Nama :
Riconaldi Fitra Pratama / 20210610038
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perkawinan
Berdasarkan pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang Wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pasal 2 ( 1 ) perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaan itu. Dalam
pasal 2 ( 2 ) disebutkan bahwa tiap tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang
undangan yang berlaku. Adapun pegertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI) perkawinan adalah Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahaan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah1.
2.2 Rukun dan Syarat Perkawinan
Pada kasus ini dua orang remaja Bernama Risky yang berusia 19 tahun dan Selvi
yang berusia 15 tahun telah melangsungkan perkawinan siri yang disaksikan oleh tokoh
agama dan keluarga. Apabila ditinjau dari prespektif hukum islam mengenai rukun dan
syarat perkawinan, setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur , yaitu rukun dan
syarat. Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan ( ibadah ) , dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu2. Dengan
demikian rukun merupakan pondasi dalam suatu akad pernikahan. Sedangkan syarat
yaitu hal - hal yang melekat pada masing - masing unsur yang menjadi bagian dari suatu
perbuatan hukum atau peristiwa hukum akibat tidak terpenuhinya syarat adalah tidak
dengan sendirinya membatalkan perbuatan hukum atau peristiwa hukum , namun
perbuatan atau peristiwa hukum tersebut dapat dibatalkan.
Menurut Mahmud Yunus sebagaimana dikutip oleh Abdul Qodir , perbedaan antara
syarat dan rukun perkawinan adalah "rukun perkawinan" sebagian dari hakikat
perkawinan. Sedangkan syarat perkawinan merupakan sesuatu yang harus ada dalam
perkawinan , tetapi tidak termasuk salah satu bagian dari hakikat perkawinan. 3 Jumhur
ulama sepakat bawa rukun perkawinan itu tediri atas:
a) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
b) Adanya wali dari pihak calon pengantin Wanita Akad nikah akan dianggap
sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya.
Berdasarkan sabda Nabi SAW: ا ِ ان ًخغت االOO)س ِ َأ ٍة َك َحجْ بِغOOَأا اي َْش
ٔ ا ِط ٌمOOَ ا بOOا فَ َكا َحOOَِش ِإ ٌر ن
(نهُغاءArtinya: perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka
pernikahanya batal).
c) Adanya dua orang saksi Pelaksananya akad nikah akan sah apabila dua orang
saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi SAW:
اح اِا َّل بَ ِن َشا ِ ٖذ ع َْذ ٍل
َ ال َك
Artinya: Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua saksi yang adil.
1
KHI buku ke 1 tentang Perkawinan pasal 2.
2
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakabat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), hal.45)
3
Abdul Qodir, Pencatatan Pernikahan : Daalam Prespektif Undang-undang dan Hukum Islam, hal. 48.
d) Sighat akad nikah, sighat akad adalah ijab dan qabul. Keduanya menjadi rukun
akad, ijab diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan qabul
dijawab oleh calon pengantin laki-laki. Akad adalah gabungan ijab salah satu
dari dua pembicara serta penerimaan yang lain. Seperti ucapan seorang laki-
laki: ”Aku nikahkan engkau dengan putriku” adalah ijab, sedangkan yang lain
berkata: “Aku terima” adalah qabul. Tentang jumlah rukun nikah ini, para
ulama berbeda pendapat: mazhab mailikyyah berpendapat bahwa rukun nikah
ini ada lima macam yaitu:
a) Sighat
b) Calon Suami
c) Calon Isteri
d) Wali
Setidaknya dalam hukum Islam terdapat tiga macam wali nikah antara lain wali nasab
, wali hakim dan wali muhakkam. Adapun definisi wali nasab adalah orang yang berasal dari
keluarga calon pengantin perempuan dan berhak menjadi wali . Adapaun urutan urutan yang
termasuk kategori wali nasab antara lain ayah / bapak , kakek ( ayah dari ayah ) , saudara laki
- laki . Saudara laki - laki seayah , anak laki laki dari saudara laki - laki , anak laki - laki dari
saudara laki - laki seayah , paman ( saudara laki - laki kandung dari ayah ) , paman ( saudara
laki - laki seayah dengan ayah ) , anak laki - laki dari paman , anak dari paman , paman dari
gadis yang akan dinikahkan dan anak laki - laki dari paman dari ayah gadis yang akan
dinikahkan 4.
Pengertian wali hakim adalah orang diangkat oleh pemerintah atau lembaga masyarakat
yang biasa disebut ahlul halli wa agdi untuk menjadi gadhi dan diberi wewenang untuk
bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Adapun pengertian wali muhakkam yakni
seorang yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad
nikah mereka5. Definisi wali menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 1 huruf h , perwalian
adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan
hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua
orang tua, orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Dalam kasus diatas yang bertindak sebagai wali dalam perkawinan risky dan selvi tersebut
adalah Paman. Apabila ditinjau dari prespektif hukum islam pernikahan Risky dan Selvi
sudah memenuhi syarat sah. Mereka telah melaksanakan ijab qobul yang telah disaksikan
4
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung, Al-Maarif), 1990), Terj, Jilid 7, hal.11.
5
Zuhdi Muhdloor, Mamahami Hukum Perkawinan, Hal. 61.
oleh seorang wali. Jadi menurut agama pernikahan mereka adalah sah dan hubungan
keduanya bukanlah kategori zina.
Namun dalam undang – undang terbaru mengenai perkawinan yaitu Undang-Undang
No 16 Tahun 2019, syarat-syarat perkawinan termuat dalam Bab II pasal 6 dan 7 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Adapun syarat-syarat nikah sebagai berikut :
Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang dalam
ayat (2), (3) dan (4), pasal ini atau salah seorang atau. di antara mereka
tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum
tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan
orang tersebut memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-
orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
(2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau
orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan
dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang
cukup.
(3) Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai
yang akan melangsungkan perkawinan.
(4) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang
tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3)
dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Dalam hal ini, Risky berumur 19 tahun dan selvi berumur 15 tahun, telah menikah
dihadapan tokoh agama setempat dengan disaksikan oleh kalangan keluarga. Dalam
perkawinan dihadapan tokoh agama tersebut, telah terpenuhi rukun nikah, namun Risky
dan Selvi bersepakat untuk tidak mencatatkan perkawinan tersebut ke KUA. Walaupun
mereka bersepakat untuk tidak mendaftarkan dahulu perkawinan mereka, namun apabila
mereka tetap ingin mendaftarkan perkawinannya tetap bisa dengan orang tua mempelai
mengajukan dispensasi kepada pengadilan sesuai dengan yang dijelaskan di pasal 7.
Meskipun, pernikahan tersebut tanpa sepengetahuan orang tua. Hal ini termasuk sah
secara agama. Karena menurut pasal 2 (1) Undang-Undang Perkawinan, “perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu”. Ketika usia Risky sudah mencapai usia 22 tahun yang mana hal ini
sudah diperbolehkan sesuai dengan hukum positif di Indonesia dan selvi tetap bisa
mendapat dispensasi apabila orang tua mengajukan ke pengadilan. Namun yang menjadi
masalah adalah Ketika Risky ingin menikahi Selvi secara resmi dan sesuai peraturan
negara, orangtua mereka malah tidak menyetujui. Seharusnya orangtua tetap
memberikan restu mengingat Risky dan Selvi sudah menikah secara sah berdasarkan
agama. Apabila pernikahan mereka tidak segera diresmikan menurut undang-undang
yang berlaku di Indonesia akan berdampak buruk antara lain :
1. Tidak adanya kejelasan status wanita sebagai istri dan kejelasan status anak
di mata hukum atau masyarakat.
2. Akan ada banyak kasus poligami terjadi Pelecehan seksual terhadap wanita
karena dianggap sebagai pelampiasan nafsu sesaat bagi kaum laki-laki.
3. Pihak wanita tidak memiliki kekuatan hukum untuk menuntut suami jika
terjadi masalah atau perceraian, sebab konsep nikah yang dijalani tidak sah
secara hukum atau tidak tercatat di KUA.
Lebih baik kedua orang tua segera memberikan restu dan membiarkan Risky dan Selvi
menikah secara resmi sesuai peraturan yang berlaku di Indonesia agar tidak ada pihak
yang rugi dikemudian hari khususnya pihak perempuan.
BAB III
KESIMPULAN