Anda di halaman 1dari 2

HUKUM PERDATA AHLI WARIS

Seorang suami meninggal dan meninggalkan istri, 1 anak, bapak dan ibu, saudara
kandung. Pewaris memiliki hutang kepada seseorang sekitar 250 juta rupiah. Akan
tetapi, saat si piutang menagih kebanyakan ahli waris menolak untuk membayar
hutang dari si meinggal. Kemudian, siapakah yang berhak mendapatkan warisan
atas harta si meninggal ? Apakah ahli waris memiliki kewajiban membayar hutang
tersebut ? Bila harta si Meninggal tidak Cukup bagaimana Penyelesaiannya ?.

Dalam hukum waris KUH Perdata, ada dua cara seorang menjadi ahli waris
yaitu absentantio (hak waris berdasarkan undang-undang) yang di atur dalam Pasal
832 KUHPerdata dijelaskan sebagai berikut:
Menurut undang-undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga
sedarah,baik sah, maupun luar kawin dan si suami istri yang hidup terlama,
semua menurut peraturan tertera di bawah ini.
Adapun golongan pewaris tersebut, menurut urutannya adalah sebagai berikut:

1. Ahli Waris Golongan Pertama, suami.istri yang hidup terlama dan anak
keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata.
2. Ahli Waris Golongan Kedua, orang tua dan saudara kandung (KUHPerdata
Pasal 854)
3. Ahli Waris Golongan Ketiga, keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak
dan ibu pewaris (KUHPerdata Pasal 853).
4. Ahli Waris Golongan Keempat, Paman dan Bibi baik dari pihak bapak dan ibu,
keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam di hitung dari pewaris,
saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam
dihitung dari pewaris.

Selanjutnya, cara kedua seorang menjadi ahli waris adalah dengan


jalan Testamentair (Wasiat) yang termuat dalam kententuan pasal Pasal 913 KUH
Perdata mengatur bahwa yang dimaksud dengan legitime portie (LP)
adalah sesuatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada ahli
waris, garis lurus menurut ketentuan undang-undang, terhadap mana si yang
meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara
yang masih hidup, maupun selaku wasiat. Jadi, pewaris boleh saja membuat
suatu wasiat atau memberikan hibah kepada seseorang, akan tetapi pemberian
tersebut tidak boleh melanggar hak mutlak (yang harus dimiliki) dari ahli waris
berdasarkan Undang-Undang tersebut.

Jadi dalam kasus di atas, menurut pembagian golongan warisan tersebut di atas
secara urut yang berhak mendapat hak waris adalah semua orang tersebut di atas
yang berhak mendapat warisan adalah si istri dan anak-anak.

Sedangkan ketentuan pembagian warisnya menurut KUHPerdata Pasal 852


dijelaskan sebagai bahwa Anak laki-laki atau sekalian keturunan mereka, biar
dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekali pun, mewaris dari kedua orang tua, kakek,
nenek atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke
atas, dengan tiada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dan tiada
perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dahulu.
Kemudian Pasal 852a menjelaskan bahwa bagian suami/istri yang hidup lebih lama
dipersamakan dengan bagi seorang anak yang sah dari si meninggal.

Selanjutnya, permasalahan kedua adalah berkaitan dengan kewajiban membayar


hutang si Mayit. Dalam masalah ini dijelaskan dalam Pasal 833 bahwa Sekalian
ahli Waris dengan Sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala
barang, segala hak dan segala piutang si Meninggal.
Artinya dalam kasus tersebut, yang harus membayar dan menanggung segala
piutang si Meninggal adalah ahli waris istri dan anak-anak. Namun, pahli waris
bukan berarti tidak memiliki opsi mengenai sikapnya terhadap warisan tersebut.
Menurut KUH Perdata, seorang waris atau ahli waris dapat membuat pilihan
terhadap warisan yang terbuka. Pertama, ia dapat menerima atau juga dinamakan
menerima penuh warisan tersebut.

Kedua, ia dapat menolak warisan dan ketiga, ia dapat menerima


secara benificiar (menerima dengan syarat ) sebagaimana dijelaskan dalam Pasal
.1045 KUHPerdata dan Pasal 1058 KUHPerdata.
Adapun berkaitan dengan hutang si meninggal dalam Pasal 1032 ayat 1
KUHPerdata dijelaskan sebagai berikut:

bahwa si waris tidak diwajibkan membayar utang-utang dan beban-beban


warisan yang melebihi jumlah benda-benda yang termasuk warisan itu, dan
bahkan ia dapat membebaskan dirinya dari dari pembayaran itu, dengan
menyerahkan semua benda yang termasuk warisan kepada kekuasaan para
berpiutang

Selanjutnya dalam ayat 2 dijelaskan bahwa benda-benda pribadi si waris tidak


dicampur dengan benda-benda warisan, dan bahwa ia tetap berhak menagih
piutang-piutangnya pribadi dari warisan.

Ketentuan di atas mengindikasikan bahwa jika seorang ahli waris secara sukarela
menerima hak warisnya maka ia bertanggung jawab untuk mengurusi segala proses
penulasan hutang si meninggal sampai selesai.

Adapun ketika harta warisan yang diperoleh telah habis setelah dibayarkan
hutang dan tidak mencukupi, maka berdasarkan pada ketentuan Pasal
tersebut dapat dinyatakan bahwa si ahli waris tidak memiliki kewajiban untuk
menanggung hutang pewaris atas harta pribadinya. Akan tetapi ada
kemungkinan harta warisan yang seharusnya di dapat hilang.

Akan tetapi apabila si ahli waris dengan kehendaknya sendiri mau untuk melunasi
hutang-hutang si meninggal maka hal itu diperbolehkan. Namun, apa yang terjadi
dimasyarakat sering berbeda ahli waris mau menerima warisan, akan tetapi tidak
mau melunasi harta si meninggal dari warisan tersebut dan itu menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak diperbolehkan. Tanggungan Ahli Waris atas
Hutang Pewaris Menurut KUHPerdata

Anda mungkin juga menyukai