Anda di halaman 1dari 16

Materi kedua hk waris

• Hukum Waris di Indonesia memiliki tiga aturan sistem yang berbeda


antara hukum perdata positif, hukum Islam, maupun hukum adat.
• Warisan merupakan salah satu cara yang limitative ditentukan untuk
meperoleh hak milik, dan karena benda (hak) milik merupakan salah
satu unsur pokok dari benda maka hukum waris diatur dalam Buku II
bersama-sama dengan pengaturan tentang benda yang lain.
• Dalam Pasal 584 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Hak milik atas suatu
benda tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan pemilikan,
karena perlekatan, karena kadaluarsa, karena pewarisan, baik
menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat
Di dalam Hukum Waris, dikenal beberapa
istilah yang sering dipergunakan
•Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan
harta kekayaan.
•Ahli waris, yaitu orang yang menggantikan kedudukan pewa­
ris dalam bidang hukum kekayaan, karena meninggalnya
sipewaris dan berhak menerima harta peninggalan pewaris.
•Harta warisan, yaitu keseluruhan harta kekayaan yang berupa
aktiva dan pasiva yang ditinggalkan oleh si pewaris setelah
dikurangi dengan semua utangnya
Prinsip-prinsip Kewarisan dalam KUHPerdata
1.Pewarisan karena kematian.Pasal 830 KUHPerdata secara garis besar menentukan, bahwa pewarisan hanya
terjadi karena kematian. Dengan demikian, sejak detik kematian tersebut, maka segala hak dan kewajiban
pewaris beralih pada para ahli warisnya. Yang beralih pada para ahli waris hanyalah hak dan kewajiban
dalam hubungan hukum harta kekayaan. Pengecualiannya: hak untuk menuntut pengakuan anak yang
mempunyai hak subyektif, tetapi beralih pada ahli waris. Pengertian “meninggal dunia” di sini diartikan
meninggal dunia secara alamiah, karena KUHPerdata tidak menge­nal lagi kematian perdata.
2.Keberadaan ahli waris. Pada prinsipnya, orang bertindak sebagai ahli waris, maka ia harus ada atau sudah
lahir pada saat terbukanya warisan.
Orang akan menggantikan hak dan kewajiban pewaris sebagai ahli waris selain ia harus sudah ada atau
sudah dilahirkan, ia juga harus masih ada (masih hidup) pada saat meninggalnya si pewaris (Pasal 836 dan
Pasal 899 ayat I KUHPerdata). Dengan demikian, kematian dan kelahiran seseorang memegang pe­ranan
penting dalam pewarisan. Saat tersebut pada hakekat­nya, menentukan siapa yang berhak mewaris dan sejak
kapan hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahli warisnva,
3. Perpindahan di dalam pewarisan adalah kekayaan si pewaris. Yang dimaksud dengan kekayaan si pewaris
adalah hak dan ke­wajiban yang dapat dinilai dengan uang. Hukum Waris pada hakekatnya, merupakan
bagian dari Hukum Harta Kekayaan. Artinya, yang diwariskan pada prinsipnya adalah hak dan kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang
4.Pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya si pemberi kuasa (Pasal 1813 KUHPerdata).
5.Hubungan kerja yang bersifat sangat pribadi tidak beralih kepada ahli warisnya (Pasal 1601 KUHPerdata).
6.Keanggotaan dalam perseroan tidak beralih kepada ahli warisnya (Pasal 1646 KUHPerdata).
7.Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang mempunyai hak tersebut (Pasal 807
KUHPerdata).
• Sedangkan hak dan kewajiban dalam bidang Hukum Ke­luarga pada
prinsipnya, tidak beralih kepada para ahli warisnya. Misalnya: hak
suami sebagai kepala rumah tangga, hak wali terhadap anak yang
dipcrwalikan, hak pengampu tidak beralih kepada ahli waris (tidak
diwariskan). Terhadap hal ini terdapat dua pengecualiannya, yaitu:
• Hak yang dimiliki oleh seorang suami untuk menyangkal keabsahan
anak dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
• Hak untuk menuntut atau mengajukan keabsahan anak dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya.
• Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang dapat beralih
kepada ahli waris hanyalah hak dan kewajiban pewaris di bidang harta
kekayaan. Dengan meninggalnya seseorang, maka seketika itu juga
beralih hak dan kewajibannya kepada ahli waris.
• KUHPerdata mengandung asas tidak memandang sifat maupun asal-usul barang warisan. Hal
ini dapat kita simpulkan dari Pa­sal 849 KUHPerdata yang menentukan, bahwa undang-
undang tidak memandang akan sifat atau asal barang-barang dalam suatu peninggalan untuk
mengatur pewarisan terhadapnya. Dengan demikian, di dalam pewarisan tidak diperhatikan,
apakah barang tertentu dari keluarga pihak ayah atau dari keluarga pihak ibu orang yang
meninggal dunia.
• Menurut Pasal 850 KUHPerdata, dengan tidak mengurangi ke­tentuan-ketentuan dalam Pasal
854, Pasal 855, dan Pasal 859 KUHPerdata, tiap-tiap warisan yang mana, baik seluruhnya
mau­pun untuk sebagian, terbuka atas kebahagiaan para keluarga sedarah dalam garis lurus
ke atas atau dalam garis menyim­pang, harus dibelah menjadi 2 bagian yang sama, bagian-
bagian mana yang satu adalah untuk sekalian sanak-saudara dalam garis bapak, dan yang
lain untuk sanak-saudara dalam garis ibu. Bagian-bagian warisan tersebut tidak boleh beralih
dari garis yang satu ke garis yang lain, kecuali apabila dalam salah satu garis tidak ada
seorang keluarga pun, baik keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas maupun keponakan-
keponakan.
• Dengan demikian, pembelahan (kloving) terjadi jika ter­nyata tidak ada ahli waris dalam garis
lurus ke bawah (tidak ada bapak, ibu, saudara atau keturunan saudara, serta tidak ada suami
atau isteri yang hidup terlama). Pada prinsipnya menurut Pasal 851 KUHPerdata, apabila
telah dilakukan kloving, tidak dapat lagi diadakan pembelahan harta peninggalan.
• Syarat-syarat mewaris
• Dengan demikian pada prinsipnya, ahli waris tersebut harus memenuhi syarat:
• Ahli waris harus ada dan masih ada pada saat warisan terbuka.
• Mempunyai hubungan darah dengan pewaris atau ia adalah janda atau duda.
• Bukan orang yang tidak patut untuk mewaris.
• Tidak menolak warisan.
• Cara mewaris
• Ada dua cara pembagian warisan, yaitu:
• Mewaris berdasarkan Undang-Undang disebut juga dengan mewaris ab-
instentato, sedangkan ahli warisnya disebut ab-intestaat. Mewaris berdasarkan undang-
undang ini terdiri atas:
a. Mewaris berdasarkan kedudukan sendiri.
b. Mewaris berdasarkan penggantian (representasi).
• Mewaris berdasarkan surat wasiat (testament) Pewarisan berdasarkan surat wasiat disebut
juga dengan pewarisan ab-testamento, sedangkan ahli warisnya dise­
but testamentair. Apabila ada surat wasiat, maka harus dilaksanakan lebih dahulu dengan
memperhatikan batasan­batasan Undang-Undang (Pasa1874 KUHPerdata).
Pewarisan Menurut Undang-undang (Ab-Intestato)
Pewarisan menurut undang-undang ini, terbagi atas dua macam,
yaitu: 
1.Mewaris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofed); yaitu ahli waris
tampil mewaris secara langsung dari pewaris kepala demi kepala
(sama rata).
Dengan demikian, orang yang mewaris karena kedudukannya sendiri
dalam susunan keluarga si pewaris, mempunyai posisi yang
memberikan kepadanya hak untuk mewaris.
Hak tersebut adalah haknya sendiri, bukan menggan­tikan hak orang
lain.Mewaris berdasarkan penggantian tempat (bij plaatsvervulling) . Artinya,
ahli waris tampil mewaris karena
menggantikan kedudukan dari ahli waris yang sebenarnya berhak
mewaris yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. (Pasal
852 ayat 2 KUHPerdata). Orang yang menggantikan dengan
sendirinya memperoleh hak dan kewajiban dari orang yang digantikan
tempatnya. Dengan demikian asas keluarga yang dekat menghapus
keluarga yang  jauh dikesampingkan.
• Syarat penggantian tempat (Plaatsvervulling)
• Orang yang digantikan harus meninggal dunia lebih da­hulu dari si pewaris.
• Orang yang menggantikan harus keturunan sah dari orang yang digantikan.
• Orang yang menggantikan harus memenuhi syarat umum untuk mewaris.
• Menurut Pasal 847 KUHPerdata, tiada seorang pun diper­bolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku
penggantinya. Hanya keturunan atau anak/cucu yang sah yang dapat bertindak sebagai pengganti. Menurut undang-
undang, ada 3 macam penggantian, yaitu:
• Penggantian dalam garis lurus ke bawah; Penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah ber­langsung terus tanpa ada
akhirnya (Pasal 842 KUHPerdata). Dalam segala hal, penggantian ke bawah sebagaimana disebut di atas, selamanya
diperbolehkan, meskipun perta­lian keluarga itu berbeda-beda derajatnya. Anak luar kawin yang diakui sah, tidak dapat
menggantikan bapak atau ibu­nya sebagai ahli waris. Sedangkan anak sah dari anak luar kawin yang diakui sah, dapat
menggantikan kedudukan orang tua sebagai pewaris.
• Penggantian dalam garis samping; Yaitu penggantian dalam garis menyimpang. Pasal 844 KUHPerdata secara garis
besar menentukan, bahwa diperbo­lehkan penggantian dalam garis menyamping atas keun­tungan semua anak dan
keturunan saudara laki-laki atau perempuan yang telah meninggal dunia lebih dahulu,.baik mereka mewaris bersama-
sama dengan paman atau bibi mereka setelah meninggalnya lebih dahulu semua saudara pewaris. Warisan harus
dibagi di antara semua keturunan saudara yang telah meninggal dunia lebih dahulu, walaupun keturunan itu
perderajatannya tidak sama. Penggantian dalam garis samping terus-menerus, dalam arti tidak ter­batas.
• Penggantian dalam garis ke samping, dalam hal yang tampil ke muka sebagai ahli waris adalah anggota-anggota
keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya daripada seorang saudara, misalnya seorang keponakan (Pasal 845
KUHPerdata).
• Menurut Pasal 843 KUHPerdata, tiada pergantian terhadap keluarga sedarah dalam garis menyimpang ke atas. Keluarga
yang terdekat dalam kedua garis tersebut, menyampingkan segala keluarga dalam perderajatan yang lebih jauh.
• 1. Ahli Waris
• a. Ahli waris berdasarkan hubungan darah
• Menurut undang-undang, yang berhak untuk menjadi ahli wa­ris ialah para keluarga sedarah, baik
sah maupun luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama (Pasa1832 KUHPerdata). Dengan
demikian, seseorang harus mempunyai hubungan da­rah dengan pewaris. Hubungan darah tersebut
bisa sah atau luar kawin melalui garis ibu atau bapak. Hubungan darah sah jika ditimbulkan sebagai
akibat suatu perkawinan yang sah. Hubungan luar kawin adalah hubungan antara laki-laki dengan
seorang perempuan dan pengakuan anak secara sah.
• b. Ahli waris berdasarkan hubungan perkawinan
• Dalam Pasal 852a KUHPerdata ditentukan, bahwa di samping keluarga sedarah, undang-undang
menentukan suami atau isteri yang hidup terlama sebagai ahli waris. Perubahan ini terjadi pada
tahun 1935 No. 486 dan mulai berlaku pada tanggal I Januari 1936. Berdasarkan hal tersebut, maka
suami ­isteri saling mewaris. Suami-isteri yang bercerai tidak saling mewaris, karena perkawinan
mereka putus dengan terjadinya perceraian. Sedangkan mereka yang pisah meja dan tempat tidur
saling mewaris, karena perkawinan mereka masih berlangsung.
• c. Prioritas PembagianWarisan Kepada Ahli Waris
• Tidak semua keluarga yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris mendapat warisan.
Keluarga yang lebih dekat dengan pewaris yang akan tampil untuk mewaris. Dengan demikian,
menutup kemungkinan mewaris keluarga yang lebih jauh. Untuk menentukan jauh­dekatnva
hubungan darah keluarga, maka ahli waris dibagi ke dalam beberapa golongan, yaitu:

Golongan I: Terdiri dari suami-isteri dan anak beserta keturunannya.
• Anak beserta keturunannya. Anak akan menutup ahli waris  yang lain (keturunannya), kecuali jika terjadi
penggantian, yang dimaksud dengan-anak di sini adalah anak yang sah atau anak yang disahkan
(Pasal 277 KUHPerdata). Anak yang mewaris dalam derajat I men­dapat bagian yang sama besar atau
mewaris kepala demi kepala (Pasal 852 ayat 2 KUHPerdata). Jika keturunan anak menggantikan anak,
maka berdasarkan kedudukannya se­bagai pengganti, mereka mewaris pancang demi pancang. Menurut
Pasal 852 KUHPer, asas persamaan anak-anak, mes­kipun mereka lahir dari perkawinan yang lain.
Perkawinan lain karena pewaris menikah lebih dari satu kali yang disebabkan putus karena kematian atau
perceraian.
• Suami atau isteri yang hidup terlama. Sejak tanggal 1 Januari 1936, janda atau duda (suami atau isteri)
adalah ahli waris dan termasuk dalam golongan pertama. Sesuai Pasal 852a KUHPerdata, bahwa suami-
isteri bagiannya sama dengan bagian anak. Ketentuan yang mem­persamakan janda dan duda dengan
anak hanya berlaku dalam pewarisan menurut undang-undang. Jadi, bagian janda atau duda adalah tidak
selalu sama dengan anak, karena janda atau duda tidak berhak atas legitieme portie (bagian mutlak). Hak
warisan suami atau isteri pada perkawinan kedua dan seterusnya, tidak boleh lebih besar dari bagian yang
terkecil yang akan diterima salah seorang anak dari perkawinan yang pertama atau keturunan mereka
sebagai pengganti hak. Dengan demikian, dalam ha( bagaimanapun, bagian suami atau isteri tidak boleh
lebih besar dari 1/4 harta warisan dari si pewaris. Apabila suaminya meninggal dunia dan isterinya
mengandung, maka menurut Pasal 836 jo Pasal 2 KUHPerdata, bayi dalam kandungan dianggap ada.
Untuk bayi di dalam kandungan, berada di bawah Pengampu Khu­sus (Curator Pentris).
• Golongan II
• Golongan ini terdiri atas orang tua, saudara laki-laki atau perempuan dan keturunannya. Menurut Pasal 854 ayat
(1) KUHPerdata, apabila tidak ada ahli waris dalam golongan pertama, maka warisan jatuh kepada golongan kedua.
• Bagian ayah dan ibu masing-masing:
• Apabila ayah dan ibu mewaris tanpa saudara laki-laki ataupun perempuan, maka mereka mewaris seluruh warisan
dan masing-masing mendapat setengah bagian (Pasal 859 KUHPerdata).
• Apabila ayah dan ibu mewaris bersama dengan se­orang saudara laki-laki atau perempuan, maka masing­masing
mendapat bagian yang sama besar. Ayah dan ibu masing-masing mendapat 1/3 bagian dan sisanya yang 1/3
adalah bagian saudara (Pasal 854 ayat I KUHPerdata).
• Apabila ayah dan ibu mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara laki-laki ataupun perempuan, maka ayah
dan ibu mendapat 1/4 bagian, dan sisanya adalah untuk saudara dengan bagian yang sama besar
(Pasal 854 ayat 2 KUHPerdata).
• Apabila ayah dan ibu mewaris dengan lebih dari dua orang saudara, maka bagian ayah dan ibu yang masing­
masing 1!4 bagian diambil lebih dahulu dan sisanya dibagi untuk saudara dengan bagian yang sama besarnya.
• Orang tua menerima bagian yang sama dengan saudara laki-laki dan perempuan, tetapi tidak kurang
dari 1/4 bagian.
• Dalam menghitung jumlah banyaknya saudara yang tu­rut mewaris bersama-sama dengan ayah dan ibu, tidak
dibedakan antara saudara kandung dan saudara tiri, baik seayah maupun seibu.
• Bagian ayah atau ibu yang mewaris dengan saudara menurut Pasal 855 KUHPerdata .­
• Apabila hanya ada ayah dan ibu, maka dia mendapat seluruh harta peninggalan.
• Apabila hanya ada ayah atau ibu dan seorang saudara, maka ayah atau ibu mendapat bagian 1/2, dan sisanya bagian saudara.
• Apabila ada dua orang saudara, maka ayah atau ibu mendapat 1/3 bagian, dan sisanya dibagi sama besar untuk saudara.
• Apabila ada 3 orang saudara atau lebih, maka ayah atau ibu mendapat 1/4 bagian harta peninggalan, dan sisanya dibagi antara
saudara, baik laki-laki maupun perempuan untuk bagian yang sama besarnya bila saudara kandung.
• Yang perlu mendapat perhatian dalam Pasal 855 KUHPerdata tersebut di atas adalah:
• Kedudukan ayah atau ibu terhadap warisan anak adalah berbeda dengan kedudukan saudara.
• Ayah atau ibu mendapat bagian yang lebih dahulu, baru sisanya adalah hak saudara-saudara pewaris.
• Dalam pelaksanaannya, kelebihan kedudukan ayah atau ibu terhadap saudara pewaris terbatas sampai dalam hal ayah atau ibu
mewaris dengan 3 orang saudara. Sampai batas mewaris dengan 3 orang saudara, maka bagian ayah atau ibu terhadap warisan
anaknya adalah sama dengan bagian saudara masing-masing, yaitu 1/4 bagian.
• Bagian saudara sebagai ahli waris:
• Apabila si pewaris meninggal dunia dengan tidak me­ninggalkan keturunan maupun suami atau isteri, sedangkan baik ayah
maupun ibunya sudah meninggal terlebih dahulu, maka seluruh warisan adalah hak sekalian saudara laki­laki dan saudara
perempuan si pewaris (Pasal 856 KUHPerdata).
• Bagian saudara kandung dan saudara tiri:
• Pada prinsipnya menurut Pasal 857 KUHPerdata, mereka mendapat bagian yang sama besar jika mereka berasal dari
perkawinan yang sama, yaitu antara pewaris dengan saudara yang mewaris adalah saudara kandung. Bagian mereka adalah
sama besar dengan tidak membedakan laki­-laki dan perempuan. Selanjutnya, dalam hal mereka berasal dari lain perkawinan,
maka warisan dibagi dalam 2 bagian terlebih dahulu, yaitu yang setengah untuk saudara dalam garis bapak, dan yang setengah
lainnya dalam garis ibu.
• Saudara laki-laki dan perempuan sekandung, menerima bagian dari kedua garis tersebut. Sedangkan untuk saudara tiri, hanya
mendapat bagian dari garis di mana mereka ber­ada. Jika hanya ada saudara-saudara dari garis ayah atau ibu saja, maka mereka
mewaris seluruh warisan dengan mengesampingkan segala keluarga sedarah lainnya dari garis yang lain.
• 3). Golongan III
• Golongan III ini terdiri dari keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua, baik dari pihak ayah maupun
dari garis ibu (Pasal 853 KUHPerdata). Golongan ini tampil apabila ahli waris dari Golongan I dan Golongan II tidak ada
lagi. Yang dimaksud dengan keluarga sedarah dalam garis ibu dan garis ayah ke atas adalah kakek dan nenek, kakek buyut
dan nenek buyut terus ke atas dari garis ayah maupun dari garis ibu. Berdasarkan Pasal 853 KUHPerdata, pembagian
warisan dibagi dalam 2 bagian terlebih dahulu (kloving). Satu bagian untuk keluarga sedarah dalam garis ayah lurus ke
atas dan satu bagian untuk keluarga sedarah dalam garis ibu lurus ke atas. Dengan demikian, di dalam pewarisan
Golongan III ini, otomatis terjadi kloving atau pembelahan harta warisan dalam 2 bagian. Arti kloving di sini adalah
pembelahan harta warisan dalam 2 bagian, di mana dalam tiap-tiap garis pewarisan dilaksanakan seakan­akan merupakan
satu kesatuan yang berdiri sendiri. Jadi, da­lam garis yang satu (misalnya dalam garis ayah), ada ke­mungkinan terdapat ahli
waris yang menerima warisan de­rajatnya lebih jauh dari pewaris dibandingkan dengan ahli waris dalam garis yang lain.
• Konsekuensi yang lain, bahwa suatu penolakan warisan oleh salah seorang ahli waris dalam salah satu garis hanya mem­
punyai akibat terhadap pewarisan dalam garis yang bersang­kutan, yaitu pada garis di mana ahli waris tersebut berada.
Pasal 861 ayat (2) KUHPerdata menentukan, bahwa jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah dalam derajat
yang mengijinkan untuk mewaris, maka segala keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan.
• Besarnya bagian dalam keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas ditentukan di dalam Pasal 853 ayat (3) KUHPerdata,
yaitu mereka mewaris kepala demi kepala untuk mereka yang berhubungan darah dalam derajat yang sama dengan
pewaris. Jadi, mereka yang perderajatannya sama terhadap pewaris, maka bagiannya adalah sama besarnya. Sedangkan
mereka yang perderajatannya lebih jauh, akan ditutup oleh mereka yang perderajatannya lebih dekat. Dengan demikian
menurut Pasal 843 KUHPerdata, dalam pewarisan dalam garis lurus ke atas, tidak dikenal adanya penggantian tempat.
Dalam hal ini, keluarga yang lebih dekat perderajatannya menutup keluarga yang perderajatannya lebih jauh dari pewaris.
• 4). Golongan IV
• Menurut Pasal 858 ayat (1) KUHPerdata, dalam hal tidak ada saudara (Golongan II) dan saudara dalam
salah satu garis lurus ke atas (Golongan III), maka setengah bagian warisan menjadi bagian keluarga
sedarah dalam garis lurus ke atas yang masih hidup. Sedangkan setengah bagian lainnya, menjadi bagian
para sanak saudara dalam garis yang lain. Pengertian “sanak saudara” dalam garis lurus yang lain ini
adalah para paman dan bibi, serta sekalian keturunan mereka yang telah meninggal dunia Iebil?. dahulu
dari pewaris. Mereka ini adalah ahli waris Golongan IV.
• Dalam hal  terjadinya kloving, maka dimungkinkan adanya pewarisan bersama-sama antara Golongan II
dan Golongan IV atas suatu peristiwa pewarisan yang sama. Dalam masing-­masing garis berlaku prinsip,
bahwa mereka yang bertalian keluarga dalam garis derajat yang lebih dekat dengan pewaris menutup
keluarga yang lebih jauh. Besarnya bagian yang menjadi hak sekalian ahli waris keluarga sedarah dengan
terjadinya kloving dalammasing-masing garis ialah 1/2 bagian.
• d. Negara sebagai penerima warisan
• Menurut Pasal 832 ayat (2) KUHPerdata, negara sebagai pene­rima warisan jika tidak ada lagi ahli waris.
Kedudukan negara sebagai penerima warisan berbeda dengan ahli waris. Adapun perbedaannya adalah :
• Negara hanya berkewajiban membayar hutang pewaris sepanjang aktiva warisan mencukupi (Pasal 832
ayat 2 KUHPerdata).
• Negara tidak dengan sendirinya mengambil-alih hak dan kewajiban pewaris, akan tetapi harus melalui
putusan hakim (Pasal 833 ayat 3 KUHPerdata).

Anda mungkin juga menyukai