Jalil. B
(IAI DDI Polewali Mandar)
ABSTRAK
Pandangan tentang usia pernikahan dini menurut Islam maupun pernikahan usia
dini menurut hukum Islam masih jadi fenomena ini banyak terjadi pada masyarakat
perdesaan dalam hal sebuah pernikahan dini termasuk dalam studi kasus Penetapan
Perkara Nomor 297/Pdt.P/2016/PA.Pwl pada Pengadilan Agama Polewali. Perkawinan
menganut prinsip bahwa calon suami dan isteri harus telah masuk jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan pernikahan, agar dapat mewujudkan tujuan pernikahan secara baik tanpa
berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus
dicegah adanya perkawinan antara calon suami dan isteri yang masih dibawah umur. Dalam
Islam syarat perkawinan itu adalah ‘aqil dan baligh yang tidak memandang batas usia.
Berdasarkan perbedaan inilah penulis ingin meneliti terkait perbedaaan ini. Dalam
penelitian ini metode yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research) yakni
dengan membaca dan menela’ah buku-buku serta tulisan-tulisan yang ada kaitannya dengan
objek pembahasan,yakni dampak pernikahan usia dini, menurut hukum Islam.
Berdasarkan permasalahan, hasil penelitian ini antara lain: bahwa dalam hal
pernikahan menurut Islam, Islam sangat memuliakan pernikahan sehingga ikatan itu
ditetapkan sebanding dengan separuh agam, menurut syariat Islam usia kelayakan
pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada’ wa al -
wujub). Islam tidak menetukan batas usia namun mengatur usia baligh untuk siap
menerima pembebanan hukum Islam.Dalam Hukum Islam atau fiqih tidak ada batasan
minimal usia pernikahan, jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang
tua boleh minikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun.
Selain itu perlu diperhatikan dampak yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini, karena
tidak matangnya dalam berpikir dan menyelesaikan persoalan dalam pernikahan. Sehingga
tujuan pernikahan yang mawwadah dan rahmah tidak tercapai secara maksmimal.
84
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
85
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
seorang yang belum mencapai umur No. 1 tahun 1974 tercantum pasal berbunyi:
21 (duapuluh satu) tahun harus (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
mendapat izin kedua orang tua. pria sudah mencapai umur 19
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
orang tua telah meninggal dunia atau sudah mencapai umur 16 (enam belas)
dalam keadaan tidak mampu tahun.
menyatakan kehendaknya, maka izin (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
diperoleh dari orang tua yang masih kepada Pengadilan atau Pejabat lain
hidup atau dari orang tua yang mampu yang ditunjuk oleh skedua orang tua
menyatakan kehendaknya. pihak pria maupun pihak wanita.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan
meninggal dunia atau dalam keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tidak mampu untuk menyatakan tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4)
kehendaknya, maka izin diperoleh dari Undang-undang ini, berlaku juga dalam
wali, orang yang memelihara atau hal permintaan dispensasi tersebut ayat
keluarga yang mempunyai hubungan (2) pasal ini dengan tidak mengurangi
darah dalam garis keturunan lurus yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
keatas selama mereka masih hidup dan Dalam agama Islam secara tegas tidak
dalam keadaan dapat menyatakan terdapat kaidah-kaidah yang sifatnya
kehendaknya. menentukan batas usia Pernikahan,
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat berdasarkan hukum Islam pada dasarnya
antara orang-orang yang disebut dalam semua tingkatan usia dapat melakukan ikatan
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah Pernikahan. Dalam Islam syarat Pernikahan
seorang atau lebih diantara mereka itu adalah ‘aqil dan baligh yang tidak
tidak menyatakan pendapatnya, maka memandang batas usia. Adapun dalil As-
Pengadilan dalam daerah hukum tempat Sunnah. hadits Aisyah RA:
tinggal orang yang akan melangsungkan “Bahwasannya Nabi SAW menikahinya
perkawinan atas permintaan orang pada saat beliau masih anak berumur 6
tersebut dapat memberikan izin setelah tahun dan Nabi SAW menggaulinya
lebih dahulu mendengar orang-orang sebagai istri pada umur 9 tahun dan
tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) beliau tinggal bersama pada umur 9
pasal ini. tahun pula” (Hadis Shohih Muttafaq
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ‘alaihi)
dengan ayat (5) pasal ini berlaku Al-Qur’an yaitu QS At-Thalaq : 4 dan
sepanjang hukum masing-masing QS. An-Nisa : ayat 3 dan 127
agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan يض يَئِسْنَ َوالالئِي ِ ِسائِكُ ْم إِ ِن ِمنَ ا ْل َمح
َ ِمِ ْن ن
lain. ارت َ ْبت ُ ْم فَ ِعدَّت ُ ُه َّن ُ َ َ َ
ْ لَ ْم يَحِ ضْنَ أ ْش ُه ٍر َوالالئِي ثالثة
Sedangkan dalam pasal 7 dalam UU
86
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
87
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
88
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
SAW dengan Aisyah. Ia adalah kekasih Harits bin Ghonam bin Malik bin Kinanah al
Rasulullah SAW yang disodorkan oleh para Kinanah. Rasulullah menikahinya pada saat 2
malaikat dengan tertutupi secarik kain tahun sebelum hijrah dan dia masih anak-
sutera sebelum beliau saw anak, Abu Ubaidah mengatakan: 3 tahun, ada
menikahinya, dan malaikat itu yang mengatakan: 4 tahun ada yang
mengatakan,”Ini adalah isterimu.” (HR. mengatakan: 5 tahun. Umurnya saat dinikahi
Bukhori dan Muslim). oleh Rasulullah SAW adalah 6 tahun, ada
Beliau saw menikahinya pada bulan yang mengatakan 7 tahun. Dan mulai digauli
Syawal yang pada saat itu Aisyah berusia oleh Rasulullah SAW pada usia 9 tahun di
6 tahun dan mulai digaulinya pada bulan Madinah Aisyah meninggal di usia 57 tahun,
syawal setahun setelah hijrah pada usianya 9 ada yang mengatakan 58 tahun di malam
tahun. Rasulullah saw tidak menikahi Selasa pada tanggal 17 malam di bulan
seorang perawan pun selain dirinya, tidak Ramadhan dan dia meminta agar
ada wahyu yang turun kepada Rasulullah dimakamkan di Baqi’ pada waktu malam hari
SAW untuk menikahi seorang wanita pun Usianya tatkala Nabi saw meninggal baru 18
kecuali Aisyah ra.” tahun.
Beberapa dalil lainnya tentang Ibnu Ishaq mengatakan, ”Kemudian
pernikahan Rasulullah saw dengan Aisyah Nabi SAW menikahi Aisyah setelah Saodah
telah dijelaskan dalam hadits-hadits shohih binti Zam’ah setelah tiga tahun
berikut : meninggalnya Khodijah. Dan Aisyah pada
مﺎﻨﳌا ﲔﺗﺮﻣ اذإ ﻞﺟر ﰲ saat itu berusia 6 tahun dan digauli oleh
ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر لﺎﻗ ﺖﻟﺎﻗ ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻣ ﻚﺘﻳرأﻢﻠﺳو Rasulullah SAW pada usia 9 tahun.
Rasulullah saw meninggal pada saat usia
اﺬﻫ ﻦﻜﻳ نإ
Aisyah 18 tahun.
لﻮﻗﺄﻓ ﺖنأ ﻲﻫ اذإﻓ ﺎﻬﻔﺸﻛﺄﻓ ﻦﻋ
Perkataan bahwa Rasulullah SAW
“Dari Aisyah ra bahwasanya Nabi saw menikahi Aisyah pada usia 6 tahun dan
berkata kepadanya, ”Aku telah melihat kamu menggaulinya pada usia 9 tahun adalah hal
di dalam mimpi sebanyak dua kali. Aku yang tidak ada perbedaan di kalangan ulama
melihat kamu tertutupi secarik kain sutera. karena telah diterangkan dalam banyak
Dan Malaikat itu mengatakan, ’Inilah hadits-hadits shohih dan Rasulullah SAW
isterimu, singkaplah.” Dan ternyata dia menggaulinya pada tahun ke-2 setelah hijrah
adalah kamu, maka aku katakan, ’Bahwa ini ke Madinah.
adalah ketetapan dari Allah.” (HR. Bukhori
Berdasarkan hadits-hadits yang
4688)
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan
Aisyah binti Abu Bakar ash Shiddiq.
Muslim serta pendapat para ahli sejarah
Ia adalah isteri Nabi SAW dan yang paling
islam, menunjukkan bahwa usia
terkenal dari semua istrinya. Ibunya
Pernikahan Aisyah dengan Rasulullah
bernama Ummu Ruman putri dari ‘Amir bin
SAW adalah 6 tahun meskipun kemudian
Uwaimir bin Abdisy Syams bin ‘Attab bin
digauli pada usianya 9 tahun. Pernikahan
Udzainah bin Suba’i bin Duhman bin al
beliau SAW dengan Aisyah adalah dalam
89
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
rangka menjalin kasih sayang dan dipandang telah siap nikah secara biologis.
menguatkan persaudaraan antara beliau saw Ulama berbeda pendapat dalam usia balig,
dengan ayahnya, Abu Bakar ash Shiddiq, antara lain :
yang sudah berlangsung sejak masa sebelum a. Imam Malik, al Laits, Ahmad,. Ishaq dan
kenabian. Abu Tsaur berpendapat bahwa batas usia
Dan pernikahan Aisyah pada usia baligh adalah tumbuhnya bulu-bulu di
yang masih 6 tahun dan mulai digauli pada sekitar kemaluan, sementara kebanyakan
usia 9 tahun bukanlah hal yang aneh, karena para ulama madzhab Maliki berpendapat
bisa jadi para wanita di satu daerah berbeda bahwa batasan usia haidh untuk
batas usia balighnya dibanding dengan para perempuan dan laki-laki adalah 17 tahun
wanita di daerah lainnya. Hal ini atau 18 tahun.
ditunjukan dengan terjadinya perbedaan di b. Abu Hanifah berpendapat bahwa usia
antara para ulama mengenai batas minimal baligh adalah 19 tahun atau 18 tahun bagi
usia wanita mendapatkan haidh sebagai tanda laki- laki dan 17 tahun bagi wanita.
bahwa ia sudah baligh. Kalau pun ada yang c. Syafi’i, Ahmad, Ibnu Wahab dan jumhur
berpendapat lain dalam hal ini tentunya berpendapat bahwa hal itu adalah pada
tidaklah dipersalahkan sebagaimana usia sempurna 15 tahun. Bahkan Imam
perbedaan yang sering terjadi diantara para Syafi’i pernah bertemu dengan seorang
imam dalam suatu permasalahan fiqih wanita yang sudah mendapat monopouse
namun sikap saling menghargai dan pada usia 21 tahun dan dia mendapat
tidak memaksakan pendapatnya tetap terjalin haidh pada usia persis 9 tahun dan
diantara mereka. Perbedaan pendapat melahirkan seorang bayi perempuan
dikalangan kaum muslimin selama bukan pada usia persis 10 tahun. Dan hal
masuk wilayah aqidah adalah rahmat dan seperti ini terjadi lagi pada anak
sebagai khazanah ilmiyah yang harus perempuannya.
disyukuri untuk kemudian bisa terus menjadi Perbedaan para imam madzhab di
bahan kajian kaum muslimin. atas mengenai usia baligh sangat
Untuk lebih jelas tentang pernikahan dipengaruhi oleh lingkungan dan kultur di
dini, penulis akan menjelaskan hal yang tempat mereka tinggal. Imam Abu Hanifah
terkait dengan usia dan batas dewasa dalam tinggal di Kufah, Iraq. Imam Malik tinggal
pandangan iman mazhab terkait dengan di kota Rasulullah saw, Madinah. Imam
batasan usia yang dimasuk usia dewasa. Syafi’i tinggal berpindah-pindah mulai dari
Usia Baligh Madinah, Baghdad, Hijaz hingga Mesir
Pengertian pernikahan baligh nikah dan ditempat terakhir inilah beliau
dalam hukum Islam seperti yang diterapkan meninggal. Sedangkan Imam Ahmad tinggal
oleh ulama fiqh adalah tercapainya usia yang di Baghdad. Bila dipahami ternyata usia
menjadikan seseorang siap secara biologis baligh mengalami perkembangan bahwa
untuk melaksanakan Pernikahan, bagi laki- kemampuan secara biologis tidak lah cukup
laki yang sudah bermimpi keluar mani dan untuk melaksanakan Pernikahan tanpa
perempuan yang sudah haid, yang demikian mempunya kemampuan ekonomi dan psikis.
90
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
91
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
92
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
93
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
94
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
Islam sama sekali tidak melarang menikahi melakukan proses pemahaman. Dengan kata
anak perempuan yang masih di bawah umur. lain, fiqh sesungguhnya tidak lebih dari
Larangan hanya terdapat di dalam UU No sebuah produk pemikiran yang tingkat
1/1974 dan KHI. Sampai di sini, terdapat kebenarannya relatif, berbeda dengan Al
dengan sebuah dilema; dilema pelaksanaan Quran yang kebenarannya absolut.
hukum Islam di Indonesia. Manakah yang Relativitas kebenaran fiqh tidaklah berarti
harus dipatuhi, aturan fiqh atau undang- fiqh tidak dapat dipegang. Sepanjang proses
undang. Mana pula di antara keduanya yang ijtihadnya benar, maka produk fiqh harus
memiliki kekuatan, baik secara normative dijadikan pijakan dalam beragama.
teologis atau empiric yuridis. Penyebutan relativitas fiqh hanya
Hemat penulis akar masalahnya dimaksudkan untuk mengatakan, fiqh sangat
adalah kekeliruan dalam memahami Islam, terbuka dengan perubahan-perubahan. Oleh
tepatnya fiqh yang telah ditransformasikan sebab itu di dalam diskursus fiqh dikenal
menjadi UU. Bahkan lebih jauh dari itu, satu kaidah yang sangat popular, taghayyuri
keliru dalam memahami praktik Pernikahan alahkam bi altaghayyuri alamkan wa
Nabi Muhammad SAW. Ada kesan kuat, alazminah (perubahan hukum selaras
sebagian kecil ahli agama, ulama, dai, yang dengan perubahan tempat dan zaman
masih memiliki sikap mendua dalam (masa). Produk fiqh klasik masa lalu, bisa
melihat produk hukum Islam. Fiqh Islam jadi tidak lagi relevan dengan konteks zaman
dianggap sebagai hukum Tuhan dalam sekarang ini. Pada sisi lain, apa yang pada
makna syariat. Oleh sebab itu, fiqh masa lalu belum diatur, berdasarkan
memiliki nilai sakralitas yang tak kebutuhan sekarang ini, bisa saja dirumuskan
tergoyahkan. Sedangkan UU Pernikahan, fiqh yang baru.
kendatipun nuansa keislamannya sangat Kedua, ada kesan umat Islam
kental, termasuk KHI, yang perumusannya kesulitan dalam membedakan produk-produk
melibatkan ulama dari seluruh Indonesia, hukum Islam. Setidaknya ada empat jenis
merujuk 13 kitab fiqh mutabar, dianggap produk yang kerap disebut sebagai hukum
sebagai hukum pemerintah dan oleh Islam. Pertama, fiqh yang penjelasannya
karena itu nilainya profan. Berbeda dengan telah disebut di atas. Fiqh sifatnya tidak
fiqh yang sakral dan immutable. mengikat. Tidak bisa menangkap dan
Pandangan inilah yang menurut menghukum orang yang tidak shalat, tidak
penulis perlu diluruskan. Setidaknya ada dua puasa, tidak zakat, kendatipun fiqh dengan
hal yang perlu dijelaskan yaitu : sangat jelas mewajibkannya. Kedua, Fatwa,
Pertama, Al Quran dan fiqh tidak produk hukum yang pada awalnya
setara. Al Quran menempati posisi sebagai bersifat. individual. Fatwa pada mulanya
sumber hukum yang pertama dan utama. adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
Oleh sebab itu, Al Quran suci (sakral) dan seseorang ketika menghadapi persoalan
tidak pernah berubah. Sedangkan fiqh adalah hukum Islam kepada ahlinya. Jawaban ahli
pemahaman terhadap dialektika teks dengan (mufti) itu disebut fatwa. Sifatnya tidak
konteks serta realitas empirik pada saat faqih mengikat. Orang yang bertanya,
95
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
96
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
97
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
98
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
99
Jurnal JISH Vol 3 Juli – Desember 2017
1991
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum
Perkawinan Di Indonesia,
cet.6, Bandung: Sumur
Bandung, 1974.
Slamet Abidin dan H. Aminudin, Fiqih
Munakahat, Bandung, Pustaka
Setia, 1999
100