Anda di halaman 1dari 17

KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA OL

NEGARA ASING
Akhir-akhir ini banyak kalangan menyuarakan agar
warga negara asing (orang asing) dapat mempunyai
hak atas tanah di Indonesia dengan jangka waktu
yang lebih lama dari jangka waktu yang
diperbolehkan hukum pertanahan nasional saat ini.
Argumen atau pertimbangan yang dikemukakan
terutama supaya industri properti di Indonesia lebih
maju pemasarannya, supaya diminati warga negara
asing, seiring sejalan juga untuk mendongkrak
gairah investasi industri properti dan tentu saja efek
lain sebagai ikutan.
Perkembangan investasi di Indonesia memiliki
pengaruh yang besar pada tingkat pembangunan
ekonomi nasional. Untuk meningkatkan percepatan
laju investasi di Indonesia maka pemerintah
berusaha menarik minat para investor asing.
Semakin meningkatnya jumlah Warga Negara Asing
(WNA) yang menjalankan usahanya di Indonesia,
mendorong munculnya kemungkinan bagi para WNA
untuk mendapatkan kemudahan dalam pemberian
pelayanan maupun izin memperoleh hak atas tanah.
Namun perlu diketahui bahwa orang asing yang
dimaksud yakni yang kehadirannya memberi
manfaat bagi pembangunan Nasional, dengan
melaksanakan investasi untuk memiliki rumah
tinggal atau hunian di Indonesia, dan harus
memenuhi syarat-syarat keimigrasian berikut:
Mempunyai izin tinggal tetap
Mempunyai Izin Kunjungan, yang diberikan kepada
orang asing yang berkunjung ke wilayah
Indonesia untuk waktu yang singkat, dalam
rangka tugas pemerintahan, pariwisata, atau
kegiatan sosial budaya.
Mempunyai izin tinggal terbatas

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia


nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA),
hanya ada dua hak atas tanah yang dapat dimiliki
oleh WNA yang berkedudukan di Indonesia. Hak
tersebut meliputi Hak Pakai dan Hak Sewa
Bangunan.
1. Hak Pakai
Hak pakai menurut pasal 41 UUPA merupakan hak
untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau
tanah milik orang lain, yang memiliki wewenang
untuk memberikan hak pakai yang kemudian diatur
melalui surat perjanjian. Hak pakai tanah yang
diatur dalam UUPA ini bukanlah hak sewa-menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah.
Adapun pihak-pihak yang dapat memperoleh Hak
Pakai ini adalah:
Warga Negara Indonesia
Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan
di Indonesia
Badan Hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Jangka waktu untuk Hak Pakai diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 40 pasal 45 yang
menyebutkan bahwa jangka waktu paling lama
adalah 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama 20 tahun.
Sedangkan
tanah
yang
dapat
diberikan
menggunakan Hak Pakai meliputi:
Tanah Negara, dimana tanah ini merupakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara.
Tanah Hak Pengelolaan, merupakan tanah yang
dikuasai Negara yang kewenangannya sebagian
dilimpahkan kepada pemegang haknya.

Tanah Hak Milik, yakni tanah dengan hak turun


temurun yang dapat dimiliki seseorang dengan
mengingat ketentuan dalam UUPA.
Pemberian Hak Pakai atas Tanah Negara dan Tanah
Pengelolaan wajib didaftar dalam buku tanah pada
Kantor Pertanahan, dan momentum terjadinya Hak
Pakai tersebut sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan
dalam Buku Tanah sesuai dengan ketentuan yang
ada. Sebagai bukti hak kepada pemegang hak
diberikan sertifikat Hak Pakai atas tanah.
Begitu juga pemberian Hak Pakai atas tanah Hak
Milik wajib di daftarkan pada Kantor Pertanahan dan
Hak Pakai atas tanah Hak Milik tersebut mengikat
pihak ketiga sejak didaftarkan pada Kantor
Pertanahan.
Kepemilikan Rumah Tinggal/Hunian Oleh WNA
Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 pasal 1
dan 2 menyebutkan bahwa orang asing yang
berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah
rumah untuk tempat tinggal atau hunian di atas
bidang tanah Hak Pakai atas Tanah Negara yang
dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang
hak atas tanah yang dibuat dengan akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Berdasarkan peraturan di atas maka pada
hakikatnya, WNA yang berdomisili di Indonesia
diperbolehkan memiliki satu rumah tempat tinggal,
bisa berupa rumah yang berdiri sendiri atau satuan
rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak
Pakai, dengan ketentuan:
Rumah yang berdiri sendiri bisa dibangun di atas
tanah Hak Pakai atas tanah Negara/tanah Hak
Milik yang diberikan oleh pemegang Hak
tersebut, dibuktikan dengan akta PPAT.
Perjanjian pemberian Hak Pakai di atas tanah Hak
Milik wajib dicatat dalam buku tanah dan
sertifikat Hak Milik yang bersangkutan. Jangka

waktunya sesuai dengan kesepakatan tetapi


tidak boleh lebih dari 25 tahun. Jangka waktu
Hak Pakai tersebut tidak dapat diperpanjang,
namun dapat diperbaharui untuk jangka waktu
25 tahun atas dasar kesepakatan yang
dilakukan pada perjanjian baru dimana WNA
tersebut masih berdomisili di Indonesia.
Bila orang Asing yang memiliki rumah yang
dibangun di atas Tanah Hak Pakai atas Tanah
Negara atau berdasarkan perjanjian pemegang
hak tidak lagi berdomisili di Indonesia maka
dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan
dan mengalihkan hak atas rumah dan tanahnya
kepada pihak lain yang telah memenuhi syarat.
Namun apabila dalam jangka waktu yang telah
ditentukan hak atas tanah belum dilepaskan
maka terhadap rumah yang dibangun dengan
Hak Pakai atas tanah negara, rumah beserta
tanah yang dikuasai WNA akan dilelang. Jika
rumah tersebut dibangun dengan Hak Pakai di
atas tanah Hak Milik maka rumah tersebut
menjadi milik pemegang Hak Milik.
Adapun pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh
orang asing dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut, :

Membeli tanah Hak Pakai atas tanah negara


berikut rumah yang ada di atasnya dengan
membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) untuk tanah dan bangunan
yang bersangkutan sesuai ketentuan yang ada.
Membeli tanah Hak Pakai atas tanah negara
dengan membayar BPHTB tanah dan kemudian
membangun sendiri rumah di atasnya, dengan
syarat mengurus Ijin Mendirikan Bangunan
(IMB) dan membayar Pajak Pertambangan Nilai
(PPN) bangunan.
Membeli Tanah Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dari
pemegang Hak Pakai (setelah memperoleh ijin

tertulis dari pemegang HAk Milik) berikut rumah


yang ada di atasnya dengan membayar BPHTB
tanah dan bangunan.
Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari
pemegang Hak Pakai (setelah memperoleh ijin
tertulis dari pemegang Hak Milik) dengan
membayar BPHTB tanah dan kemudian
membangun sendiri rumah di atasnya, dengan
syarat mengurus IMB dan PPN bangunan.
Memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari
pemegang Hak Milik berdasarkan perjanjian,
berikut rumah yang ada di atasnya dengan
membayar BPHTB tanah dan bangunan
Memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari
pemegang Hak Milik berdasarkan perjanjian,
dengan membayar BPHTB tanah dan kemudian
membangun sendiri rumah di atasnya, dengan
syarat mengurus IMB dan membayar PPN
Bangunan.
Perbuatan hukum sebagaimana tersebut di atas secara
yuridis bertentangan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA, yang
berbunyi : Setiap jual beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada warga
Negara Indonesia yang disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, atau
kepada suatu badan hukum, adalah batal karena hukum
dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan
bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima
oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Syarat-Syarat Memperoleh Hak Pakai Perorangan


bagi WNI/WNA
Formulir permohonan yang sudah diisi dan
ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas
materai cukup.
Surat kuasa (apabila dikuasakan)

Foto copy identitas (KTP/KK) pemohon dan kuasa


apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas.
Bukti perolehan tanah/alas hak
Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah
bidang dan status tanah yang telah dimiliki
Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang
dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket.
Bukti SSPD (BPHTB) dan bukti bayar uang
pemasukan (pada saat pendaftaran hak)
Bukti SSP/Pph sesuai ketentuan
Tambahan untuk WNA
Foto copy Surat Ijin Tinggal Menetap (KIM) yang
dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi yang telah
dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket.
Biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Waktu
Biaya: Rp 50.000,- /bidang
Waktu :
38 hari : untuk luasan yang tidak lebih dari 2000 m2
57 hari : untuk luasan lebih dari 2000 m2 150.000
m2
97 hari : untuk luasan lebih dari 150.000 m2
Syarat-Syarat Memperoleh Hak Pakai Bagi Badan
Hukum Indonesia dan Badan Hukum Asing :
Formulir permohonan yang sudah diisi dan
ditandatangani pemohon di atas materai cukup.
Surat kuasa apabila dikuasakan
Foto copy Identitas (KTP) pemohon dan kuasa
apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket
Foto copy Tanda Daftar Perusahaan, Akta Pendirian
dan Pengesahan Badan Hukum yang telah
dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket.
Ijin Lokasi atau Surat Ijin penunjukan penggunaan
tanah
Bukti perolehan tanah/alas hak
Proposal/rencana penguasaan tanah

Foto copy SPPT tahun berjalan yang telah


dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket.
Bukti SPPD (BPHTB) dan bukti bayar uang
pemasukan (pada saat pendaftaran hak)
Bukti SSP final/Pph sesuai dengan ketentuan
Untuk Hak Pakai WNA terdapat tambahan, yakni:
Foto copy surat ijin tinggal tetap (KIM) yang
dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi yang telah
dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket.
Biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Waktu
Biaya: Rp 50.000,- /bidang
Waktu
38 hari : untuk luasan yang tidak lebih dari 2000 m2
57 hari : untuk luasan lebih dari 2000 m2 150.000
m2
97 hari : untuk luasan lebih dari 150.000 m2
2. Hak Sewa untuk Bangunan
Menurut Setiabudi (2012:42) Hak sewa merupakan
Hak Pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus dan
diatur tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk
bangunan-bangunan.
Dalam UUPA pasal 44 disebutkan bahwa seseorang
atau suatu badan hukum memiliki hak sewa atas
tanah apabila ia berhak menggunakan tanah milik
orang lain untuk keperluan bangunan dengan
melakukan
pembayaran
kepada
pemiliknya
sejumlah uang sebagai sewa.
Berbeda dengan Hak Pakai. Hak Sewa untuk
Bangunan (HSUB) hanya dapat terjadi di atas tanah
Hak Milik. Disebabkan tanah Hak Milik merupakan
hak terkuat dan terpenuhi sehingga dapat dipakai
sebagai dasar pemberian hak atas tanah lain,
termasuk Hak Sewa untuk Bangunan.
Untuk mendapatkan hak memiliki bangunan di atas
tanah Hak Milik maka harus dibayarkan sejumlah
uang sewa. Dimana pembayaran uang sewa ini

diatur dalam pasal 44 ayat 2 dengan ketentuan


dapat dilakukan satu kali pada tiap waktu tertentu
atau sebelum maupun sesudah tanah tersebut
digunakan. Perjanjian sewa tanah ini tidak boleh
disertai dengan syarat yang mengandung unsur
pemerasan.
Selanjutnya pada pasal 45 disebutkan pihak-pihak
yang dapat menggunakan Hak Sewa, adalah:
Warga Negara Indonesia
Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia
Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Badan Hukum asing yang memiliki perwakilan di
Indonesia.

Sumber:
Maria SW Sumardjono.Penguasaan Tanah oleh WNA.
http://annekasaldianmardhiah.blogspot.com.au/201
2/06/kepemilikan-warga-negara-asing-terhadap.html
Ari Sukanti Hutagalung dan Edna Hanindito.
Pembebanan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas
Tanah
Hak
Milik
berdasarkan
Perjanjian.
http://pphafh.ub.ac.id/pembebanan-hak-gunabangunanhak-pakai-atas-tanah-hak-milikberdasarkan-suatu-perjanjian/
Jayadi, Setiabudi. 2012. Tata Cara Mengurus Tanah
Rumah dan Perizinannya.Yogyakarta: Buku Pintar.
Diposkan 6th October 2013 oleh Tk MUHAMMAD SALIM
AKBAR SH M Kn

KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH OLEH WARGA


NEGARA ASING MELALUI PERJANJIAN NOMINEE

.entry-header
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebutuhan akan tanah dewasa ini semakin meningkat
sejalan dengan berkembangnya perekonomian Indonesia
dan meningkatnya kebutuhan lain yang berkaitan dengan
tanah. Tanah tidak saja sebgai tempat tinggal, tetapi juga
sebagai tempat melakukan usaha dan juga sebagai jaminan
mendapatkan pinjaman bank, untuk keperluan usaha,
sewa-menyewa, dan jual-beli. Begitu pentingannya
kegunaan tanah bagi orang atau badan hukum menuntut
adanya jaminan kepastian hukum atas tanah tersebut.
Seiring berkembangnya zaman dalam memasuki era
globalisasi, kemungkinan semakin terbukanya kesempatan
investor asing untuk berinvestasi dan membuka usaha
maupun untuk memiliki properti di Indonesia kian besar.
Mengingat Indonesia merupakan negara dengan
perekonomian yang berkembang, sehingga akan membuat
para pengusaha melirik Indonesia sebagai tempat untuk
membuka berbagai usaha.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari
bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang
dimaksudkan disini bukan mengatur dalam segala
aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya
saja, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut
hak. Tanah sebagai bagian dari bumi yang sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA, yaitu :
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum.[1]
Di Indonesia sendiri dalam sistem agraria menganut asas
nasionalisme yang menyatakan bahwa :
Hanya Warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak
milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan
dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak

membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama


warga Negara Indonesia baik asli maupun keturunan.
Asas Nasionalitas adalah salah satu asas dalam UUPA. Asas
Nasionalitas dalam hal ini sama dengan Asas hanya warga
negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah.
(Pasal 21 Ayat (1) jo. Pasal 26 Ayat (2) UUPA). Hak milik
tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak
milik kepada orang asing dilarang dengan ancaman batal
demi hukum. Dalam asas ini ditegaskan bahwa orang asing
tidak dapat memiliki tanah di Indonesia dan hanya warga
negara Indonesia yang dapat memiliki tanah di Indonesia.
Jadi tanah itu hanya disediakan untuk warga negara dari
negara-negara yang bersangkutan. Asas nasionalisme ini
terdapat dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 1 ayat (1)
(2) dan (3). Pasal 1 ayat (1) UUPA, menyatakan
bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah
air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (2)
UUPA, menyatakan bahwa Seluruh bumi, air dan rang
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
karunia Tuhan YME adalah bumi, air, dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Ini
berarti bumi, air, dan angkasa dalam wilayah Republik
Indonesia menjadi hak bagi bangsa Indonesia, jadi tidak
semata-mata menjadi hak daripada pemiliknya saja.
Demikian pula , tanah-tanah di daerah dan pulau-pulau
tidak semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah
atau pulau yang bersangkutan saja. Pada Pasal 1 ayat (3)
UUPA, dinyatakan bahwa hubungan antara bangsa
Indonesia dan bumi ,air serta ruang angkasa termasuk
dalam ayat (2) Pasal ini adalah hubungan yang bersifat
abadi .
Dengan demikian warga negara asing atau badan usaha
asing tidak mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia.
namun warga negara asing dapat memiliki tanah di
Indonesia dengan Hak Guna Usaha (HGU), Hak guna
Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP) dan Hak sewa Untuk
Bangunan. Kesemua hak yang diberikan kepada warga
negara asing oleh pemerintah dinyatakan sudah cukup
untuk memberikan peran kepada warga negara asing untuk
ikut berpartisipasi dalam pembangunan di Indonesia. Hak-

hak ini diberikan kepada asing untuk memajukan


perekonomian di Indonesia tanpa mencederai dari asas
nasionalitas dan asa kebangsaan yang dianut dalam UUPA.
Hal ini secara garis besar telah diatur dalam Pasal 41 &
Pasal 42 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan diatur
lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna
Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai
(HP) atas tanah. Akan tetapi, layaknya sebuah produk
hokum bahwa tidak ada yang sempurna, ada saja celah
bagi warga Negara asing untuk dapat memiliki tanah di
Indonesia, salah satunya dengan perjanjian nominee.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana Keabsahan perjanjian nominee yang dilakukan
oleh Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia ?
BAB II
KEABSAHAN PERJANJIAN NOMINEE YANG DILAKUKAN OLEH
WARGA NEGARA ASING DAN WARGA NEGARA INDONESIA
Perjanjian Nominee
Perjanjian nominee adalah orang atau badan yang secara
hukum memiliki (legal owner) suatu harta atau penghasilan
untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang
sebenarnya menjadi pemilik harta atau pihak yang
sebenarnya menikmati manfaat atas
penghasilan.Perkembangan perjanjian nominee ini terjadi
dikarenakan keinginan warga negara asing untuk
mempunya hak milik atas tanah di Indonesia secara
umumnya.
Namun tentu harapan itu tidak dapat terpenuhi karena
adanya peraturan yang melarang warga negara asing untuk
memiliki hak atas tanah di Indonesia, selain itu juga
betentangan dengan asas nasionalitas yang dianut dalam
undang-undang Indonesia. Hal inilah yang akhirnya
menimbulkan perjanjian nominee yang memungkinkan
warga negara asing untuk membeli dan menguasai bidang
tanah dengan hak milik.
Dalam praktek di lapangan nominee digunakan bagi Warga
Negara Asing untuk dapat menguasai tanah dengan
meminjam nama Warga Negara Indonesia dan dibuatlah
perjanjian Nominee dengan akta dibawah tangan antara
Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing tersebut,
dimana dengan menggunakan perjanjian tersebut Warga

Negara Asing dapat memiliki tanah dengan hak milik


dengan cara mendaftarkan tanah tersebut atas nama
Warga Negara Indonesia yang ditunjuknya sebagai
Nominee[2].
Perjanjian nominee atau nominee agreement dapat
diartikan sebagai perjanjian pernyataan dan kuasa.
Serorang WNImenyatakan bahwa tanah itu bukan miliknya
dan ia memberi kuasa kepadaWNA untuk dapat menjual
dan dalam hal itu pengikatan melalui surat perjanjian
dibawah tangan yang menjadi pengikatnya. Dengan adanya
perjanjian nominee, orang asing cukup meminjam identitas
dari seorang warga negara Indonesia untuk dicantumkan
namanya dalam suatu sertifikat tanah dan warga negara
asing menilai bahwa perjanjian ini jauh lebih praktis dan
menguntungkan untuk kedua belah pihak.
Secara teknis beberapa permasalahan akan timbul apabila
tanah tersebut akan dipindahtangankan sementara
nominee meninggal dunia, menghilang atau tidak diketahui
alamatnya, akan tetapi persoalan-persoalan tersebut telah
diantisipasi oleh orang asing yang bersangkutan dengan
membuat suatu perjanjian, yang secara garis besar
diperjanjikan sebagai berikut :
Pernyataan bahwa tanah tersebut dibeli dengan uang dari
orang asing yang bersangkutan dan nominee hanya
dipinjam namanya untuk dipakai keatas nama tanah
tersebut dalam sertifikat. Segala biaya yang timbul
dari pembelian tanah tersebut ditanggung oleh orang
asing (misalnya biaya pajak/, IMB).
Dibuat perjanjian antara orang asing dengan nominee
tersebut suatu perjanjian sewa-menyewa tanpa batas
waktu dan dengan biaya sewa yang direkayasa,
sehingga seolah-olah legaldan tidak melanggar
peraturan.
Dibuat surat kuasa mutlak dari orang bali (nominee)
kepada orang asing yang isinya boleh menjual dan
menyewakan kepada siapapun dan surat kuasa
tersebut tidak dapat dicabut lagi.
Dalam perjanjian nominee mengikat seluruh ahli waris
kedua belah pihak baik dari orang asing maupun dari
pihak nominee.
Perjanjian Nominee bisa dikatakan perjanjian simulasi atau
perjanjian pura-pura yang dilakukan oleh beberapa pihak

dalam hal ini Warga Negara Indonesia dengan Warga


Negara Asing bahwa mereka keluar menunjukkan seolaholah terjadi perjanjian antara mereka, namun sebenarnya
secara rahasia mereka setuju bahwa perjanjian yang
nampak[3].
Keabsahan Perjanjian Nominee
Perjanjian nominee merupakan salah satu cara untuk
merekayasa aturan yang termaktub dalam Undang-undang
Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Dalam pembuatan
perjanjian nominee telah melanggar asas-asas dalam
perjanjian maupun asas yang terdapat dalam UUPA, adapun
asas yang dilanggar dengan adanya perjanjian nominee ini
pada kasus kepemilikan hak atas di Indonesia oleh warga
negara asing, yaitu :
Asas Iktikad Baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt)
Asas iktikad baik dalam hal ini karena perjanjian ini dibuat
untuk mengelabui Pasal 9 dan Pasal 21 UUPA agar dapat
mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Hal ini
tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang
berbunyi: Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu
pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad
baik terbagi menjadi dua macam, yaitu[4] :
Itikad baik nisbi (relative)
Dalam iktikad baik nisbi yaitu iktikad baik yang
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari
subjek.
Itikad baikmutlak.
Penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat
ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian
tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
Asas Nasionalitas atau Asas Kebangsaan (Pasal 21 Ayat (1)
jo. Pasal 26 Ayat (2) UUPA).
Dalam UUPA terdapat asas kebangsaan yang dimana
menyatakan Sesuai dengan asas kebangsaan tersebut
dalam Pasal 1, maka menurut Pasal 9 jo Pasal 21 ayat (1)
hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh
orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing

dilarang (pasal 26 ayat 2).Orang-orang asing dapat


mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya
terbatas.Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum
tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2). Adapun
pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badanbadan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah
karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak
milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminanjaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang
khusus(hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai
menurut pasal 28, 35 dan 41).
Selain menganut konsepsi komunalistik religious yang
memungkinkan penguasaan tanah secara individual, UUPA
juga menganut prinsip nasionalitas.Dimana hanya WNI yang
dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah
sebagai bagian dari bumi sebagaimana termuat dalam
ketentuan pasal 9 ayat (1) UUPA dan pasal 21 ayat (1)
UUPA, yang kemudian pelaksanannya merupakan usaha
untuk mewujudkan frasa yang termuat dalam ketentuan
pasal 33 ayat (3) Amandemen IV Undang-undang dasar
1945. Hubungan yang dimaksud untuk hal ini adalah wujud
dari hak milik[5].
Pada prinsipnya, hanya Warga Negara Indonesia yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah menurut Pasal 21 ayat (1)
UUPA.Untuk warga negara asing atau badan hukum asing
yang hendak menggunakan tidak dapat memperoleh hak
milik atas tanah. Orang asing (yang berkedudukan di
Indonesia) hanya dapat mempunyai hak pakai, hak sewa
dan hak guna bangunan, serta hak guna usaha menurut
UUPA.
c.
Sebab causa yang halal ( Pasal 1320 KUHPdt )
Yang dimaksud sebab causa yang halal dalam pasal 1320
KUHPdt bukanlah sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri
yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihakpihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang
menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. Yang
diperhatikan atau diawasi oleh unang-undang ialah isi
perjanjian itu, yang dimana menggambarkan tujuan hendak
dicapai oleh para pihak, apakah dilarang oleh unadngundang atau tidak, apakah betentangan dengan ketertiban
umum atau tidak (Pasal 1337 KUHPdt).
Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal

ialah batal demi hukum (nietig, void).Dengan demikian


tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian
dimuka hukum, karena sejak semula dianggap tidak pernah
ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang
dibuat itu tanpa causa (sebab), ia diangggap tidak pernah
ada (Pasal 1335 KUHPdt).
Dari ketentuan pasal 9 ayat (1) dan pasal 21 ayat (1) UUPA
sudah jelas dan tegas dinyatakan bahwa warga negara
asing tidak dapat menguasai tanah di seluruh wilayah
Indonesia dengan menggunakan hak milik. Apabila WNA
membeli, mengadakan pertukaran, menerima hibah,
ataupun memperoleh warisan atas sebidang tanah yang
dikuasai dengan hak milik, maka perbuatan hukum yang
mendasari terjadinya perpindahan hak milik tersebut
menjadi batal karena hukum dan tanahnya menjadi
tanah negara (Pasal 26 ayat (2) UUPA ).
Disamping itu, apabila WNA memperoleh tanah yang
dikuasai dengan hak milik akibat percampuran harta, maka
hak milik tersebut harusdilepaskan dalam jangka waktu 1
tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Apabila hal itu tidak
dilaksanakan, hak milik atas tanah tersebut menjadi hapus
karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara (Pasal
21 ayat (3) UUPA).
Perjanjian Nominee dikategorikan sebagai salah satu bentuk
dari perjanjianInnominaat karena belum ada pengaturan
secara khusus tentangnya dan tidak secara tegas
disebutkan dalam pasal-pasal KUHPerdata. Nominee adalah
seseorang yang bertindak untuk nama pihak lain sebagai
wakil dalam arti sempit yang terbatas. Terkadang istilah
tersebut digunakan untuk menandakan sebagai agen atau
wali[6].
Dalam Keabsahannya perjanjian nominee sudah jelas tidak
bisa dibenarkan dan perjanjian ini sudah tidak dianggap ada
karena melanggar undang-undang dan asas perjanjian serta
asas kebangsaan yang terkandung dalam UUPA. Menurut
pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata mengenai syarat sahnya
perjanjian, bahwa ada suatu sebab yang halal, sesuatu
yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian
bukanlah dimaksud dengan sebab yang halal dan sesuatu
yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian pada
asasnya tidak diperdulikan oleh undang-undang. Yang
diperhatikan oleh hukum adalah tindakan orang-orang

dalam masyarakat. Sehingga dalam hal ini, sebab yang


halal adalah mengenai objek atau isi dan tujuan prestasi
yang terkandung dalam perjanjian itu sendiri, bukan
mengenai sebab yang menjadi latar belakang dibuatnya
suatu perjanjian[7].
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perjanjian Nominee yang dilakukan oleh Warga Negara
Asing dengan Warga Negara Indonesia adalah tidak sah
menurut hokum yang berlaku di Indonesia. Perjanjian
Nominee terus berlangsung dikarenakan kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap substansi dari perjanjian
tersebut. Masyarakat awam pada umumnya menganggap
bahwa apapun yang telah tertulis memiliki kekuatan bukti
yang kuat dan mengikat sehingga masyarakat merasa
kesulitan untuk menggugat jika perjanjian tersebut
dilakukan dengan kecurangan.
Saran
Pemerintah membuat suatu peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai perjanjian nominee
secara khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang Dasar Negara Republik Kesatuan Indonesia
Tahun 1945
Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok pokok
Agraria.
Aliyin Yosep. 2012, Asas-asas Hukum Perdata,
http://yosepaliyinsh.blogspot.com/2012/09/asas-asashukum-perdata.html, Diakses jam 19.15 WIB, tanggal 1 Juli
2013
Djaja, Ida Bagus Gede Wdhi Wiratama Rai. Pengaturan
Mengenai Perjanjian Nominee dan keabsahannya (Ditinjau
Dari UUPA).Hukum Bisnis. Universitas Udayana.
Garner, Bryant A. 1999,Blacks Law Dictionnary With Guide
To Pronunciation. St. Paul: West Publishing.
Putra, G. Agus Permana.2010, Wanprestasi Dalam
Penggunaan Nominee Pada Perjanjian Yang Dibuat Dibawah
Tangan Berkaitan dengan Kepemilikan Tanah Di
Bali. Masters thesis, Univesitas Diponegoro

Purba, Natalia Christine. 2006, Kesbsahan Perjanjian


Innominaat Dalam Bentuk Nominee Agreement (Analisis
Kepemilikan Tanah Oleh Warga Negara Asing).Jakarta,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Santoso,Urip. 2008,Hukum Agraria dan Hak Hak Atas Tanah,
Jakarta. Kencana
Subekti.2002, Hukum Perjanjian. Jakarta, PT. Intermasa,
Cetakan 19
[1] Santoso,Urip. 2008,Hukum Agraria dan Hak Hak Atas
Tanah, Jakarta. Kencana, Hlm. 10
[2]Putra, G. Agus Permana.2010, Wanprestasi Dalam
Penggunaan Nominee Pada Perjanjian Yang Dibuat Dibawah
Tangan Berkaitan dengan Kepemilikan Tanah Di
Bali. Masters thesis, Univesitas Diponegoro
[3]Subekti.2002, Hukum Perjanjian. Jakarta, PT. Intermasa,
Cetakan 19, Hlm. 1
[4]Aliyin Yosep. 2012, Asas-asas Hukum
Perdata,http://yosepaliyinsh.blogspot.com/2012/09/asasasas-hukum-perdata.html Diakses jam 19.15 WIB, tanggal
20 April 2014
[5]Djaja, Ida Bagus Gede Wdhi Wiratama Rai. Pengaturan
Mengenai Perjanjian Nominee dan keabsahannya (Ditinjau
Dari UUPA).Hukum Bisnis. Universitas Udayana.
[6] Garner, Bryant A. 1999,Blacks Law Dictionnary With
Guide To Pronunciation. St. Paul: West Publishing, Hal.1072
[7]Purba, Natalia Christine. 2006, Kesbsahan Perjanjian
Innominaat Dalam Bentuk Nominee Agreement (Analisis
Kepemilikan Tanah Oleh Warga Negara Asing).Jakarta,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hlm. 34-35

Anda mungkin juga menyukai