Anda di halaman 1dari 10

HUKUM ISLAM

HUKUM PERKAWINAN (Hukum Keluarga Islam)


PERKAWINAN
1. Sumber Hukum Perkawinan
- UU No. 1 / 1974 tentang Perkawinan
- UU No. 16 / 2019 tentang perubahan UU 1 / 1974 ttg Perkawinan
- PP No. 9 / 1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1 tahun 1974
- Inpres No. 1 /1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku 1 tentang Perkawinan)

2. Definisi Perkawinan (Pasal 1 UUP)


- Ikatan lahir dan batin
- Seorang pria dengan seorang Wanita
- Sebagai suami-istri
- Dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa

3. Perkawinan Sah (2 UUP, 4 KHI)


1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Asas Perkawinan
- Monogami🡪Monogami Terbuka (ada syarat-syarat) Psl 3 (2), 4 dan 5 UUP, Psl 55-
59KHI)_persetujuan dan Ijin
- Persetujuan (6 ayat (1) UUP, 16 KHI), kesukarelaan, kebebasan memilih
- Kemitraan suami-istri (31 dan 34 UUP)

PINANGAN (11-13 KHI) & PERKAWINAN

Apakah sama ?

- Akibat hukum
- Bebas memutuskan

Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun Perkawinan (Psl 14 KHI)

- Calon suami
- Calon istri
- Wali nikah
- Saksi Ijab Kabul
-
1. Calon Suami & Calon Istri
- Umur (Psl 7 UUP, 15 (1) KHI) Junto Psl 7 (1) UU 16/2019
- Ijin perkawinan (Psl 6 (2-5) UUP, 15 (2) KHI)
- Persetujuan calon mempelai (Psl 6 (1) UUP, 16 KHI)
- Tidak terdapat halangan larangan perkawinan sebagaimana maksud Psl 8 UUP, 39-44 KHI)
2. Wali Nikah
- Syaratnya🡪 Laki-laki 🡪 Muslim, aqil dan baliq (Psl 20 KHI)
- Wali nikah terdiri: (1) Wali nasab ( Psl 21-22 KHI) (2) Wali hakim ( Psl 23 KHI)

3. Saksi (Psl 24-26 KHI)


- Jumlahnya 2 orang saksi
- Syaratnya: laki-laki muslim, adil, akil baliq, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau
tuli
- Harus hadir, menyaksikan dan menandatangi akta nikah (berita acara)

4. Ijab Kabul (Psl 27-29 KHI)


Ijab kabul antara wali dan calon mempelai laki-laki harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu.

MAHAR (Pasal 30-38 KHI)

- Calon mempelai laki-laki wajib membayar mahar kepada calon mempelai perempuan
- Mahar diberikan secara langsung dan tunai (terutang—jika disepakati calon istri kepada
calon mempelai perempuan dan menjadi hak pribadinya
- Penentuan mahar berdasar asas kesederhanaan dan kemudahan
- Jumlah, bentuk, dan jenisnya atas kesepakatan kedua belah pihak
- Mahar bukan merupakan rukun, sehingga kelalaian menyebutkan jenis dan jumlah mahar
pada waktu akad nikah tidak menyebabkan batalnya perkawinan

KAWIN (53 KHI)

- Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
- tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Catatan: Larangan Perkawinan

Perkawinan dilarang antara dua orang yang: (8 UUP, 39 KHI)

1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;


2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan daN bibi/paman
susuan;
5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang;
6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.

Keluarga: Suami-Istri-Anak

1. Hak dan Kedudukan Suami & Istri (Pasal 30-34 UUP, 77-84 KHI)
- Hak dan kedudukan suami-istri seimbang-sama, sehingga masing2 berhak melakukan
perbuatan hukum (Psl 31 (1) dan (2) UUP, Psl 79 (2),(3)
- Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga
2. Kewajiban Suami & Istri
- Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya (Psl 34 (1) UUP, 80 (2) KHI)
- Kewajiban istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang
dibenarkan oleh hukum Islam (Psl 83 (1) KHI)
- Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (34 (2) UUP, 84 (2) KHI)

3. Kewajiban Orang Tua (Pasal 45 UUP)


- Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
- Kewajiban ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

4. Kedudukan Anak
- Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
(Pasal 42 UUP)
- Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1 UUP)

Harta dalam Perkawinan

1. Perjanjian Perkawinan (Pasal 29 UUP, 45-52 KHI)


- Dapat mengadakan perjanjian perkawinan yang berupa taklik talak dan perjanian lain yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam (Psl 45 KHI)
- Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam
perkawinan (Psl 29, 47 (1) KHI)
- Dapat mengadakan perjanjian berupa: (Psl 47 (2) KHI)
A. Percampuran harta pribadi
B. Pemisahan harta pencarian masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
Islam

2. Harta Kekayaan Dalam Perkawinan (Pasal 35-37 UUP, 85-97 KHI)


- Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (Psl 35 (1) UUP),
kecuali kedua belah pihak menentukan lain dalam perjanjian (Psl 36 (1) UUP) yaitu pisah
harta.
- Pasal 86 (1) KHI menyatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta
suami dan harta istri karena perkawinan”

3. Harta Bawaan
- Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta yang diperoleh masing-masing
(baik hadiah, warisan) menjadi penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain (Psl 35 (2) UUP),
- Sehingga masing-masing berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bendanya (Psl 36 (2) UUP)

Putusnya Perkawinan disebabkan: (Psl 38-41 UUP, 113-170 KHI),

1. Kematian
- Salah satu pihak (suami/istri) meninggal
- Menimbulkan pembagian harta waris
2. Perceraian
- Perceraian terjadi karena:
A. Talak 🡪 permohonan dari suami
B. Cerai gugat 🡪 gugatan dari istri
- Perceraian hanya dapat dilakukan di depan PA setelah upaya perdamaian tidak tercapai.
- Alasan Perceraian (Pasal 19 PP 9/1975, 116 KHI)

3. Atas putusan pengadilan


- Bisa karena: permohonan pembatalan perkawinan (Pasal 22-28 UUP, 70-76 KHI)
- Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan
- Pengajuan pembatalan oleh:
A. Para keluarga dalam garus lurus keatas dari suami/istri
B. Suami atau istri
C. Pejabat yang berwenang

Catatan: Alasan Perceraian (Pasal 19 PP 9/1975, 116 KHI)

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dsb yang sukar
untuk disembuhkan
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami/istri
6. Antara suami-istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
7. Suami melanggar ta’lik-talak
8. Peralihan agama🡪 menyebabkan ketidakrukunan dlm rumah tangga

Catatan: Alasan Pembatalan

Alasan Pembatalan dalam UUP

- Salah satu atau keduanya masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain
- Perkawinan dimuka pegawai yang tidak berwenang, apabila suami-istri hidup bersama dan
dapat menunjukkan akta pekawinan maka perkawinan dapat diperbarui
- Wali nikah yang tidak sah/tidak berwenang
- Tidak dihadiri 2 orang saksi
- Perkawinan dilakukan di bawah ancaman

Alasan Pembatalan dalam KHI

- Poligami tanpa ijin PA


- Perempuan yang dinikahi diketahui masih menjadi istri pria lain
- Perempuan yang dinikahi ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain
- Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan
- Perkawinan tanpa wali/ awali yang tidak berhak
- Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan

Perkawinan Campuran

- Perkawinan Campuran yaitu:


Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan.

Perkawinan di luar Indonesia

- Perkawinan yg dilangsungkan diluar indonesia antara WNI dgn WNA


- Dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum yg berlaku dimana perkawinan
dilangsungkan.
- Dalam waktu 1 thn mereka harus kembali & mendaftarkan surat bukti perkawinan di kantor
catatan sipil sesuai dengan domisilinya

HUKUM WARIS

PRINSIP/DASAR WARIS ISLAM

- Pewarisan/Kewarisan
Pewarisan adalah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal
baik yang berupa benda berwujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada
keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum (Ahmad Azhar Basyir)
Jadi,
- Kewarisan baru terjadi setelah pewaris meninggal dunia
- Harta Peninggalan
- Yang tergolong ahli waris adalah keluarga yakni yang berhubungan dengan pewaris dengan
jalan perkawinan (suami atau istri) atau dengan adanya hubungan darah

Asas-Asas Kawarisan

1. Asas Ijbari🡪 peralihan harta terjadi dengan sendirinya Ketika terjadi suatu kematian tanpa
digantungkan pada kehendak pewaris maupun ahli waris
2. Asas Bilateral🡪 hak / bagian waris dari kedua belah pihak (dari kerabat keturunan laki-laki
maupun perempuan)
3. Asas Individual🡪harta warisan dapat dibagi/dimiliki untuk perseorangan
4. Asas Keadilan berimbang🡪 sesuai dengan tanggung jawab laki-laki >< perempuan
5. Asas bahwa kewarisan ada jika ada kematian

Unsur Pewarisan

1. Pewaris (Pasal 171 huruf b KHI)


2. Ahli Waris (Pasal 171 huruf c KHI)
3. Harta Warisan (Pasal 171 huruf e KHI)
- Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan (171 huruf b KHI)
- Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris (171 huruf c KHI)
Harta Peninggalan Harta Warisan

- Harta Peninggalan (Psl 171 huruf d)


Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang
menjadi miliknya maupun hak-haknya.
- Harta warisan (Psl 171 huruf e)
Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan
untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah
(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

Contoh:

- Pada tahun 1990, Fuad menikah dengan Fatimah dengan tanpa perjanjian kawin. Dalam
perkawinan tersebut harta bawaan dari Fuad sebesar Rp 50.000.000,- sedangkan harta
bawaan dari Fatimah sebesar Rp 40.000.000,-
- Selama perkawinan keluarga (Fuad dan Fatimah) memperoleh harta yaitu dalam bentuk
tabungan di Bank sebesar Rp 200.000.000,- sebidang tanah seluas 8.000 m2, dua buah
rumah masing-masing senilai Rp 150.000.000,- dan Rp 200.000.000,- serta memiliki
kendaraan berupa mobil Toyota Innova senilai Rp 250.000.000,- Dalam lawatannya ke
Malaysia, Fuad sering mengalami sakit-sakitan. tidak lama kemudian yaitu tepatnya pada
tahun 2019, Fuad meninggal dunia. Berapa harta warisan Fuad ?
Harta Bersama
- Tabungan = 200.000.000
- 2 Rumah = 150.000.000
200.000.000
- Mobil = 250.000.000 = 800.000.000
- Tanah = 8000 m2
Harta Warisan Fuad = harta Bawaan + (harta bersama/2)
= 50.000.000 + (400.000.000) + (4000 m2)
= 450.000.000 + 4000 m2
AHLI WARIS
Ahli waris harus masih hidup pada waktu pewaris meninggal dunia (M. Daud Ali; 2000, 277)
Ada tiga syarat untuk menjadi ahli waris (psl 171 c KHI)
1. Orang yang mempunyai hubungan darah (anak lk/pr, ayah,ibu) atau hubungan
perkawinan (janda/duda) dengan pewaris (psl 174 KHI)
2. Beragama islam (yurisprudensi no.51K/AG/1999> wasiat wajibah
3. Tidak berhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (psl 173 KHI)

Terhalang menjadi Ahli Waris (Psl 173 KHI)

Dihukum, karena:

A. Dipersalahkan telah/mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewariS


B. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 th penjara atau hukuman yangb
lebih berat

Macam Macam Ahli Waris

1. Dzawil Furud > ahli waris yang bagiannya telah ditentukan didalam syariat
A. Ayah) B.Ibu ) C. Anak perempuan) D. Janda/duda
2. Ashobah > ahli waris yang mendapatkan sisa harta warisan setelah diperhitungkan bagian
ahli waris dzawil furud
a.Anak lk,/ anak pr Bersama anak lk, b. cucu lk/ cucu pr Bersama cucu lk, c.ayah, d.kakek,
e.saudara lk kandung atau saudara pr seayah Bersama saudara lk lk seayah, dst….

3. Mawai > ahli waris pengganti (psl 185 KHI) yakni:

a.ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, b.bagiannya tidak boleh melibihi dari
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Kewajiban ahli waris terhadap Pewaris (Psl 175 KHI)

a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman


b. Menyelesaikan hutang-hutangnya dan piutangnya
c. Menyelesaikan wasiat pewaris
d. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak
“Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang/kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah
atau nilai harta peninggalan”

BAGIAN AHLI WARIS

Ayah, Ibu, Janda, Duda, Anak laki-laki, Anak perempuan

Bagian Ahli Waris Anak laki-laki, Anak perempuan, dan Saudara

Catatan:

- Gambar 2: Dalam kasus ayah sebagai ashobah, bagian ibu mendapat 1/3 dari sisa ternyata
bagian Ayah 2 kali bagian Ibu => 2:1
- Dari gambar 1 dan gambar 2, perbedaan hanya pada jenis anak yang dimiliki pewaris.
Gambar 1, ternyata bagian anak laki-laki 13/24, dan Gambar 2 ternyata anak perempuan ½
atau 12/24. Apabila bagian anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dalam kasus
tersebut adalah 13/24 : 12/24. Jadi, perbandingannya cenderung 1:1

Kesimpulan

1. Pewaris mempunyai anak laki-laki, maka kedudukan ayah bukan sebagai ashobah. Dalam hal
ini ayah mendapat 1/6 bagian dan bagian ibu juga sama yaitu 1/6 bagian.
2. Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, maka kedudukan ayah sebagai ashobah. Sedangkan
ibu 1/3 dari sisa setelah dikurangi ahli waris Dzawil Furud lain.
Saudara Seibu (pasal 181 KHI)

Syarat bisa mewaris:

- Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah.

Bagiannya:

- Saudara laki-laki + saudara perempuan seibu: masing-masing mendapat 1/6


- Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat 1/3

Saudara kandung/seayah (psl 182 KHI)

- Syarat bisa mewaris:


Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah.
- Bagiannya:
 Satu saudara perempuan kandung/ seayah, maka mendapat 1/2 bagian.
 dua orang/lebih saudara perempuan bersama-sama dengan saudara perempuan
kandung/seayah, maka bersama-sama mendapat 2/3 bagian.
 Bila saudara perempuan bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah,
maka bagian saudara laki-laki 2 berbanding 1 dengan saudara perempuan.

Mawali/ Penggantian Tempat (psl 185 KHI)

- Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. Bagian ahli waris
pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Anak Angkat & ALK; Perdamaian Pembagian Warisan; Wasiat

Anak Angkat (Pasal 209 KHI)

- Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.
- Anak angkat dapat memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya dengan cara wasiat
- Jika anak angkat tidak menerima wasiat, maka diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya
1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya
- Demikian pula sebaliknya “orang tua angkatnya”

Anak Luar Kawin (Pasal 186 KHI)

- Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan
ibunya dan keluarga dari pihak ibunya

Perdamaian dalam pembagian warisan (Pasal 183 KHI)

- Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan
setelah masing-masing menyadari bagiannya

Tidak ada ahli waris (Pasal 191 KHI)

- Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada
atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan
penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan
umum.

Warisan yang dipertahankan kesatuannya oleh Ahli waris (Pasal 189 KHI)

- Ahli waris yang menginginkan supaya dipertahankan kesatuan harta warisan (lahan
pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar), maka lahan pertanian tersebut dimanfaatkan
untuk kepentingan bersama para ahli waris.
- Apabila tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris ada yang memerlukan uang,
maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara
membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-
masing.

Wasiat

Syarat wasiat (Pasal 194-196)

1. Telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan
dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
2. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3. Wasiat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
4. Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang
saksi, atau dihadapan Notaris.
5. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan kecuali apabila
semua ahli waris menyetujui (Pasal 201 KHI)
6. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris
7. Wasiat harus menyebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau lembaga apa yang ditunjuk
akan menerima harta benda yang diwasiatkan.

Pasal 201 KHI “Apabila wasiat melebihi 1/3 dari warisan, sedangkan ahli waris tidak menyetujuinya
maka hanya dilaksanakan sampai batas 1/3 harta warisan”

Batalnya wasiat (Pasal 197 KHI)

1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan

putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum

karena:

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada
pewasiat;
b. dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah
melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman
yang lebih berat;
c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau
mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat;
d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari
pewasiat.

2. Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum
meninggalnya pewasiat;
b. mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya;
c. mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak
sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
d. Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.

Anda mungkin juga menyukai