Anda di halaman 1dari 6

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG


FAKULTAS SYARI’AH
Jl. Gajayana 50 Malang 65144 Telepon (0341) 559399 Faksimile (0341)559399
Website: http://syariah.uin-malang.ac.id E-mail: syariah@uin-malang.ac.id

UTS FIQH MUNAKAHAH


TAHUN AKADEMIK 2022/2023
Mata Kuliah : Fiqh Munakahah
Semester/kelas :2/E
Dosen : Syabbul Bachri, M.HI
Jurusan/ Prodi : HES
Hari/Tgl : Oktober 2022
Waktu : Deadline 25 Oktober 2022
Sifat : Open Book
Tanggal Verifikasi Verifikasi : Penyusun Soal
Koordinator Dosen Serumpun

....................................................... Syabbul Bachri, M.HI.


Revisi & Review Tanggal penyelesaian Tanggal Validasi
Revisi
Validasi
PD. Bid. Akademik

Dr. Zaenul mahmudi, MA.


Soal:
1. A. Apakah poligami siri dapat dilakukan pengesahan dengan cara isbat nikah? Jelaskan alasannya!
B. Dalam keadaan bagaimana nikah siri tersebut dapat dijerat dengan hukuman pidana, dan
bagaimana ketentuan hukuman pidananya?
2. Buatlah analisis legal review yang tentunya dengan menggunakan referensi(footnote) terkait
pernikahan beda agama dengan jumlah 1-3 halaman yang memuat beberapa permasalahan
berikut:
a) Bagaimana hukum nikah beda agama berdasarkan hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia
b) Mengapa di Indonesia masih sering terjadi nikah beda agama?
c) Bagaimana status keperdataan anak dari pasangan nikah beda agama dalam perspektif Hukum
Islam?
NAMA: AWALIA DIVA NABILAH
NIM: 210202110168
KELAS: E
JURUSAN: HES
SEMESTER: 2

1. A. Poligami siri dalam hukum islam dapat dibenarkan sesuai atau dengan memenuhi syarat dan
rukun yang berlaku dalam islam. Dijelaskan dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 yang
membahas tentang perkawinan sah jika dilakukan sesuai dengan prosedur menurut agama dan
kepercayaan masing-masing. Maka poligami siri boleh mengajukan pengesahan dengan isbat nikah
sesuai dengan pasal 7 ayat 2 dalam kompilasi hukum islam di Pengadilan Agama. Jika putusan
pengadilan adalah mengabulkan permohonannya, maka itu masuk dalam ketentuan pasal 2 ayat 1 UU
No.1 tahun 1974 mengenai perkawinan.
Maka legal standing terhadap suatu putusan yaitu isbat nikah dalam poligami siri menjadi
yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan keputusan hakim dahulu yang menghadapi perkara yang
belum diatur dalam UU dan dapat dijadikan pedoman hakim untuk menyelesaikan perkara yang
sama.
Setelah isbat nikah dikabulkan, maka status perkawinan, anak memiliki kekuatan hukum &
pengakuan negara yang mana anak anak tersebut berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Dan
harta yang diperoleh sejak perkawinan merupakan harta bersama. Oleh sebab itu, persyaratan formil
dalam sahnya perkawinan adalah pencatatan perkawinan.
Isbat nikah memiliki implikasi untuk memberikan jaminan dalam hukum atas hak anak dan
istri, jika pasangan suami istri bercerai. Atau isbat nikah dijadikan dasar hukum dari pencatatan
perkawinan yang dapat memberikan kepastian terhadap status perkawinan, anak dan harta benda
tersebut. Diperlukan payung hukum untuk mengisi kekosongan hukum isbat nikah yang membahas
kebolehan isbat nikah poligami siri yang diberlakukan setelah terjadinya perkara dalam UU
perkawinan.

B. Ketentuan Pidana
1. Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat
Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
(Rancangan UU Peradilan Agama BAB XXI pasal 143)
2. Pasangan yang menikah siri dapat dijerat pasal 284 ayat (1) KUHP tentang zina, jika suami/istri
yang menikah siri ternyata masih terikat perkawinan yang sah dengan orang lain.
3. Meskipun UU perkawinan suami hanya boleh mempunyai seorang istri, tetapi pengadilan dapat
memberikan izin kepada suami untuk memiliki lebih dari seorang istri jika memenuhi syarat salah
satunya adalah mendapat persetujuan istri sahnya. (pasal 3 dan pasal 5 ayat (1) huruf a UU
Perkawinan)
4. Tindakan suami yang melangsungkan pernikahan tanpa izin pengadilan dapat dikenakan sanksi
tindak pidana yang diatur dalam Pasal 279 KUHP: dengan ancaman pidana paling lama 5 tahun.
Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain
bahwa perkawinan yang ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, maka dapat diancam dengan
pidana penjara paling lama 7 tahun.

Analisis Legal Review terkait Pernikahan Beda Agama

Oleh: Awalia Diva Nabilah

A. Fakta Hukum

1. Menurut perspektif hukum islam di Indonesia, pernikahan beda agama ini tidak diperbolehkan
karena sesuai dengan larangan tegas dari Alquran yang dijelaskan dalam QS Al-baqarah: 221
kecuali jika wanita yang dinikahi tersebut merupakan ahlulkitab, dijelaskan di QS Al-maidah: 5
& sunnah Nabi1

2. Sedangkan menurut hukum positif di Indonesia, pernikahan beda agama dilarang sesuai dengan
pasal 57 UU No. 1 tahun 1974. Ini tidak dapat dibenarkan dan termasuk pelanggaran terhadapa
UUP Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f)2

3. Beberapa pandangan menyatakan bahwa persoalan nikah beda agama disebabkan karena adanya
kekosongan hukum di negara dan ketidakjelasan peraturan UU Perkawinan yang membahas
terkait hal tersebut.3

4. Jika menurut hukum islam status keperdataan anak dalam pernikahan beda agama tidak sah,
karna dalam islam jika pernikahan beda agama saja tidak dianggap sah maka anaknya pun akan
menjadi tidak sah, ketentuan ini didasarkan pada fatwa MUI4

B. Analisa
1. Menurut sarjana hukum Islam, perkawinan secara sederhana didefinisikan dengan akad yang
bisa digunakan sebagai legitimasi seorang lelaki untuk mempergauli seorang wanita secara sah.5
Sedangkan di Indonesia, Undang-undang Perkawinan pasal 1 tahun 1974 menyatakan
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.6 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan diartikan
sebagai akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.7

Dari definisi perkawinan tersebut, secara definitif yang dimaksud perkawinan beda agama
adalah ikatan perkawinan antara orang yang beragama Islam dengan orang di luar agama Islam
atau non-muslim. Secara teologis, berdasarkan ayat-ayat di atas dalil-dalil agama hanya
melarang perkawinan antara lelaki (muslim) dengan wanita musyrik dan wanita (muslimah)
dengan lelaki (musyrik). Dalam konteks perkawinan beda agama ini. Alquran juga menyinggung

1
Masjfuk Zuhdi, 1997, hlm. 5
2
Aulil Amri, Perkawinan beda agama menurut hukum positif dan hukum islam, Media Syariah, Vol, 22 No. 1, 2020
3
Deby, Politik hukum perkawinan dan perkawinan beda agama di Indonesia, kompasiana.com,
https://www.kompasiana.com/debysagitaria/6257137e3794d17fb04f7a34/politik-hukum-perkawinan-dan-perkawinan-beda-
agama-di-indonesia diakses pada 20 oktober 2022, 21:20
4
Majelis Ulama Indonesia, Op.Cit., hlm. 176
5
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1997), h. 6513
6
Indonesia, “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” (1974)
7
Presiden. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (1991)
pembolehan perkawinan antara seorang muslim dengan Ahli Kitab, sebagaimana yang
dijelaskan dalam QS Al-maidah : 5.

2. Pertama, perkawinan beda agama tidak dapat dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap
UUP Pasal 2 ayat (1): Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu; dan Pasal 8 hurup (f): bahwa perkawinan dilarang antara dua
orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yan berlaku, dilarang
kawin. Maka dengan pasal ini, perkawinan beda agama dianggap tidak sah dan batal demi
hukum.

Kedua, perkawinan beda agama adalah diperbolehkan, sah dan dapat dilangsunkan karena telah
tercakup dalam perkawinan campuran, sebagaiman termaktub dalam Pasal 57 UUP, yaitu dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Menurut pandangan kedua ini,
pasal tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang memiliki kewarganegaran
yang berbeda, akan tetapi juga mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda agama.
Menurutnya, pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 PPC: (1)
Perkawinan campur dilangsungkan menurut hukum yang berlaku untuk suami, kecuali izin dari
kedua belah pihak bakal mempelai, yang seharusnya ada, dengan merujuk pada Pasal 66 UUP.
Ketiga, UUP tidak mengatur masalah perkawinan antaragama. Oleh karena itu, apabila merujuk
Pasal 66 UUP yang menekankan bahwa peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan, sejauh telah diatur dalam unadang-undang ini, maka dinyatakan tidak berlaku lagi.
Namun karena UUP belum mengaturnya, maka peraturanperaturan lama dapat diberlakukan
kembali, sehingga masalah perkawinan beda agama harus berpedoman kepada peraturan
pekawinan campur (PPC).8

3. Dalam hukum agama Islam sudah dijelaskan bahwa perkawinan beda agama mutlak
diharamkan. Dengan hukum Islam yang ada, nyatanya sebagian masyarakat masih saja
mengabaikan hukum tersebut dan menempuh berbagai jalan untuk menikah dengan kekasihnya
walaupun keyakinan mereka berbeda. Sehingga menghasilkan keluarga beda agama. Hal ini
akan mengakibatkan kesulitan penerapan agama anak dan pendidikan akhlak pada anak. Berikut
adalah faktor penyebab perkawinan beda agama9
1) Rasa cinta yang mendalam kepada kekasih
2) Komitmen pra nikah untuk bersikap toleransi terhadap agama masing-masing pasca nikah
3) Komitmen kebebasan anak dalam memilih agama
4) Sikap positif terhadap perkawinan bedda agama, baik karena pengaruh pola asuh orang tua
yang cenderung inklusif dan demokratis
5) Dukungan orang-orang terdekat atas dukungan sosial terhadap keputusan mereka untuk
menikah beda agama
5. Fatwa MUI melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, bukan hanya agama islam saja
tetapi semua agama tidak memperbolehkan perkawinan beda agama. Perkawinannya dianggap
ntidak sah, dianggap tidak ada perkawinan, tidak ada waris, anaknya juga hanya memiliki

8
UUP No. 1 thn 1974 dan Abdul Halim Berkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus
Berkembang, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hlm 147-148
9
Hutapea, Bonar. “Dinamika Penyesuaian Suami-Istri Dalam Perkawinan Berbeda Agama (The Dynamics Of Marital Adjustment
In The Interfaith Marriage) dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16 No. 01. 5 Maret 2018.
Jakarta, hlm. 111
hubungan hukum dengan ibunya. Meskipun UU tidak memperbolehkan kawin beda agama tetapi
kantor catatan sipil dapat menerima pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan diluar
negeri.

Karena tidak tegasan pemerintah, maka banyaknya manusia yang masih melakukan pernikahan
beda agama ini.10

6. Anak yang dilahirkan dari perkawinan seorang wanita muslimah dengan laki-laki non muslim
dianggap anak tidak sah. Ketentuan ini didasarkan pada Fatwa MUI yang menyatakan bahwa
wanita muslimah haram dan tidak sah secara mutlak menikah dengan laki-laki kafir, baik
musyrik, ahli kitab, maupun yang lain. Jika dipaksakan maka pernikahannya dianggap batal dan
tidak sah, demikian pula jika mereka melakukan hubungan suami istri maka hukumnya haram.
24 Anak yang dilahirkan dari hubungan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non
muslim dianggap tidak sah, karena pembolehan laki-laki menikah selain dengan wanita
muslimah hanya kepada wanita ahli kitab. Saat ini disepakati tidak ada lagi ahli kitab, karena
hampir setiap orang menyatakan diri sebagai pemeluk agama tertentu.

C. Kesimpulan
Pernikahan beda agama dalam perspektif hukum islam dilarang kecuali jika wanita yang dinikahi
merupakan ahlulkitab, maka diperbolehkan seperti yang dijelaskan dalam QS Al-maidah : 5 dan
sunnah Nabi. Sedangkan menurut perspektif hukum positif di Indonesia dilarang dan telah
dijelaskan dalam UUP pasal 2 ayat (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan Pasal 8 hurup (f): bahwa perkawinan
dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yan
berlaku, dilarang kawin. Maka dengan pasal ini, perkawinan beda agama dianggap tidak sah dan
batal demi hukum.

Banyak faktor penyebab perkawinan masih terus dilakukan di Indonesia walupun dalam UU telah
dijelaskan bahwa pernikahan beda agama dilarang. Salah satunya adalah faktor dari pemerintah
yang tidak tegas dalam menyikapi hal semacam ini, juga peraturan UU Perkawinan yang belum
memiliki kejelasan. Maka hal ini dapat berdampak kepada anak yang tidak memiliki keperdataan
yang tidak sah dimata hukum.

10
Zera Agustina, status anak dari pernikahan beda agama dalam perspektif islam dan HAM, hlm.3
D. Daftar Pustaka

Zuhdi, Masjfuk. 1997. “Pernikahan beda agama dalam perspektif hukum islam dan hukum positif di

Indonesia” dalam jurnal diklat teknis (hlm. 55). Widyaiswara Ahli Muda Pusdiklat

Teknis Pendidikan dan Keagamaan Kemenag RI

Aulil Amri. 2020. “Perkawinan beda agama menurut hukum positif dan hukum islam” Media
Syariah.

Vol 22. No. 1


Deby Sagitaria. 2022. “Politik hukum perkawinan dan perkawinan beda agama di Indonesia”
kompasiana.com. Diakses pada 20 oktober 2022, 21:20
https://www.kompasiana.com/debysagitaria/6257137e3794d17fb04f7a34/politik-
hukum-perkawinan-dan-perkawinan-beda-agama-di-indonesia

Majelis Ulama Indonesia. 2003. “Fiqh Indonesia (Himpunan Fatwa-fatwa Aktual)” Editor : M.
Hamdan Rasyid, Al Mawardi Prima, Jakarta

Wahbah Zuhaili. 1997. “Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1997)” h. 6513

Indonesia. 1974. “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”

Presiden. 1991. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi

Hukum Islam
UUP No. 1 thn 1974 dan Abdul Halim Berkatullah dan Teguh Prasetyo. 2006. “Hukum Islam

Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang” Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

hlm 147-148

Hutapea, Bonar. 2018. “Dinamika Penyesuaian Suami-Istri Dalam Perkawinan Berbeda Agama (The

Dynamics Of Marital Adjustment In The Interfaith Marriage) dalam Jurnal Penelitian

dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial” Vol. 16 No. 01.. Jakarta, hlm. 111

Zera Agustina. 2005. “Status anak dari pernikahan beda agama dalam perspektif islam dan HAM”
hlm. 3

Anda mungkin juga menyukai