PEMBAHASAN
Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati membentuk
keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Berasal dari
kata an-nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan
wathi atau bersetubuh1. Pada BAB 1 pasal 1 di dalam Undang-undang yang membahas
tentang perkawinan, di jelaskan pula bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dalam pasal 7 ayat 1 juga di jelaskan bahwa batas minimal umur perkawinan bagi
wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19
(sembilan belas) tahun.2
1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat. (Jakarta: Prenada Media Group, 2003) hal. 8
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-
Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
3
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia, UI-Press, Jakarta, Cetakan Kelima, 1986,
hlm. 47
4
Hazairin, “Hukum Kekeluargaan Nasional” Publisher: Jakarta: Tinta Mas, 1968, Subject:
Hukum Keluarga, Isbn: 9795180584, Type: Monograf.
pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Bagi agama islah ikatan
lahir ini terjadi dengan adanya upacara perkawinan yakni pengucapan akad nikah oleh
calon mempelai pria kepada wali nikah mempelai wanita (ijab qobul), sedangkan bagi
agama yang lain selain Islam yaitu pengucapan sesuai dengan ketentuan agama dan
kepercayaan tersebut.
Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal antara pria dan wanita. 5 Ini berarti bahwa
perkawinan di langsungkan bukan untuk sementara saja atau untuk jangka waktu tertentu
yang di rencanakan, akan tetapi perkawinan itu berlangsung untuk seumur hidup atau
selama lamanya dan tidak boleh di putuskan begitu saja. Oleh karena itu tidak di
perkenanakan suatu perkawinan di langsungkan hanya untuk sementara waktu saja.
Selain itu, setiap perkawinan yang sudah berlangsung perlu di catatkan sesuai
peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan untuk memperoleh jaminan atas hak-
hak tertentu, memberikan perlindungan terhadap status pernikahan, memberikan
kepastian terhadap status hukum suami-istri maupun anak, serta memberikan
perlindungan terhadap hak-hak yang diakibatkan oleh adanya pernikahan, tertib
administrasi, dan juga sebagai sebuah upaya dalam melindungi martabat dan kesucian
pernikahan.7 Maka dari itu, sebuah perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat
oleh Kantor Urusan Agama (untuk muslim) atau Kantor Catatan Sipil (untuk non-
7
Mochammad Agus Rachmatulloh, “Pencatatan Pernikahan” PUSKUMHAM IAIN KEDIRI, 16
April 2021, https://puskumham.iainkediri.ac.id/2021/04/16/pencatatan-pernikahan/, di akses pada 12 April
2023
Muslim). Dan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat sesuai hukum negara,
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
8
Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), hlm. 146-147.