Anda di halaman 1dari 4

Rangkuman Materi Hk.

Keluarga dan Harta Perkawinan

Pertemuan ke – 1 / 2106785582
 Hk waris perdata diatur dalam buku II BW karena lebih menyangkut soal
boedel/harta peninggalan dari seorang pewaris.
 Dalam pembuatan wasiat, BW memberikan pembatasan yaitu:
a. Tidak boleh pengangkatan waris atau hibah wasiat lompat tangan (fidei-
commis);
b. Tidak boleh memberikan wasiat kepada suami/istri yang menikah tanpa
izin;
c. Tidak boleh memberikan wasiat kepada istri kedua melebihi bagian yang
terbesar yang boleh diterima istri kedua sebagaimana diatur dalam Pasal
852a KUHPerdata;
d. Tidak boleh membuat suatu ketetapan hibah wasiat yang jumlahnya
melebihi hak pewaris (testateur) dalam harta persatuan;
e. Tidak boleh menghibahwasiatkan untuk keuntungan walinya; para guru
dan imam; dokter, ahli penyembuhan, ahli obat-obatan dan orang-orang
lain yang menjalankan ilmu penyembuhan, yang merawat pewaris selama ia
menderita penyakit yang akhirnya menyebabkan ia meninggal; para notaris
dan saksi-saksi dalam pembuatan wasiat;
f. Tidak boleh memberikan wasiat kepada anak luar kawin melebihi bagiannya
dalam Pasal 863 KUHPerdata;
g. Tidak boleh memberikan wasiat kepada teman berzina pewaris;
h. Larangan pemberian kepada orang yang dijatuhi hukuman karena telah
membunuh pewaris, orang yang telah menggelapkan, memusnahkan atau
memalsukan surat wasiat pewaris, atau orang yang dengan paksaan atau
kekerasan telah menghalangi pewaris untuk mencabut atau mengubah
surat wasiatnya, serta isteri atau suaminya dan anak-anaknya.
 LEGAAT : pemberian wasiat atas sebagian daripada harta peninggalan berupa
suatu barang tertentu (Pasal 957 KUHPerdata).
 ERFSTELLING : penunjukkan meliputi suatu bagian tertentu yang sebanding
dengan warisan (misalnya ½ dari harta peninggalan pewaris) tanpa
menyebutkan benda yang diwariskan.
 Status hukum ahli waris yang afwezeighed? Apabila suatu hari muncul
kembali apa bisa diangkat jadi ahli waris?
 Golongan ahli waris :
a. Golongan pertama, terdiri anak/sekalian keturunan mereka meskipun
dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun, dan suami/istri yang hidup
terlama, dipersamakan dengan seorang anak yang sah (Pasal 852 BW);
b. Golongan kedua, terdiri dari orang tua, saudara dan keturunan saudara
(Pasal 855 jo. Pasal 859 BW);
c. Golongan ketiga, terdiri dari keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas
atau dalam garis menyimpang harus dibelah menjadi dua bagian yang sama
(Pasal 850 BW), dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Pasal
854, Pasal 855 dan Pasal 859 BW;
d. Golongan keempat, terdiri dari sanak keluarga lainnya dalam garis
menyimpang sampai dengan derajat keenam (Pasal 858 jo. Pasal 860-861
BW).

Pertemuan ke – 2
 Analisa tugas : terkait tepat tidaknya putusan hakim secara normatif.
Dikumpulkan saat midtest (minggu ke 8).
 Regulasi perkawinan : UU 1/74 jo UU 23/2006
 Perkawinan menurut Pasal 1 UU 1/74 mengandung ASPEK RELIGIOUS.
 UU Perkawinan baru, batas usia L = 19th, P = 19th. (ASPEK BIOLOGIS)
 Perkawinan menganut paham monogami (ASPEK SOSIAL)
 Perkawinan penghayat kepercayaan diatur dalam Pasal 105 UU 23/2006 jo
Pasal 81 PP 37/3007

Pertemuan ke – 3
 Ikatan lahir bathin antara pria wanita untuk membentuk keluarga (ayah-ibu-
anak) yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU 1/1974 Pasal 1)
 Syarat sah perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/74
 Tidak dicatatnya suatu perkawinan menyebabkan tidak adanya perlindungan
dan kekuatan hukum bagi para pihak terutama ahli waris. Tidak dicatatnya
perkawinan tidak menyebabkan suatu perkawinan tidak sah, hanya dianggap
tidak pernah ada (ini hanya syarat administratif). Lebih lanjut analisisnya,
apabila tidak dianggap pernah ada, maka sama saja perkawinan tersebut
dilakukan diluar nikah (seperti nikah sirih). Alhasil, ahli waris hanya punya
nasab kepada ibunya karena statusnya sama seperti anak di luar nikah.
 Dalam hal poligami, pencatatan perkawinan atau isbat nikah tidak
dimungkinkan (cari putusan MA-nya).
 Pencatatan perkawinan apabila salah satu pihak meninggal dunia
dimungkinkan, harus tetap melalui penetapan pengadilan dengan syarat
syarat formalitas seperti : (hasil penetapannya tidak selalu mengabulkan
permohonan)
- Surat keterangan KUA setempat bahwa pernikahan belum dicatatkan.
- Surat keterangan dari kepala desa/lurah setempat yang menerangkan
pemohon telah menikah.
- Fotokopi KTP pemohon isbat nikah.
- Membayar biaya perkara.
- Berkas lainnya sesuai ketentuan hakim.
 Asas personalitas dalam Pasal 56 UU Perkawinan terbentur dengan Hukum
Internasional mengenai keharusan mengakui perkawinan di luar negaara yang
bersangkutan
Pertemuan ke – 3
 Izin kawin ada di Pasal 21 UU Perkawinan
 Apakah perkawinan merupakan suatu perjanjian? Berbeda. Hanya seolah olah
seperti perjanjian, tapi perkawinan diatur oleh UU. Sedangkan perjanjian diatur
oleh para pihak.
 Perjanjian perkawinan hanya bisa dilakukan bila sekepercayaan.
 Jika perkawinan siri dan belum dicatatkan, maka selama belum dicatatkan
terebut belum ada akibat hukum apapun terhadap perkawinan tersebut

Pertemuan ke – 5 (ke-4 selesai cpt bgt)


 PMK berkaitan dengan usia adalah minimal 19 pria dan wanita.
 Akibat perkawinan adalah hak dan kewajiban di suami istri.
- Dalam BW : 103, 105, 106, 107, 108, 110 (lebih suamisentris)
- Dalam UU 1/74 : 30, 31, 32, 33, 34 (kedudukan suami istri seimbang)
 Pasal 119 BW, harta yang diperoleh masing masing suami atau istri sejak
sebelum menikah manjadi harta bersama setelah menikah kecuali ditentukan
lain seperti perjanjian kawin atau hibah dari pewaris (120 – 124 BW)
 Dalam BW mengatur ketentuan tentang penyangkalan anak oleh suami 250
BW). Apabila anak telah lahir kurang dari 180 hari padahal selama itu suami
istri belum pernah ngesex, maka suami boleh menyangkal.
 Keabsahan anak diatur dalam 250 – 253 BW.
 Kekuasaan orang tua menurut BW bersifat kolektif dan dipegang oleh ayah.
Kolektif artinya, apabila ..... ??. Jika perkawinan putus, hak asuh anak akan
ditentukan menurut Penetapan Pengadilan. LIAT DI BW UNTUK JELASNYA.
 Kekuasaan orang tua menurut UU Perkawinan ada di Pasal 45. Konsepnya
tunggal. Meskipun perkawinan putus, kekuasaan suami istri terhadap anaknya
tetap berjalan. Apabila nanti hak asuh jatuh ke salah satu pihak, kewajiban dan
kekuasaan dari suami atau istri tetap berjalan dan tetap wajib memberikah
kasih sayang, nafkah, dll
 Baca dan pahami Pasal 284 BW dan Pasal 43 UU 1/74 tentang Kedudukan
Anak diluar nikah.
 Baca dan pahami Pasal 50 UU 24/2013 terkait pengakuan anak.
 Pasal 37 UU Perkawinan soal penyelesaian soal harta bersama
 Segala ketentuan tentang perkawinan sepanjang sudah diatur dalam UU
Perkawinan, maka ketentuan terkait perkawinan yang ada dalam peraturan lain
(termasuk BW) dinyatakan sudah tidak berlaku.

Pertemuan ke – 6
 Pasal 35 UU 1/74, harta bersama adalah harta yang diperoleh selama
perkawinan.
 Pasal 36, suami atau istri bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
 Pasal 31 ayat (1), hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan suami
 Membedakan harta bersama dan harta bawaan, pada praktiknya notaris yang
menentukan berdasarkan bukti-bukti yang dibawa oleh masing masing pihak.
 Menurut BW, harta bawaan yang dibawa dan tidak ada perjanjian kawin, maka
otomatis menjadi harta bersama.
 Menurut BW, perjanjian perkawinan sudah harus terkait dengan harta
 Menurut UU 1/74 (Pasal 45 ayat (2)), perjanjian perkawinan boleh mengatur
diluar harta. Misal terkait peran suami atau istri, dan peran terhadap anak
apabila sudah cerai, dan lain lain.
 Apakah orang Islam bisa menggunakan ketentuan BW untuk urusan
perkawinan?
 Jika terdapat perkawinan beda agama, kemudian ada konflik, maka
diselesaikan di pengadilan dimana perkawinan tersebut dimulai. Apakah saat
berlangsungnya perkawinan di pengadilan negeri atau agama.
 Soal perkawinan beda agama, sudah terdapat ketentuan bersama dalam
Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Luar Negeri Nomor 589,
182/OT/X/99/01 Tahun 1999 (cek lagi)

Pertemuan ke – 7
 Surat Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri Luar Negeri tentang
Perkawinan Campuran beda negara.

Anda mungkin juga menyukai