Burgs mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di atas ini merupakan persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Di sini stabilitas berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sedangkan prediksi merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara. Hal ini sesuai dengan J.D. Ny Hart yang juga mengemukakan konsep hukum sebagai dasar pembangunan ekonomi, yaitu predictability, procedural capability, codification of goals, education, balance,defenition and clarity of status, serta accommodation. Dengan mengacu pada pendekatan hukum dalam pembangunan ekonomi diatas ini, maka hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
5

1. hukum harus dapat membuat prediksi yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi; 2. hukum itu mempunyai kemampuan prosedural dalam penyelesaian sengketa. Misalnya dalam mengatur peradilan tribunal, penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dan penunjukan arbitrer, dan lembaga-lembaga yang

berfungsi sama dalam penyelesaian sengketa; 3. pembuatan, pengkodifikasian hukum oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara; 4. hukum itu setelah mempunyai keabsahan, agar rmempunyai kemampuan maka harus dibuat pendidikannya dan selanjutnya disosialisasikan; 5. hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan karena hal ini berkaitan dengan inisiatif pembangunan ekonomi; 6. hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas. Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang; 7. hukum itu harus dapat mengakomodasi keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan inividu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat; 8. tidak kalah pentingnya dan harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan adalah unsur stabilitas. Sebagaimana diuraikan dalam bagian sebelumnya, pembaruan

terhadap hukum kontrak/perjanjian khususnya KUHPerd Buku Ketiga tentang


6

Perikatan merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan yang harus dipenuhi dalam rangka mendukung pelaksanaan perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Pembaruan hukum kontrak tersebut berjalan beriringan dengan harmonisasi hukum kontrak internasional sebagai upaya untuk mengatasi hambatan atau rintangan dalam praktik perdagangan atau bisnis internasional. Sudah sepatutnya prinsip-prinsip UNIDROIT atau UPPICs menjadi suatu rujukan yang dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan hukum kontrak nasional yang menggantikan KUHPerdata khususnya Buku Ketiga tentang Perikatan dan lebih khusus lagi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Bab III

tentangPerikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam UPICCs bisa dijadikan sebuah sistem hukum tulen yang mengatur secara lebih lengkap, terstruktur, fleksibel, dan mengakomodir perkembangan perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Prinsip-prinsip penting hukum kontrak yang dimuat dalam UPICCs, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pembaruan hukum kontrak/ perjanjian di Indonesia antara lain sebagai berikut :
1

1. Prinsip Kebebasan Berkontrak Prinsip kebebasan berkontrak dalam UPICCs diatur secara lebih rinci, aplikatif, dan tetap memperhitungkan fleksibilitas dibandingkan dengan pengaturan yang terdapat dalam KUHPerdata. UPICCs mengatur

kebebasan berkontrak agar tidak terjadi distorsi. Namun, pengaturannya tidak menghilangkan makna kebebasan kontrak itu sendiri. Oleh karena itu, UPICCs berusaha mengakomodasi berbagai kepentingan yang diharapkan memberikan solusi atas perbedaan sistem hukum dan kepentingan ekonomi lainnya. Prinsip kebebasan berkontrak dalam UPICCs diwujudkan dalam 5 (lima) bentuk prinsip hukum, yaitu: a. kebebasan menentukan isi kontrak; b. kebebasan menentukan bentuk kontrak; c. kontrak mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak; d. aturan memaksa (mandatory rules) sebagai pengecualian; e. sifat internasional dan tujuan UPICCs yang harus diperhatikan dalampenafsiran kontrak 2. Prinsip Konsensual dan Tunai (Riil) sebagai Dasar Mengikatnya Kontrak Terdapat dua prinsip yang menjadi titik tolak kekuatan mengikatnya suatu perjanjian, yaitu prinsip konsensual sebagaimana yang dianut dalam KUHPerdata dan prinsip riil yang dianut dalam hukum adat. Perbedaan penerapan prinsip ini akan berpengaruh pada tindakan prakontraktual yang menimbulkan hak gugat

yang di Jerman disebut dengan istilah culpa in contrahendo atau secara international lebih dikenal sebagai Tanggung Jawab Hukum Pra kontraktual. Dalam KUHPerdata hanya disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPdt). KUHPerdata sama sekali tidak memperhatikan proses terjadinya kontrak/ perjanjian. Padahal dalam prakteknya suatu kontrak/ perjanjian dapat terjadi apabila didahului dengan adanya kesepakatan dan itu diperoleh melalui proses negosiasi.
5. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1983. 6. Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan : Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan UndangUndang, Maju Mandar , Bandung, 1994, hlm. 56.

KUHPerdata hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat pelaksanaan kontrak, padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan prinsip itikad baik dan transaksi wajar/ jujur ( good faith dan fair dealing). Hal ini merupakan masalah krusial dalam mekanisme terjadinya kontrak dalam dunia bisnis/ komersial yang umunya didahului oleh tahap negosiasi dimana masing-masing pihak mengajukan letter of intent yang memuat keinginan masing-masing pihak untuk membuat suatu kontrak. Selanjutnya setelah ada kesepahaman atas kehendak untuk mengadakan kontrak tersebut, maka para pihak akan membuat Memorandum of Understanding (MOU) yang memuat keinginan masing-masing pihak sekaligus adanya tenggang waktu pencapaian kesepakatan untuk terjadinya kontrak. Proses inilah yang disebut sebagai proses Prakontrak.

Dalam tahap prakontrak ini masing-masing pihak harus menegakkan prinsip itikad baik, yang oleh karena itu jika salah satu pihak beritikad buruk, maka haruslah disediakan sarana hukum berupa hak gugat dan hak untuk menuntut ganti rugi dalam tahap prakontrak. 3. Pengertian Kontrak atau Perjanjian KUHPerdata mengartikan kontrak atau perjanjian dalam pengetian yang sama. Dalam Pasal 1313 dinyatakan: suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi ini mempunyai banyak kelemahan yaitu: a. hanya menyangkut perjanjian sepihak saja; b. kata perbuatan terlalu luas karena dapat merupakan perbuatan tanpakesepakatan, perbuatanhukum; c. pengertian terlalu luas (termasuk perjanjian kawin); dan d. tanpa menyebut tujuannya 4. Prinsip dapat Dibatalkannya Kontrak bila Mengandung Perbedaan Besar (GrossDisparity) Gross disparity merupakan keadaan yang tidak seimbang sehingga perbuatan melawan hukum dan perbuatan bukan

menyebabkan kemungkinan terjadinya kontrak pincang (hinkend contract). Dalam KUHPerdata, kontrak pincang sebatas apabila para pihak belum dewasa atau di bawah pengampuan, sedangkan UPPICs mengatur hal ini secara lebih lengkap dan aplikatif. Prinsip ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari prinsip itikad baik dan transaksi jujur serta prinsip keseimbangan dan keadilan. Salah satu
10

pihak dapat membatalkan sebagian atau seluruh syarat individual dari kontrak, apabila syarat tersebut secara tidak sah memberikan keuntungan yang berlebihan kepada salah satu pihak. Keadaan demikian didasarkan pada: a. fakta bahwa salah satu pihak telah mendapatkan keuntungan secara curang dari ketergantungan, kesulitan ekonomi atau kebutuhan yang mendesak, atau dari keborosan, ketidaktahuan, kurang pengalaman atau kurang ahli dalamtawar menawar; dan b. sifat dan tujuan dari kontrak. Atas permintaan pembatalan oleh para pihak yang berhak, pengadilan dapat mengubah kontrak atau syarat tersebut agar sesuai dengan standar komersial yangwajar dan transaksi yang jujur. Pengadilan dapat juga mengubah seluruh kontrak atau sebagian syaratnya atas permintaan pihak yang menerima pemberitahuan pembatalan.
7. Ibid, hlm 58.

5. Kontrak Baku KUHPerdata sama sekali tidak mengatur kontrak baku padahal dalam kegiatan bisnis baik dalam lingkup nasional maupun internasional kontrak semacam ini lazim digunakan. Dalam UPICCs, kontrak baku telah diatur secara proporsional yaitu berkaitan dengan perlindungan pihak yang lemah dalam Syarat Baku sebagiamana diatur dalam Article 2.1.19 sampai dengan Article

2.1.22.Disamping itu, UPICCs juga memuat aturan mengenai prinsip Contra Proferentem dalam penafsiran kontrak baku. UPICCs mengatur prinsip ini dalam delapan Article yaitu Article 4.1 sampai dengan 4.8. Pada

11

prinsipnya,sebagaimana dinyatakan dalam Article 4.6, jika syarat yang diajukan oleh salah satu pihak tidak jelas maka penafsiran berlawanan dengan pihak tersebut harus didahulukan. 6. Keadaan Sulit (Hardship) KUHPerd tidak mengatur keadaan apabila kontrak tidak terlaksana akibat perubahan keadaan yang fundamental, misalnya krisis ekonomi yang terjadi diIndonesia beberapa tahun silam telah menyebabkan banyak kontrak tidak dapat diselesaikan. Akibat hukum bila terjadi kesulitan diatur dalam Article 6.2.3 yang menentukan bahwa: a) pihak yang dirugikan berhak meminta renegosiasi kontrak kepada pihak lain yang harus diajukan dengan menunjukan dasar-dasarnya; b) permintaan renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak;

8. Ibid, hlm 60.

c) apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, masing-masing pihak dapat mengajukannya ke pengadilan; d) apabila pengadilan membuktikan adanya kesulitan, maka pengadilan dapat memutuskan untuk : a. mengakhiri kontrak pada tanggal dan jangka waktu yang pasti b. mengubah kontrak untuk mengembalikan keseimbangannya. 7. Prinsip Itikad Baik ( Good Faith ) dan Transaksi Wajar/Jujur (Fair Dealing)

12

Landasan utama dari setiap transaksi komersial adalah prinsip itikad baik dan transaksi jujur. Kedua prinsip ini harus melandasi seluruh proses kontrak mulai dari negosiasi, pelaksanaan, dan berakhirnya kontrak. Article 1.7 UPPICs menyatakan. Tiga unsur prinsip itikad baik dan transaksi jujur, yaitu: a) itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi kontrak: b) prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam UPICCs ditekankan pada praktik perdagangan internasional; dan c) prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa. 8. Prinsip Diakuinya Praktik Kebiasaan dalam Transaksi Bisnis sebagai HukumMemaksa Dalam praktik pelaksanaan kontrak harus tunduk pada hukum

kebiasaansetempat. UPICCs memberikan pedoman bagaimana hukum kebiasaan tersebut berlaku. Dalam Article 1.9 dinyatakan:

9. Ibid, hlm 62.

a. The parties are bound by any usage to which they have agreed and by anypractices which they have established between themselves. b. The parties are bound by a usage that is widely known to and regularlyobserved in international trade by parties in the particular trade concerned except where the application of such a usage would be unreasonable. Ketentuan di atas mengandung enam hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu: a) praktik kebiasaan harus memenuhi kriteria tertentu; b) praktik kebiasaan yang berlaku di lingkungan para pihak;

13

c) praktik kebiasaan yang disepakati; d) praktik kebiasaan lain yang diketahui luas atau rutin dilakukan; e) praktik kebiasaan yang tidak benar; dan 6) praktik kebiasaan setempat yang berlaku mengesampingkan aturan umum. Prinsip-prinsip sebagaimana diuraikan di atas dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pembaruan hukum kontrak/ perjanjian di Indonesia sebagai implementasi dari Perpres No. 59 Tahun 2008 yang menetapkan Indonesia sebagai negara anggota UNIDROIT. Disamping prinsip yang dikemukakan di atas, tentunya masih banyak ketentuan dalam UPICCs lain yang dapat dijadikan rujukan. Adopsi ketentuan yang termuat dalam UPICCs tentunya akan membawa Indonesia kepada proses harmonisasi hukum kontrak dalam konteks internasional sehingga tercipta suatu kepastian hukum guna mendukung partisipasi dan peningkatan perdagangan dan transaksi bisnis internasional secara optimal. Dalam hal ini, perbedaan sistem hukum dari masing-masing negara tentunya tidak lagi menjadi penghalang bagi perdagangan atau transaksi bisnis internasional. Tentunya dengan adanya kepastian hukum tersebut kepentingan nasional pun akan lebih terlindungi. Setidaknya ada enam hal yang menguntungkan Indonesia apabila menyerap ketentuan UPICCs yaitu sebagai berikut : 1. Hampir setiap negara dari seluruh penjuru dunia sudah mengikuti prinsip UNIDROIT. Sebagaimana dikemukakan dalam bagian sebelumnya, sampai saat ini keanggotaan UNIDROIT sudah mencapi 63 negara. Bahkan negara-negara

14

eropa pada tahun 1997 tekah berhasil menyusun The Principles of European Contract Law yang substansinya mengambil dari UPICCs. 2. UPICCs telah mengakomodir serta memperhitungkan persoalan

pembangunan yang sering kali dialami oleh negara berkembang seperti Indonesia, misalnya dengan adanya ketentuan mengenai gross disparity dan hardship. Hal ini sangat berguna bagi pembangunan ekonomi karena seringkali melibatkan kontrak jangka panjang. 3. UPICCs memperhatikan perlindungan bagi pihak yang kedudukannya lemahdalam suatu kontrak seperti adanya pengaturan perlindungan terhadap

kontrak baku. 4. UPICCs membatasi prinsip kebebasan berkontrak tidak boleh mengesampingkan atau menggugurkan hukum yang memaksa (mandatory rules) dalam rangka melindungi kepentingan umum. 5. UPICCs bersifat praktis karena penyusunannya mengakomodasi kepentingan praktik yang menjembatani berbagai kendala dari adanya perbedaan sistem hukum pada masing-masing negara. UPICCs mengambil bagian praktis dari sistem hukum common law seperti proses pembentukan kontrak (formation of contract ) yang mana hal ini juga dilakukan oleh Belanda dalam penyusunan NBW, padahal Belanda merupakan negara yang bersistem hukum Civil Law. 6. UPICCs mengatur adanya tanggung jawab prakontraktual yang tidak ditemukandalam KUHPerdata dan hal ini seringkali menimbulkan permasalahan.

15

10. Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Edisi Refisi, Refika Aditama, Bandung, 2010 11. Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Sinar Grafika, cetakan ke 2, Jakarta, 20

Berdasarkan pembahasan sebagaimana diuraikan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Pembaruan hukum kontrak/ perjanjian di Indonesia khususnya Buku III tentang Perikatan merupakan suatu kemestian dalam rangka mendukung dan meningkatkan pelaksanaan perdagangan dan transaksi bisnis

16

internasional. Beberapa alasan yang mendukung hal tersebut adalah sebagai berikut : a. Ketentuan KUHPerdata khususnya Buku Ketiga tentang Perikatan diakui bukan sebagai produk hukum yang ideal untuk diberlakukan seterusnya dan sesegera mungkin perlu dibuat undang-undang baru yang mengatur masalah keperdataan secara lebih komprehensif, sistematis, dan aplikatif, serta mengakomodir perkembangan hukum modern. Ketentuan hukum perikatan dalam KUHPerdata sebagian sudah out of date seiring dengan arus globalisasi yang semakin deras yang lebih mengedepankan aturan yang dikenal dengan convention law, community law, dan model law. Di Belanda sendiri sebenarnya BW sudah digantikan dengan yang baru, yaitu Nieuw

Burgerlijk Wetboek (NBW) yang sudah sangat berbeda dengan BW yang sekarang masih berlaku di Indonesia. NBW yang saat ini berlaku di belanda sebagai The Dutch Civil Code sudah jauh lebih maju baik dari segi substansi maupun sistematika serta mengakomodir upaya harmonisasi hukum dalam konteks kontrak internasional b. Pembaruan harmonisasi hukum dalam kontrak/perjanjian konteks hukum dilakukan kontrak sebagai upaya untuk

internasional

menjembatani perbedaan sistem hukum yang menghambat pelaksanaan perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Adanya perbedaan aturan di masing-masing negara akan menghambat pelaksanaan transaksi bisnis internasional yang menghendaki kecepatan dan kepastian

17

c. Penyesuaian

hukum

kontrak

nasional

dalam

konteks

kontrak

internasional tentunya sebagai harus dipandang sebagai suatu tuntutan sekaligus kebutuhan. Tuntutan dalam arti pembaruan hukum kontrak/ perjanjian merupakan keharusan dari adanya era globaliasi agar Indonesia dapat terus eksis dalam aktivitas perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Kebutuhan dalam arti pembaruan hukum kontrak/ perjanjian pada dasarnya bertujuan menciptakan kepastian hukum untuk

melindungi

kepentingan

nasional. Dengan adanya kepastian hukum, bisnis internasional dapat

peningkatan perdagangan dan transaksi

dilaksanakan secara optimal dan tentunya akan memberikan keuntungan bagi negara maupun pihak swasta 2. Dengan ditetapkannya Perpres Nomor 59 Tahun 2008 tentang

Pengesahan Statute of The International Institute For The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata) maka Indonesia resmi menjadi negara anggota UNIDROIT. Penetapan Perpres tersebut harus ditindak lanjuti dengan konsisten yang implementasinya berupa pembenahan atau pembaruan hukum kontrak/ perjanjian nasional sebagai upaya harmonisasi hukum kontrak dalam konteks

internasional. Sudah sepatutnya prinsip-prinsip UNIDROIT atau UPPICs menjadi suatu rujukan yang dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan hukum kontrak nasional (RUUKUHPerdata) untuk

menggantikan BW khususnya Buku Ketiga tentang Perikatan dan lebih

18

khusus

lagi

ketentuan-ketentuan

yang

terdapat

dalam

Bab

II

tentangPerikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian.

DAFTAR PUSTAKA
19

Bismar Nasution, Pengaruh Globalisasi Pada Hukum Indonesia, Majalah Hukum Fakultas Hukum USU, Volume 8 Nomor 1, Medan, 2003. Hannu Honka, Harmoni Hukum Nasional, Iod Hill, Jakarta, 2010. H. R. Sardjono, Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata, Iod Hill, Jakarta, 1991. Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, edisi revisi, Refika Aditama, Bandung, 2010. Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan : Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Undang-Undang, Mandar Maju, Bandung, 1994. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1983. Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Sinar Grafika, cetakan ke 2, Jakarta, 2006.
4. H. R. Sardjono, Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata, Iod Hill, Jakarta 1991, hlm 23.
. Bismar Nasution, Pengaruh Globalisasi Pada Hukum Indonesia, Majalah Hukum Fakultas Hukum USU, Volume 8 Nomor 1, Medan, 2003, hlm 5.

20

Anda mungkin juga menyukai