Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

HUKUM WARIS PERDATA

A. Pengertian Hukum Waris


Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang mengatur
“perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain”.
Intinya adalah “peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap
harta kekayaannya” yang berwujud: perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum
perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris
maupun antara mereka dengan pihak ketiga.
Oleh karena itu berbicara tentang masalah pewarisan apabila terdapat:
a. Ada orang yang meninggal;
b. Ada harta yang ditinggalkan dan;
c. Ada ahli waris.
B. Pengaturan Hukum Waris dalam Buku II KUHPerdata
Hukum waris diatur di dalam Buku II, bersama-sama dengan benda pada umumnya. Hal
tersebut dikarenakan adanya pandangan bahwa pewarisan adalah cara untuk memperoleh hak
milik sebenarnya terlalu sempit dan bisa menimbulkan salah pengertian, karena yang berpindah
dalam pewarisan bukan hanya hak milik saja, tetapi juga hak-hak kebendaan yang lain (hak
kekayaan) dan di samping itu juga kewajiban-kewajiban yang termasuk dalam Hukum Kekayaan
(C.S.T. Kansil, 2006:143). Di dalam Pasal 584 KUHPerdata meniru Pasal 711 Code Civil
ditetapkan bahwa: “Hak milik atas suatu benda tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan
dengan kepemilikan, karena perlekatan, karena kadaluwarsa, karena pewarisan baik menurut
Undang-Undang, maupun menurut surat wasiat”Ketentuan Pasal 584 KUHPerdata mengandung
makna bahwa pewarisan merupakan salah satu cara yang secara limitatif ditentukan untuk
memperoleh hak milik, dan karena benda (hak) milik merupakan salah satu unsur pokok
daripada benda yang merupakan benda yang paling pokok di antara benda-benda lain, maka
hukum waris diatur dalam Buku II bersama-sama dengan pengaturan tentang benda yang lain.
Disamping itu penyebutan hak mewaris oleh pembentuk undang-undang di dalam
kelompok hak-hak kebendaan di dalam Pasal 528 KUHPerdata adalah tidak benar. Untuk
jelasnya Pasal 528 KUHPerdata menyebutkan: “Atas sesuatu kebendaan (zaak), seseorang dapat
mempunyai, baik hak untuk menguasai, baik sebagai hak milik, baik sebagai hak waris, baik
sebagai hak pakai hasil, baik sebagai hak pengabdian tanah, baik sebagai hak gadai atau hipotik”
Disini ternyata bahwa hak mewaris disebutkan bersama-sama dengan hak kebendaan yang lain,
sehingga menimbulkan pandangan “seakan-akan” hak mewaris “merupakan suatu hak
kebendaan”. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari Hukum Romawi yang menganggap
warisan adalah zaak (tak berwujud) tersendiri, dan para ahli waris mempunyai hak kebendaan
(zakelijkrecht) atasnya.

C. Pengertian Kedudukan dan Anak (Keturunan)


1. Kedudukan
Kedudukan adalah status hukum seseorang di dalam hukum. Dalam hal ini adalah kedudukan
anak yang lahir di luar perkawinan baik dalam hubungan keluarga dan pewarisan.
2. Anak (Keturunan)
Yang dimaksud dengan keturunan (afstamming) adalah hubungan darah antara anak-anaknya
dengan orang tuanya (R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1986:132). Anak-anak
yang dilahirkan dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu :
a. Anak sah, adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, mengenai keturunan
yang sah menurut Pasal 250 KUHPerdata adalah sebagai berikut : “Tiap-tiap anak yang
dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”.
Berdasarkan rumusan Pasal 250 KUHPerdata dapat dikatakan bahwa hubungan anak dan bapak
itu adalah hubungan yang sah. Bahwasanya seorang anak itu dilahirkan dari seorang ibu, hal itu
mudah saja pembuktiannya. Tetapi bahwa seorang anak itu benar-benar anak seorang bapak, itu
agak sukar dibuktikan, sebab bisa saja terjadi bahwa orang yang membenihkan anak itu bukan
suami si ibunya. Maka dalam hal ini hubungan itu dimaksudkan untuk kepastian hukum yang
ditentukan di dalam Pasal 250 KUHPerdata.
b. Anak tidak sah atau juga bisa disebut anak luar kawin, adalah anak yang dilahirkan
diluar perkawinan atau dapat juga berarti anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang
melahirkan anaknya di luar suatu perkawinan yang dianggap sah menurut hukum yang berlaku.
Anak luar kawin kemudian masih dibagi dua golongan lagi yaitu :
1. Anak-anak luar kawin dalam arti luas, yaitu semua anak yang lahir tanpa
perkawinan orang tuanya.
2. Anak-anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak-anak luar kawin dalam arti
luas, kecuali anak zinah (oversvelig) dan anak sumbang (bloed schennis; incest)
(Tan Thong Kie, 1994:22). Anak zinah yaitu, anak yang dilahirkan sebagai hasil
dari suatu perzinahan (persetubuhan antara seorang pria dan wanita yang bukan
suami istri, sedangkan salah satu diantaranya ada dalam perkawinan dengan
orang lain). Sedangkan anak yang lahir karena sumbang adalah anak yang
dilahirkan seorang perempuan yang dibenihkan seorang lelaki, sedangkan
perempuan atau lelaki yang membenihkananak itu memiliki hubungan darah
(incest) sehingga menurut undang-undang mereka dilarang kawin (Ali Afandi,
2004:147).
D. Sistem Pewarisan Dalam Sistem Hukum Waris Perdata
1. Cara-Cara Pewarisan
Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan disebut pewaris, sedangkan harta
yang ditinggalkan disebut harta warisan dan orang yang menerima waris disebut ahli waris. Ada
dua cara untuk untuk pembagian warisan, yaitu :
a. Ahli waris yang mewaris berdasarkan ketentuan undang-undang (abintestato), yaitu
orang yang karena ketentuan undang-undang dengan sendirinya menjadi ahli waris, yakni para
anggota keluarga si pewaris, mulai dari yang terdekat (hubungan darahnya) sampai yang terjauh
asalkan ada ikatan keluarga/hubungan darah dengan si pewaris. Orang-orang ini dikatakan
mewaris tanpa mewasiat atau mewaris secara ab-intestato (Pasal 832 KUHPerdata);
b. Orang-orang yang menerima bagian warisan berdasarkan pesan terakhir atau wasiat
(testament) dari pewaris. Jadi mungkin kalau dalam hal ini orang tersebut tidak mempunyai
hubungan darah/ikatan keluarga apapun dengan si pewaris (Pasal 899 KUHPerdata).

Sifat Hukum Waris Perdata (Effendi Perangin, 2008:4), yaitu menganut:


a. Sistem Individual (sistem pribadi) dimana menjadi ahli waris adalah perorangan
(secara pribadi) bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok klan, suku, atau keluarga. Hal
ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 852 jo.852 a KUHPerdata tentang pewarisan para
keluarga sedarah yang sah dan suami atau istri yang hidup terlama. Pasal 852 KUHPerdata,
anak-anak atau sekalian keturunan mereka walaupun dilahirkan dari lain-lain perkawinan
sekalipun, mewaris dari kedua orangtuanya, kakek, nenek atau semua keluarga sedarah mereka
selanjutnya dalam garis lurus ke atas dengan tiada perbedaan antara laki-laki atau perempuan dan
tiada perbedaan berdasarkan kelahiran terlebih dahulu. Mereka mewaris kepala demi kepala, jika
dengan yang meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing
mempunyai hak karena diri sendiri, mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian atau
sekedar sebagian mereka bertindak sebagai pengganti.
b. Sistem Bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewaris dari garis bapak saja
tetapi juga sebaliknya dari garis ibupun dapat mewaris, demikian juga saudara laki-laki mewaris
dari saudara laki-lakinya maupun saudara perempuannya begitu juga, sistem bilateral ini dapat
dilihat dalam Pasal 850, 853 dan 856 KUHPerdata yang mengatur bila anak-anak keturunannya
serta suami atau istri yang hidup terlama tidak ada lagi maka harta peninggalan dari yang
meninggal diwarisi oleh ibu dan bapak serta saudara laki-laki maupun saudara perempuannya.
c. Sistem Perderajatan artinya bahwa ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris
menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya. Untuk menentukan tempat atau derajat seseorang
ahli waris berkenaan dengan hubungan keluarga. Jika seseorang mempunyai derajat berangka
kecil hubungan keluarga antara dua orang tersebut adalah sangat dekat. Apabila derajat berangka
besar maka pertalian keluarga itu jauh.

2. Syarat-syarat Mewaris
Menurut Pasal 830 KUHPerdata, suatu pewarisan baru dapat dilaksanakan kalau si pewaris
(orang yang meninggalkan warisan) telah meninggal dunia. Adapun syarat-syarat agar seseorang
dapat menerima bagian warisan adalah :
a. Pewaris telah meninggal dunia;
b. Pewaris memiliki sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan;
c. Orang tesebut haruslah termasuk sebagai ahli waris dan orang yang ditunjuk
berdasarkan wasiat si pewaris untuk menerima bagian warisan;
d. Orang-orang yang disebutkan dalam point C di atas itu tidak atau bukanlah
orang yang dinyatakan sebagai orang yang tidak patut menerima warisan menurut
putusan pengadilan.
Seseorang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan dikecualikan dari pewarisan (Pasal 912
KUHPerdata), adalah :
a. Apabila ia dihukum oleh hakim karena membunuh si peninggal warisan, jadi
ada keputusan hakim yang menghukumnya;
b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena memfitnah si
pewaris, dimana diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih;
c. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si
yang meninggal itu.

E. Golongan Ahli Waris


Menurut Abdulkadir Muhammad ahli waris adalah setiap orang yang berhak atas harta
peninggalan pewaris dan berkewajiban menyelesaikan hutang-hutangnya (Abdulkadir
Muhammad, 2000:282). Hak dan kewajiban tersebut timbul setelah pewaris meninggal dunia.
Hak waris ini didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan darah, dan surat wasiat yang
diberikan kepada orang yang disebut dengan istilah legataris, yang diatur dalam undang-undang.
Tetapi legataris bukan ahli waris, walaupun ia berhak atas harta peninggalan pewaris, karena
bagiannya terbatas pada hak atas benda tertentu tanpa kewajiban.
Asas Hukum Waris menurut KUHPerdata, yang mengatakan bahwa keluarga sedarah
yang lebih dekat menyingkirkan/menutup keluarga yang lebih jauh, mendapat
penerapan/penjabarannya di dalam Buku II Titel ke XII dengan judul “Pewarisan para keluarga
sedarah yang sah, dan suami atau istri yang hidup terlama” (J. satrio, 1992:99). Keluarga sedarah
menurut KUHPerdata disusun dalam kelompok, yang disebut dengan “golongan ahli waris”.
Golongan tersebut terdiri dari golongan I sampai dengan golongan IV, dihitung menurut jauh
dekatnya hubungan darah dengan si pewaris, dimana golongan yang lebih dekat menutup
golongan yang lebih jauh. Anak luar kawin yang diakui secara sah tak termasuk dalam salah satu
golongan tersebut, tetapi merupakan kelompok tersendiri. Prinsipnya, bila masih ada ahli waris
golongan yang lebih dekat dengan pewaris, maka golongan ahli waris yang lebih jauh tertutup
untuk mewaris. Mereka baru muncul menjadi ahli waris, apabila para ahli waris gologan yang
lebih dekat dengan pewaris sudah meninggal dunia.
Di masing-masing golongan ahli waris yang lebih dekat hubungan perderajatannya
dengan si pewaris, menutup mereka yang lebih jauh, tetapi dengan mengindahkan adanya asas
pengantian tempat. Perhatikan kata-kata “masing-masing golongan”, ketentuan tersebut tidak
berlaku untuk antar golongan, karena golongan yang lebih jauh baru muncul kalau golongan
yang lebih dekat telah meninggal semua. Jadi sekalipun seorang cicit berada dalam derajat yang
ketiga, sedangkan saudara dalam derajat kedua, tetapi karena cicit ada dalam golongan kesatu,
sedangkan saudara ada dalam golongan yang kedua, maka saudara tidak dapat menyingkirkan
cicit, bahkan mereka tidak bisa mewaris bersama-sama, yang terjadi adalah cicit menutup
kesempatan saudara untuk menjadi ahli waris.

HUKUM WARIS ISLAM

Kata faraid, merupakan bentuk jamak dari kata faridah, yang berasal dari kata farada
yang artinya adalah ketentuan. Dengan demikian kata faraid atau faridah artinya adalah
ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan,
ahli waris yang tidak berhak mendapatkannya, dan berapa bagian masing-masing. Untuk itu ada
beberapa istilah dalam fikih mawaris, yaitu:
1 Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan. Hak-hak
waris dapat timbul karena hubungan darah dan karena hubungan perkawinan. Ada ahli waris
yang sesungguhnya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, akan tetapi tidak berhak
mendapatkan warisan, ahli waris yang demikian itu disebut zawu al-arham,
2 Muwaris, artinya orang yang diwarisi harta benda peninggalannya, yaitu orang yang
meninggal dunia, baik itu meninggal secara hakiki atau karena melalui putusan pengadilan,
seperti orang yang hilang (al-mafqud) dan tidak diketahui kabar berita dan domisilinya,
3 al-irs, artinya harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk
keperluan pemeliharaan jenazah, pelunasan utang serta melaksanakan wasiat,
4. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris,
5. Tirkah, yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat yang
dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih hidup.
Hukum waris sebelum Islam dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat
yang ada. Masyarakat jahiliyah dengan pola masyarakatnya yang corak kesukuan, memiliki
kebiasaan berpindah-pindah, suka berperang dan merampas jarahan. Sebagian dari mereka
bermata pencaharian dagang. Ciri tersebut tampaknya sudah menjadi kultur atau budaya yang
mapan. Karena itu budaya tersebut ikut membentuk nilai-nilai, sistem hukum dan sistem sosial
yang berlaku. Kekuatan pisik lalu menjadi ukuran baku dalam sistem hukum warisan yang
diperlakukannya. Menurut masyarakat jahiliyah, ahli waris yang berhak mendapatkan harta
warisan dari keluarganya yang meninggal, adalah mereka yang laki-laki, berpisik kuat dan
mengalahkan musuh dalam setiap peperangan. Kepentingan suku sangat diutamakan. Karena
dari prestasi dan eksistensi suku itulah, martabat seseorang sebagai anggota suku dipertaruhkan.
Konsekuensinya adalah anakanak baik laki-laki maupun perempuan tidak diberi hak mewarisi
harta peninggalan keluarganya. Ketentuan semacam ini telah menjadi tradisi dan mengakar kuat
di dalam masyarakat. Bahkan seperti diketahui, fenomena penguburan hidup-hidup terhadap
anak perempuan, merupakan suatu fakta sejarah yang tidak bisa ditutup-tutupi. Praktis
perempuan mendapat perlakuan yang sangat deskriminatif. Mereka tidak bisa menghargai kaum
perempuan, yang nantinya dalam perspektif al-Qur’an mempunyai kedudukan yang sederajat
dengan laki-laki. Bagi mereka, kaum perempuan tidak ubahnya bagaikan barang, bisa diwariskan
dan diperjual belikan, bisa dimiliki dan dipindah-pindahkan.
Adapun dasar-dasar pewarisan yang digunakan pada zaman sebelum Islam adalah:
1. pertalian kerabat (al-qarabah),
2. janji prasetia (al-hilf wa al-mu’aqadah),
3. pengangkatan anak atau adopsi (al-tabanni).
Pertalian kerabat yang menyebabkan seorang ahli waris dapat menerima warisan adalah
mereka yang laki-laki dan kuat pisiknya. Implikasinya adalah wanita dan anak-anak tidak
mendapatkan bagian warisan. Janji prasetya dijadikan dasar pewarisan dalam masyarakat
jahiliyah. Mereka melalui perjanjian ini sendi-sendi kekuatan dan martabat kesukuan dapat
dipertahankan. Janji prasetya ini dapat dilakukan dua orang atau lebih. Pelaksanaannya seorang
berikrar kepada orang lain untuk saling mewarisi, apabila salah satu di antara mereka meninggal
dunia. Tujuannya untuk kepentingan saling tolong-menolong, saling mendapatkan rasa aman.
Dalam tradisi masyarakat jahiliyah, pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang lazim.
Lebih dari itu, status anak angkat disamakan kedudukannya dengan anak kandung.
Caranya, seorang mengambil anak lakilaki orang lain untuk dipelihara dan dimasukkan
dalam keluarga bapak angkatnya. Karena statusnya sama dengan anak kandung, maka menjadi
hubungan saling mewarisi jika salah satu dari mereka meninggal dunia. Implikasinya, hubungan
kekeluargaannya dengan orang tua kandungnya terputus dan oleh karenanya ia tidak bisa
mewarisi harta peninggalan ayah kandungnya. Perkembangan hukum kewarisan pada masa
awal-awal Islam belum mengalami perubahan yang berarti, di dalamnya masih terdapat
penambahanpenambahan yang lebih berkonotasi stategis untuk kepentingan dakwah atau bahkan
politis. Tujuannya adalah untuk merangsang ikatan persaudaraan demi perjuangan dan
keberhasilan misi Islam.
Pertimbangannya, kekuatan Islam pada waktu itu dirasakan masih sangat lemah, baik
sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan ajaran-ajarannya, yang masih dalam
dinamika pertumbuhan. Oleh karena itu, dasar-dasar pewarisan yang digunakan pada awal-awal
Islam, selain meneruskan pada nilai-nilai lama, juga ditambahkan dasar-dasar baru sebagai
berikut:
1. pertalian kerabat (al-qarabah),
2. janji prasetia (al-hilf wa al- mu’aqadah),
3. pengangkatan anak atau adopsi (al-tabanni),
4. hijrah dari Makkah ke Madinah, dan
5. ikatan persaudaraan (al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan
orang-orang Ansor, yaitu orang-orang Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum
Muhajirin dari Makkah di Madinah.
Pada proses selanjutnya al-Qur’an menghapus ketentuan-ketentuan hukum waris pada
masa jahiliyah dan ketentuan yang berlaku pada masa-masa awal Islam, yaitu sebagai berikut.
1. Penghapusan ketentuan bahwa penerima warisan adalah kerabat yang lakilaki dan
dewasa saja, melalui firman Allah dalam QS. Al-Nisa’: 7 dan 127, yaitu bahwa ahli waris laki-
laki dan perempuan, termasuk di dalamnya anakanak, masing-masing berhak menerima warisan
sesuai dengan bagian yang ditentukan;
2. Penghapusan ikatan persaudaraan antara golongan Muhajirin dan Ansor sebagai dasar
mewarisi. Dinyatakan dalam QS. Al-Ahzab: 6, “dan orang-orang yang mempunyai hubungan
darah sebagiannya adalah lebih berhak daripada sebagian yang lain di dalam kitab Allah
daripada arang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin, kecuali kamu mau berbuat baik
kepada saudarasaudaramu ... “ (QS. Al-Ahzab:6).
3. Penghapusan pengangkatan anak yang diperlakukan sebagai anak kandung sebagai
dasar pewarisan. Dinyatakan dalam QS. Al-Ahzab: 4-5 dan 40. “Dan Tuhan tidak menjadikan
anak-anakangkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu
di mulutmu saja. Sedangkan Allah menyatakan yang sebenarnya dan menunjukkan jalan yang
benar. Panggillah mereka dengan memakai nama ayah-ayahnya. Yang demikian itu lebih adil di
sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui ayahnya (panggillah mereka sebagai memanggil)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maula (orang yang dibawah pemeliharaanmu)..... “ (QS.
Al-Ahzab: 4-5). Dan “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang-laki-laki di antara
kamu, tetapi Dia adalah rasulullah dan penutup nabi-nabi“. (QS. Al-Ahzab: 40).
4. Selanjutnya banyak ayat al-Qur’an menegaskan secara definitif tentang ketentuan
bagian ahli waris yang disebut dengan al-furud al-muqaddarah atau bagian yang telah ditentukan,
dan bagian sisa (‘asabah), serta orang-orang yang tidak termasuk ahli waris.
Di antara yang terpenting adalah dinyatakan dalam QS. An-Nisa’: 11 “Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, yaitu bagian anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak (perempuan) itu semuanya
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari dari harta yang ditinggalkan. Jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak,
bagi masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan.
Jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika yang meninggal itu tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapatkan sepertiga. Jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapatkan seperenam. (pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu tidak mengetahui siapa di antara mereka
yang lebih dekat (banyak) manfatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui Lagi maha bijaksana. (QS. Al-Nisa’: 11). Dan dalam QS. Al-Nisa’: 12
dinyatakan: “ dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istrimuistrimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat (dan) sesudah dibayar utangmu. Jika
seorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan anak, tapi
mempunyaiseorang saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau (dan) sesedah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benarbenar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Penyantun. (QS. AlNisa’ : 12).
5. Di samping itu, as-Sunnah riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim, yang meyatakan:
“Orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang
muslim”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Adapun syarat pembagian warisan serta halangan untuk menerima warisan adalah
sebagai berikut:
1. Ada tiga syarat untuk mendapatkan warisan, yaitu:
a. pewaris benar-benar telah meninggal dunia. Baik meninggal (mati) hakiki,
yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa
seorang telah meninggal dunia, maupun mati hukmi, adalah kematian seseorang yang
secara yuridis ditetapkan melalui putusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini
bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang (al-mafqud) tanpa
diketahui dimana dan bagaimana keadaannya,
b. ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, atau
dengan putusan hakim dinyatakan masih hidup pada saat pewaris meninggal. Maka, jika
dua orang yang saling mempunyai hak waris satu sama lain meninggal bersama-sama,
tetapi tidak dapat diketahui siapa yang mati lebih dulu, maka di antara mereka tidak
terjadi waris-mewaris. Misalnya, orang yang meninggal dalam suatu kecelakaan
penerbangan, tenggelam, kebakaran dan sebagainya.
c. benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau denga
kata lain, benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris bersangkutan berhak waris.
Syarat ketiga ini disebutkan sebagai suatu penegasan yang diperlukan, terutama di
pengadilan meskipun secara umum telah disebutkan dalam sebab-sebab kewarisan.
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia, termasuk di dalamnya hukum
kewarisan sampai sekarang masih beraneka ragam (pluralisme), masih belum mempunyai
kesatuan hukum yang dapat diterapkan untuk seluruh warga negara Indonesia.
Keanekaragaman hukum waris tersebut dapat dilihat dari adanya pembagian hukum waris
kepada: (1) hukum waris yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(BW), Buku I Bab XII sampai dengan Bab XVIII dari Pasal 830 sampai dengan Pasal
1130, (2) hukum waris yang terdapat dalam hukum Adat, yaitu dalam bagian hukum
waris Adat, dan (3) hukum waris yang terdapat dalam hukum waris Islam, yaitu
ketentuan hukum waris dalam fikih Islam yang disebut mawaris atau ilmu faraidh atau
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Hukum waris BW berlaku bagi orang-orang Tionghoa dan Eropa, hukum waris
Adat berlaku bagi orang-orang Indonesia asli, sedangkan hukum waris Islam berlaku bagi
orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam. Menurut Hazairin, salah seorang ahli
hukum Adat dan ahli hukum Islam, bahwa di Indonesia terdapat tiga macam sistem
kewarisan, yaitu:
1. sistem kewarisan individual, yang cirinya ialah bahwa harta peninggalan dapat
dibagi-bagikan pemilikannya di antara ahli waris seperti pada masyarakat bilateral di
Jawa dan dalam masyarakat patrilineal di Tanah Batak,
2. sistem kewarisan kolektif, yang cirinya ialah bahwa harta peninggalan itu
diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang merupakan semacam badan hukum di mana
harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagikan pemilikannya
kepada mereka itu, seperti dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau, dan
3. sistem kewarisan mayorat, di mana anak tertua pada saat matinya si pewaris
berhak tunggal untuk mewarisi sejumlah harta pokok dari satu keluarga, seperti dalam
masyarakat patrilineal yang beralih-alih di Bali (hak mayorat anak lakilaki yang tertua).
Ada dua unsur pokok yang menentukan bentuk hukum kewarisan, yaitu sifat
kekeluargaan dan bentuk pemilikan atas harta seperti yang dijelaskan di atas. Masing-
masing unsur itu banyak dipengaruhi oleh agama, adat- istiadat dan budaya modern
(Barat). Ketiga pengaruh itu telah melembaga dalam bentuk hukum sebagaimana dilihat
manifestasinya dalam tiga bentuk hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia saat ini.
Kekerabatan yang berlaku dalam lingkungan hukum Adat pada dasarnya terlihat dalam
tiga bentuk, yaitu:
a. sifat kebapakan (patrilineal), yaitu sifat kekerabatan yang menarik garis nasab
ke atas dan ke bawahnya hanya melalui garis bapak atau laki-laki. Hal yang pokok pada
kekerabatan menurut bentuk kebapakan ini ialah adanya perkawinan jujur yang bentuk
aslinya adalah terlepasnya anak perempuan yang sudah kawin dari lingkungan
kekerabatan ayahnya dan dengan uang jujur yang diberikan oleh pihak suami, si istri
masuk ke dalam kekerabatan suaminya,
b. sifat keibuan (matrilineal), yaitu sifat kekerabatan yang menarik nasab ke atas
dan ke bawah semata melalui garis ibu atau perempuan. Yang pokok dalam sifat
kekerabatan keibuan ini ialah perkawinan semenda, yaitu suami didatangkan dari luar
lingkungan kerabatnya, meskipun si laki-laki sudah kawin dan masuk ke dalam
lingkungan kelompok, namun ia masih tetap dalam lingkungan kerabatnya semula, dan
c. sifat keibubapakan (parental), yaitu sifat kekerabatan yang menentukan garis
nasab ke atas dan ke bawah melalui ibu dan juga melalui bapak. Dalam bentuk
kekerabatan parental ini tidak terdapat perbedaan antara ayah dan ibu dari segi
kedudukannya dalam keluarga. Akibatnya si anak mempunyai dua hubungan kekerabatan
yaitu dari pihak ibu dan dari pihak ayah.
Dalam hukum Islam sifat kekerabatan yang berlaku adalah parental, oleh
karenanya warga negara yang mengikuti kewarisan Islam telah mengikuti sistem
kekerabatan parental sesuai petunjuk al-Qur’an. Demikian pula warga negara yang
mengikuti hukum kewarisan menurut BW menjalankan sifat kekerabatan parental
sebagaimana terlihat dalam pelaksanaannya. Adapun perkembangan pemikiran atau
gagasan dalam pembaharuan hukum kewarisan Islam sebagai wujud perkembangan
sosial dan kebiasaan yang terjadi dan tumbuh dalam kesadaran masyarakat melahirkan
beberapa gagasan pembaharuan dalam pembagian warisan. Secara substantif
pembaharuan tersebut lebih berada pada tataran aplikasi hukum (tatbiq al-ahkam),
sebagai upaya mengangkat kenyataan hukum yang berada dalam kesadaran masyarakat,
akomodasi ke dalam sistem hukum yang kemudian diformulasikan dalam legislasi hukum
sebagai peraturan perundang-undangan sebagai hasil ijtihad individu atau hasil ijtihad
atau kesepakatan para ulama’ yang disebut ijtihad jama’i (ijtihad kolektif). Di antara
gagasan pembaharuan itu, ialah:15 pembagian warisan dengan cara damai, pembagian
warisan ketika pewaris masih hidup, pembagian dengan sistem kolektif, dan pembagian
warisan sistem gono-gini.
Pembagian warisan dengan cara damai diakomodasi oleh Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dalam Pasal 183 yang menyatakan: “Para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing
menyadari bagiannya”. Secara normatif, pembagian warisan hanya bisa dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang tertera secara kongkrit dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang
menunjukkan (dalalah) qath’i. Namun dalam kenyataannya, masyarakat sering
melakukannya secara berulang-ulang dengan cara perdamaian. Boleh jadi karena dalam
kenyataannya ahli waris yang menerima bagian besar, secara ekonomi telah
berkecukupan, sementara ahli waris yang menerima bagian sedikit, masih berada dalam
suasana kekurangan. Kebiasaan yang terjadi berulang ulang dalam masyarakat dan
menimbulkan kemaslahatan disebut dengan “’urf” atau “’adat” yang artinya kebiasaan.
Dan ini sejalan dengan kaidah hukum Islam “al- ‘adat muhakkamah” (kebiasaan itu dapat
dijadikan hukum). Secara sosiologis, dalam masyarakat sering terjadi suatu tindakan yang
terjadi secara berulang-ulang dan dapat membawa kebaikan.
Pembagian warisan ketika pewaris masih hidup. Secara normatif, pembagian
warisan hanya dapat dilakukan ketika pewaris benar-benar meninggal dunia baru harta
warisan itu dapat dibagikan kepada ahli waris. Akan tetapi dalam kenyataan yang
berkembang dalam masyarakat, pihak orang tua (pewaris) menginginkan agar
sepeninggalnya, anak-anaknya dan ahli waris lainnya tetap hidup dalam persaudaraan
secara rukun. Untuk memenuhi keinginannya ini ditempuh cara hibah, yaitu membagi
harta kekayaan ketika pewaris masih hidup. Hal yang demikian ini, diakomodasi
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 212 yang menyatakan: “Hibah dari orang tua
kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”. Yang perlu diperhatikan di
dalam pembagian warisan ketika pewaris masih hidup adalah keadilan, untuk menjaga
kesamaan dalam hak perolehan harta dari orang tuanya, sehingga tidak terjadi perbedaan
terhadap anak-anak, ada yang diberi hibah dari orang tua dan ada yang tidak diberi hibah
dari orang tuanya, sehingga hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan
sebagai warisan.
Pembagian warisan dengan sistem kolektif, yaitu berupa harta warisan dari
pewaris yang oleh ahli waris tidak dibagi-bagi, tetapi nilai atau hasil dari harta warisan
itu dinikmati secara bersama (kolektif) atau disebut sistem pemilikan kolektif. Hal yang
demikian itu diakomodasi oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan pertimbangan
pragmatisnya. Pasal 189 ayat (1) dinyatakan: “Bila harta warisan yang akan dibagi
berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar supaya dipertahankan
sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang
bersangkutan”. Dalam pasal yang sama ayat (2) dinyatakan: “bila ketentuan dalam ayat
(1) pasal ini tidak memungkinkan karena di antara ahli waris yang bersangkutan ada yang
memperlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris
yang berhak sesuai dengan bagian masing-masing, dengan cara yang memiliki lahan
menggantikan atau memberikan konpensari sebesar atau senilai bagian ahli waris yang
membutuhkannya”.
Pembagian warisan dengan sistem gono-gini. Harta gono-gini juga disebut harta
bersama, yaitu harta yang diperoleh suami istri selama dalam masa perkawinan mereka,
apakah istri secara formal bekerja dalam profesi tertentu di luar rumah atau sebagai ibu
rumah tangga. Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 35
ayat (1) dinyatakan: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama” . Dalam praktik, sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang ada
dibagi dua dulu, separoh diberikan kepada pasangan yang hidup lebih lama dan baru
separuh yang lain dibagikan kepada ahli waris. Hal yang demikian diatur dalam Pasal 96
Kompilasi Hukum Islam (KHI) ayat (1) dinyatakan : “Apabila terjadi cerai mati, maka
separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”.
Perkembangan pemikiran tentang kedudukan wanita dalam sistem hukum waris
Islam, khusus mengenai perbedaan besarnya jumlah bagian antara wanita dengan laki-
laki termasuk persoalan klasik yang terus dibahas dan diperdebatkan. Di kalangan
masyarakat Islam sendiri, pernah masalah ini mencuat atas gagasan H. Munawir Sjadzali
tentang gagasan reaktualisasi ajaran Islam. Pada dasarnya masyarakat Islam tidak
keberatan atas gagasan tersebut. Namun ada suatu hal dalam gagasan itu yang kurang
berkenan di hati masyarakat, terutama kalimat yang berbunyi: “dari uraian di atas jelas
bahwa bukan saya yang megatakan bahwa hukum waris Islam seperti yang dikemukakan
al-Qur’an itu tidak adil, tetapi justru saya menyoroti sikap masyarakat yang tampaknya
tidak percaya lagi kepada keadilan hukum Islam”.16 Kalimat di atas, berawal dari
permasalahan yang menyangkut QS. An-Nisa’ (59) ayat 7, yang menjadi sumber hukum
atas ketentuan antara pembagian anak laki-laki dengan anak perempuan 2 : 1. Beliau
mengemukakan ketentuan itu seolah-olah diskriminatif, sehingga kaum wanita
menganggap ketentuan itu kurang adil.
Terhadap pendapat tersebut, timbul reaksi yang berpuncak menjadi polemik ada
yang pro dan kontra, di samping itu ada yang menanggapi secara moderat dan ilmiah,
yang dikemukakan antara lain: mungkin sebagian kita terlampau meletakkan tekanan
pada kalimat “fariidhatan minallah”, sehingga seluruh ayat itu takluk secara mutlak
kepada kalimat tersebut. Akan tetapi kalau ditanya dari segi telaah hukum, dapat
dikedepankan suatu konstruksi pemikiran hukum. Ketetapan (fariidhah) yang pokok
dalam ayat tersebut, yaitu:17 (1) memberi hak dan kedudukan kepada semua anak (laki-
laki dan perempuan) untuk mewarisi harta peninggalan orang tuanya, (2) bagian seorang
anak perempuan “minimal” setengah bagian seorang anak laki-laki, (3) apabila kesadaran
umat Islam menghendaki, bagian minimal dapat ditingkatkan, dan (4) namun peningkatan
bagian minimal tadi paling maksimal sama dengan bagian anak laki-laki.
Pendapat tersebut di atas, bertitik tolak pada hipotesis “spiral syari’ah” yang
dikemukakan Zainuddin Sardar, yang menyatakan bahwa: “syari’at Islam dapat melentur,
tidak ubahnya seperti spiral, akan tetapi yang dapat dilenturkan adalah “hudud” nya,
bukan “norma” nya. Demikian pula dikatakan, bahwa setiap rumusan hukum yang
terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdiri dari dua unsur, yaitu: (1) unsur pertama
berisi ketentuan normatif, bersifat abadi dan universal, berlaku untuk semua tempat dan
waktu, tidak berubah dan tidak dapat diubah, dan (2) unsur kedua berisi ketentuan hudud,
sifatnya elastis, sesuai dengan waktu, tempat dan kondisi sosial.
Berarti jika teori spiral yang dipergunakan sebagai pendekatan terhadap QS-an-
Nisa’ (59): ayat 7, maka yang abadi dan universal ialah norma tentang hak dan
kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tuanya,
sedangkan mengenai besarnya bagian adalah aturan hudud yang dapat dilenturkan.
Perkembangan pemikiran kesetaraan jender, juga diakomodir dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang merupakan ijma’ ulama Indonesia dan mendapat legal force
(kekuatan hukum) dari pemerintah dengan memperhatikan “living law” (hukum yang
hidup) di tengah-tengah masyarakat tanpa kehilangan “ruh syari’at”, dengan melakukan
terobosan hukum yang kadang terkesan berbeda dengan fikih konvensional dan terobosan
tersebut dilakukan dalam upaya memenuhi rasa keadilan masyarakat. Di antara pasal-
pasal yang dapat mengakomodir kesetaraan jender dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yaitu: Pasal 1 huruf (f) yang cukup signifikan dalam upaya memenuhi rasa keadilan
masyarakat.
Di antara pasal-pasal yang dapat mengakomodir kesetaraan jender dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu: Pasal 1 huruf (f) yang cukup signifikan dalam
menetapkan kemitraan suami-istri. Dalam kitab fikih klasik belum mengakui secara
eksplisit eksistensi dan peran istri dalam melahirkan harta bersama, maka Pasal 1 huruf
(f) cukup representatif mengakui peran istri. Adanya harta bersama tidak dikaitkan
dengan siapa yang memperoleh dan tidak dikaitkan dengan pendaftarannya atas nama
siapa. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagaimanapun pola relasi suami istri dan
masing-masing pihak tidak dapat melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama
tanpa persetujuan pihak lain.
Pasal 29 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara ekplisit menetapkan
bahwa kesetaraan jender suami istri dimulai sejak akad nikah. Perkawinan tidaklah
menempatkan istri sub-ordinasi di bawah posisi suami. Dalam ayat “arrijalu qauwamuna
‘ala nisa’ ” diartikan dengan “suami pelindung (protector, maintainers) istri”. Bukan
sebagai “pemimpin” yang terkesan lebih dominan dan otoriter. Demikian pun Pasal 45
sampai dengan Pasal 52 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur tentang perjanjian
kawin. Dalam kitab-kitab fikih konvensional tidak membahas perjanjian perkawinan.
Terkesan bahwa akad nikah hanyalah perjanjian antara wali dengan suami, di mana
mempelai wanita atau istri tidak berhak menyatakan pendapat atau kemauannya
sehubungan dengan terjadinya peristiwa hukum perkawinan tersebut. Kompilasi Hukum
Islam (KHI) secara eksplisit mencantumkan perjanjian perkawinan yang merupakan
media untuk mempercepat terwujudnya “mu’asyarah bil ma’ruf”. Dengan adanya
peluang untuk mengadakan perjanjian perkawinan, maka eksistensi dan peran istri
sebagai mitar suami semakin kuat. Secara lebih lugas Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menyatakan bahwa bila perjanjian perkawinan dilanggar, maka dapat dijadikan
alasan oleh istri untuk pembatalan nikah atau alasan gugatan perceraian.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 77 sampai dengan Pasal 79 tentang hak dan
kewajiban serta kedudukan suami istri. Pandangan bahwa suami lebih dominan daripada
istri dalam relasi perkawinan ditegaskan oleh ketiga pasal tersebut di atas. Suami tidak
dapat memaksakan pendapat dan kemauannya kepada istri. Untuk hal-hal yang prinsip
seperti upaya menciptakan rumah tangga sakinah, pengasuhan dan pemeliharaan anak,
mereka harus bekerja sama. Jika salah satu pihak melalaikan kewajibannya, pihak
lawannya dapat menggugat ke Pengadilan Agama agar pihak yang lalai tersebut
memenuhi kewajibannya. Di samping itu, penentuan tempat kediaman bersama harus
diputuskan bersamasama.
Contoh di atas merupakan semangat kesetaraan jender yang diakomodir
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berpengaruh terhadap hukum kewarisan yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang
seiring dengan kemajuan masyarakat dan semakin heterogen suatu masyarakat semakin
komplek pula persoalannya. Terobosan hukum yang dilakukan oleh Kompilasi Hukum
Islam (KHI) di atas merupakan antisipasi adanya perubahan sosial sebagaimana telah
diuraikan di atas, dan cukup signifikan untuk menjawab tuntutan kesetaraan jender dalam
koridor yang dibenarkan oleh Islam.
Pasal-pasal yang dianalisis tersebut di atas menunjukkan bahwa Kompilasi
Hukum Islam (KHI) merupakan visi masa depan dalam upaya menjadikan hukum Islam
sebagai hukum positif bagi umat Islam. Pasal-pasal yang mengakomodir kesetaraan
jender tersebut membuktikan bahwa hukum Islam di indonesia telah maju selangkah
dalam rangka pembangunan hukum nasional. Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah
mengembangkan semangat hukum Islam yang terdapat dalam berbagai sumber hukum
seperti al-Qur’an, as-Sunnah dan lain sebagainya dalam upaya memenuhi rasa keadilan
masyarakat, atas dasar prinsip maslahah.
Perkembangan pemikiran dalam hukum kewarisan Islam dalam konteks hukum
kewarisan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari cita-cita moral, cita-cita batin, suasana
kejiwaan dan watak rakyat Indonesia, menunjukkan bahwa:
(a) watak dan suasana kejiwaan bangsa Indonesia yang meliputi sikap mental di
dalam keimanan yang dibina oleh konsep hidup agama, hal ini tergambar jelas dengan
adanya Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila,
(b) pandangan hidup rakyat indonesia adalah pandangan hidup yang religius,
yang banyak dibentuk oleh ajaran agama. Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa dan
negara Indonesia tidak akan lepas dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
(c) kesadaran hukum dan cita-cita hukum rakyat indonesia adalah berdasarkan
nilai-nilai hukum agama dan menuju pada pelaksanaan hukum agama.
Berdasarkan uraian di atas, bagaimana prospek hukum waris nasional. Maka tidak
dapat dilepaskan dari hukum keluarga Indonesia. Sistem perkawinan menentukan sistem
keluarga dan sistem keluarga menentukan sistem kewarisan. Bentuk perkawinan
menentukan sistem atau bentuk keluarga. Bentuk keluarga menentukan pengertian
keluarga dan pengertian keluarga menentukan kedudukan dalam sistem kewarisan.
Berkaitan dengan itu bahwa prospek hukum waris nasional, yaitu berdasarkan hukum
kekeluargaan Indonesia yang menuju ke arah parental, hal ini terbukti dari yurisprudensi.
Hukum waris nasional berdasarkan Pancasila mendudukkan dan menghormati hukum
waris ajaran agama. Hukum kekeluargaan nasional Indonesia cenderung menjurus
menciptakan kekeluargaan parental (bilateral). Sistem perkawinan nasional indonesia
ditentukan oleh hukum agama.
Sistem perkawinan menentukan system kekeluargaan dan bentuk kekeluargaan
dan pengertian keluarga menentukan sistem kewarisan. Dapat dilihat kecenderungan
dalam hal kewarisan, bahwa hukum kewarisan sesuai dengan cita-cita moral, cita-cita
batin dan cita hukum yang diinginkan oleh manusia pemeluk agama akan menjadi
keinginan dan kesadaran batin secara nasional. Karenanya dapat diperkirakan akan makin
tumbuhnya individualisme dalam masyarakat Indonesia. Gerakan emansipasi dan
penuntutan hak kaum wanita juga akan tumbuh dan meningkat. Oleh karena itu sistem
kekeluargaan patrilineal dan sistem kewarisannya akan ditinggalkan.
Demikian pula sistem kekeluargaan matrilineal akan ditinggalkan oleh
masyarakat, karena pada masyarakat modern adanya kecenderungan makin besarnya
tuntutan kepada suami untuk bertanggungjawab memimpin keluarganya yang terdiri dari
istri dan anak-anaknya.20 Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa
hukum kewarisan Islam adalah rasional, kasuistis dan mengikuti perkembangan zaman.
Perubahan sosial dan hukum masyarakat akan mempengaruhi rasio hak waris antara laki-
laki dan perempuan. Hukum kekeluargaan masa mendatang lebih condong menjadi
parental (bilateral). Perjuangan di bidang hukum akan menghasilkan perkembangan hak-
hak individu dan emansipasi antara wanita dengan laki-laki. Kehidupan masa mendatang
memerlukan kesadaran akan fungsi-fungsi.
Termasuk fungsi laki-laki dan wanita dalam keluarga. Khusus berkaitan dengan
hak anak laki-laki dan anak perempuan dalam hukum kewarisan terdapat dua pandangan,
yaitu:
(1) sebagai hasil perjuangan emansipasi wanita, maka hak waris antara anak laki-
laki dengan anak perempuan adalah sama, dalam arti satu banding satu, dan
(2) setelah proses emansipasi wanitapun, karena laki-laki dan wanita adalah
pasangannya, maka yang penting dalam hukum keluarga dan waris adalah fungsinya,
karena fungsinya dalam keluarga dan tanggung jawabnya maka wanita mendapat bagian
1 dibanding 2 bagi laki-laki. Dengan kata lain berpandangan “egalitarian”, yaitu hak anak
lakilaki dan wanita sama, dalam arti 1 : 1, dan pandangan yang lain mengatakan, bahwa
sebagai wanita mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Dari sudut pandang
fungsinya dalam keluarga, wanita tidak mempunyai beban sama dengan laki-laki,
karenanya hak anak wanita dibanding laki-laki adalah datu banding dua.
HUKUM WARIS ADAT

Pengertian Hukum Waris Adat


Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk, dan
hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat RI,
yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Burgerlijk Wetboek
(BW). Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk
Hindia Belanda dahulu.
Menggunakan hukum waris menurut hukum adat, menurut Wirjono Projodikoro (19911 :
58), hukum adat pada umumnya bersandar pada kaidah sosial normatif dalam cara berpikir yang
konkret yang sudah menjadi tradisi masyarakat tertentu.
Menurut Ter Haar hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan
dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud
dari generasi ke generasi. Selain itu, ada pendapat lain ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta
benda yang berwujud dan yang tidak berwujud, dari suatu angkatan generasi manusia kepada
keturunnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur
proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari
pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau
prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah.

1.      Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat
dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi
menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris, sedangkan menurut sistem hukum
barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
2.      Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie (bagian mutlak),
sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
3.      Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu
menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting,
karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun
berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan
kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan. Jika
dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dengan kelima sila yang termuat dalam dasar
negara RI, yaitu Pancasila.
Di samping itu, menurut Muh. Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga asas
pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan. Ketiga asas ini dapat
diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal
saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Dengan menggunakan
dan mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan
keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas.
Hukumwaris menurut hukum adat pada dasarnya merupakan sekumpulan hukum yang
mengatur proses pengoperan dari satu generasi selanjutnya. Unsur-unsur hukum mawaris adat
adalah sebagai berikut :
1. Proses pengoperan atau hibah atau pewarisan atau warisan.
Maksud dari proses disini berarti bahwa pewarisan hukum adat bukan selalu aktual
dengan adanya kematian, atau walaupun tak ada kematian proses pewarisan itu tetap ada,
mengenai penerusan, pengoperan dan penerusan kedudukan harta material dan immaterial,
penerusan itu dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi pewarisan ini bukan merupakan
pewarisan individual.
2. Harta benda materiil dan imateriil.
Tiap kesatuan keluarga mesti ada benda-benda material yang dimiliki oleh keluarga itu,
yang disebut dengan kekayaan. Kekayaan yang biasa disebut harta keluarga (gezinsgoed), dapat
diperoleh dengan cara, antara lain : (1) harta suami istri yang diperoleh dari harta warisan dari
orang tuanya(toessheding), (2) harta suami istri yang diperoleh sendiri sebelum perkawinan, (3)
harta suami istri yang diperoleh bersama-sama semasa perkawinan, dan (4) harta yang ketika
menikah kepada pengantin (suami istri). Kekayaan dalam keluarga tersebut pada dasarnya
memiliki beberapa fungsi :
a.         Kekayaan merupakan basis material dalam kehidupan keluarga yang dinamakan
harta rumah tangga bagi kesatuan rumah tangga.
b.         Kekayaan berfungsi untuk memberi basis material bagi kesatuan-kesatuan rumah
tangga yang akan dibentuk oleh keturunan.
c.         Karena harta kekayaan itu merupakan basis material dari pada kesatuan-kesatuan
kekeluargaan, maka dari sudut lain harta kekayaan itu merupakan alat untuk mempersatukan
kehidupan keluarga.
d.        Karena harta kekayaan itu adalah pemersatu kehidupan keluarga, maka pada
dasarnya dalam proses pewarisan, tidak dilakukan pembagian atau pada dasarnya harta
peninggalan tak dibagi-bagi.

Berdasarkan ketentuan mengenai fungsi dari pada harta kekayaan, maka dalam hukum
waris di kenal dua harta macam peninggalan yaitu :
a.         Harta peninggalan yang dapat dibagi yaitu, peninggalan yang dibagi-bagikan pada
ahli warisnya yaitu kepada anak-anaknya.
b.         Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi yaitu, jika orang itu meninggal, maka :
hartanya menjadi harta pusaka yang dimiliki oleh komplek-famili yang dipimpin oleh kepala-
famili, dan hanya ada seorang anak saja yang berhak mewarisi. Harta peninggalan yang tidak
dapat dibagi di golongkan menjadi dua yaitu, mayorat (sistem pewarisan dimana anak tertua
yang menjadi ahli waris) dan kolektif (suatu sistem kewarisan yang dimana harta pusaka yang
dimiliki bersama, yaitu dimiliki oleh keluarga didalam arti kerabat (famili)).
c.Satu generasi kegenerasi selanjutnya.
Pada dasarnya yang menjadi ahli waris dalam hukum adat adalah angkatan (generasi).
d. Tata cara penyelenggaraan pembagian warisan.
Tata cara penyelenggaraannya pembagian warisan menurut hukum adat meliputi tiga
cara yaitu sebagai berikut :

a)         Waris, waris berdasarkan sistem tata tertib sanak yang terbagi dalam tiga sistem
yaitu waris parental, waris patrilineal, dan waris matrilineal.
b)        Hibah, adalah perbuatan hukum yang dimana seseorang tertentu memberikan sutau
barang(kekayaan) tertentu kepada seseorang yang diingkan, menurut kaidah hukum yang
berlaku. Hibah dibagi emnajdi dua yaitu hibah biasa (pembagian barang milik seseorang yang
langsung diikuti dengan pnyerahan seketika barang), dan hibah wasiat (pembagian barang milik
seseorang yang tidak selalu diikuti penyerahan seketika itu, juga barang-barang itu kepada yang
mendapat barang masing-masing dan abru akan diserahkan apabila si pemberi sudah meninggal
dunai). Dengan kata lain hibah wasiat berlaku setelah si pemberi meninggal.

Pembagian Waris Menurut Hukum Adat

Dalam hal pembagiannya yaitu anak-anak dan atau keturunannya serta janda, seluruh
harta menurut pasal 852 BW harus di bagi sebagai berikut :
1.    Apabila anak-anak dari si wafat masih hidup, anak-anak itu dan janda mendapat
masing-masing suatu bagian yang sama, misalnya ada 4 anak dan janda maka mereka masing-
masing 1/5 bagian.
2.    Apabila salah seorang anak sudah meninggal lebih dahulu, dan ia mempunyai anak
(jadi cucu dari si peninggal warisan), misalnya 4 cucu, maka mereka semua mendapat 1/5 bagian
selaku pengganti ahli waris (plaatsvervulling) menurut pasal 842 BW. Jadi masing –masing cucu
mendapat 1/20 bagian.
Dalam hal ini tidak diperdulikan apakah anak-anak itu adalah lelaki maupun perempuan,
anak tertua atau termuda (zonder onderscheid van kunne of eerstegeboorte).
Menurut ketentuan Hukum Adat yang berkembang di dalam masyarakat, secara garis
besar dapat dikatakan bahwa sistem (pembagianya) hukum waris adat terdiri dari tiga sistem,
yaitu.
1.    Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian
harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak
untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau,
Ambon dan Minahasa.
2.    Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan
yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya
anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/
Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki
saja.
3.    Sistem Individual, berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan
atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini
dijalankan di masyarakat di Jawa dan masyarakat tanah Batak.

Harta Waris Adat

Harta waris adalah harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada
warisnya, baik yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi
dalam empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak dan kewajiban
yang diwariskan.

1. Harta asal

Harta asal adalah harta yang diperoleh atau dimiliki oleh pewaris sebelum perkawinan
yang dibawa kedalam perkawinan, baik harta itu berupa harta peninggalan maupun harta
bawaan.
Harta peninggalan dapat dibedakan harta peninggalan yang tetap tak terbagi dan harta
peninggalan yang dapat dibagi, demikian juga harta bawaan ada harta bawaan di isteri dan harta
bawaan suami.
Harta peninggalan ada harta peningggalan yang tak terbagi dan harta peninggalan yang
dapat dibagi. Dalam pewarisan yang banyak membawa persoalan adalah harta peninggalan yang
tak terbagi, karena terhadap harta ini ada seolah-olah waris kehilangang haknya untuk memiliki
secara perseorangan atau menguasai secara penuh.Suatu harta peninggalan tidak terbagi dalam
hukum adat kita disebabkan karena sifat dan kedudukan dari harta itu. Dalam masyarakat
bilateral di Jawa, harta peninggalan dapat menjadi harta peninggalan yang tak terbagi bilamana
misalnya seorang janda atau anak-anaknya yang belum dewasa harus mendapat nafkahnya
daripadanya dan pemberian nafkah ini tidak akan terjamin bila diadakan pembagian.
Di Minangkabau dikenal harta pusaka tinggi seperti rumah gadang, sawah atau
peladangan. Dalam masyarakat matrilinial ini harta pusaka adalah kepunyaan kaum dimana ibu
sebagai pusat pengusaannya. Harta peninggalan ini tidak mungkin dimiliki secara perseorangan
melainkan secara bersama memilikinya bagi para anggota kerabat dari pihak ibu tersebut. 
Terhadap harta kerabat di Minangkabau atau di Hitu Ambon penguasaannya dipimpin
oleh mamak kepala waris di Minangkabau, kepala dati di Hitu. Selain faktor-faktor di atas, harta
peninggalan tak terbagi karena harta tersebut hanya diperuntukkan penguasaannya untuk diurus
seperti dalam masyarakat patrilinial beralih-beralih di Bali harta peninggalan dikuasai oleh anak
laki-laki yang tertua yang menggantikan kedudukan orang tua untuk mengurusi dan memelihara
saudara-saudaranya, atau di Semendo yang menganut sistim matrilinial harta peninggalan hanya
dikuasai dan diurus, tidak dapat dipindah tangankan, pada umumnya banyak harta peninggalan
tetap tinggal tidak dibagi-bagi dan disediakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materiil
keluarga yang ditinggalkan”. ( R,Soepomo, 1980 : hlm.81).
Sedangkan harta peninggalan yang dapat dibagi pada umumnya terdapat pada
masyarakat patrilinial di Batak, dan masyarakat bilateral di Jawa, dan tidak menutup
kemungkinan di daerah-daerah yang harta peninggalan tersebut di atas karena pergeseran zaman
dan merenggangnya sistim kekerabatan harta tersebut dibagi, namun pada prinsipya tidak dapat
dibagi.  Demikian juga di Semende yang menjadi harta yang tak terbagi atau tetap terbagi-bagi
hanya harta tunggu tubang saja, sedangkan harta diluar harta tubang dapat dibagi. Harta yang
dapat dibagi biasanya merupakan harta pencaharian atau harta bawaan.
Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh suami atau isteri sebelum perkawinan.
Oleh sebab itu dibagi antara harta bawaan suami dan harta bawaan isteri. Harta bawaan itu ada
yang terikat dengan kerabat dan ada yang tidak terikat dengan kerabat. Harta bawaan yang
terikat dengan kerabat seperti harta pihak suami yang dibawa pihak suami yang dibawa ke
tempat kediaman isterinya (matrilokal) dalam masyarakat matrilinial di Minangkabaum harta
yang diberikan kepada anak perempuan selagi masih gadis di Batak yang dibawa menetap di
tempat kediaman suaminya (patrilokal) yang dinamakan tano atau saba bangunan. Harta bawaan
yang tidak terikat dengan kerabat, karena harta itu hasil pencaharian si suami selagi masih
bujang (harta pembujangan, Sumatera Selatan), harta penantian bagi si isteri semasa gadis atau
guna kaya di Bali baik harta perempuan ataupun harta laki-laki.
Kedua harta ini dalam masyarakat kita mempunyai kedudukan yang berbeda sesuai
dengan bentuk masyarakat itu.
2. Harta pemberian

Harta pemberian adalah harta yang dimiliki oleh pewaris karena pemberian, baik
pemberian dari suami bagi si isteri, pemberian dari orang tua, pemberian kerabat, pemberian
orang lain, hadiah-hadiah perkawinan atau karena hibah wasiat. Harta pemberian dibedakan
dengan harta asal, sebab harta asal telah ada sebelum perkawinan sedangkan harta pemberian ada
setelah perkawinan. Harta pemberian orang tua, dalam beberapa masyarakat terikat dengan
kerabat, seperti harta pemberian si bapak kepada anak perempuannya sewaktu gadis ini Batak
atau selagi anak tersebut dalam perkawinan (saba bangunan, pauseang, indahan arian), bila si
isteri ini meninggal dan tidak mempunyai anak, maka harta ini akan kembali pada kerabatnya.
Harta pemberian orang lain, seperti pemberian dari teman sekerja.
Bila harta pemberian tersebut ditujukan kepada salah satu pihak suami-isteri, sama
halnya dengan pemberian kerabat hanya saja motif pemberiannya berbeda. Pemberian kerabat
biasanya didasarkan rasa kasihan, welas asih atau tolong-menolong, sedangkan pemberian orang
lain karena rasa persahabatan dan sebagainya.

3. Harta pencaharian

Harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami-isteri, suami saja atau isteri
saja dalam perkawinan karena usaha dari suami-isteri atau salah satu pihak. Secara umum harta
yang diperoleh dalam perkawinan adalah harta bersama suami-isteri, tetapi dalam beberapa
masyarakat ada harta pencaharian suami saja, atau harta pencaharian si isteri saja disebabkan
bentuk perkawinan dan sistim kekerabatannya.
Di Minangkabau harta bersama dikenal harta suarang, di Jawa gono-gini, di Kalimantan
harta perpantanganm di Bugis dan Makasar dikenal cakkara. Harta bersama dapat bertambah
karena harta bawaan, harta pemberian, dan harta lain yang diperuntukkan untuk keluarga yang
diberikan tersebut.
Hukum Waris Adat Patrilineal

Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak
ayah. Kata ini seringkali disamakan dengan patriarkat atau patriari, meskipun pada dasarnya
artinya berbeda. Patilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti "ayah",
dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi, "patrilineal" berarti mengikuti "garis
keturunan yang ditarik dari pihak ayah".
Sementara itu patriarkat berasal dari dua kata yang lain, yaitu pater yang berarti "ayah"
dan archein (bahasa Yunani) yang berarti "memerintah". Jadi, "patriari" berarti "kekuasaan
berada di tangan ayah atau pihak laki-laki".
Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat
menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-
laki sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara "kawin jujur" yang kemudian masuk
menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya
yang meninggal dunia. Dalam masyarakat tertib Patrilineal seperti halnya dalam masyarakat
Batak Karo, khususnya, dan dalam masyarakat Batak pada umumnya”. Titik tolak anggapan
tersebut, yaitu :
1.         Emas kawin (tukur), yang membuktikan bahwa perempuan dijual;
2.         Adat lakoman (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara
dari suaminya yang telah meninggal.
3.         Perempuan tidak mendapat warisan;
4.         Perkataan “naki-naki” menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk tipuan, dan
lain-lain.
Akan tetapi ternyata pendapat yang dikemukakan di atas hanya menunjukkan
ketidaktahuan dan sama sekali dangkal sebab terbukti dalam cerita dan dalam kesusasteraan
klasik, kaum wanita tidak kalah peranannya dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Meskipun demikian, kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan ahli waris pada
masyarakat patrilineal, dipengaruhi pula oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1.         Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dapat
melanjutkan silsilah (keturunan keluarga);
2.         Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama
keluarga (marga) ayah. Istri digolongkan ke dalam keluarga (marga) suaminya;
3.         Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya) sebab ia masuk
anggota keluarga suaminya;
4.         Dalam adat, laki-laki dianggap anggota keluarga sebagai orang tua (ibu);
5.         Apabila terjadi perceraian, suami-isteri, maka pemeliharaan anak-anak menjadi
tanggung jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayahnya baik
dalam adat maupun harta benda.

Di dalam pelaksanaan penentuan ahli waris dengan menggunakan kelompok keutamaan


maka harus diperhatikan prinsip garis keturunan yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu.
Pada umumnya masyarakat Bali menganut susunan kekeluargaan patrilinial, sehingga dalam
hukum adat di Bali terdapat persyaratan-persyaratan sebagai ahli waris menurut I Gde Pudja
adalah :

1.         Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak pewaris sendiri.
2.         Anak itu harus laki-laki.
3.         Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang karena
hukum ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat.
4.         Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka
kemungkinan adanya penggantian melalui penggantian atas kelompok ahli waris dengan hak
keutamaan kepada kelompok dengan hak penggantian lainnya yang memenuhi syarat menurut
Hukum Hindu.
Apabila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan tanpa ada anak laki-laki maka
anak perempuan itu dapat diangkat statusnya sebagai anak laki-laki (sentana rajeg) dengan cara
perkawinan ambil laki, sehingga anak perempuan tersebut dapat menjadi sebagai ahli waris dari
harta warisan orang tuanya. Anak angkat berdasarkan hukum waris adat di Bali dilakukan
bilamana suatu keluarga tidak mempunyai keturunan, sehingga fungsi anak angkat itu sebagai
penerus generasi atau keturunan, agar mantap sebagai penerus keturunan dan tidak ada keragu-
raguan maka pengangkatan anak ini haruslah diadakan upacara “pemerasan” dan diumumkan di
hadapan masyarakat.
Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk melepaskan anak itu dari ikatan atau
hubungan dengan orang tua kandungnya dan sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga
yang mengangkatnya. Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang
meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama
dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku
bersistem patrilineal, yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua
merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan
ahli waris dari orang tuanya.
Sifat masyarakat patrilinial adalah masyarakat yang anggota- anggotanya menarik garis
keturunan melalui garis bapak. Sifat kekeluargaan masyarakat adat ini disebut juga dengan
masyarakat Unilaterial. Pada masyarakat unilaterial diperlakukan kawin jujur. Pola pembagian
harta warisan masyarakat parental adalah :

a.    Yang berhak mewarisi hanyalah anak laki- laki


b.    Kakek, jika tidak memiliki anak laki- laki
c.    Saudara laki- laki, jika kakek tidak ada

Hukum Waris Adat Matrilinial

Di RI hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik
yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang
menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya adalah,
antara lain: Apakah ada persamaan antara hukum waris adat yang dianut oleh berbagai suku atau
kelompok tersebut, dan apakah hal itu tetap dianut walaupun mereka menetap di luar daerah
asalnya.
Menguraikan system hukum adat waris dalam suatu masyarakat tertentu, kiranya tidak
dapat terlepas dari system kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan.
Demikian pula halnya dengan system hukum adat waris dalam masyarakat matrilinial di
Minangkabau, ini berkaitan erat dengan system kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari
pihak ibu.
Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa merupakan masalah yang
aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena kekhasannya dan
keunikannya bila dibandingkan dengan system hukum adat waris dari daerah-daerah lain di
Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa system kekeluargaan di Minangkabau adalah
system yang menarik garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni
saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki
maupun perempuan.
Dengan system tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari
ibunya sendiri, baik untuk harta Pusaka Tinggi yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa
generasi, maupun harta pusaka rendah yang harta yang turun dari satu generasi.

Hukum Waris Adat Parental/Bilateral

Sistem parental ini di Ri dianut di banyak daerah, seperti: Jawa, Madura, Sumatera
Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan
Lombok. Berbeda dengan dua sistem kekeluargaan sebelumnya yaitu sistem patrilineal dan
sistem matrilinial, sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri
pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan.
Mereka mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses
pengalihan sejumlah harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan
anak perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama. Tiga bentuk sistem kekeluargaan
yang sangat menonjol senantiasa merupakan contoh pembahasan.
Hal tersebut mungkin didasarkan pada pertimbangan, bahwa di antara ketiga sistem
kekeluargaan itu perbedaannya sangat prinsipil karena seolah-olah sistem patrilineal merupakan
kebalikan dari sistem matrilinial. Kemudian kedua sistemtersebut dirangkum oleh satu sistem
yang mengambil unsur dari kedua sistem tersebut, yaitu sistem parental atau bilateral.
Hukum warisan parental atau bilateral adalah memberikan hak yang sama antara pihak
laki-laki dan pihak perempuan, baik kepada suami dan istri, serta anak laki-laki dan anak
perempuan termasuk keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Ini berarti
bahwa anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama-sama mendapatkan hak warisan dari
kedua orang tuanya, bahkan duda dan janda dalam perkembangannya juga termasuk saling
mewarisi.
Bahkan proses pemberian harta kepada ahli waris khususnya kepada anak, baik kepada
anak laki-laki maupun anak perempuan umumnya telah dimulai sebelum orang tua atau pewaris
masih hidup. Dan sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat ini adalah individual
artinya bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan dari pemiliknya atau pewaris kepada para
ahli warisnya, dan dimiliki secara pribadi.
Sifat sistem hukum kewarisan adat parental atau bilateral yang pada umumnya di pulau
Jawa, termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
sebenarnya dapat dilihat dari beberapa segi; pertama segi jenis kelamin, ini dapat dibagi dua
kelompok, pertama kelompok laki- laki dan kelompok perempuan. Kedua segi hubungan antara
pewaris dengan ahli waris. Dari segi ini juga ada dua kelompok pertama yaitu kelompok ahli
waris karena terjadinya ikatan perkawinan suami dan istri. Kelompok kedua adalah kelompok
hubungan kekerabatan, karena adanya hubungan darah ini ada tiga yaitu kelompok keturunan
pewaris, seperti anak pewaris, cucu pewaris, buyut pewaris, canggah pewaris dan seterusnya ke
bawah sampai galih asem. Kelompok asal dari pada pewaris, yaitu orang tua dari pewaris, seperti
ayah dan ibu dari pewaris, kakek dan nenek pewaris, buyut laki-laki dan buyut perempuan
pewaris, dan seterusnya ke atas dari pihak laki-laki dan perempuan. Dan kelompok ketiga adalah
hubungan kesamping dari pewaris, seperti saudara-saudara pewaris, baik laki-laki maupun
perempuan seterusnya sampai anak cucunya serta paman dan bibi seterusnya sampai anak
cucunya, dan siwo atau uwa laki-laki dan perempuan sampai anak cucunya.
Dalam sistem hukum warisan parental atau bilateral juga menganut keutamaan sebagai
mana sistem hukum warisan matrilinial. Menurut Hazairin ada tujuh kelompok keutamaan ahli
waris parental atau bilateral, artinya ada kelompok ahli pertama, kelompok ahli waris kedua,
kelompok ahli waris ketiga dan seterusnya sampai kelompok ahli waris ketujuh.
Dimaksud kelompok keutamaan disini, ialah suatu garis hukum yang menentukan di
antara kelompok keluarga pewaris, yang paling berhak atas harta warisan dari pewaris, artinya
kelompok pertama diutamakan dari kelompok kedua dan kelompok kedua diutamakan dari
kelompok ketiga dan seterusnya. Sehingga kelompok-kelompok ini mempunyai akibat hukum,
bahwa kelompok pertama menutup kelompok kedua, dan kelompok kedua menutup kelompok
ketiga seterusnya sampai kelompok ketujuh. Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampaknya
hukum warisan parental itu tidak terlepas dari sistem kekerbatan yang berlaku, karena kelompok
ahli waris itu menghitungkan hubungan kekerabatan malalui jalur laki-laki dan jalur perempuan.
Sehingga kedudukan ahli waris laki-laki dan perempuan sama sebagai ahli waris
Atas dasar kesamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, sehingga perolehan harta
warisannya tidak ada perbedaan, yaitu satu berbanding satu, maksudnya bagian warisan laki-laki
sama dengan bagian perolehan perempuan. Namun dalam perkembangannya hukum warisan
adat parental khususnya di Jawa kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan bervariasi ada
dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat bagian dua bagian dan perempuan mendapat satu
bagian. Adanya variasi itu karena terpengaruh ajaran agama Islam, karena hukum warisan Islam
perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan dua berbanding satu, artinya laki-laki
mendapat dua bagian, sedangkan perempuan mendapat satu bagian, (lihat Qur‘an Surat An-Nisa‘
ayat 11 dan 12).
Dengan adanya perubahan perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan,
ini membuktikan bahwa hukum warisan adat parental khususnya di Jawa telah mendapat resepsi
dari hukum Islam, meskipun dalam praktek belum seluruhnya mayarakat merecepsi hukum
warisan Islam.
Sifat masyarakat parental adalah masyarakat yang anggota- anggotanya menarik garis
keturunan melalui garis ibu dan garis bapak. Pola pembagian harta waris :
1.         Pertama, jika salah satu meninggal, harta warisan dibagi menjadi dua, yaitu harta
benda asal ditambah setengah harta benda perkawinan. Ahli warisnya adalah :
a.       Semua anak- anaknya (laki- laki atau perempuan) dengan bagian sama rata,
b.      Bila tidak beranak, maka harta benda bersama jatuh pada yang masih hidup,
c.       Bila ada anak, maka harta asal jatuh pada famili yang tertua dari yang meninggal
(orang tua), bila yang tertua tidak ada, harta asal jatuh pada ahliwaris kedua dari kedua
orangtua tersebut (saudara laki- laki).
2.         Kedua, jika keduanya meninggal tanpa anak, harta benda bersama jatuh pada famili
kedua belah pihak.

Anda mungkin juga menyukai