Anda di halaman 1dari 6

HUKUM PERKAWINAN

Pengertian
KUHPerdata tidak memberikan pengertian mengenai perkawinan.
Perkawinan dalam hukum perdata adalah perkawinan perdata, maksudnya
adalah perkawinan hanya merupakan ikatan lahiriah antara pria dan wanita,
unsur agama tidak dilihat. Tujuan perkawinan tidak untuk memperoleh
keturunan oleh karena itu dimungkinkan perkawinan in extrimis.
Sebaliknya, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 bukan hanya ikatan lahiriah saja, tapi juga ada ikatan batiniah, dimana
ikatan ini didasarkan pada kepercayaan calon suami isteri. Menurut Pasal 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Asas-Asas Perkawinan

 Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar.


 Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan
pegawai catatan sipil.
 Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan di bidang hukum keluarga.
 Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan undang-undang.
 Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan
isteri.
 Perkawinan menyebabkan pertalian darah.
 Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan isteri itu.
Asas-Asas Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

 Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu
harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri.
 Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya,
seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya
boleh memiliki satu suami, namun ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5.
 Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.
 Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-
undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974)
 Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.
 Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan
tersebut.
 Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut.

Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami


istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri
1. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah
tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum (ayat 2).
4. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
5. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
6. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling
setia.
7. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai
dengan kemampuannya.
8. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
1. Timbul harta bawaan dan harta bersama.
2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap
harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun.
3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).
Akibat Perkawinan Terhadap Anak
1. Kedudukan anak
 Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)
 Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
 Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai
anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).
 Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.
 Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis
keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan
anaknya (Pasal 46).
Kekuasaan orang tua

 Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di
bawah kekuasaan orang tua.
 Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun
di luar pengadilan.
 Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun
di luar pengadilan.
 Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau
belum pernah kawin
Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah: Kekuasaan yang
dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Isi kekuasaan orang tua adalah:
1. Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta
kekayaannya.
2. Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hokum di
dalam maupun di luar pengadilan.
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari
pengesahannya.
Kekuasaan orang tua berakhir apabila:

 Anak itu dewasa


 Anak itu kawin
 Kekuasaan orang tua dicabut

Pembatalan Perkawinan

Alasan-alasan untuk menuntut batalnya perkawinan yang diatur dalam


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan) dipandang kurang kurang lengkap karena ada beberapa hal
yang tidak diatur dalam undang-undang tersebut. Apabila ditafsirkan secara
acontrario, maka Pasal 66 UU Perkawinan dapat ditafsirkan sebagai berikut:
hal-hal mengenai perkawinan yang diatur di dalam Burgerlijk Wetboek
(KUH Perdata/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan peraturan
perundang-undangan lainnya masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan UU Perkawinan.

Berikut ini alasan-alasan untuk menuntut batalnya perkawinan menurut KUH


Perdata: 1Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang, 2002, Hlm. 51-53. 2R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam
Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press,
1988, Hlm. 77-80.

1. Karena perkawinan rangkap (Pasal 86 KUH Perdata)


2. Karena tidak ada kata sepakat antara suami istri (Pasal 87 KUH Perdata)
3. Karena salah satu pihak tidak cakap memberikan persetujuan sebab di
bawah pengampuan berdasarkan pikiran tidak sehat (Pasal 88 KUH
Perdata)
4. Karena salah satu pihak belum mempunyai umur tertentu dan tidak
mendapat dispensasi untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 98 KUH
Perdata). Gugatan pembatalan tidak dapat diajukan apabila:
o Pada hari pengajuan gugatan usia yang disyaratkan telah dipenuhi
o Pihak wanita sebelum hari diajukannya gugatan berada dalam
keadaan hamil
5. Karena ada hubungan darah kekeluargaan yang dianggap masih terlalu
dekat.
6. Karena salah satu pihak menjadi kawan zinah (Overspel) (Pasal 32 KUH
Perdata)
7. Karena perkawinan itu (sebagai perkawinan yang kedua kalinya)
dilakukan dalam masa setahun setelah mereka berdua bercerai atau
perkawinan itu merupakan perkawinan yang ketiga kalinya (Pasal 33
KUH Perdata)
8. Karena tidak memperoleh izin dari pihak ketiga yang diperlukan
untuk perkawinan (Pasal 91 KUH Perdata)
9. Karena ketidakwenangan pejabat catatan sipil yang melangsungkan
perkawinan, jumlah saksi yang tidak cukup atau saksi-saksinya tidak
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal
92 KUH Perdata)
10. Karena perkawinan dilangsungkan, walaupun ada pencegahan
perkawinan yang belum dicabut.

Anda mungkin juga menyukai