Anda di halaman 1dari 89

HUKUM WARIS PERDATA BARAT

dan WASIAT

DR. UDIN NARSUDIN, SH., M.HUM., Spn.


• UDIN NARSUDIN
• S-1 UNPAS BANDUNG
• S-2 Notariat UI
• S-2 Ilmu Hukum UGM
• S-3 Ilmu Hukum UNPAD
• Notaris dan PPAT Kota Tangsel.
• Dosen: MKN UNPAS, MKN UNS, MH UNIDA
• Anggota MKP PPAT
• Anggota Dewan Pakar IPPAT Banten
• Anggota Tim Pakar PP-INI
• Pewarisan Menurut Sistem Hukum Waris Barat (KUHPerdata)

• Pewarisan yang diatur dalam KUHPerdata baru dapat terjadi bila ada
kematian dari pewaris dan mempunyai harta kekayaan untuk dialihkan
kepada ahli warisnya.
• Pewarisan merupakan tindakan menggantikan kedudukan orang yang
meninggal yang ada kaitan atau hubungannya dengan hak atas harta
benda, demikian menyangkut hukum kekayaan (vermogensrechtelijke
betrekkingen) orang itu.
• Kematian seseorang menurut KUHPerdata mengakibatkan peralihan
segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata:
• “sekalian ahli waris dengan sendirinya demi hukum memperoleh hak
milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang
meninggal “.
• Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya disebut “saisine” yaitu ahli waris memperoleh segala hak dan
kewajiban dari yang meninggal dunia, tanpa memerlukan suatu tindakan
tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui
tentang adanya warisan itu.
• Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan
hukum kekayaan saja yang dapat diwariskan. Warisan menurut hukum
waris barat (KUHPerdata) meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak
dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang
dapat dinilai dengan uang.
• Ahli waris menurut sistem KUHPerdata terbagi dalam 2 (dua) yaitu :
• 1. Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris ab intestato, yaitu
ahli waris berdasarkan hubungan darah.
• 2. Ahli waris yang ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair erfrecht)
yaitu siapa saja yang disebutkan dalam testamentair dengan tidak
mengurangi kekecualian yang diatur dalam pasal 895-912 KUHPerdata.
• Syarat untuk menjadi ahli waris ab intestato, dinyatakan dalam Pasal 832
KUHPerdata, yang mengandung konsekuensi bahwa pada asasnya
keluarga semenda tidak mewaris, dan dapat mewaris adalah orang yang
mempunyai hubungan darah dengan pewaris.
• Seseorang yang akan menerima sejumlah harta peninggalan harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
• A. Harus ada yang meninggal dunia (Pasal 830 KUHPerdata).
• B. Ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia.
Harus ada ini berarti tidak hanya sudah dilahirkan tapi cukup apabila sudah ada
dalam rahim ibu.
• Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 KUHPerdata yaitu : “anak yang ada
dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan,
bilamana kepentingan anak menghendakinya. Apabila anak tersebut
meninggal pada saat dilahirkan, dianggap tidak pernah ada”.
• C. Seorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti tidak
dinyatakan oleh undang-undang sebagai seseorang yang tidak patut mewaris
karena kematian, atau tidak dianggap sebagai tidak cakap untuk menjadi ahli
waris.
• Pengalihan harta kekayaan dalam pewarisan dari pewaris kepada ahli
waris dapat diterima dengan sikap:
• A. Setelah terpenuhinya syarat-syarat diatas, para ahli waris diberi
kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap
terhadap suatu waris, ahli waris diberi hak untuk berpikir selama 4
(empat) bulan setelah itu harus menyatakan menerima warisan
sepenuhnya.
• B. Menerima dengan syarat atau menerima warisan secara beneficiar,
yaitu bahwa tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris
yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
• C. Menolak warisan sepenuhnya.
• Ada 3 sikap ahli waris, yaitu menolak, menerima dan menerima sebagian.
• Dalam hal menolak maka penolakan sebagai ahli waris untuk subjek hukum
yang tunduk pada hukum perdata diatur dalam Pasal 1057 KUHPerdata,
yaitu harus dilakukan dihadapan panitera Pengadilan Negeri, sampai
kemudian ada Penetapan PN. 
• Dalam prakteknya, beberapa pengadilan negeri memakai 2 macam
pemahaman :
1. Notaris membuat surat keterangan waris dahulu (SKW), kemudian dengan
SKW tersebut disampaikan kepada PN baru kemudian dibuatkan
akta penolakan waris dari ahli waris yang menolak. Dalam hal demikian
setelah terjadinya penolakan, notaris membuat SKW lagi yang menunjuk
penolakan waris tersebut, yang berisikan nama-nama ahli waris yang tidak
menolak.
• 2. Ahli waris yang menolak, melakukan penolakan didepan Panitera
Pengadilan Negeri, yaitu sebelum dibuat SKW sehingga notaris
mengeluarkan SKW yang berisikan nama-nama ahi waris yang tidak
menolak.
• Bahwa apabila dilihat dari Putusan MARI Nomor 23 K/Sip/1973,
disebutkan bahwa ahli waris yang menyatakan diri menolak harta warisan,
dan penolakan itu telah dikeluarkan penetapan oleh PN, tidak dapat lagi
menuntut harta peninggalan dari pewaris.
• Oleh karena itu maka disamping tidak dapat meminta pembagian waris,
juga tidak dapat menuntut harta peninggalan yang dikuasai oleh pihak lain.
Lebih lanjut tentu harus dilihat ketentuan Pasal 1058 KUHPerdata yang
menyebutkan ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah
menjadi waris.
• Seseorang yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya
dikecualikan dari pewarisan ditentukan dalam Pasal 838 KUHPerdata, yaitu :
• 1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan membunuh atau
mencoba membunuh yang meninggal.
• 2. Mereka yang dengan keputusan hakim pernah dipersalahkan karena
secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris, ialah
pengaduan telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman
penjara 5 (lima) tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
• 3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah pewaris
(yang meninggal) untuk membuat dan mencabut surat wasiatnya.
• 4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat
wasiat yang meninggal.
• Dalam hukum waris barat, dikenal adanya penggantian waris
(plaatsvervulling), yang terjadi apabila seorang ahli waris meninggal
dunia terlebih dahulu dari pewaris.
• Penggantian tempat selalu dikaitkan dengan ahli waris yang meninggal
terlebih dahulu dari pewaris. Pada dasarnya menurut KUHPerdata
penggantian merupakan suatu hak yang diberikan kepada seorang ahli
waris dalam menggantikan ahli waris lainnya untuk bertindak sebagai
penggantinya dalam hak dan derajat yang sama dengan ahli waris yang
diganti, jelasnya dalam hal ini yang digantikan adalah ahli waris yang
mempunyai hak mewaris, akan tetapi meninggal mendahului pewaris
• Seorang ahli waris dapat meminta atau menuntut haknya bila warisan
yang menjadi bagiannya dikuasai oleh yang bukan ahli waris untuk
mengembalikan harta tersebut. Setiap ahli waris mempunyai hak mutlak
yang disebut legitieme portie.
• Bagian Mutlak adalah bagian dari suatu warisan yang tidak dapat
dikurangi dengan suatu pemberian semasa hidup atau pemberian
dengan testamen.
• Pewaris tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik sebagai
pemberian antara yang masih hidup maupun selaku wasiat.
• Bagian Mutlak ini diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus, yaitu
ada garis lurus kebawah yaitu anak-anak dan keturunannya, serta garis
lurus ke atas yaitu orang tua dan semua leluhurnya.
• Bagian Mutlak (legitieme portie) bagi para ahli waris dalam garis lurus
kebawah dimuat dalam Pasal 914 KUHPerdata, yaitu:
• Jika hanya ada seorang anak (sah) saja, maka bagian itu adalah ½
(setengah) dari bagian menurut hukum waris tanpa testamen.
• Jika ada 2 (dua) orang anak, bagian itu sebesar 2/3 (dua pertiga)
bagian masing-masing menurut hukum waris tanpa testamen.
• Jika ada 3 (tiga) orang anak, bagian itu sebesar ¾ (tiga perempat)
bagian masing-masing menurut hukum waris tanpa testamen.
• Pasal 1066 KUHPerdata menetapkan adanya hak dan ahli waris untuk
menuntut diadakannya suatu pemisahan harta warisan, namun dapat
pula diadakan persetujuan para ahli waris untuk selama waktu tertentu
tidak melakukan pemisahan, yaitu untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
• Pewarisan terjadi secara langsung pada saat ada yang meninggal tetapi
dalam mendapatkan warisannya perlu suatu proses yang dilakukan oleh
pejabat yang berwenang untuk membuat suatu surat keterangan
kematian dan harus membayar ganti rugi dan bunga sebagai
pengeluaran dalam melakukan pendaftaran penyegelan dari barang
peninggalan, untuk keperluan pemisahan dan pembagian bagi para ahli
waris yang tercantum dalam akta keterangan ahli waris.
• Apa syarat seseorang dapat menuntut bagian mutlaknya (legitime portie)?
• Dalam hal ahli waris ternyata tidak setuju dan merasa pembagian waris tersebut tidak
adil dan melanggar LP nya, maka ahli waris dapat mengajukan tuntutan. Dalam hal
ahli waris ingin mengajukan tuntutan terhadap LP nya, maka ahli waris harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
• 1. Orang tersebut harus merupakan keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke
bawah.
• Mereka inilah yang disebut: “Legitimaris”. Jadi, yang dalam hal ini kedudukan
suami/isteri adalah berbeda dengan anak-anak dan orang tua pewaris. Meskipun
sesudah tahun 1923 Pasal 852a KUHPerdata menyamakan kedudukan suami/isteri
dengan anak (sehingga suami/isteri mendapat bagian yang sama besarnya dengan
anak), akan tetapi suami/isteri tersebut bukanlah Legitimaris.
• Demikian pula saudara kandung dari pewaris, bukan merupakan Legitimaris. Oleh
karena itu isteri/suami dan saudara kandung tidak memiliki legitime portie atau
disebut non legitimaris (tidak memiliki bagian mutlak).
• 2.  Orang tersebut harus ahli waris menurut UU (ab intestato).
• Melihat syarat tersebut tidak semua keluarga sedarah dalam garis lurus
memiliki hak atas bagian mutlak. Yang memiliki hanyalah mereka yang
juga waris  menurut UU (ab instestato).
• 3. Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan wasiat pewaris,
merupakan ahli waris secara UU (ab intestato).
• Di dalam KUHPerdata dikenal ada 4 (empat) golongan ahli waris yang
bergiliran berhak atas harta warisan, dengan pengertian apabila ada ahli
waris golongan pertama, maka ahli waris golongan-golongan lainnya
tidak berhak, sebaliknya apabila ahli waris golongan pertama tidak ada
maka ahli waris golongan kedua yang berhak dan demikian seterusnya.
Untuk jelasnya disebutkan ke empat golongan ahli waris yaitu:
• Ahli waris golongan I;
• terdiri dari suami atau isteri yang hidup terlama, dan anak dan atau
keturunannya dengan syarat perderajatan yang lebih dekatlah yang
berhak mewaris terlebih dahulu.
• Ahli waris golongan I ini diatur berdasarkan dengan Pasal 832 ayat (1),
852 dan 852a KUHPerdata.
• Ahli waris golongan II;
• Terdiri dari;
• -orang tua pewaris yaitu, bapak dan ibu;
• -saudara-saudara dan atau keturunannya sampai batas yang
diperkenankan oleh undang-undang batasan tersebut telah dijelaskan di
dalam Pasal 861 KUHPerdata yakni sampai pada derajat keenam kecuali
dalam hal terjadinya pewarisan karena penggantian tempat (Pasal 844
KUHPerdata) Ahli waris golongan ini diatur sesuai dengan ketentuan
Pasal 854, 855, 856 dan 857 KUHPerdata.
• Pada ahli waris golongan kedua ini terjadi penyalahan atau penyimpangan
dari asas de naaste in het bloed erf het goed (keluarga yang terdekat
dengan pewarislah yang berhak mewarisi harta pewaris), sebab dalam
golongan kedua, dimana ayah dan ibu yang merupakan keluarga sedarah
dalam garis lurus derajat pertama secara bersama-sama dijadikan satu
golongan dengan saudara-saudara pewaris yang merupakan keluarga
sedarah dalam garis kesamping derajat kedua sehingga mereka tampil
mewaris secara bersama-sama.
• Akan tetapi meskipun di dalam meletakkan ayah dan ibu dalam satu
golongan dengan saudara-saudara pewaris, dan prinsip hubungan sedarah
terdekat disimpangi, namun didalam menentukan bagian masing-masing
(golongan kedua) oleh pembuat undang-undang asas de naaste in het
bloed erf hed goed tetap diperhatikan sehingga ayah dan ibu tetap
diberikan prioritas.
• Ahli waris golongan III;
• terdiri dari kakek dan atau nenek dalam garis bapak dan seterusnya ke
atas, serta kakek maupun nenek dalam garis ibu dan seterusnya ke atas.
Kelompok ahli waris ini diatur berdasarkan Pasal 853 KUHPerdata.
• Pada golongan Ketiga ini terjadi apa yang dinamakan pembelahan
(kloving) yang sesungguhnya antara garis ayah dan garis ibu, pada
golongan ketiga ini, tidak dikenal dengan pewarisan penggantian tempat,
sebagaimana disebutkan secara tegas didalam Pasal 843 KUHPerdata
bahwa, “Tiadalah pergantian terhadap keluarga sedarah dalam garis
menyimpang ke atas. Keluarga yang terdekat dalam kedua garis,
menyampingkan segala keluarga dalam perderajatan yang lebih jauh”.
• Ahli waris golongan IV;
• Terdiri atas keluarga sedarah dalam garis ke samping yang lebih jauh
(paman dan bibi dari garis ayah dan keturunannya, paman dan bibi dari
garis ibu dan keturunannya dalam batas yang ditentukan).
• Batasan tersebut adalah terdapat di dalam Pasal 661 KUHPerdata yakni,
sampai derajat ke enam kecuali dalam hal adanya penggantian tempat.
Penggantian tempat dalam golongan keempat ini terjadi tidak secara
otomatis, kecuali dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang harus di
penuhi (Pasal 845 KUHPerdata).
• Menurut ketentuan undang-undang bahwa setiap terjadinya pewarisan
harus memenuhi 3 (tiga) persyaratan yaitu :
• 1. Adanya orang yang meninggal dunia (erflater)
• Untuk terjadinya pewarisan, maka syarat pertama yang harus dipenuhi
adalah pewaris harus sudah meninggal dunia. Didalam pasal 830
KUHPerdata disebutkan bahwa, “pewarisan hanya berlangsung karena
kematian”.
• Tentang matinya pewaris, kemungkinan kematian tersebut diketahui
secara sungguh-sungguh (mati hakiki), artinya bisa dibuktikan dengan
pancaindra bahwa benar-benar telah mati, misalnya ada yang
menyaksikan, bahkan ikut menguburkannya.
• Atau juga mungkin matinya pewaris tersebut tidak diketahui secara pasti,
artinya tidak diketahui secara sungguh menurut kenyataan yang dapat
dibuktikan bahwa sudah mati, namun kematian pewaris tersebut
dinyatakan mati demi hukum yang dinyatakan oleh pengadilan dengan
putusannya “barangkali meninggal dunia”.
• Tentang pernyataan putusan “barangkali meninggal dunia” oleh
pengadilan beserta akibat-akibatnya tercantum dalam Pasal 467 sampai
dengan 492 KUHPerdata.
• Kematian seorang pewaris (erflater) menurut KUHPerdata mengakibatkan
terjadinya peralihan segala hak dan kewajiban seketika itu juga kepada
ahli warisnya.
• Ketentuan ini secara tegas dinyatakan di dalam Pasal 833 ayat (1), 955,
dan 1100 KUHPerdata yang pada intinya bahwa, sekalian ahli waris baik
menurut undang-undang maupun berdasarkan dengan surat wasiat
memperoleh hak milik atas barang.
• 2. Adanya Harta Peninggalan (erfenes)
• Kematian seorang pewaris (erflater) menurut KUHPerdata
mengakibatkan terjadinya peralihan segala hak dan kewajiban seketika
itu juga kepada ahli warisnya. Ketentuan ini secara tegas dinyatakan di
dalam Pasal 833 ayat (1), 955, dan 1100 KUHPerdata yang pada intinya
bahwa, sekalian ahli waris baik menurut undang-undang maupun
berdasarkan dengan surat wasiat memperoleh hak milik atas barang,
segala hak dan segala piutang, juga memikul beban berupa kewajiban
untuk membayar utang, hibah wasiat dan lain-lain seimbang dengan
yang diterima masing-masing dari warisan.
• 3. Adanya Ahli Waris (erfgenaam)
• Sebagai syarat ketiga dari pewarisan yaitu, adanya orang yang masih
hidup sebagai ahli waris (erfgenaam) akan memperoleh harta warisan
(aktiva dan pasiva) pada saat pewaris meninggal dunia.
• Ini berarti orang yang menurut undang-undang atau menurut surat
wasiat atau testament berhak mendapatkan harta warisan dari harta
kekayaan orang yang meninggal dunia.
• Menurut Pitlo bahwa ahli waris (erfgenaam) adalah mereka yang
menempati kedudukan hukum harta kekayaan pewaris, baik untuk
seluruhnya maupun untuk bagian yang seimbang.
• Ada ketentuan dari Pasal 832 ayat (2) KUHPerdata bahwa sekiranya semua
golongan ahli waris (I, II, III dan IV) tidak ada, maka segala harta
peninggalan (harta warisan) dari yang meninggal jatuh menjadi milik
Negara setelah ada keputusan pengadilan sebagaimana bunyi ketentuan
Pasal 833 ayat (3) KUHPerdata.
• Kecuali dengan itu, Negara wajib melunasi segala kewajiban atau beban
sebagai utang yang meninggal dunia (pewaris) sekedar harta peninggalan
jika mencukupi untuk itu (Pasal 832 ayat (2) KUHPerdata). Dengan demikian,
sesuai dengan Pasal 832 ayat (2) KUHPerdata, maka Negara tidak secara
otomatis demi hukum mengoper hak dan kewajiban pewaris menjadi milik
Negara (vervallen de goerden aan de lande), kecuali setelah ada keputusan
hakim pengadilan.
• Jadi Negara di dalam kedudukannya sebagai penerima harta kekayaan dari
pewaris tidak memiliki hak saisine.
• Asas Hukum Kewarisan Menurut KUHPerdata
• 1. Asas Kematian
• Asas ini mengandung pengertian bahwa pewarisan hanya berlangsung
atau terjadi karena adanya kematian, mengandung suatu asas pokok
Hukum Kewarisan yaitu terhadap harta warisan baru terbuka (jatuh
meluang) kalau pewaris sudah meninggal dunia dan setelah syarat-syarat
lainnya dipenuhi.
• Asas kematian ini ditemukan peraturan hukumnya pada Pasal 830
KUHPerdata bahwa “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.
Kemudian pada Pasal 1063 KUHPerdata menegaskan bahwa : “Sekalipun
dalam suatu perjanjian perkawinan, tak dapatlah seseorang melepaskan
haknya atas warisan seorang masih hidup, begitu pun tak dapatlah
menjual hak-hak yang kemudian hari akan diperolehnya atas warisan
yang seperti ini”.
• Pada asas kematian mengandung 3 (tiga) hal penting sebagai peringatan
yaitu:
• -Tidak ada pewarisan kalau tidak ada kematian;
• -Bahwa seseorang tidak diperbolehkan untuk memperjanjikan akan
melepaskan haknya atas harta warisan keluarganya yang masih hidup
(calon pewarisnya);
• -Demikian pula seseorang tidak diperkenankan menjual hak-haknya yang
kemudian hari akan diperoleh (sekarang belum diperolehnya) dari suatu
pewarisan sekalipun misalnya telah diperjanjikan dalam perjanjian
kawin.
• 2. Asas Berdasarkan Hubungan Darah Dan Hubungan Perkawinan
• Asas hubungan darah dan hubungan perkawinan tercermin didalam
ketentuan Pasal 832 ayat (1) dan 852a KUHPerdata. Menurut Pasal 832
ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa: Menurut undang-undang
yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik
sah maupun luar kawin, dan suami atau isteri yang hidup terlama,
semua menurut peraturan tertera di bawah ini.
• Pada asasnya, menurut undang-undang, untuk dapat mewaris orang
harus mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan dengan
pewaris.
• Hubungan darah tersebut dapat sah atau luar kawin, baik melalui garis
bapak maupun melalui garis ibu.
• Hubungan darah yang sah adalah hubungan darah yang ditimbulkan
sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah, sedangkan hubungan
darah yang tak sah atau luar kawin timbul sebagai akibat hubungan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan disertai dengan
pengakuan anak secara sah
• Hubungan darah luar kawin atau hubungan darah tak sah menurut
• J. Satrio adalah, hubungan yang dianggap muncul sebagai akibat
hubungan biologis antara ayah biologis dengan ibu yang melahirkan
anak luar kawin tersebut disertai dengan pengakuan yang sah terhadap
anak luar kawin yang bersangkutan.
• Kata “dianggap” di dalam pengertian di atas muncul sebagai akibat
hubungan biologis antara ayah biologisnya dan ibunya, karena siapa
sebenarnya ayah biologis anak tersebut tidak ada yang mengetahui
kecuali oleh ibunya sendiri.
• Pada asasnya anak luar kawin yang dapat diakui secara sah adalah anak
luar kawin dalam arti sempit yaitu, anak luar kawin yang bukan anak
zinah maupun anak sumbang dengan perkecualiannya pada Pasal 283 jo
273 KUHPerdata.
• Di samping kelompok keluarga sedarah, undang-undang mengenal pula
asas hubungan perkawinan, dalam pengertian hubungan suami isteri
yang hidup terlama (Pasal 832 ayat (1) dan 852a KUHPerdata).
• Maksud dari kata-kata “yang hidup terlama” adalah suami atau isteri
yang hidup lebih lama daripada suami/isteri yang mati, maksudnya
adalah duda atau janda, yang masih hidup.
• 3. Asas Perderajatan
• Asas perderajatan adalah suatu asas yang menetapkan bahwa ahli waris
yang derajatnya lebih dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang
lebih jauh derajatnya dengan pewaris, keluarga yang lebih dekat
derajatnya dengan pewaris menutup keluarga yang lebih jauh.
• Pada Pasal 853 ayat (2) KUHPerdata menyebutkan, “Waris yang terdekat
derajatnya dalam garis lurus ke atas, mendapat setengah dari bagian
dalam garisnya, dengan mengesampingkan segala waris lainnya”.
• Sedang kalau perderajatannya sama maka mereka ahli waris berbagi
rata. Pasal 853 ayat (3) KUHPerdata menyatakan, “Semua keluarga
sedarah dalam garis lurus keatas derajat yang sama mendapat bagian
mereka kepala demi kepala.
• Semua anggota keluarga sedarah dengan pewaris tidak pasti mewaris, akan
tetapi baru mempunyai kedudukan “kemungkinan untuk mewaris”, sebab
anggota keluarga sedarah yang benar-benar dapat mewaris masih harus
diseleksi melalui asas de naaste het bloed erf het.
• Untuk mengukur jauh dekatnya hubungan antara pewaris dengan anggota
keluarganya, maka dipakai ukuran yaitu, hubungan perderajatan, artinya
menghitung hubungan antara pewaris dengan para ahli waris melalui leluhur
(nenek moyang) yang sama menurunkan ke dua orang tersebut.
• Ali Affandi mengemukakan bahwa untuk mengetahui bagaimana hubungan
kekeluargaan antara 2 (dua) orang, maka perlu diselidiki siapakah yang
menurunkan 2 (dua) orang tersebut, sehingga terdapat seorang saja
(sepasang suami isteri yang menjadi leluhurnya). Kalau sudah ketemu
leluhur tersebut kemudian ditarik garis yang menghubungkan ke dua orang
tersebut melalui leluhurnya tadi.
• 4. Asas Individual
• Asas ini dapat dilihat ketentuan hukumnya melalui Pasal 852
KUHPerdata. Sesuai dengan namanya asas individual, maka ahli waris
tampil menjadi ahli waris secara individu-individu (perseorangan), bukan
kelompok ahli waris.
• Menurut asas ini, jika antara ahli waris dengan pewaris mempunyai
pertalian darah dalam derajat ke satu, maka ahli waris mewaris “kepala
demi kepala”, mereka mewaris karena haknya atau karena
kedudukannya sendiri (uit eigen hoofed), dan apabila berkedudukan
sebagai ahli waris pengganti (bijplaatsvervulling) maka mereka mewaris
secara “pancang demi pancang” (Pasal 852 ayat (2) KUHPerdata).
• Ahli waris yang mewaris berdasarkan “haknya sendiri” adalah ahli waris
yang terpanggil untuk mewaris karena kedudukannya sendiri
berdasarkan hubungan darah antara ahli waris dengan pewaris.
• Didalam Pasal 852 ayat (2) KUHPerdata dikatakan, “mewaris karena
dirinya sendiri”.
• Sedang ahli waris karena “penggantian tempat”, adalah ahli waris yang
muncul sebagai pengganti tempat orang lain yang seandainya tidak mati
terlebih dahulu dari pewaris, maka “orang lain” itu sedianya akan
mewaris.
• Di dalam Pasal 852 ayat (2) KUHPerdata dikatakan, “mereka bertindak
sebagai pengganti”.
• Penggantian memberikan hak kepada seorang yang mengganti (sebagai
ahli waris pengganti) untuk bertindak dalam derajat dan dalam segala
hak orang yang diganti (Pasal 841 KUHPerdata).
• Dengan melihat penjelasan yang ada ini, maka dapat disimpulkan bahwa
Pasal 852 ayat (2) KUHPerdata menggambarkan dua macam pewarisan
yang mungkin terjadi (pada ahli waris golongan I).
• -Pewarisan karena haknya sendiri, terjadi karena hubungan antara
pewaris dengan ahli waris adalah hubungan langsung, dan karena ahli
waris terpanggil untuk mewaris karena haknya sendiri.
• -Pewarisan karena penggantian tempat (Plaatsvervulling), terjadi karena
dimana hubungan antara pewaris dan ahli waris adalah hubungan yang
tidak langsung, artinya hubungan yang diantarai oleh orang lain, dan ahli
waris terpanggil untuk mewaris karena menggantikan kedudukan dari
orang lain yang seharusnya mewaris, akan tetapi ternyata meninggal
dunia lebih dahulu dari pewaris.
• Dengan asas individual ini, maka setiap ahli waris dapat menuntut
diadakannya pemisahan harta warisan yang belum terbagi (Pasal 1066
ayat (2) KUHPerdata).
• Dengan asas individual ini, harta warisan dibagi-bagi pemiliknya kepada
para ahli waris, bahkan jika ada kepentingan yang menghendaki untuk
diadakannya pembagian warisan, maka sebagai konsekuensi dari asas
individual di dalam hukum kewarisan menurut KUHPerdata ini, anak
yang masih dalam kandungan ibunya pun patut diperhitungkan selaku
ahli waris dengan ketentuan mereka itu lahir dalam keadaan hidup
(Pasal 2 KUHPerdata).
• 5. Asas Bilateral
• Asas bilateral diketemukan ketentuan hukumnya didalam Pasal 832 ayat
(1) KUHPerdata. Asas bilateral ini mengandung pengertian bahwa
seseorang tidak hanya mewaris dari bapak saja, akan tetapi juga
mewaris dari ibu, demikian juga saudara laki-laki mewaris dari saudara
laki-lakinya dan juga pada saudara perempuannya, masing-masing
mempunyai hak karena dirinya sendiri, ataukah bertindak sebagai ahli
waris pengganti.
• Dengan berpedoman juga pada Pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852
KUHPerdata, menetapkan bahwa antara suami dan istri memiliki
kedudukan yang sama dalam mewaris.
• 6. Asas Bahwa Segala Hak Dan Kewajiban Pewaris Beralih Kepada Ahli Waris.
• Asas ini sesungguhnya secara langsung tercermin pada pengertian Hukum
Kewarisan sebagai peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang
yang meninggal dunia kepada yang masih hidup selaku ahli waris. Asas ini sesuai
dengan pepatah Perancis yang berbunyi, “le mort saisit le vif” yang artinya kurang
lebih bahwa “yang meninggal dunia berpegang pada yang masih hidup”.
• Jadi yang meninggal seolah-olah mempunyai kekuasaan untuk menguasai orang
masih hidup, padahal yang sebenarnya adalah orang mati dapat digantikan
kedudukannya oleh yang masih hidup dalam hal kepemilikan hartanya.
• Kedudukan orang yang meninggal dunia terhadap orang yang masih hidup sebagai
ahli waris, dikatakan oleh A. Pitlo bahwa “diri yang meninggal dunia sebagai subjek
hukum berarti peristiwa orang yang meninggal dipandang sebagai pemberian
kesempatan pada yang masih hidup untuk memiliki semua barangnya”.
• Apa yang berpindah dari pewaris kepada ahli waris. Yang berpindah adalah
segala hak (aktiva) dan segala kewajibannya (pasiva) yang bernilai uang
(Pasal 833 ayat (1) dan Pasal 1100 KUHPerdata).
• Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata membicarakan tentang hak (aktiva) yaitu,
“sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik
atas segala barang, segala hak dan segala piutang yang meninggal”. Sedang
pada Pasal 1100 KUHPerdata membicarakan mengenai kewajiban atau
beban (pasiva), yaitu para ahli waris yang telah menerima suatu warisan
diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan lain-lain beban,
memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing
dari warisan.
• Perolehan hak milik atas barang, dan segala piutang maupun kewajiban di
dalam memikul beban dari masing-masing ahli waris dilakukan secara
perseorangan, dan masing-masing menurut jumlah besarnya bagiannya.
• Asas “segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahli warisnya”
ini, adalah sebagai konsekwensi dari posisi Hukum Kewarisan menurut
KUHPerdata yang berada di tengah-tengah Hukum Kebendaan (Buku II
Bab XII s/d XVIII), yang berarti pula bahwa hak-hak mewaris merupakan
bagian dari hak-hak kebendaan.
• Bahkan dengan tegas Sajuti Thalib dalam tulisannya “Pemikiran Kearah
Rancangan Undang-Undang Hukum Islam Dan KUHPerdata”
menyebutkan bahwa, Hukum Kewarisan berdasarkan KUHPerdata itu
sangat berbau hak milik mutlak meskipun sebenarnya sangat sulit
diungkap jiwa hak milik mutlak yang dimaksud itu tetapi demikianlah
adanya, segala sesuatunya lebih ditekankan pada keadilan karena hak
milik benda yang hendak diterimanya sebagai warisan itu sangat
menonjol.
• Mewaris sebagai hak, maka para ahli waris berhak memperjuangkannya
dengan jalan mengajukan gugatan yang dapat mereka tujukan kepada:
• -sesama ahli waris;
• -kepada orang yang tanpa hak menguasai benda-benda warisan; dan
• -terhadap pihak-pihak yang secara licik menyebabkan hilangnya
kekuasaan ahli waris terhadap benda-benda yang sebenarnya
merupakan bagian dari harta warisan (Pasal 834 KUHPerdata).
• Hak untuk mengajukan gugatan guna memperoleh hak waris tersebut, di
dalam kepustakaan dikenal dengan istilah hereditatis petition (herpet).
• Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas ini, dapat disimpulkan
bahwa :
• -Menurut undang-undang bahwa, Hukum Kewarisan menurut KUHPerdata
berlaku ketentuan yaitu apabila seseorang meninggal dunia maka pada saat
itu, maka segala hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya;
• -Ahli waris menempati kedudukan yang meninggal dunia dalam hak yang
menyangkut harta kekayaan;
• -Ahli waris memperoleh hak secara mewaris demi hukum tanpa perlu
dengan levering;
• -Tiap-tiap ahli waris berhak menuntut setiap barang atau uang yang
termasuk harta peninggalan untuk diserahkan kepadanya kalau dikuasai
oleh orang lain;
• -Hak-hak mewaris merupakan bagian dari hukum kebendaan.
• 7. Asas Pembatasan Kewenangan Pewaris Melalui Pelembagaan
Legitieme Portie.
• Pembatasan kewenangan bagi pewaris di dalam asas ini adalah
pembatasan kewenangan bagi pewaris di dalam menentukan
peruntukkan atas harta peninggalannya menurut kehendaknya sendiri.
Pada prinsipnya pewaris bebas untuk memberikan harta peninggalannya
kepada siapapun juga, baik kepada yang bertalian darah maupun tidak
ada hubungan apa-apa.
• Akan tetapi oleh pembentuk undang-undang menganggap beberapa ahli
waris yang dekat hubungannya dengan ahli waris adalah tidak etis
apabila tidak mendapat sesuatu harta peninggalan dari pewaris, karena
itu dibentuklah apa yang dinamakan legitieme portie. Penerima
legitieme portie disebut dengan legitiemaris.
• Legitieme portie atau bagian mutlak adalah bagian dari waris yang tidak
dapat dikurangi dengan suatu pemberian semasa hidup atau pemberian
dengan surat wasiat atau testamen.
• Legitieme portie atau bagian mutlak, disebutnya mutlak karena bagian
ini sepenuhnya harus diberikan kepada Legitiemaris, tidak boleh
dikurangi oleh pewaris dengan jalan apapun, termasuk tidak boleh
dibebani dengan syarat apapun.
• Pembatasan kewenangan pewaris melembagakan legitieme portie
menurut ketentuan undang-undang bertujuan agar supaya para ahli
waris mendapatkan perlindungan hukum dari perbuatan pewaris yang
merugikan hak warisnya kerena adanya surat wasiat atau testamen yang
dibuat pewaris untuk kepentingan orang lain.
• Legitieme portie merupakan suatu hak dan hak ini dapat diberikan
kepada legitiemaris kalau yang bersangkutan menggunakan haknya,
yaitu kalau menggunakan legitieme portie-nya.
• Hak menuntut tersebut dapat diberikan kepada masing-masing
legitiemaris untuk sebesar bagian mutlak yang mereka mesti dapat.
• Karena itu, logis kalau setiap bagian mutlak itu tidak boleh diletakkan
beban apapun atasnya.
• Begitu pentingnya bagian mutlak itu (legitieme portie) untuk tidak boleh
dilanggar, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1019 KUHPerdata dengan
tegas mengingatkan bahwa, “asal saja legitieme portie tidak dilanggar
maka pewaris dapat secara bebas menentukan lain harta bendanya”.
• Hak menuntut seseorang legitiemaris dapat saja ditujukan baik terhadap
sesama ahli waris, maupun terhadap pihak ketiga, baik terhadap
ketetapan di dalam surat wasiat atau testament (erfstelling) maupun
ketetapan di dalam hibah wasiat (legaat).
• Jadi semua pemberian, baik semasa pewaris hidup seperti hibah
maupun yang terjadi sesudah pewaris meninggal dunia berupa wasiat
atau testamen yang merugikan hak dari bagian mutlak legitiemaris itu,
dapat dituntut oleh para legitiemaris sampai hak bagian mutlak tersebut
terpenuhi (Pasal 920, 927, 967 KUHPerdata).
• 8. Asas Pergantian Tempat (Plaatsvervulling)
• Pergantian tempat atau plaatsvervulling adalah penggantian ahli waris,
artinya memberi hak dan kesempatan kepada ahli waris pengganti untuk
mengganti kedudukan ahli waris yang lebih duluan meninggal dari pada
pewaris untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam
segala hak yang digantikannya (Pasal 841 KUHPerdata).
• Pergantian tempat memberi hak kepada seseorang yang mengganti,
untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak
orang yang diganti.
• Karena itu, pergantian tempat sebagai asas harus memenuhi
persyaratan, dan persyaratan tersebut dapat dilihat dari sudut ahli waris
yang diganti, dan dari sudut ahli waris pengganti.
• Apabila persyaratan itu dilihat dari sudut ahli waris yang diganti harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
• A. Sudah meninggal, dan meninggalnya lebih dahulu dari pada pewaris;
• B. Ahli waris yang diganti itu semasa hidupnya tidak termasuk ahli waris
yang tidak patut menerima harta warisan atau onwardig (Pasal 838, dan
912 KUHPerdata), dan tidak menolak harta warisan (Pasal 1057, dan
1058 KUHPerdata).
• Bila persyaratan dilihat dari sudut ahli waris pengganti, maka harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
• A. Yang berhak bertindak sebagai ahli waris pengganti hanyalah keturunan yang
sah dari orang yang digantikan kedudukannya;
• B. Harus ada dan masih hidup, tidak onwardig, dan tidak menolak harta warisan.
• Pergantian tempat atau plaatsvervulling penjabaran hukumnya ditemukan di
dalam Pasal 842, 844 dan 845 KUHPerdata, dengan Pasal-pasal ini menunjukan
bahwa KUHPerdata menganut asas pergantian tempat. Akan tetapi dilihat dari
ketentuan pasal di atas, oleh pembuat undang-undang membagi pergantian
tempat (plaatsvervulling) menjadi 2 (dua) cara yaitu;
• -pertama pergantian tempat yang dapat terjadi secara otomatis, (Pasal 842 dan
844 KUHPerdata), dan;
• - kedua pergantian tempat yang terjadi tidak secara otomatis (Pasal 845
KUHPerdata).
• Sesuai ketentuan pasal 842 ayat (1) KUHPerdata bahwa, “Pergantian dalam
garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus dan tidak ada akhirnya”.
• Dengan menggunakan kalimat, “pergantian dalam garis lurus ke bawah
yang sah” di dalam pasal ini, menunjuk pada pergantian tempat yang
terjadi kepada keturunan ahli waris yang sah golongan pertama.
• Kemudian kalimat “berlangsung terus dengan tidak ada akhirnya” berarti
pergantian tempat pada keturunan ahli waris golongan pertama ini
selamanya diperbolehkan (Pasal 842 ayat (2) KUHPerdata), baik dalam hal
bilamana beberapa anak yang meninggal (pewaris) mewaris bersama-sama
dengan keturunan seorang anak yang telah meninggal dunia lebih dahulu
(cucu pewaris), maupun sekalian keturunan mereka mewaris bersama-
sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda
derajatnya.
• Kemudian pergantian tempat secara otomatis berdasarkan Pasal 844
KUHPerdata terjadi pada keturunan ahli waris golongan kedua.
• Pasal 844 KUHPerdata menyebutkan bahwa dalam garis menyimpang
pergantian diperbolehkan atas keuntungan sekalian anak dan keturunan
saudara laki-laki dan perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu,
baik mereka mewaris bersama-sama dengan paman atau bibi mereka,
maupun warisan itu setelah meninggalnya semua keturunan mereka,
yang mana satu sama lain bertalian keluarga dalam perderajatan yang
tidak sama.
• Kemudian pada pergantian tempat yang terjadi tidak secara otomatis
berdasarkan dengan ketentuan Pasal 848 KUHPerdata, hanya akan terjadi
bilamana memenuhi 2 (dua) persyaratan sebagai berikut:
• 1.Ada keluarga sedarah dalam garis menyimpang, yang merupakan de naaste in
het bloed;
• 2. Ada keturunan dari saudara laki-laki atau keturunan anak saudara perempuan
dari orang yang merupakan de naaste in het bloed.
• Pergantian tempat yang tidak secara otomatis ini, terjadi dalam garis
menyimpang, disini dimaksudkan pasti bukan anak-anak saudara (ahli waris
golongan II), karena mereka telah diatur dalam Pasal 844 KUHPerdata. Sehingga
satu-satunya kemungkinan adalah, pergantian tempat dalam garis menyimpang
yang lebih jauh, yaitu untuk anak-anak atau keturunan paman atau bibi pewaris.
• Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pergantian tempat semacam ini,
hanya dapat terjadi pada anak keturunan ahli waris golongan IV.
• Bila dicermati, asas pergantian tempat ini mencerminkan motivasi
kemanusiaan guna memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan,
karena tidak patutlah adanya menghukum seseorang untuk tidak
menerima warisan yang semestinya harus diperoleh orang tuanya (ahli
waris yang diganti) hanya karena faktor kebetulan orang tuanya itu lebih
dahulu meninggal dunia dari kakek atau nenek.
• Apalagi jika faktanya, pada saat kakek atau nenek meninggal dunia
dimana anak-anaknya sudah kaya dan telah mapan kehidupannya,
sebaliknya cucu karena lebih cepat ditinggal yatim oleh orang tuanya
menjadi melarat dan miskin, maka apakah patut melenyapkan haknya
untuk memperoleh apa yang semestinya menjadi bagian orang tuanya.
• 9. Asas Pelembagaan Hibah Wasiat Dan Testamen
• Pasal 874 KUHPerdata menetapkan bahwa ”segala harta peninggalan
seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli
warisnya menurut undang-undang, sekadar terhadap hal itu dengan
surat wasiat tidak telah diambil suatu ketetapan yang sah”.
• Dengan ketentuan pasal di atas ini, tersimpul suatu asas penting Hukum
Kewarisan yaitu, ketetapan pewarisan berdasarkan undang-undang (ab
intestato), baru berlaku kalau pewaris tidak atau telah meninggal suatu
ketetapan yang menyimpang mengenai harta peninggalannya, ketetapan
mana harus dituangkan dalam bentuk surat wasiat.
• Di dalam ketentuan undang-undang, pembuat undang-undang
membedakan surat wasiat (erfstelling) dengan hibah wasiat (legaat).
Surat wasiat diatur di dalam Pasal 954, 955 dan 956 KUHPerdata, sedang
hibah wasiat diatur dalam Pasal 957 KUHPerdata dan seterusnya
kebawah.
• Hibah wasiat atau legaat merupakan pemberian hak kepada seseorang
atas dasar wasiat khusus, berupa; hak atas satu atau beberapa benda
tertentu; hak atas benda bergerak dan tidak bergerak; dan hak pakai
(hak vruchtgebruik) atas sebagian atau seluruh harta warisan.
• Pewarisan dengan surat wasiat atau testamen (erfstelling) adalah suatu
pemberian (harta warisan) dengan tidak di tentukan bendanya secara
tertentu (Pasal 954 KUHPerdata). Orang yang mendapatkan harta warisan
berdasarkan surat wasiat atau testamen merupakan ahli waris di bawah
titel umum (Pasal 955 KUH Perdata).
• Maksud sebagai ahli waris di bawah titel umum adalah ahli waris yang
kedudukannya sama dengan ahli waris berdasarkan undang-undang,
dimana segala hak milik atas barang, piutang, maupun kewajiban atau
beban pewaris kepada pihak ketiga beralih kepada ahli waris dengan surat
wasiat atau testamen tersebut (Pasal 955 KUHPerdata).
• Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ahli waris dengan surat wasiat
atau testamen menimbulkan akibat hukum terhadap terjadinya peralihan
hak dan kewajiban (aktiva dan pasiva) dari pewaris kepada ahli waris.
• Pada prinsipnya, pembentuk undang-undang mengadakan Hukum
Kewarisan berdasarkan surat wasiat atau testamen berpangkal pada
pikiran bahwa harta kekayaan seseorang itu pada hakekatnya adalah
hasil dari jerih payahnya selama hidup, karena itu adalah wajar adanya
jika mereka pun diberikan kebebasan didalam menentukan kepada
siapa hartanya itu dapat diberikan atau yang disukai selama tidak
merugikan ahli waris yang berkedudukan sebagai ahli waris yang harus
mendapatkan bagian mutlak (legitieme portie).
WASIAT
• Surat wasiat berisikan keinginan atau kehendak terakhir pewaris sebelum
meninggal dunia. Ungkapan keinginan atau kehendak terakhir pewaris
mempunyai dua arti yakni, arti materil dan arti formil. Arti materil bahwa
keinginan terakhir dari pewaris tersebut menunjuk pada pemberian pada
waktu meninggal, sedangkan arti formil menunjukan arti
bahwa, suratwasiat itu merupakan akta yang harus memenuhi bentuk yang
disyaratkan menurut peraturan perundang-undangan.
• Kalimat “surat wasiat sebagai suatu akta”, sebagaimana di dalam Pasal 875
KUHPerdata, hal ini menunjukan bahwa suatu surat wasiat bentuknya tertulis,
maka di dalam cara membuatnya memerlukan campur tangan pejabat resmi
pembuat akta Wasiat yaitu notaris. 
• Surat wasiat atau testamen berisi pernyataan kehendak bagi almarhum,
ini berarti bahwa surat wasiat atau testamen itu merupakan suatu
perbuatan hukum sepihak yaitu, berupa tindakan atau pernyataan
kehendak satu orang saja sudah cukup untuk timbulnya akibat hukum
yang dikehendaki.
• Suatu surat wasiat atau testamen baru mempunyai efek (baru berlaku)
setelah pewaris meninggal dunia, itu sebabnya surat wasiat disebut
berisi pernyataan terakhir almarhum.
Kata “dapat dicabut kembali” mengandung konsekuensi bahwa surat
wasiat atau testamen itu pembuat wasiat dapat meninjau kembali
terhadap apa yang menjadi keinginannya itu, termasuk misalnya untuk
menetapkan apakah tindakan hukum seperti itu harus dibuat
dalam bentuk surat wasiat atau cukup dalam bentuk lain.
• Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa suatu surat wasiat atau testamen harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
a) Suatu surat wasiat atau testamen adalah berbentuk akta (tertulis);
b) Suatu surat wasiat adalah berisi pernyataan kehendak yang
merupakan tindakan sepihak (perbuatan hukum sepihak);
c) Suatu surat wasiat atau testamen baru berlaku apabila sipembuat
telah meninggal dunia;
d) Suatu surat wasiat atau testamen dapat dicabut kembali.
• Segala ketetapan dengan surat wasiat atau testamen sebagaimana yang
disebutkan dalam ketentuan bentuk Pasal 876 KUHPerdata terdiri dari 2
(dua) macam cara yaitu, pertama dengan alas hak umum yaitu,
memberikan wasiat dengan tidak ditentukan bendanya secara tertentu,
dan wasiat semacam ini lazim disebut dengan erfstelling misalnya, A
mewasiatkan ½ dari harta bendanya pada X.
kedua dengan alas hak khusus yaitu, memberikan wasiat yang bendanya
ditentukan jenisnya, dan wasiat semacam ini disebut legaat misalnya, A
mewasiatkan sebuah rumah di Jalan Anggrek Hitam Nomor 1 BSD
kepada X.
• Pasal 875 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu ketentuan dalam
wasiat mempunyai 2 sifat :
1. berlaku sesudah pewaris meninggal.
2. senantiasa dapat dicabut semasa pewaris masih hidup.
Bahwa yang paling lazim dalam suatu wasiat berisi apa yang dinamakan
erfstelling yaitu penunjukkan seorang atau beberapa orang menjadi ahli
waris yang akan mendapat seluruh bagian wasiat.
• Untuk membuat wasiat harus diperhatikan syarat-syarat sahnya wasiat :
a. orang yang memberi wasiat (pewasiat) sudah dewasa, mempunyai
pikiran sehat, benar-benar berhak atas harta benda yang diwasiatkan.
Disamping itu pewasiat tidak berada dibawah pengaruh yang tidak
menguntungkan seperti tertipu, terpaksa dan keadaan-keadaan lain
yang sejenis.
b. orang yang menerima wasiat (penerima) wasiat harus ada pada saat
wasiat tersebut dilakukan, atau penerima wasiat sudah/masih ada pada
saat pemberi wasiat meninggal dunia.
c. ketentuan jumlah yang boleh diwasiatkan.
d. pernyataan yang jelas.
• Menurut jenisnya wasiat dibedakan atas 3 (tiga) macam,
yaitu wasiatopenbaar, wasiat olografis, dan wasiat tertutup atau rahasia.
• Ketiga jenis wasiat ini dalam pembuatannya berbeda. Untuk lebih
jelasnya akan diuraikan tentang cara pembuatan jenis wasiat, sebagai
berikut :
• 1. Surat Wasiat Openbaar/umum dibuat oleh seorang notaris. Orang
yang akan meninggalkan warisan tersebut menghadap kepada notaris
dan menyatakan kehendaknya yang dicatat dalam akta (akta wasiat).
Salinan dari akta tersebut diserahkan kepada pembuatnya.
• Setelah pembuatwasiat meninggal dunia, maka ahli warisnya membawa
surat wasiat kepada Balai Harta Peninggalan dan oleh BHP dibawah
lembaran akta yang masih kosong dibuat suatu klausul yang berbunyi :
“telah didaftarkan di kantor BHP tanggal.....Nomor.....yang membuat
Surat Wasiat ini telah meninggal dunia di......
Tempat tinggal terakhir......
Pada tanggal.....
Atas Nama BHP, Sekretaris BHP”.
• 2. Surat Wasiat Olografis, harus ditulis tangan orang yang meninggalkan warisan
itu sendiri dan ditanda-tangani oleh pewasiat itu pula. Kemudian surat itu
diserahkan sendiri kepada salah seorang notaris untuk disimpan. Penyerahan
tersebut harus pula dihadiri oleh dua orang saksi. Sebagai bukti bahwa notaris
telah menerima surat tersebut, dibuatlah akta penyimpanan atau akta van depot.
• Penyerahan pada notaris dapat dilakukan secara terbuka atau tertutup.
Mengenai wasiat yang diserahkan secara tertutup, ditetapkan bahwa apabila
pewasiat meninggal dunia,wasiat itu harus diserahkan oleh Notaris kepada BHP,
yang akan membuka wasiat itu. 
• Wasiat olografis mempunyai kekuatan yang sama
dengan wasiat umum, wasiat olografis tersebut terhitung sejak tanggal akta
penyimpanan.
• Mengenai penyerahan wasiat olografis tersebut kepada BHP akan dituangkan ke
suatu Berita Acara yang ditanda-tangani oleh BHP.
• Apa yang dimaksud dengan wasiat Olografis ?
Wasiat olografis menurut Pasal 932 harus seluruhnya ditulis dan ditanda-
tangani oleh pewaris.
• Surat wasiat tersebut harus diserahkan kepada notaris dengan 2 (dua)
orang saksi dalam keadaan terbuka atau tertutup (dilak) untuk
disimpan. 
Bilamana diserahkan dalam keadaan tertutup pewaris dengan dihadiri
oleh notaris dan saksi-saksi harus menyatakan pada sampulnya dan
menegaskan dengan membubuhi tanda-tangannya bahwa sampul itu
berisi wasiat.
• Bilamana diserahkan dalam keadaan terbuka formalitas ini tidak perlu.
Setelah diserahkan untuk disimpan, notaris harus membuat akta yang
ditanda-tangani oleh pewaris, notaris dan 2 orang saksi.

• Bilamana surat wasiat diserahkan secara tertutup maka akta


penyimpanan dibuat dibagian bawah surat wasiat itu.

• Bilamana surat wasiat diserahkan secara terbuka maka akta


penyimpanan dibuat sendiri yaitu diatas kertas yang terpisah.
• Surat wasiat olografis yang disimpan menurut ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 932 adalah sama kuatnya dengan surat wasiat yang
diselenggarakan dengan akta umum dan dianggap dibuat pada hari
pembuatan akta penyimpanan dan dianggap benar seluruhnya ditulis
dan ditanda-tangan sendiri oleh pewaris, kecuali kemudian terbukti
sebaliknya.

• Wasiat olografis sewaktu waktu bisa dicabut (Pasal 934) dengan


meminta kembali surat wasiat itu, asal guna tanggung jawab notaris dari
permintaan kembali itu dibuat suatu akta otentik.
• 3. Wasiat tertutup atau rahasia yang harus ditanda-tangani sendiri oleh
pewasiat akan tetapi penulisannya dibantu oleh orang lain, setelah
ditanda-tangani wasiat tersebut dimasukkan kedalam suatu amplop dan
diserahkan kepada notaris dan dihadiri oleh empat orang saksi kemudian
notaris membuat akta Van Superscriptie yang diperbuat di atas kertas itu
sendiri/di atas sampulnya. Akta Van Superscriptie ditanda-tangani oleh
pewasiat dengan empat orang saksi dan notaris. Suatu surat wasiat
rahasia harus selalu ditutup dan disegel.
• Dalam Pasal 940 dan 941 KUHPerdata ditetapkan hal-hal yang harus
dituruti dalam pembuatan surat wasiat tertutup atau rahasia :
a. Pewaris menulis ketetapannya sendiri atau oleh orang lain dan
kemudian. Tidak perlu dibubuhi tanggal oleh karena sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 933 KUHPerdata tanggal surat wasiat yang
demikian adalah tanggal penyerahan kepada notaris.
b.Kertas yang memuat surat wasiat atau sampulnya harus ditutup dan
dilak.
c.Surat wasiat yang ditutup dan dilak kemudian oleh pewaris diserahkan
kepada notaris dihadiri 4 orang saksi.
• Prosedur pembuatannya :
-Pewaris membuat atau menyuruh orang lain membuat wasiatnya dalam
bentuk tertulis dn kemudian membubuhkan tanda-tangannya. Jadi, orang
yang tidak dapat menulis, namun dapan mennda-tangani dapat juga
membuat wasiat jenis ini, begitu pula orang yang tidak dapat membaca.
-Kertas yang digunakan untuk menuliskan wasiat atau digunakan sebagai
sampul bagisurat wasiat harus tertutup dan tersegel.
-Surat wasiat itu disampaikan kepada notaris dengan dihadiri 4 orang saksi.
• Pewaris kemudian menyatakan bahwa surat itu berisi wasiatnya.
Pewaris/pewasiat juga harus menyatakan bahwa wasiat itu ditulis sendiri
dan ditanda-tanganinya sendiri atau bahwa wasiat itu ditulis oleh orang lain
tetapi ditanda-tanganinya sendiri.
• Pernyataan itu dituangkan oleh notaris dalam akta SUPERSKRIPSI
(Pengalamatan) yang ditulis pada surat wasiat ataupun sampul surat
wasiat. Akta itu harus ditandatangani oleh notaris pewaris dan para
saksi. 
Jika pewaris tidak mampu atau berhalangan membubuhkan tanda-
tangannya pada akta SUPERSKRIPSI itu, maka sebab dari halangan itu
harus disebutkan dan dicatatkan dalam akta itu.
• Semua warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan (equality before the law). Dalam prakteknya konteks
kewenangan notaris menjalankan jabatannya tentu aplikasi ketentuan
tersebut sangat jelas, meskipun dengan berbagai hal yang merupakan
hasil pemahaman dan penafsiran berbagai perundang-undangan yang
berlaku. 
• Diantaranya adalah berkaitan dengan Kewenangan Notaris dalam
Pembuatan Wasiat oleh seorang tuna wicara, tuna rungu, tuna netra dan
tuna aksara (buta huruf) :
1. seorang tuna wicara dapat membuat surat
wasiat dalam bentuk wasiatolografis, asalkan kehendaknya tersebut
ditulis, diberi tanggal dan ditanda-tangani oleh ybs sendiri (Pasal 941
KUHPerdata).
• 2. seorang tuna rungu, dapat membuat wasiat dalam bentuk wasiat
umum (openbare akte), wasiat olografis maupun wasiat rahasia).
3. seorang tuna netra atau buta huruf dapat membuat wasiat umum
(openbare akte) dan wasiat rahasia, asalkan yang bersangkutan dapat
membubuhkan tanda-tangan atau cap jempol.
• Bolehkah harta warisan dari pewaris yang telah menunjuk Pelaksana
Wasiat (Executeur Testamentair) dibagikan tanpa melibatkan Pelaksana
Wasiat?
• Menurut Pasal 875 KUHPerdata disebutkan :
“Suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan olehnya itu
dapat dicabut kembali”. Akta wasiat berisikan keinginan atau kehendak
terakhir si pewaris sebelum meninggal dunia.
• Dalam suatu Akta Wasiat Umum sering ditemui kata-kata :
“Saya angkat sebagai pelaksana wasiat saya ini…dst.
• Kepadanya saya berikan semua hak, wewenang dan kekuasaan yang
menurut undang-undang diberikan kepada pelaksana wasiat…dst”.
• Pelaksana Wasiat yaitu seseorang atau lebih yang ditunjuk oleh pewaris
yang mempunyai tugas dan kewajiban mengusahakan pelaksanaan
kehendak terakhirnya. Berdasarkan Pasal 1005 KUHPerdata
pengangkatan Pelaksana Wasiat dilakukan dengan surat wasiat, kodisil
atau akta Notaris khusus.
Tugas utama Pelaksana Wasiat wasiat adalah melaksanakan wasiat
pewaris dan dalam hal perselisihan mengajukan tuntutan ke pengadilan
untuk mempertahankan berlakunya surat wasiat demikian sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1011 KUHPerdata.
• Sementara kewajiban Pelaksana Wasiat adalah :
1. Mengusahakan pencatatan harta (boedelbeschriving) yang dihadiri
para ahli waris dan jika mereka tidak atau tidak semua hadir, sedikitnya
mereka yang bertempat tinggal di Indonesia telah diundang secara
eksplosit (bisa dilihat dalam Pasal 1010 KUHPerdata), dibuat berita acara
pencatatan harta yang tidak harus dibuat dalam bentuk akta notarial,
asalkan semua ahli waris setuju; dan
2. Mengusahakan agar warisan disegel apabila ada ahli waris dibawah
umur itu dibawah pengampuan yang tidak dan wakil hukumnya (wali
atau pengampu) atau jika ada ahli waris yang tidak hadir tanpa wakilnya
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1009 KUHPerdata.
• Pelaksana wasiat adalah wakil dari para ahli waris, bukan dari
warisannya, karena itu bukan badan hukum. Wewenang Pelaksana
Wasiat diperoleh dari Pewaris, walaupun tidak ada perjanjian pemberian
kuasa. Kedudukan Pelaksana Wasiat bersifat pribadi karena dipilih
mengingat kapasitasnya. Kedudukannya tidak diwariskan, tetapi para ahli
warisnya (dari Pelaksana Wasiat) wajib memberikan pertanggung
jawaban untuk perbuatan Pelaksana Wasiat.
• Seorang Pelaksana Wasiat berhenti karena tugasnya telah selesai,
kematian (pekerjaannya tidak dapat diwariskan kepada ahli warisnya
sebagaimana ditentukan Pasal 1015 KUHPerdata), tidak cakap, dan
dipecat.
• Pasal 1011 KUHperdata merupakan ketentuan yang menegaskan
kewajiban utama/pokok yang oleh undang-undang ditugaskan kepada
Pelaksana Wasiat, yaitu mereka mengusahakan agar wasiat pewaris
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
• Terkait hal tersebut terdapat Putusan MARI tenggal 17 Desember 1997,
Nomor 3324 K/Pdt/1992 kaidah hukumnya : Harta warisan dari seorang
pewaris dengan menunjuk pelksana wasiat (executeur tertamentair),
hanya dan mesti dibuktikan dengan pencatatan atau perincian yang
dibaut oleh pelaksana wasiat dihadapan para ahli warisnya sesuai
ketentuan dalam pasal 1007 KIHPerdata.
• LARANGAN wasiat bertimbal balik  
1.ada larangan untuk mengadakan surat wasiat bersama atau timbal
balik (diatur dlam Pasal 930 KUHPerdata) ;
2.Syarat-syarat untuk menjadi saksi menurut ketentuan Pasal 944
KUHPerdata, para saksi harus telah dewasa dan penduduk Indonesia,
mereka harus mengerti akan bahasa dalam surat wasiat atau dalam akta
superskripsi atau akta penyimpanannya.
• Yang tidak boleh menjadi saksi :
-adalah para ahli waris atau penerima hibah wasiat dan semua keluarga
sedarah dan keluarga semenda mereka sampai dengan derajat ke-
empat;
-anak-anak, cucu-cucu dan para istri dari anak-anak atau cucu-cucu
notaris ;
-pembantu rumah tangga notaris.
Akibat tidak diturutinya formalitas-formalitas yang ditentukan :
-menurut ketentuan Pasal 953 KUHPerdata segala acara yang disyaratkan
dalam pembuatan wasiat harus dipenuhi atas ancama kebatalan.
-batalnya surat wasiat bilamana surat wasiat musnah atau tidak dapat
dibaca lagi, isinya dapat dibuktikan dengan segala macam pembuktian.
• Hatur Nuhun….
• Terimakasih….

Anda mungkin juga menyukai