Anda di halaman 1dari 4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perkawinan

Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati membentuk
keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Berasal dari
kata an-nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan
wathi atau bersetubuh1. Pada BAB 1 pasal 1 di dalam Undang-undang yang membahas
tentang perkawinan, di jelaskan pula bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dalam pasal 7 ayat 1 juga di jelaskan bahwa batas minimal umur perkawinan bagi
wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19
(sembilan belas) tahun.2

Adapun pengertian perkawinan menurut Sayuti Thalib (1974), perkawinan ialah


suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang kekal, santun-
menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia.3 Sedangkan menurut Hazairin
(1963), dalam bukunya yang berjudul “Hukum Kekeluargaan Nasional” mengatakan inti
perkawinan itu adalah hubungan seksual menurut beliau itu tidak ada nikah (perkawinan)
bilamana tidak ada hubungan seksual. Beliau mengambil tamsil bila tidak ada hubungan
seksual antara suami istri, maka tidak perlu ada tenggang waktu menunggu (iddah) untuk
menikahi lagi bekas istri itu dengan laki-laki lain.4
Perkawinan bukan hanya ikatan lahir saja atau batin saja melainkan kedua unsur
tersebut harus bersatu agar terjadi keseimbangan dalam hidup berkeluarga (rumah
tangga). Sebagai ikatan lahir, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang

1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat. (Jakarta: Prenada Media Group, 2003) hal. 8
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-
Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
3
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia, UI-Press, Jakarta, Cetakan Kelima, 1986,
hlm. 47
4
Hazairin, “Hukum Kekeluargaan Nasional” Publisher: Jakarta: Tinta Mas, 1968, Subject:
Hukum Keluarga, Isbn: 9795180584, Type: Monograf.
pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Bagi agama islah ikatan
lahir ini terjadi dengan adanya upacara perkawinan yakni pengucapan akad nikah oleh
calon mempelai pria kepada wali nikah mempelai wanita (ijab qobul), sedangkan bagi
agama yang lain selain Islam yaitu pengucapan sesuai dengan ketentuan agama dan
kepercayaan tersebut.
Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal antara pria dan wanita. 5 Ini berarti bahwa
perkawinan di langsungkan bukan untuk sementara saja atau untuk jangka waktu tertentu
yang di rencanakan, akan tetapi perkawinan itu berlangsung untuk seumur hidup atau
selama lamanya dan tidak boleh di putuskan begitu saja. Oleh karena itu tidak di
perkenanakan suatu perkawinan di langsungkan hanya untuk sementara waktu saja.

2.2 Syarat Perkawinan Menurut UU

Saat ingin melangsungkan perkawinan, terdapat syarat-syarat sebagaimana yang


tercantum pada Undang-Undang Perkawinan, yaitu6;

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;


(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua;
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya;
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya;
5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-
Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-
Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka
tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini;
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Adapun di jelaskan pada pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi;
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Setelah persyaratan tersebut terpenuhi, supaya perkawinan dapat di
anggap sah,
Dari pasal di atas, dapat kita ketahui bersama bahwasannya sebuah pernikahan
akan di anggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan
kepercayaan yang di anut pada mempelai.

2.3 Catatan Perkawinan

Selain itu, setiap perkawinan yang sudah berlangsung perlu di catatkan sesuai
peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan untuk memperoleh jaminan atas hak-
hak tertentu, memberikan perlindungan terhadap status pernikahan, memberikan
kepastian terhadap status hukum suami-istri maupun anak, serta memberikan
perlindungan terhadap hak-hak yang diakibatkan oleh adanya pernikahan, tertib
administrasi, dan juga sebagai sebuah upaya dalam melindungi martabat dan kesucian
pernikahan.7 Maka dari itu, sebuah perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat
oleh Kantor Urusan Agama (untuk muslim) atau Kantor Catatan Sipil (untuk non-

7
Mochammad Agus Rachmatulloh, “Pencatatan Pernikahan” PUSKUMHAM IAIN KEDIRI, 16
April 2021, https://puskumham.iainkediri.ac.id/2021/04/16/pencatatan-pernikahan/, di akses pada 12 April
2023
Muslim). Dan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat sesuai hukum negara,
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.

2.4 Undang-Undang Perkawinan pada Masa Kemerdekaan


Rancangan Undang-Undang yang membahas tentang perkawinan sebelumnya
telah ada sebelum Indonesia merdeka. Namun, rancangan tersebut baru bisa di
realisasikan sejak Indonesia merdeka. Setelah merdeka, pemerintah RI telah membentuk
sejumlah peraturan perkawinan Islam. Di antaranya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.8 Undang-undang tersebut awalnya
hanya yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, namun pada akhirnya berdasarkan
undaang-undang No. 32 tahun 1954 dinyatakan berlaku untuk nasional.
Pada tahun 1950, tepatnya pemerintahan orde lama mulai menggagas RUU
perkawinan nasioanal, karena Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah
meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang
perkawinan. RUU Gagasan pemerintah tersebut ternyata menuai banyak perdebatan dari
lapisan rakyat Indonesia yang akibatnya sampai tahun 1965 atau masa berakhirnya rezim
orde lama tersebut, hukum perkawinan nasional yang dicita-citakan rakyat Indonesia
tidak terwujud.
Pada masa orde baru keinginan untuk mewujudkan UU perwakilan bangkit
kembali, yang berujung dengan diajukannya RUU perkawinan oleh Menteri Kehakiman
sebagai perwakilan dari pemerintah ke DPR pada tahun 1973 terlaksana. Meskipun
demikian ternyata draft RUU tersebut menuai banyak kecaman, terlebih dari kalangan
umat Islam yang menilai RUU tersebut banyak yang tidak sesuai dengan Hukum Islam.
Dengan perjalanan yang berliku dan perjuangan yang keras akhirnya pada tanggal 2
Januari 1974 RUU perkawinan di sahkan menjadi Undang-undang.

8
Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), hlm. 146-147.

Anda mungkin juga menyukai