Anda di halaman 1dari 44

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP PERNIKAHAN

DIBAWAH UMUR DI KECAMATAN BAHODOPI


KABUPATEN MOROWALI

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Proposal Skripsi


Program Studi Ahwalus Syakshiyah Fakultas Agama Islam
Universitas Alkhairaat Palu

Oleh :

MUH. ADAM
NIM. 183111001

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS ALKHAIRAAT PALU
2022
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Pembimbing proposal skripsi Saudara Muh. Adam Nomor Induk Mahasiswa:

183111001 Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Alkhairaat Palu,

Program Studi Ahwalus Syakhsiyah. Setelah dengan seksama meneliti dan

mengoreksi proposal skripsi yang bersangkutan dengan judul : Pandangan

Masyarakat terhadap Pernikahan dibawah Umur di Kecamatan Bahodopi

Kabupaten Morowali. Memandang bahwa proposal skripsi tersebut telah

memenuhi syarat serta dapat diujikan.

Palu, 10 Oktober 2022

Pembimbing I Pembimbing II

Idrus M. Said, S.HI, M.HI Munarif, S.Ag, M.H

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 5
D. Kajian Pustaka .................................................................................. 6
E. Defenisi Operasional ........................................................................ 7
F. Sistimetika Penulisan ....................................................................... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA


A. Peneltian Terdahulu ......................................................................... 9
B. Perkawinan, Rukun dan Syarat Perkawinan .................................... 11
C. Dasar Hukum dan Tujuan Perkawinan ............................................. 20
D. Batas usia menikah dalam hukum islam dan hukum positif ............ 27

BAB III METODE PENELITIAN


A. Jenis Penelitian ................................................................................. 31
B. Lokasi Penelitian / Kehadiran Peneliti .............................................. 32
C. Data dan Sumber Data ..................................................................... 34
D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 36
E. Teknik Analisis Data ........................................................................ 37
F. Pengecekan Keabsahan Data .................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecenderungan hidup bersama dalam ikatan pernikahan sejak dahulu

bahkan sampai sekarang akan tetap ada, yakni kebersamaan antara seorang wanita

dengan seorang laki-laki dengan pernikahan yang biasa disebut dengan keluarga.

Sebab pernikahan merupakan proses atau perjalanan hidup manusia. Berikut ini,

pengertian dari perkawinan yaitu :

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (RumahTangga) yang

bahagiadan kekal berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Pengertian lebih luas, Pernikahan merupakan salah satu ikatan lahir antara

laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan

keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syari’at Islam,

Firman Allah swt. dalam Q.S Al-Nisa/04:1 yang berbunyi:

              

               
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.2
1
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : CV. Nuansa Aulia), h.
76.
2
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: CV Pustaka
Agung Harapan, 2013), h. 77.

1
2

Tujuan pernikahan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang

akan melakukan pernikahan telah matang jiwa dan raganya. Oleh karena itu, di

dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan


batas umur minimal untuk melangsungkan pernikahan.

Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Bab II


Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
(hasil revisi tahun 2019) yang mengatakan bahwa: “Perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
usia 19 tahun”.
Aturan ini juga terdapat dalam Bab IV pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam (aturan lama namun menyesuaikan) yang mengatakan
bahwa :

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya


boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19
tahun dan calon isteri sekurang kurangnya berumur 16 tahun.
(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4)
dan (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974.

Dengan adanya batasan umur ini pada dasarnya Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak

menghendaki pelaksanaan pernikahan di bawah umur. Penulis menilai nikah di

bawah umur yang di maksud jika di kaitkan dengan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 adalah bukan karena belum baligh atau belum

mencapai umur dewasa seperti dalam Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 1 Tahun 1974 Bab II pasal 6 ayat (2) yang menyatakan bahwa :

Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21


(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3

Makna di bawah umur lebih cenderung pada batasan yang ditentukan oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Bab II pasal 7 ayat
(1) di atas.
Tujuan kemaslahatan dari pembatasan umur minimal untuk melakukan
nikah bagi warga negara dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan

sudah memiliki kematangan dalam berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik

yang memadai. Selain itu yang harus dihindari adalah kemungkinan keretakan

rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, hal ini agar tujuan
pernikahan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin dapat

terwujud.

Meskipun demikian dalam hal pernikahan di bawah umur terpaksa

dilakukan, maka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

masih memberikan kemungkinan. Hal ini diatur dalam Bab II Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, yaitu adanya

dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal

tersebut.

Adanya aturan tentang pembatasan umur dalam Undang-Undang

Perkawinan karena tidak terdapatnya aturan-aturan fiqih baik secara eksplisit


maupun implisit. Tentu saja dengan alasan penetapan batas umur bagi kedua

mempelai lebih menjaminkemaslahatan bagi keluarga itu sendiri.3


Namun ketentuan Bab II pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
diatas ternyata tidak berlaku absolut/mutlak, karena dalam Bab II pasal 7 ayat
(2) dinyatakan bahwa :
Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua
pihak pria atau pihak wanita.

3
Amiur Nuruddin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1/1974 sampai KHI (Bandung: Prenada
Media Group, 2006), h.74.
4

Ketentuan Bab II Pasal 7 ayat (2) ini mengandung pengertian bahwa

pernikahan di bawah umur dapat dilakukan apabila ada permintaan dispensasi

yang dimintakan oleh salah satu pihak orang tua dari kedua belah pihak yang
akan melakukan pernikahan.

Apalagi dalam Bab II tentang syarat-syarat perkawinan pasal 7 ayat (3)

Undang-Undang Perkawinan secara tidak langsung menyatakan bahwa

permintaan dispensasi tersebut dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat

lainnya dengan alasan bahwa hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari
yang bersangkutanmemperbolehkannya.

Di kalangan masyarakat timbul pro dan kontra dengan berbagai macam

alasan, ada sebagian masyarakat yang menilai nikah di bawah umur adalah hal

yang wajar, dengan alasan belum ada kekhawatiran yang besar akibat dari nikah

di bawah umur, penolakan terhadap nikah di bawah umur seolah-olah menafikan


agama atau alasan lain. Di lain pihak penolakan terhadap nikah di bawah umur

juga dengan berbagai macam alasan misalnya, mengalami masalah dalam hal

pendidikan seperti putus sekolah atau tidak bisa menjadi orang tua yang baik, jika

tidak siap mental akanmenjadi penyabab mudahnya perceraian.

Fenomena nikah di bawah umur mungkin terjadi di berbagai daerah.


Begitu juga di Kecamatan Bahodopi, nikah di bawah umur bukan lagi hal yang

aneh tetapi sudah menjadi hal yang biasa. Dispensasi nikah yang diberikan oleh

Undang-Undang sedikit banyaknya memberikan persepsi terhadap masyarakat

untuk menikahkan anaknya meski belum mencapai usia yang ditetapkkan oleh

Undang-Undang itu sendiri. Bahkan masyarakat sampai mengenyampingkan


fakta bahwa kasus perceraian di pengadilan banyak didominasi oleh dispensasi

nikah.
5

Pada dasarnya aturan dalam Undang-undang bertujuan untuk menciptakan

kemaslahatan bagi masyarakat. Terlepas dari kontroversi nikah di bawah umur,

yang menjadi alasan penulis dalam mengangkat judul ini, selain dari faktor-faktor
nikah di bawah umur ada hal-hal yang menjadi perhatian utama yaitu terjadi

persepsi dikalangan masyarakat untuk menikahkan anaknya pada usia dini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan yang di kemukakan, penulis memberikan suatu

pokok permasalahan yaitu “Pandangan Masyarakat terhadap Pernikahan dibawah

Umur di Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali“ Dari pokok permasalahan

itu dapatlah di ketengahkan dua sub permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana persepsi masyarakat Islam Bahodopi terhadap


pernikahan dibawah umur?

2. Apa dampak yang ditimbulkan dari adanya pernikahan dibawah umur


pada masyarakat Bahodopi?

3. Apa Faktor penyebab terjadinya pernikahan dibawah umur pada


masayarakat Bahodopi?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui persepsi masyarakat Islam Bahodopi terhadap pernikahan

dibawah umur.

b. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari adanya pernikahan

dibawah umur padamasyarakat Bahodopi.

c. Untuk mengetahui Faktor penyebab terjadinya pernikahan dibawah umur

pada masayarakat Bahodopi.


6

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan teoretis
Dapat memberikan sumbangsi pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum
pada umumnya dan hukum Islam pada khususnya, dan memberikan
manfaat dalam masalah-masalah pernikahan khususnya masalah nikah di
bawah umur. Selain itu skripsi ini diharapkan bisa dijadikan bahan referensi
ataupun bahan diskusi yang dapat menambah wacana dan wawasan para
mahasiswa fakultas agama Islam, maupun masyarakat serta berguna bagi
perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam rangka mengembangkan
analisa tentang akibat hukum perkawinan dibawah umur.

b. Kegunaan praktis

1. Dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai permasalahan


pernikahan dini. Dapat memberikan sumbangan pemikiran pada semua

pihak yang terkait mengenai masalah pernikahan khususnya keluarga yang

melakukan nikah usia dini. Sehingga bisa memahami bagaimana dampak

yang ditimbulkan jika melakukan pernikahan di bawah umur.

2. Sebagai informasi untuk memenuhi dan melengkapi syarat dalam


penyelesaian naskah skripsi ini dalam rangka penyelesaian studi untuk

memperoleh gelar sarjana dalam Hukum Islam.

D. Kajian Pustaka

Untuk lebih validnya sebuah karya ilmiah yang memiliki bobot yang

tinggi, maka perlu dijelaskan beberapa rujukan atau sumber tulisan yang

menopang terealisasinya proposal skripsi ini. Rujukan buku-buku atau referensi

yang ada kaitannya dengan proposal skripsi ini merupakan sumber yang sangat
penting untuk menyusun beberapa pokok pembahasan yang dimaksudkan.
7

Setelah menelusuri beberapa referensi, penulis menemukan sejumlah buku

maupun jurnal-jurnal yang berkaitan dengan judul skripsi yang akan diteliti, yaitu:

1. Usia Ideal untuk Kawin,“Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Keluarga Sakinah”,


Oleh H. Andi Syamsu Alam : Buku ini menguraikan tentang syarat-syarat usia

ideal dalam melaksanakan pernikahan dalam mewujudkan keluarga sakinah,

mawaddah, warohmah. Sedangkan dalam tulisan ini, penulis lebih fokus

terhadap pernikahan dini dalam hukum Islam.

2. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Oleh Ahmad Rofiq. Buku ini lebih fokus
menguraikan materi Hukum Perkawinan Islam yang sedikit banyaknya

menjelaskan tentang pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

3. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Oleh Prof. Dr. Amir Syarifuddin.

Buku ini menguraikan tentang muatan hukum dalam sebuah ikatan

perkawinan. Disusun dengan pendekatan lintas Mazhab fiqhi.

E. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi interprestasi yang berbeda-beda dan tidak mengalami

kekaburan dalam memahami, maka penulis menjelaskan istilah dalam judul.

1. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-

hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan

menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna pada stimulus

inderawi (sensory stimuli).4

4
Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), h.
50.
8

Persepsi meupakan proses mengidentifikasi, mengorganisasikan, dan

menginterpretasikan informasi yang ditangkap oleh pancaindra untuk

melukiskan dan memahaminya.

2. Pernikahan dibawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh

seseorang sebelum usia 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan

19 (sembilan belas) tahun untuk wanita (hasil revisi tahun 2019).5

F. Sitematika Penulisan

Garis besar isi terbagi ke dalam lima bab. Namun, pada proposal ini

penulis hanya membagi tiga sub bab. Adapun sub bab sebagai berikut:

Bab I, sebagai bab pendahuluan, ruang lingkup pembahasannya terdiri dari

latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka

dan pengertian judul, serta garis-garis besar isi proposal.

Bab II, akan di uraikan tentang penelitian terdahulu, pengertian, rukun

dan syarat perkawinan, dasar hukum dan tujuan perkawinan, batas usia menikah

dalam hukum islam dan hukum positif.

Bab III, akan diuraikan metode penelitian sebagai syarat mutlak

keilmiahan penelitian ini yang mencakup uraian beberapa hal, yaitu : jenis

penelitian, lokasi penelitian /kehadiran peneliti, data dan sumber data, teknik

pengumpulan data, tehnik analisis data, pengecekan keabsahan data.

5
Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Tentu banyak literatur tentang pernikahan dibawah umur, baik dalam

bentuk riset, artikel ilmiah, maupun buku. Dari banyak literatur tentang

pernikahan dibawah umur yang ada, penulis hanya mengambil beberapa sumber

yang dilihat relevan dengan judul penulis. Selebihnya, hal tersebut dilakukan

untuk menambah informasi sekaligus menghindari kesamaan pada penulisan

skripsi ini.

Hasil penelitian dari Hasan Bastomi, pernikahan dini dan dampaknya

(Tinjauan Batas Umur Perkawinan menurut Hukum Islam dan Hukum

Perkawinan Indonesia). Penelitian perpustakaan ini membahas tentang

perkawinan anak di bawah umur yang terjadi di Indonesia dengan menggunakan

analisis isi peraturan perkawinan. Dan juga membahas tentang konsekuensi dari

perkawinan anak. Peraturan perkawinan membuka peluang untu perkawinan anak

dalam hal kebutuhan. Ini merupakan implementasi dari al-zari’ah untuk mencegah

agar tidak terjadi masalah yang lebih besar lagi. Namun, perkawinan anak sering

menimbulkan dampak negatif bagi pengantin wanita baik secara sosial, ekonomi,

maupun psikologis.1

1
Hasan Bastomi, “Pernikahan Dini dan Dampaknya (Tinjauan Batas Umur Perkawinan
menurut Hukum Islam Dan Hukum Perkawinan Indonesia)”, Jurnal Yudisia 7, No. 2 (2016),
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/download/2160/1788. diakses tanggal 30
September 2022.

9
10

Hasil penelitian dari Asep Danidi Mulyana, Pernikahan Dini Dalam

Perspektif Ulama Majalengka, penelitian ini berhasil menemukan faktor

terjadinya perkawinan anak di bawah umur menurut Ulama Majalengka, dampak

dari perkawinan anak di bawah umur, dan pandangan Ulama Majalengka terhadap

perkawinan anak di bawah umur. Faktor terjadinya perkawinan anak di bawah

umur menurut Ulama Majalengka adalah faktor rendahnya pendidikan dan

aktorkurangnya pemahaman terhadap agama sehingga maraknya perzinaan.

Dampak dari perkawinan anak di bawah umur terdampat dua dampak yang

ditimbulkan, yakni dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dan

dampak negatif. Dampak positifnya adalah terhindar dari perbuatan zina dan

meringankan beban hidup orang tua. Dampak negatif yang ditimbulkan berhenti

untuk melanjutkan pendidikan, rummah tangga menjadi tidak harmonis, dan

rentan akan perceraian. Pandangan Ulama Majalengka terhadap perkawinan anak

di bawah umur yaitu ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak membolehkan

karena banyak madarat nya.2

Hasil penelitian Rahmatiah HL, Studi Kasus Perkawinan di Bawah Umur,

Perkawinan anak di bawah umur merupakan faktor meningkatnya angka

perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perkawinan anak di

bawah umur biasanya masih bersifat egois dan masih menggunakan harta dari

orang tua. Agar terciptanya sebuah keluarga yang bahagia dan kekal mestinya

Pegawai Pencacat Nikah (PPN) yang berperan sebagai pencatat dan pengawas

2
Asep Danidi Mulyana,”Pernikahan Dini dalam Perspektif Ulama Majalengka”, Skripsi
Sarjana, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2016. diakses tanggal 30 September 2022.
11

setiap perkawinan harus lebih jeli dan tegas dalam menjalankan tugas dan

perannya.3

Hasil Penelitian dari Zulfiani, Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak

di Bawah Menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah

ikatan lahir bathin yang menimbulkan sebuah keluarga dalam kehidupan

bernegara dan bermasyarkat, yang diatur baik hukum islam maupun hukum

positif. Batas usia untuk melaksanakan perkawinan telah diatur di dalam Pasal 7

ayat (1) Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. realitanya

masyarakat Indonesia masih banyak yang melaksanakan perkawinan tidak sesuai

dengan peraturan tersebut. Perkawinan anak bisa terjadi di daerah perkotaan

maupun pedesaan dengan alasan yang bervariasi, seperti faktor pendidikan, faktor

ekonomi, budaya, dan lain-lain.4

B. Pengertian, Rukun dan Syarat Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Dalam Islam melakukan pernikahan berarti melaksanakan ajaran agama.

Selain itu pernikahan dinilai tidak hanya sekedar jalan yang amat mulia untuk

mengatur kehidupan menuju pintu perkenalan, akan tetapi menjadi jalan untuk

memeliharanya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Sehingga

Rasulullah memerintahkan bagi orang-orang yang memiliki kesanggupan agar

hidup berumah tangga yang ditandai dengan pernikahan.

3
Rahmatiah HL, “Studi Kasus Perkawinan Di Bawah Umur”, Jurnal Al- Daulah 5, No. 1,
(2016), http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/download/1447/1339. diakses
tanggal 30 September 2022.
4
Zulfiani, “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak di Bawah Menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan 12, No. 2 (2017),
http://ejurnalunsam.id/index.php/jhsk/article/view/136. diakses tanggal 30 September 2022.
12

Perkawinan dalam bahasa arab adalah nikah.5 Nikah atau ziwaj dalam

bahasa arab di artikan dengan kawin. Kalimat nikah atau tazwij di artikan dengan

perkawinan.

Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi, yaitu Aqad yang

memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami

isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan memberi

batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.6

Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya

membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau

bersetubuh. Perkawinan atau disebut juga dengan pernikahan berasal dari kata

nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan

digunakan untuk bersetubuh (wathi’). Kata nikah sendiri sering dipergunakan

untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.7

Dalam Islam perkawinan di istilahkan dengan nikah. Nikah berarti suatu

akad yang menyebabkan kebolehan bergaul antara seorang laki-laki dengan

seorang wanita dan saling tolong menolong di antara keduanya serta menentukan

batas hak dan kewajiban di antara keduanya untuk mewujudkan suatu

kebahagiaan hidup kelurga yang meliputi rasa kasih sayang dan ketentaraman

dengan cara di ridhai Allah.8

5
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta : Penyelenggara Penterjemah Al-
Quran, 1973), h. 467.
6
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2003), h. 8.
7
Ibid,
8
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung : CV. Pustaka Setia, t.t), h. 13.
13

Sedangkan menurut istilah syara’ terdapat beberapa definisi, diantaranya:


Perkawinan menurut syara’ yaitu aqad yang ditetapkan syara’ untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.
Perkawinan ialah aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
hubungan seksual dengan lafaz nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya.
Dalam kaitan ini, Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas,
yaitu Aqad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan
keluarga (suami isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong
dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-
masing.9
Dikalangan ulama Syafi’iyah rumusan yang biasa dipakai adalah: “Akad
atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin
dengan menggunakan lafad nakaha atau zawaja”.
Ulama golongan Syafi’iyah ini memberikan definisi sebagaimana
disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila di hubungkan dengan
kehidupan suami isteri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangkan
sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul.10

Dalam kompilasi hukum Islam, pengertian pernikahan (perkawinan)

dinyatakan dalam pasal 2 sebagai berikut:

Perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu aqad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.11

9
Abdur Rachman Ghazali, Fiqih Munakahat, op.cit
10
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
danUndang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), h. 37.
11
Kompilasi Hukum Islam Nomor 1 tahun 1991.
14

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 bahwa yang di

maksud pernikahan adalah : ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.12

Ada beberapa pendapat para ahli tentang “Perkawinan”, antara lain:

1. Sayuti Thalib : Perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci, kuat dan
kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan membentuk kelurga yang kekal, santun
menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia. 13
2. Ibrahim Hasan : Nikah adalah menurut asal dapat juga berarti akad
dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita,
sedangkan menurut arti lain adalah persetubuhan.14
3. Yunus : Perkawinan adalah akad antara calon laki-laki dan calon istri
untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang di atur oleh syariat.15

Pernikahan dini/dibawah umur menurut Indraswari dapat diartikan sebagai

pernikahan yang dilakukan sebelum usia 19 tahun bagi perempuan dan 19 tahun

bagi laki-laki. Batasan usia ini adalah batasan usia minimum menikah yang

berlaku di Indonesia. Definisi Indaswari mengenai pernikahan dini menekankan

pada batas usia pernikahan dini. Batas usia yang ditetapkan mengacu pada

ketentuan formal UU Perkawinan.16

Pengertian lain pernikahan dini/dibawah umur adalah pernikahan dimana

usia pengantin laki-laki masih di bawah 19 tahun dan usia pengantin perempuan

di bawah 19 tahun. Pernikahan dini merupakan pernikahan yang terjadi sebelum

12
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
13
Sayuti Thalib, Hukum Kekelurgaan Indonesia, (Jakarta : Ui-Press, 2001), h. 47.
14
Ibrahim Hasan, Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Talak dan Rujuk (Jakarta :
Ihya’ulumuddin, 2014), h. 65.
15
Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam (Jakarta : Hidayah Karya Agung, 2017), h. 1.
16
Martyan Mita Rumekti dan V Indah Sri Pinasti, Peran Pemerintah Daerah (Desa)
Dalam Menangani Maraknya Fenomena Pernikahan Dini di Desa Plosokerep Kabupaten
Indramayu, Jurnal Pendidikan Sosiologi 2016. Diakses tanggal 30 September 2022.
15

usia anak mencapai 19 tahun, sebelum anak matang secara fisik, psikologis, dan

fisiologis untuk bertanggungjawab terhadap pernikahan dan anak yang dihasilkan

dari pernikahan tersebut.

UNICEF mendefinisikan pernikahan dini merupakan pernikahan yang

dilakukan pada usia kurang dari 18 tahun yang terjadi pada usia remaja.

Pernikahan di bawah usia 18 tahun bertentangan dengan hak anak untuk

mendapatkan pendidikan, kesenangan, kesehatan, serta kebebasan berekspresi.

Definisi UNICEF lebih menekankan pada keberlangsungan hidup berdasarkan

usia ideal menikah yang dianjurkan bagi laki-laki usia 25 tahun karena dianggap

cukup dewasa secara jasmani dan rohani, bagi perempuan pada usia 20 tahun

karena di usia tersebut perempuan telah menyelesaikan pertumbuhan dan rahim

untuk melakukan fungsinya secara maksimal.17

Pernikahan dini/dibawah umur (early married) menurut WHO adalah

pernikahan yang 20 dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan yang masih

dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia di bawah 19 tahun. Seriring

dengan hal tersebut, UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 menyatakan

pernikahan di usia 18 tahun ke bawah termasuk pernikahan dini. Dalam UUPA

Bab I pasal 1 ayat 1dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan usia dini adalah

seseorang yang belum berusia 19 (sembilan belas) tahun. Batasan tersebut

menegaskan bahwa anak usia dini merupakan bagian dari usia remaja.18

17
https://www.unicef.org/protection/57929_58008.html. Diakses tanggal 30 September
2022.
18
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
16

Dari segi Psikologi, Sosiologi maupun Hukum Islam perkawinan dibawah

umur terbagi menjadi dua bagian, yang pertama perkawinan dibawah umur asli,

yaitu perkawinan di bawah umur yang benar-benar dilaksanakan oleh kedua belah

pihak untuk menghindarkan diri dari dosa tanpa adanya maksud semata-mata

hanya untuk menutupi perbuatan zina yang telah dilakukan oleh kedua mempelai,

sedangkan yang kedua perkawinan dibawah umur palsu, yang dimaksudkan

sebagai kamuflase dari kebejatan perilaku kedua mempelai, perkawinan ini hanya

untuk menutupi perbuatan zina yang pernah dilakukan oleh keduanya.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan

dini adalah merupakan pernikahan yang dilakukan oleh remaja atau anak yang

dibawah usia 19 tahun tanpa adanya kesiapan psikis, fisik, mental, serta materi

yang belum bisa dipenuhi oleh seorang remaja yang akan melakukan sebuah

pernikahan

2. Rukun dan Syarat Perkawinan

Pernikahan yang mesti diperhatikan adalah rukun dan syarat pernikahan,

yang dimaksud dengan rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan

sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam

rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk berwudhu.

Sedangkan Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam

rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat.

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang

menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
17

kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan

sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun

dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila

keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda

dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan

merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah

sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya.

Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku

untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam

arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.19

Adapun rukun pernikahan tersebut, juga terdapat berbagai pandangan,

diantaranya :

1. Adanya calon suami dan Isteri yang akan melakukan perkawinan


2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
3. Adanya dua orang saksi
4. Adanya shighot akad nikah, yaitu ijab qabul yang diucapkan oleh
wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon
pengantin laki-laki.20

Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat, hal ini bisa
dilihat beberapa pendapat berikut ini :

Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
a. Wali dari pihak perempuan
b. Mahar (maskawin)
c. Calon pengantin laki-laki
d. Calon pengantin perempuan.
e. Sighat akad nikah.

19
Amir Syarifuddin, op.cit,
20
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
1999), h. 64.
18

Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
a. Calon pengantin laki-laki.
b. Calon pengantin perempuan.
c. Wali.
d. Dua orang saksi.
e. Sighat akad nikah.
Imam Hanafiah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad
yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki), yaitu:
a. Sighat (ijab dan qabul).
b. Calon pengantin perempuan.
c. Calon pengantin laki-laki.
d. Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena
calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu
seperti terlihat di bawah ini:
a. Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni mempelai
laki-laki dan mempelai perempuan.
b. Adanya wali.
c. Adanya dua orang saksi.
d. Dilakukan dengan sighat tertentu.21
Syarat pernikahan juga terjadi perbedaan pandangan, misalnya : pendapat

dari Muktabah Abu Salmah Al-Atsari yang memberikan penjelasan dari syarat-

syarat nikah. Adapun syarat-syarat sahnya nikah ada 4 yaitu:


a. Menyebutkan secara jelas (ta’yin) masing-masing kedua mempelai dan
tidak cukup hanya mengatakan: “Saya nikahkan kamu dengan anak
saya” apabila mempunyai lebih dari satu anak perempuan. Atau
dengan mengatakan: “ Saya nikahkan anak perempuan saya dengan
anak laki-laki anda” padahal ada lebih dari satu anak laki-lakinya.
Ta’yin bisa dilakukan dengan menunjuk langsung kepada calon
mempelai, atau menyebutkan namanya, atau sifatnya yang dengan sifat
itu bisa dibedakan dengan yang lainnya.22
Kerelaan kedua calon mempelai. Maka tidak sah jika salah satu dari
keduanya dipaksa untuk menikah, sebagaimana hadits : “Perempuan
janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya, sedangkan anak
perawan dikawinkan oleh bapaknya”. (HR. daruqutni).

21
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, op.cit, h. 47.
22
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru
Algasindo, 2004), h. 384.
19

b. Yang menikahkan mempelai wanita adalah walinya. Apabila seorang


wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka nikahnya tidak
sah. Di antara hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab
terjadinya perzinahan dan wanita biasanya dangkal dalam berfikir
untuk memilih sesuatu yang paling maslahat bagi dirinya.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an tentang masalah
pernikahan, ditujukan kepada para wali: “Dan kawinkanlah orang-
orang yang sendirian di antara kamu” (QS. al- Nuur: 32) “Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka” (QS. al-Baqarah:
232) dan ayat-ayat yang lainnya.
c. Wali bagi wanita adalah: bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh
bapaknya, kemudian ayah dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya
yang laki-laki kemudian cucu laki-laki dari anak laki-lakinya terus ke
bawah, lalu saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki
sebapak, kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung kemudian sebapak, lalu pamannya yang sekandung dengan
bapaknya, kemudian pamannya yang sebapak dengan bapaknya,
kemudian anaknya paman, lalu kerabat-kerabat yang dekat keturunan
nasabnya seperti ahli waris, kemudian orang yang memerdekakannya
(jika dulu ia seorang budak) kemudian baru hakim sebagai walinya.
Adanya saksi dalam akad nikah, sebagaimana hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Jabir: “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang
wali dan dua orang saksi yang adil (baik agamanya)”.23

Maka tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang

adil. Imam Tirmidzi berkata: “Itulah yang dipahami oleh para sahabat Nabi dan

para Tabi’in, dan para ulama setelah mereka. Mereka berkata: “Tidak sah menikah

tanpa ada saksi”. Dan tidak ada perselisihan dalam masalah ini diantara mereka.

Kecuali dari kalangan ahlu ilmi Muta’akhirin (belakangan).24

Adapun syarat pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1


Tahun 1974 antara lain :
1. Perkawinan dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya,
pasal2 ayat (1).
2. Tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku, pasal 2 ayat (2).
3. Perkawinan seorang laki-laki yang sudah mempunyai Isteri harus
mendapat ijin dari pengadilan, pasal 3 ayat (2) dan pasal 27 ayat (2).

23
Ibid,
24
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum fiqih Lengkap),op.cit, h. 27.
20

4. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai


umur21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua. Pasal 6 ayat (2).
5. Bila orang tua berhalangan, ijin diberikan oleh pihak lain yang
ditentukandalam Undang-Undang pasal 6 ayat (2-5).
6. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Pasal 7 ayat
(1), ketentuan ini tidak bertentangan dengan Islam, sebab setiap
masyarakat dan setiap zaman berhak menentukan batas-batas umur
bagi perkawinan selaras dengan sistem terbuka yang dipakai Al Qur'an
dalam hal ini.
7. Harus ada persetujuan antara kedua calon mempelai kecuali apabila
hukum mementukan lain. Pasal 6 ayat (1), hal ini untuk
menghindarkan paksaan bagi calon mempelai dalam memilih calon
isteri atau suami.
Selanjutnya dalam pasal 7 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun
1974 disebutkan bahwa :
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 19
(sembilan belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) ini dapat minta dispensasi
kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua
pihak pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua
orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang ini, berlaku
juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan
tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Persetujuan kedua calon adanya indikasi bahwa pernikahan tidak boleh

didasari oleh paksaan. Paling tidak memberikan isyarat emansipasi wanita

sehingga wanita boleh memilih pasangan yang dinilai cocok bagi hidupnya, jadi

pernikahan bukanlah sebuah paksaan melainkan sebuah kerelaan.

C. Dasar Hukum dan Tujuan Perkawinan

1. Dasar Hukum Perkawinan

Dasar pensyariatan perkawinan/nikah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah dan

Ijma. Namun sebagian ulama berpendapat hukum asal melakukan perkawinan


21

mubah (boleh).25 Pada dasarnya arti “nikah” adalah akad yang menghalalkan

pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam pertalian suami isteri.26

Dasar hukum perkawinan antara lain firman Allah swt. Dalam QS. An-nur

ayat 32.

             

     


Terjemahannya:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.

Dalam Al-Qur’an dinyatakan juga bahwa berkeluarga itu termasuk sunnah

nabi sejak dahulu sampai Nabi Muhammad SAW. Q.S Ar-Ra’d ayat 38,

         


Terjemahannya:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu
dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan-
keturunan.
Selain diatur di dalam Al-Qur’an, terdapat juga beberapa hadis Rasul yang

menyangkut dengan hukum nikah, yaitu seperti yang diriwayatkan oleh Jama’ah

ahli hadis dan Imam Muslim.

َ ‫اح ُس َّنت ْي َف َم ْن َر ِغ َب َع ْن ُس َّنت ْي َف َل ْي‬


ِّ‫س ِم ِ ِّّن ْي‬ ُ ‫الن َك‬
ّ
ِ
ِ ِ

25
Mardani, Hukum Perkawinan Islam: di Dunia Islam Modern, (Yokyakarta: Graha Ilmu,
2011), h. 4.
26
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam
Kontemporer Buku Ptertama, (Jakarta: LSIK, 1994), h. 53.
22

Nikah itu sunnahku, siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka ia tidak
mengikuti jalanku.

Abdul Rahman Ghozali, menjelaskan bahwa segolongan fuqaha yakni,

jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat.

Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah

mutaakhkhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat

untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Perbedaan

pendapat ini disebabkan adanya penafsiran dari bentuk kalimat perintah dalam

ayat-ayat dan hadis yang berkenaan dengan masalah ini.27

Berdasarkan nash-nash, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah, Islam sangat

menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan.

Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakannya,

maka melakukan pernikahan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram,

makruh, ataupun mubah.

1) Pernikahan yang hukumnya wajib.


Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan utuk menikah dan
akan dikhawatirkan akan terjerumus pada perbuatan zina seandainya tidak
menikah maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah
wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib
menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Hukum melakukan
pernikahan bagi orang tersebut merupakan hukum sarana sama dengan hukum
pokok yakni menjaga diri dari perbuatan maksiat.
2) Pernikahan itu yang Hukumnya Sunnat.
Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan pernikahan, tetapi kalau tidak menikah tidak dikhawatirkan
akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut
adalah sunnat.
3) Pernikahan itu yang Hukumnya Haram.
Orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan
serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah
tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya
27
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, Cetakan 4, 2010), h. 14.
23

dan isterinya, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah
haram. Termasuk juga hukumnya haram pernikahan bila seseorang menikah
dengan maksud untuk menelantarkan orang lain, misalnya wanita yang
dinikahi itu tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat menikah dengan
orang lain.
4) Pernikahan itu yang Hukumnya Makruh.
Orang yang mempunyai kelebihan untuk melakukan perkawinan juga cukup
mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan
dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak menikah. Hanya saja orang ini
tida mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami
isteri dengan baik.
5) Pernikahan itu yang Hukumnya Mubah.
Orang yang mempunyai kelebihan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak
melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya
juga tidak akan menelantarkan isteri. Perkawinan orang tersebut hanya
didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga
kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini
juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk
menikah itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan
melakukan pernikahan, seperti mempunyai keinginan tetapi belum
mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi
belum mempunyai kemauan yang kuat.

Hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan

perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat

dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah.

Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah

Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya

semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad

perkawinan disuruh oleh agama dan dengan telah berlangsungnya akad

perkawinan itu, maka pergaaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah.

2. Tujuan Perkawinan

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tujuan perkawinan adalah

untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
24

a. Membentuk keluarga (rumah tangga)


1) Keluarga
Konsep keluarga menunjuk pada suatu pengertian sebagai suatu kesatuan
kemasyarakatan yang terkecil yang organisasinya didasarkan atas
perkawinan yang sah, idealnya terdiri dari bapak, ibu dan anak-anaknya.
Akan tetapi tanpa adanya anakpun keluarga sudah ada atau sudah
terbentuk, adanya anak-anak menjadikan keluarga itu ideal, lengkap, atau
sempurna.
2) Rumah tangga
Konsep rumah tangga dituliskan didalam kurung setelah istilah keluarga,
artinya tujuan perkawinan tidak sekedar membentuk keluarga begitu saja,
akan tetapi secara nyata harus terbentuk suatu rumah tangga, yaitu suatu
keluarga dengan kehidupan mandiri yang mengatur kehidupan ekonomi
dan sosialnya (telah memiliki dapur atau rumah sendiri).
b. Yang bahagia
Hidup suami-isteri dalam suasana bahagia merupakan tujuan dari pengertian
perkawinan, untuk tercapainya kebahagiaan ini maka pada pasal 1 disyaratkan
harus atas dasar “ikatan lahir batin” yang didasarkan atas kesepakatan
(konsensus) antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita.
c. Dan kekal
Kekal merupakan gambaran bahwa perkawinan tidak dilakukan hanya untuk
waktu sesaat saja akan tetapi diharapkan berlangsung sampai waktu yang
lama. Kekal juga menggambarkan bahwa perkawinan itu bisa berlangsung
seumur hidup, dengan kata lain tidak terjadi perceraian dan hanya kematian
yang memisahkan.
d. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan sebagaimana telah

dijelaskan unsur-unsurnya diatas secara ideal maupun secara yuridis harus

dilakukan dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya harus

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan yang

dianut oleh calon pengantin pria maupun wanita.

Arti dari unsur yang terakhir ini sebetulnya merupakan dasar

fundamentaldari suatu perkawinan atas dasar nilai-nilai yang bersumber dan

berdasar atas Pancasila dan UUD1945. Falsafah Pancasila telah memandang

bahwa manusia Indonesia khususnya dalam perkawinan harus dilandasi pada


25

hukum agama dan kepercayaan yang dianutnya.28 Kompilasi Hukum Islam Pasal

3 menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan

rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah.

Dalam Islam tujuan perkawinan adalah memenuhi tuntutan hajat tabiat

kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka

mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang,

untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikti

ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah.

Dalam Islam tujuan perkawinan selain untuk memenuhi kebutuhan hidup

jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan

memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya didunia ini,

juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dalam ketentraman jiwa bagi

yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.

Pada hakikatnya perintah itu memiliki tujuan yang mulia dan penuh

barakah. Allah swt. mensyari’atkan untuk kemaslahatan hamba-Nya dan

kemanfaatan bagi manusia, agar tercapai maksud dan tujuan yang mulia.

Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat

dan tabiaat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan secara sah

dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih

untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat di sekitarnya, dengan

mengikuti ketentuan-ketentuan yang di atur oleh syaria’at.29

28
Trusto Subekti, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, (Fak Hukum
Unsoed Purwokerto, 2005), h. 24.
29
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undan-undang Perkawinan (Yogyakarta :
Liberty, 2002), h. 20.
26

Allah menciptakan makhluk berpasang-pasangan, menjadikan manusia

laki-laki dan perempuan, hikmahnya adalah agar supaya manusia hidup

berpasang-pasangan, hidup berumah tangga yang damai dan teratur, untuk itulah

maka harus diadakan ikatan yang suci dan kokoh dan sangat sakral, yakni

pelaksanaan akad nikah. Apabila akad nikah telah berlangsung dengan benar dan

sah, maka di antara mereka berjanji dan bersedia akan membina rumah tangga

yang damai dan sejahtera penuh kasih sayang, saling asih, asah dan asuh di antara

mereka. Berdasarkan maka akan melahirkan keturunan sebagai kelangsungan

hidup dan kehidupannya yang sah di tengah-tengah masyarakat, selanjutnya

keturunannya itu akan melangsungkan atau membangun hidup berumah tangga

yang baru kedepan dengan baik dan teratur, begitu secara terus menerus yang

pada akhirnya membentuk keluarga yang semakin benar. Demikian hikmah Allah

menciptakan manusia yang saling berjodohan dan kemudian mereka menjalin

hubungan cinta dan kasih sayang yang kemudian mengikatkan diri dengan melalui

jalur ikatan pernikahan yang sah. Akhirnya membentuk suatuk keluarga yang

sakinah mawadah dan warahmah.30

Selanjutnya jika di tinjau dari sudut psikologis, maka perkawinan dapat

menimbulkan ketentraman batin (sakinah), kecintaan (mawaddah), dan kasih

sayang (rahmat). Lebih dari itu, munculnya generasi baru menjadi dambaan bagi

suami istri. Merananya hati yang mendambakan anak itu di lukiskan dalam do’a

yang tersebut dalam firman Allah swt. Dalam QS. Al- Furqan : 74

            

30
Romli Dewani, Fiqih Munahat,op.cit, h. 27.
27

Terjemahannya:
Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada
Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati
(Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Dapat dipahami bahwa dengan perkawinan tercapailah rasa kasih sayang

antara yang satu dengan yang lain. Bahwa tujuan perkawinan supaya suami istri

tinggal di rumah dengan damai serta cinta mencintai antara satu dengan yang lain.

Sebagi kelanjutan bahwa tujuan perkawinan tidak lain mengikuti perintah Allah,

memperoleh keturunan yang sah, serta mendirikan rumahtangga yang harmonis,

bahagia dan sejahtera.

D. Batas Usia Menikah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif

Dalam Literatur Fiqih Islam, keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se

Indonesia III Tahun 2009 tidak terdapat ketentuan secara eksplisit mengenai batas

usia pernikahan, baik batasan usia minimal maupun maksimal. Walau demikian,

hikmah tasyri’ dalam pernikahan adalah menciptakan keluarga sakinah, serta

dalam rangka memperoleh keturunan dan ini bisa tercapai pada usia dimana calon

mempelai telah sempurna akal pikirannya serta siap melakukan proses reproduksi.

Islam sendiri sebetulnya tidak ada batasan yang jelas terkait usia saat

menikah yang ideal. Hampir semua mazhab fikih membolehkan nikah ketika

sudah memenuhi syarat dan rukun yang ditetapkan. Nabi Muhammad SAW tidak

memberikan batasan usia ideal bagi pernikahan. Riwayat yang seringkali

dilegitimasi sekelompok orang (meskipun kontroversial) tentang Aisyah yang

dinikahi Nabi saat usia yang belum mencapai baligh.31

31
Baligh adalah batas dimana seseorang mulai terbebani banyak kewajiban (taklif),
terutama kewajiban dalam ibadah, semisal shalat, puasa, haji, dll. Baligh juga menjadi syarat bagi
28

Terkait usia baligh, para ulama berbeda pendapat. Imam asy-Syafi’i,

misalnya, berpendapat bahwa usia baligh adalah 9 (sembilan) tahun bagi

perempuan dan 15 (lima belas) tahun bagi laki-laki. Sedangkan Abu Hanifah usia

minimal baligh adalah 17 (tujuh belas) tahun untuk lakilaki dan 18 (delapan belas)

tahun untuk perempuan. Konteks fikih, baligh ditandai oleh haid bagi perempuan

dan mimpi basah bagi anak laki-laki.32 Batasan ini kemudian digunakan sebagai

landasan mendefinisian tentang kedewasaan seseorang untuk melakukan

pernikahan. Seperti halnya dapat kita lihat dalam UU Perkawinan Indonesia yang

menggunakan batasan fisik aqil-baligh yang ditandai dengan menstruasi.

Sementara itu, dalam UU yang lain ukuran kedewasaan adalah sejauhmana

kesanggupan untuk memikul tanggungjawab serta kesiapan mental.

Usia baligh tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti keadaan

fisik, asupan gizi, alam, perkembangan hormonal yang dipicu oleh rangsangan

otak dan faktor turunan, serta pergaulan. Terlepas dari keyakinan agama,

menstruasi tidak dapat dijadikan ukuran kedewasaan perempuan, baik secara

reproduksi maupun mental. Realitas di Indonesia saat ini peremuan usia 9

(Sembilan) tahun sudah mengalami menstruasi. Tetapi untuk mencapai

kesempurnaan organ-organ reproduksinya (pertumbuhan payudara, bentuk

pinggul, dan ukuran rahim) masih butuh 10 (sepuluh) tahun lagi. Ketika sudah

mencapai kedewasaan fisik dan mental (rusyd), disitulah pertumbuhan yang

sahnya sebuah transaksi (mu’amalah). Umumnya, para ulama fikih menandai baligh dengan ciri-
ciri biologis, seperti batas umur, menstruasi bagi perempuan atau mimpi basah bagi laki-laki.
32
Mukti Ali, Roland Gunawan, Ahmad Hilmi, Jamaluddin Mohammad, Fikih Kawin
Anak: Membaca Ulang Teks Keagamaan Perkawinan Usia Anak-anak, (Jakarta: Rumah Kitab,
2015), h. 91.
29

sempurna. Dengan pikirannya yang sudah matang seperti itu, maka dia akan dapat

melakukan serta menyikapi berbagai hal secara dewasa.

Pada dasarnya Islam tidak memberikan batasan usia minimal pernikahan

secara definitif. Usia selayaknya pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan

menerima hak. Seperti halnya contoh dari buku Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yaitu pada Bab XVI dalam hal kedewasaan “Bahwa dengan kedewasaan

seorang anak yang di bawah umur boleh dinyatakan dewasa, atau kepadanya

boleh diberikan hak-hak tertentu orang dewasa.33

Untuk lebih jelasnya, apabila seorang anak itu sudah menunjukkan sikap

dewasa padahal si anak itu masih di bawah umur enam belas tahun, maka anak

tersebut boleh saja melakukan pernikahan di bawah umur. Asalkan si anak itu

tahu tentang kehidupan berumah tangga itu seperti apa, dan kondisi mental dan

fisiknya sudah siap untuk menjalankan kehidupan rumah tangganya sendiri.

Jadi kesimpulannya dalam pandangan fiqih pernikahan tidak ada batas

usianya, asalkan apabila si anak siap untuk melangsungkan sebuah rumah tangga,

maka boleh-boleh saja, dan kondisi mental dan fisiknya harus sudah menunjukkan

hal-hal kedewasaan pada dirinya.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Secara umum pernikahan adalah ikatan yang mengikat dua insan lawan

jenis yang masih remaja dalam suatu ikatan keluarga. Pernikahan dini adalah

33
Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2005), h. 133.
30

pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang wanita yang umur

keduanya masih di bawah batasan minimum yang diatur oleh Undang-Undang.

Usia dini merujuk pada usia remaja. WHO memakai batasan umur 10-20

tahun sebagai usia dini. Sedangkan pada Undang-undang Perlindungan Anak (UU

PA) Bab 1 Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan usia dini

adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, batasan tersebut menegaskan

bahwa anak usia dini adalah bagian dari usia remaja.34 Dari segi program

pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh departemen kesehatan adalah

mereka yang berusia 10-19 tahun dan belum menikah. Sementara itu, menurut

Badan Koordinasi keluarga Berencana (BKKBN) batasan usia remaja adalah 10

sampai 21 tahun. Remaja adalah suatu masa dimana individu dalam proses

pertumbuhannya terutama fisiknya yang telah mencapai kematangan. Dengan

batasan usia berada pada 11-24 tahun dan belum menikah.

34
Undang-Undang Perlindungan Anak (PA) (Jakarta: Kementrian Pemberdayaan dan
Perlindungan Anak RI), h. 4.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah jenis deskriptif kualitatif

yang mempelajari masalah-masalah yang ada serta tata cara kerja yang berlaku.

Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi

mengenai keadaan yang ada.1 Hal ini senada yang disampaikan Djaman Satori dan

Aan Komariah bahwa penelitian merupakan suatu penelitian yang

mengungkapkan situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara

benar, dibentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan dan analisis data

yang relevan yang diperoleh dari situasi yang alamiah.2

Moleong menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur

penelitian yang mengasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan

dari orang-orang dan perilaku yang dapat diambil menurut mereka.3

Miles dan Huberman menyatakan bahwa:

Singkatlah, hal-hal apa yang dapat terwujud dalam analisis kualitatif


pertama, data yang mincul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka,
data itu mungkin telah dikumpulkan dalam aneka macam cara (observasi,
wawancara, intisari, dokumen, pita rekaman) dan yang biasanya
“diproses” kira-kira sebelum siap digunakan (melalui) pencatatan,
pengetikan, penyuntingan, atau alat tulis, tetapi analisis kualitatif tetap
digunakan kata-kata yang biasanya disusun dalam teks yang diperluas.4
1
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999),
h. 26.
2
Djaman Satori dan Aan Komariah (ed), Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:
Alfabeta, 2009), h. 2.
3
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000), h. 3.
4
Mattew B. Miles dan A. Micheal Huberman, Analisis Data Kualitatif, Buku tentang
Metode-metode Baru (Jakarta: UI Press, 1992), h. 15.

31
32

Hamid Patilima mengutip John W. Creswell, dimana menjelaskan bahwa

metode kualitatif adalah Pendekatan kualitatif sebagai sebuah proses penyelidikan

untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada

penciptaan gambar holistik yang dibentuk kata-kata, melaporkan pandangan

informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar ilmiah.5

Penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang dapat diamati. Pengambilan data penelitian kualitatif dilakukan secara alami

berupa kata-kata atau gambaran (deskriptif), peneliti adalah sebagai instrument

utama, metode kualitatif dengan analisis data secara induktif serta lebih

memetingkan proses dari pada hasil.6

B. Lokasi Penelitian /Kehadiran Peneliti

1. Lokasi Penelitian

Adapun alasan peneliti memilih lokasi penelitian di Kecamatan Bahodopi

Kabupaten Morowali. Dikarenakan ada berapa kasus yang terjadi yakni dibawah

umur. Hal inilah yang menjadi pertimbangan peneliti untuk meneliti.

Penelitian ini melakukan pengamatan atau observasi langsung dilokasi

penelitian. Menurut Margono, pengamatan dan pencatatan yang di lakukan

terhadap objek ditempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga

pengamat berada bersama objek yang di selidiki disebut observasi langsung.7

5
Hamid Patalima, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 2.
6
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), h. 60.
7
Ibid, h. 158.
33

Menurut Bungin bahwa yang dimaksud dengan observasi langsung adalah

pengamatan yang dilakukan secara langsung yang di selidiki.8 Kehadiran peneliti

dimaksudkan untuk bertindak sebagai instumen penelitian sekaligus

mengumpulkan data. Peneliti telah mendapatkan surat penelitian dari lembaga

untuk melakukan penelitian kualitatif sebagai persiapan, sehingga penelitian ini

diketahui oleh subjek atau informan di lokasi penelitian.

2. Kehadiran Peneliti

Kehadiran peneliti sangat dipentingkan, selain itu peneliti sendiri yang

bertindak sebagai instrumen penelitian. Di mana peneliti bertugas untuk

merencanakan, melaksanakan pengumpulan data, menganalisis, menafsir data dan

pada akhirnya peneliti juga yang menjadi pelopor hasil penelitiannya. Hal ini

dikarenakan agar dapat lebih dalam memahami latar penelitian dan konteks

penelitian.

Untuk melaksanakan penelitian ini terlebih dahulu peneliti mengajukan

surat izin penelitian sebagai salah satu persyaratan. Dalam mengajukan surat

perizinan penelitian dilakukan secara formal dengan menyerahkan surat izin

penelitian dari pihak kampus kepada Kecamatan Bahodopi setempat, dalam hal

ini kepada Camat Bahodopi yang berwenang dalam mengambil keputusan atas

proses perizinan penelitian tersbut. Hal tersebut diharapkan agar terwujudnya

suasana harmonis antara peneliti dan obyek penelitian.

8
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial (Format-Format Kualitatif dan
Kuantitatif), (Surabaya : Air Langga Press, 2001), h. 142.
34

Kehadiran penelitian dimaksudkan untuk bertindak sebagai instrument

penelitian sekaligus pengumpulan data. Margono mengamukakan kehadiran

penelitian dilokasi penelitian selaku instrument utama penelitian adalah sebagai

berikut:

Manusia merupakan alat (instrument) utama pengumpulan data. Penelitian


kualitatif menghendaki peneliti atau dengan bantuan orang lain sebagai alat
utama pengumpul data. Hal ini di maksudkan agar lebih mudah mengadakan
penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan.9

C. Data dan Sumber Data

Data adalah suatu atribut yang melekat pada suatu obyek tertentu,

berfungsi sebagai informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, dan diperoleh

melalui suatu metode / instrument pengumpulan data. Data merupakan salah satu

komponen riset, artinya tanpa data tidak akan ada riset. Data yang dipakai dalam

riset haruslah data yang benar, karena data salah akan menghasilkan informasi

yang salah.10

Sumber data adalah subyek dari mana data diperoleh. Menurut Lofland

sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan,

selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.11

Proses pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan sumber

data primer dan juga sumber data sekunder.

9
S. Margono, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Rineke Cipta, 2000), h. 38.
10
Haris Herdiansyah, Wawancara, Observasi, dan Fokus Groups sebgai instrument
Penggalian data Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 8.
11
Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h.49.
35

1. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung dari sumbernya dan

diolah sendiri oleh suatu organisasi atau perorangan.12 Data primer juga

merupakan data yang diambil langsung dari lapangan, yaitu data yang berasal

hasil dari wawancara langsung kepada informan.13 Adapun data primer yang

dimaksud adalah pegawai kecamatan melalui wawancara secara langsung.

2. Data Sekunder

Data sekunder digunakan sebagai pelengkap dan pendukung setelah


14
data primer. Bahan tambahan ini diambil dari kegiatan membaca buku,

teks, dan literatur lainnya. Selain itu peneliti juga memperoleh data dari hasil

pengamatan langsung di lokasi penelitian yang berupa data mengenai data

instansi.

Data sekunder dapat berupa informasi dari orang tua dan pegawai

kecamatan, serta bahan tambahan yang diambil dari buku-buku, teks, dan literatur

lainnya yang membahas mengenai permasalahan perkawinan dibawah umur yang

data tersebut masih relevan untuk gunakan sebagai bahan rujukan penulis.

Sumber data sekunder dapat meliputi Undang-undang Nomor 1 tahun

1974, Kompilasi Hukum Islam serta peraturan- peraturan yang relevan dan yang

berkaitan dengan judul peneliti.

12
J. Supranto, Metode Ramalan Kuantitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 8.
13
Ibid,
14
Ibid,
36

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapat data. Tanpa

mengetahui teknik pengumpulan data, maka penelitian tidak akan mendapatkan

data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.15

Pengumpulan data, diperlukan dapat dipertanggujawabkan kebenarnya dan

sesuai permasalahan yang akan diteliti. Pengumpulan data adalah prosedur

sistematik dan standar untuk memperolah data yang diperlukan.16

Maksud metode ini adalah cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh

data yang akurat, maka diperlukan adanya metode pengumpulan data yang

digunakan secara tepat, sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah :

1. Teknik Observasi, adalah suatu metode pengumpulan data yang digunakan

dengan jalan mengadakan pengamatan yang disertai dengan pencatatan-

pencatan terhadap keadaan atau perilku objek sasaran yang dilakukan secara

langsung pada lokasi yang menjadi objek penelitian.17

Jadi observasi ini dilakukan sebagai obyek penelitian, metode ini digunakan

juga sebagai data utama dari data-data yang diperoleh melalui interview

(wawancara).

2. Teknik Wawancara, yaitu peneliti melakukan wawancara langsung dengan

menggunakan daftar yang telah disiapkan sebelumnya. Proses wawancara


15
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2011), h. 224.
16
Moh. Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghaliah Indonesia, 1998), h. 2.
17
Abdurahman Fatoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta:
Rosdakarya, 2005), h. 104.
37

dengan maksud untuk mengonstruksi orang, kejadian, organisasi, motivasi,

perasaan sebagainya yang dilakukan oleh dua belah pihak yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang diwawancarai

(interviewee).18 Adupun wawancara langsung secara lisan kepada warga serta

yang terlibat.

3. Teknik Dokumentasi, yaitu Penulis melakukan penelitian dengan menghimpun

data yang relevan dari sejumlah dokumen resmi atau arsip penting yang dapat

menunjang kelengkapan data penelitian. Dokumen ada dua pengertian, yaitu :

pertama, sumber tertulis bagi informasi sejarah sebagai kebalikan dari pada

kesaksian lisan, artefak, peninggalan-peninggalan tertulis dan petilasan-

petilasan arkeologi. Kedua, diperuntukan bagi surat-surat resmi dan surat-surat

negara seperti surat perjanjian, undang-undang, hibah, konsesi dan lainnya.19

Menurut Suharsimi Arikunto;

Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang artinya barang-barang tertulis.


Di dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-
benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan,
notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya.20

E. Tehnik Analisis Data

Analisis data yaitu proses mengatur urutan data dan mengatur

pengorganisasiannya dalam keadaan suatu pola, kategori, dan satuan dasar.

Analisis data adalah rangkaian penelaahan, pengelompokan, sistematis,

18
Komaruddin, Kamus Istilah Karya Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 115.
19
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:
Alfabeta, 2010), h. 147.
20
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h. 135.
38

penafsiran, dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial,

akademis dan ilmiah.21

Bagian data penulis akan menguraikan proses pelacakan dan penyatuan

wawancara, catatan-catatan lapangan dan bahan-bahan lainnya. Analisis data ini

melakukan pemecahan masalah dan pencarian pola lewat pengungkapan hal-hal

yang penting untuk dilaporkan. Adapun metode yang digunakan sebagai berikut:

1. Metode Induktif, yaitu metode analisa data yang dimulai dari pengetahuan-

pengetahuan yang bersiat khusus kepada pengetahuan-pengetahuan yang

bersifat umum.

Metode indukatif yang dimaksudkan penulis dalam penelitian ini, bertolak dari

pendpat seorang pakar yakni Sutrisno Hadi sebagai berikut:

Berfikir secara indukatif yang berankat dari fakta-fakta yang khusus serta

peristiwa-peristiwa yangkhusus dan kongkrit kemudian ditarik generalisasinya

yang mempunyai sifat umum.22

2. Metode Deduktif, yakni metode analisa data dengan bertolak pada

pengetahuan-pengetahuan yang bersifat umum kepada pengetahuan-

pengetahuan yang bersifat khusus.

Sedangkan metode deduktif dapat bermakna:

Berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang umum, kemudian

ditarik generalisasinya yang mempunyai sifat khusus secara kongkrik.

21
Ahmad Tanzeh, Pengantar Penelitian, (Surabaya, Elkaf 2006), h. 69.
22
Hadi Sutrisno, Metodologi Research (Jogjakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi
UGM, 2001), h. 42.
39

F. Pengecekan Keabsahan Data

Penelitian berangkat dari data. Data adalah segala-galanya dalam

penelitian. Oleh karena itu, data harus benar-benar valid. Ukuran validitas suatu

penelitian terdapat pada alat untuk menjaring data, apakah sudah tepat, benar,

sesuai dan mengukur apa yang seharusnya diukur. Alat untuk menjaring data

penelitian kualitatif terletak pada penelitianya yang dibantu dengan metode

interview, observasi, dan studi dokumentasi. Dengan demikian, yang diuji

ketepatannya adalah fasilitas peneliti dalam merancang fokus, menetapkan dan

memilih informan, melaksanakan metode pengumpulan data, menganalisis dan

menginterprestasi dan melaporkan hasil penelitian yang kesemuan yaitu perlu

menunjukkan konsistensinya satu sama lain.23

23
Djam’an Satori dan Aan Komariah, op.cit, h. 164.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010).


Abdurahman Fatoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi,
(Jakarta: Rosdakarya, 2005).
Ahmad Tanzeh, Pengantar Penelitian, (Surabaya, Elkaf 2006).
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007).
Amiur Nuruddin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1/1974
sampai KHI (Bandung: Prenada Media Group, 2006).
Asep Danidi Mulyana,”Pernikahan Dini dalam Perspektif Ulama Majalengka”,
Skripsi Sarjana, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2016. diakses tanggal
30 September 2022.
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial (Format-Format Kualitatif dan
Kuantitatif), (Surabaya : Air Langga Press, 2001).
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam
Kontemporer Buku Ptertama, (Jakarta: LSIK, 1994).
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:
Alfabeta, 2010).
Hadi Sutrisno, Metodologi Research (Jogjakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM, 2001).
Hamid Patalima, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2007).
Haris Herdiansyah, Wawancara, Observasi, dan Fokus Groups sebgai instrument
Penggalian data Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013).
https://www.unicef.org/protection/57929_58008.html. Diakses tanggal 30
September 2022.
Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004).
Ibrahim Hasan, Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Talak dan Rujuk (Jakarta :
Ihya’ulumuddin, 2014).
J. Supranto, Metode Ramalan Kuantitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 1993).
Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2015).
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: CV
Pustaka Agung Harapan, 2013).
Komaruddin, Kamus Istilah Karya Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007).
Kompilasi Hukum Islam Nomor 1 tahun 1991.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000).
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta : Penyelenggara Penterjemah
Al- Quran, 1973).
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara,
1999).
Mardani, Hukum Perkawinan Islam: di Dunia Islam Modern, (Yokyakarta: Graha
Ilmu, 2011).
Mattew B. Miles dan A. Micheal Huberman, Analisis Data Kualitatif, Buku
tentang Metode-metode Baru (Jakarta: UI Press, 1992).
Moh. Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghaliah Indonesia, 1998).
Mukti Ali, Roland Gunawan, Ahmad Hilmi, Jamaluddin Mohammad, Fikih
Kawin Anak: Membaca Ulang Teks Keagamaan Perkawinan Usia Anak-
anak, (Jakarta: Rumah Kitab, 2015).
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006).
Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2005).
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung : CV. Pustaka Setia, t.t).
S. Margono, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Rineke Cipta, 2000).
Sayuti Thalib, Hukum Kekelurgaan Indonesia, (Jakarta : Ui-Press, 2001).
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 1999).
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undan-undang Perkawinan
(Yogyakarta : Liberty, 2002).
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2011).
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002).
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru
Algasindo, 2004).
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : CV. Nuansa
Aulia).
Trusto Subekti, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, (Fak
Hukum Unsoed Purwokerto, 2005).
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam (Jakarta : Hidayah Karya Agung, 2017).

Anda mungkin juga menyukai