Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini banyak terjadi perkawinan campuran di Indonesia. Pengertian Perkawinan
Campuran menurut undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974 dalam pasal 57 adalah
"Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia". Pengertian
perkawinan campuran menurut Undang-undang Perkawinan adalah lebih sempit apabila
dibandingkan dengan pengertian "perkawinan campuran" dalam GHR, karena kriteria perkawinan
campuran menurut UUP hanya didasarkan atas adanya hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan semata-mata dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran diperlukan syarat-syarat menurut
undang-undang No. 1 Tahun 1974 (UUP). Perkawinan campuran diatur dalam BAB XII bagian
ketiga dari pasal 57 sampai dengan pasal 62 UUP. Akibat hukum perkawinan campuran dapat
berdampak terhadap status kewarganegaraan suami istri dan status kewarganegaraan ibunya.
Akibat hukum yang lain dari perkawinan campuran di Indonesia dan bertempat tinggal di
Indonesia dapat dianalogikan dengan akibat perkawinan yang diatur dalam pasal 30 sampai dengan
pasal 36 UUP.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas penulis dapat merumuskan berbagai masalah diantaranya:
1. Apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran dan syarat-syarat perkawinan campuran?
2. Bagaimana prosedur melaksanakan perkawinan campuran?
3. Bagaimana Status Anak dari Perkawinan Campuran Beda Kewarganegaraan?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran.
2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur melaksanakan perkawinan campuran.
3. Untuk mengetahui status anak dari perkawinan campuran beda kewarganegaraan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERKAWINAN CAMPURAN


Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda
kewarganegaraan (pasal 57). Dari definisi pasal 57 UU Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-
unsur perkawinan campuran sebagai berikut:
a. perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;
b. di Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda;
c. karena perbedaan kewarganegaraan;
d. salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur kedua
menunjukkan kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang kawin itu. Tetapi
perbedaan itu bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan
karena unsur ketiga karena perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini bukan
kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat bahwa salah satu kewarganegaraan
itu ialah kewarganegaraan Indonesia.
Tegasnya perkawinan campuran menurut UU ini adalah perkawinan antar warganegara
Indonesia dan warganegara asing. Karena berlainan kewarganegaraan tentu saja hukum yang
berlaku bagi mereka juga berlainan.

B. Syarat-Syarat dan Pelangsungan Perkawinan Campuran


Apabila perkawinan campuran itu dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran
dilakukan menurut UU Perkawinan (pasal 59 ayat 2) yang menyatakan: “bahwa perkawinan
campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut UU Perkawinan No. 1 tahun 1974”.
Pasal 60 ayat 1 menyatakan: “Mengenai syarat-syarat perkawinan harus memenuhi syarat-syarat
perkawinan menurut hukum masing-masing pihak”. Pasal 60 ayat 2 menyatakan: “Pejabat yang
berwenang memberikan keterangan tentang telah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut
hukum masing-masing pihak ialah pegawai pencatat menurut hukum masing-masing pihak”.
Pasal 60 ayat 3 menyatakan: Apabila pegawai pencatat menolak memberikan surat
keterangan itu, yang berkepentingan itu mengajukan permohonan kepada Pengadilan, dan
pengadilan memberikan keputusannya. Jika keputusan pengadilan itu menyatakan bahwa
penolakkan itu tidak beralasan, maka keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti surat keterangan
tersebut.
Setelah surat keterangan Pengadilan atau keputusan Pengadilan diperoleh, maka
perkawinan segera dilangsungkan. Pelangsungan perkawinan dilangsungkan menurut hukum
masing-masing agama. Bagi yang beragama islam, menurut hukum islam yaitu dengan upacara
akad nikah, sedangkan bagi agama yang bukan islam dilakukan menurut hukum agamanya itu.

2
Dengan kata lain supaya dapat dilakukan akad nikah menurut agama islam, kedua mempelai harus
beragama islam. Supaya dapat dilakukan upacara perkawinan menurut catatan sipil, kedua pihak
yang kawin itu harus tunduk ketentuan upacara catatan sipil. Pelangsungan perkawinan dilakukan
dihadapan pegawai pencatat.
Ada kemungkinan setelah mereka memperoleh surat keterangan atau putusan Pengadilan,
perkawinan tidak segera mereka lakukan. Apabila perkawinan mereka tidak dilangsungkan dalam
masa enam bulan sesudah keterangan atau putusan itu diberikan, maka surat keterangan atau
putusan pengadilan itu tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5).

C. PROSEDUR DALAM MELAKSANAKAN PERKAWINAN CAMPURAN


Prosedur bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang akan menikah di Indonesia dengan
laki-laki Warga Negara Asing (WNA) berdasarkan UU yang berlaku saat ini (UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan) adalah sebagai berikut.

1. Perkawinan Campuran
Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan Campuran (pasal 57 UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan). Artinya perkawinan yang akan anda lakukan adalah perkawinan
campuran.
2. Sesuai dengan UU Yang Berlaku
Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang
Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada
persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belumberumur 21
tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).
3. Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan
Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk
memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, --anda
dan calon suami anda,-- (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan
bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan. Bila
petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat keterangan, maka anda dapat meminta
Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan
(pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan).Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan
ini berlaku selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka
Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU
Perkawinan).
4. Surat-surat yang harus dipersiapkan
Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni:

3
a. Untuk calon suami harus meminta calon suami, untuk melengkapi surat-surat dari daerah atau
negara asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan "Surat Keterangan"
yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan
oleh instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:
o Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)•Fotokopi Akte Kelahiran
o Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin;atau
o Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau
o Akte Kematian istri bila istri meninggal
o Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah
yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di
Indonesia.
b. Untuk calon istri, sebagai calon istri harus melengkapi diri anda dengan:
o Fotokopi KTP
o Fotokopi Akte Kelahiran
o Data orang tua calon mempelai
o Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi
anda untuk melangsungkan perkawinan
5. Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)
Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan
(kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang.Bagi yang beragama Islam, pencatatan
dilakukan oleh pegawaiPencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk.
Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh PegawaiKantor Catatan Sipil.
6. Legalisir Kutipan Akta Perkawinan
Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus dilegalisir di Departemen
Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara
asal suami.Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan anda sudah sah dan diterima secara
internasional, baik bagi hukum di negara asal suami,maupun menurut hukum di Indonesia

7. Konsekuensi Hukum
Ada beberapa konsekuensi yang harus anda terima bila anda menikah dengan seorang
WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status anak. Berdasarkan UU
Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria
WNA,maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-
sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia.Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda,
dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan
pilihannya.Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun
setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Jadi bersiaplah untuk mengurus prosedural
pemilihan kewarganegaraan anak anda selanjutnya.

4
Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus didaftarkan di
kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui oleh hukum kita. Surat bukti perkawinan itu
didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal anda di Indonesia (pasal 56 ayat (2)
UU No 1/74).

D. STATUS ANAK DARI PERKAWINAN CAMPURAN


1. Landasan Hukum dan Teori-teori yang Mengaturnya
Dalam UU Nomor 62 Tahun 1958, anak yang lahir dari “perkawinan campur” hanya bisa
memiliki satu kewarganegaraan dan ditentukan hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya.
Ketentuan dalam UU Nomor 62 Tahun 1958, dianggap tidak memberikan perlindungan hukum
yang cukup bagi anak yang lahir dari perkawinan campur dan diskriminasi hukum terhadap WNI
Perempuan. Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran
bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing.
Upaya memberikan perlindungan kepada warga Negara Indonesia yang melakukan
pernikahan dengan warga asing serta menghilangkan diskriminasi bagi WNI perempuan, lahirlah
Undang-undang Kewarganegaraan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006.
Undang–undang ini memperbolehkan adanya kewarganegaraan ganda bagi anak-anak hasil kawin
campur. Hal ini merupakan ketentuan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan kewarganegaran
dari perka-winan campuran.
Disahkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia (UU Kewarganegaraan) ini pada tanggal 1 Agustus 2006 oleh Bapak Presiden Republik
Indonesia, memberikan semangat dan harapan baru bahwa Negara benar-benar menjamin dan
melindungi kepentingan dan hak dasar bagi perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA
untuk bersama menurunkan kewarganegaraan kepada keturunan mereka
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, anak yang lahir dari perkawinan
seorang Perempuan WNI dengan Pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang
Pria WNI dengan Perempuan WNA, diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Kewarganegaraan merupakan salah satu unsur hakiki yang pada umumnya sangatlah
penting dan merupakan unsur pokok bagi suatu negara yang menimbulkan hubungan timbal balik
serta mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warga negara, khususnya anak
yang dilahir di Indonesia dari suatu perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan
warga negara asing. Penentuan sistem kewarganegaraan yang dianut di dunia pada umum yaitu
kewarganegaraan tunggal berdasarkan suatu asas keturunan (ius sanguinis) atau tempat kelahiran
(ius soli). Akan tetapi adakalanya bagi seseorang anak untuk dapat memiliki kewarganegaraan
ganda (bipatride), hal tersebut disebabkan karena untuk mencegah adanya orang yang tanpa
kewarganegaraan (apatride).

5
Penentuan Kewarganegaraan yang dianut di Indonesia menurut Undang-undang No.12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yaitu kewarganegaraan ganda terbatas yang pada pasal 6
dan 21 menjelaskan bahwa anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin,
berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan
Republik Indonesia, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin maka anak tersebut
harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Kewarganegaraan ganda terbatas yang diberikan kepada anak hasil dari suatu perkawinan
campuran dikarenakan apabila terdapat suatu perceraian atau putusnya perkawinan karena
kematian maka anak tersebut masih memiliki status kewarganegaraan, sehingga orang tuanya tidak
perlu lagi memelihara anak asing. Jadi, Undang–undang baru ini lebih memberikan perlindungan,
dan status kewarganegaraan anak yang dilahirkan dari “perkawinan campur” juga jadi lebih jelas.

6
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara pearkawinan antara dua orang yang
berbeda kewarganegaraannya, yang satu berkewarganegaraan Indonesia dan yang satu
berkewarganegaraan asing. Perbedaan disini dibatasi pada perbedaan kewarganegaraan bukan
pada perbedaan agama.
Sedangkan mengenai syarat-syarat perkawinan campuran sudah diatur dalam UU nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Diantaranya ialah kelengkapan surat-surat baik dari negara
Indonesia ataupun negara asal dari orang asing yang akan menikah tersebut. Seperti surat-surat
yang menjadi syarat perkawinan di Indonesia dan yang menjadi syarat di negara asing tempat dia
berdiam atau sebagai warga negara disana.
Dan mengenai status anak dari perkawinan campuran ini pun sudah diatur secara jelas
dalam UU nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam UU ini,
memperbolehkan adanya kewarganegaraan ganda bagi anak hasil dari perkawinan campuran
hingga dia berusia delapan belas tahun. Hal ini diatur dalam pasal 6 ayat (1) yang menentukan
bahwa anak tersebut bisa mengikuti kewarganegaraan ayahnya atau ibunya sebelum ia berusia
delapan belas tahun atau sudah menikah. Dan setelah ia berusia delapan belas tahun atau sudah
menikah maka ia harus menentukan sendiri mengenai status kewarganegaraannya sendiri.

7
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir. 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Tim Pengajar Hukum Kekeluargaan Universitas Jambi, Bahan Ajar Hukum Kekeluargaan, Jambi,
2008
Undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Undang-undang nomor 01 tahun 1974 tentang Perkawinan

Anda mungkin juga menyukai