HUKUM PERKAWINAN
DISUSUN OLEH :
1. Pengga Agata
2. Aldian Rifky Azzuri
UNIVERSITAS PAMULANG
2020
DAFTAR ISI
1
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………………1
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………….2
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………3
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………….4
A. Latar Belakang…………………………………………………………………….4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………..4
C. Tujuan…………………………………………………………………………………4
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………5
A. Pengertian Perkawinan…………………………………………………………..5
B. Syarat Hukum Perkawinan......................................................………………7
C. Pencegahan Perkawinan……………………………………………………….…8
D. Pembatalan Perkawinan……………………...………………………………….8
E. Perjanjian Perkawinan…………………………………………...……………….9
F. Hak dan Kewajiban suami-istri……………………………………………...10
G. Harta benda dalam Perkawinan…………………………………………….12
H. Putusnya perkawinan dan akibatnya…………………………………..…13
I. Kedudukan Anak……………………………………………………………………13
J. Hak dan Kewajiban orant tua dan anak…………………………………...14
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………..16
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………..16
2
KATA PENGANTAR
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian perkawinan
2. Untuk mengetahui dasar sahnya perkawinan
3. Untuk mengetahui syarat dalam perkawinan
4. Untuk mengetahui Hak dan Kewajiban sebagai suami-istri
5. Untuk mengetahui penyebab putusnya dan perkawinan
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
5
perkawinan adalah suatu hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami isteri yang memenuhi rukun dan syarat peraturan
hukum perkawinan
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteriisteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurangkurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.
6
B. Syarat Syarat Perkawinan
Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d
11 UU No. I tahun 1974 yaitu:
7
1. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.
2. hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan
(pasal 8-9)
C. Pencegahan Perkawinan
Pihak pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali,
pengampu dari salah seorang mempelai.
D. Pembatalan Perkawinan
8
Pembatalan perkawinan dapat di batalkan apabila:
1. Seorang mempelai pria telah melangsungkan perkawinan tapi masih
terikat dengan perkawinan yang lain, maka istri perkawinan yang lain itu
dapat mengajukan pembatalan perkawinan
2. Pembatalan perkawinan didasarkan karena pegawai pencatat
perkawinan tidak berwenang mengawinkan sepasang suami-istri, atau
wali nikah tidak sah, atau dilangsungkan tanpa kehadiran 2 orang saksi,
maka mereka yang dapat mengajukan pembatalan adalah para keluarga
dalam garis lurus keatas dari suami atau istri.
3. Suami atau istri juga dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan mereka dilakukan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
E. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian diatara calon suami-istri
mengenai harta perkawinan mereka kelak setelah menikah. Isinya terbatas,
hanya mengatur harta kekayaan dalam perkawinan dan tidak mengatur hal
lain di luar itu, misalnya tentang kekuasaan orang tua terhadap anak.
Perjanjian perkawinan yang mengatur di luar harta perkawinan adalah tidak
sah.
Perjanjian perkawinan hanya boleh dibuat pada waktu sebelum
perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan yang dibuat setelah
dilangsungkannya perkawinan menjadi tidak sah dengan sendirinya batal
demi hukum.
Perjanjian perkawinan harus dibuat secara tertulis. Perjanjian tertulis ini
harus disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Dengan dilaksanakanya
pencatatan, maka isi perjanjian perkawinan dapat mengikat pihak ketiga yang
bersangkutan dengan perjanjian itu
9
F. Hak dan Kewajiban Suami-Istri
Hak adalah sesuatu atau hal yang didapat oleh seseorang dari orang lain,
sedangkan kewajiban adalah sesuatu atau hal yang diberikan oleh seseorang
kepada orang lain. Hak dan kewajiban suami istri sudah diatur didalam
undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974 dalam pasal 30 sampai pasal 34
Pasal 30
Pasal 31
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga
Pada ayat pertama, sekiranya dapat dipahami bahwa walaupun suami sebagai
kepala rumah tangga, bukan berarti kedudukan suami lebih tinggi dari seorang
istri. Karena kedudukan istri adalah seimbang dengan kedudukan seorang
suami.
Kemudian pada ayat kedua, pihak suami maupun istri semuanya berhak
melakukan perbuatan hukum jika merasa dirugikan oleh pihak lain.
Kedudukan suami istri itu seimbang, dalam melakukan perbuatan hukum.
Selanjutnya pada ayat ketiga. Jika ini tertukar, misalnya seorang istri yang
menjadi pemimpin didalam rumah tangganya menggantikan suami atau
keduanya sama-sama ingin berkuasa, tidak ada yang mengatur atau diatur,
sudah pasti keadaan rumah tangganya akan menemukan ketidaktenangan dan
ketentraman.
Pasal 32
1. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap
2. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami isteri bersama.
10
Tempat kediaman yang dimaksud disitu adalah tempat tinggal yang dapat
dijadikan untuk beristirahat, berkumpul, berlindung dari teriknya matahari
dan dinginnya hujan. Tempat kediaman diatur oleh suami-istri, bisa
mengontrak, tinggal ditempat mertua atau orangtua ataupun sebagainya.
Pasal 33
Disini yang jadi permasalahan adalah banyak sekali terjadi kasus tentang
istri meninggalkan suami yang sakit-sakitan, ataupun seorang suami
meninggalkan istri yang sakit-sakitan. Istri yang meninggalkan suami ketika
usahanya telah bangkrut, ataupun suami yang meninggalkan seorang istri jika
usahanya telah sukses.
jika memang benar-benar cinta, seorang istri bisa menerima bagaimanapun
keadaan suami dan juga sebaliknya seorang suami dapat menerima istri
bagaimanapun keadaannya.
Suami meghormati harga diri seorang istrinya, dan sebaliknya seorang istri
harus menghormati harga diri seorang suaminya juga. Misalnya seorang suami
jangan memarahi istrinya didepan banyak orang atau di tempat umum, dan
sebaliknya.
Pasal 34
1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
11
perbuatan atau ucapan sang istri yang sekiranya melampaui hukum positif
maupun hukum syari’at, ataupun suami melindungi istri dan anaknya dari
gangguan pihak lain.
12
H. Putusnya Perkawinan beserta Akibatnya
Dalam membina hubungan atau ikatan rumah tangga antara suami dan istri
sudah barang tentu di kemudian hari akan terjadi putusnya perkawinan, entah
itu disebabkan kematian ataupun karena perceraian.
Penyebab putusnya perkawinan sebagaima tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebabkan oleh :
a. Kematian
b. Perceraian dan
c. Atas keputusan Pengadilan
Akibat perceraian ini, pihak yang bersangkutan yaitu suami atau istri memiliki
kewajiban yang harus dilakukan dan dijalankan, sebagaimana yang tertuang
dalam Pasal 41, Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
(1). Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberikan
keputusannya.
(2). Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa
ikut memikul biaya tersebut.
(3). Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
I. Kedudukan Anak
Selain itu juga dikenal anak adopsi, yaitu anak yang diankat oleh suami-istri
sebagai anak mereka yang dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari
perkawinan suami istri.
14
Kewajiban Orang Tua
Artinya adalah bahwa orang tua memiliki kewajiban yang tercantum pada ayat
(1) pada saat :
1. Sampai anak tersebut kawin (menikah)
2. Dapat berdiri sendiri (mandiri)
3. Apabila terjadi perceraian Orang Tua, maka perceraian itu tidak
mengakibatkan kewajiban terhadap anak putus
Kewajiban Anak
Didalam pasal 46 ayat (2) memuat ketentuan dan berkaitan dengan pasal 45
ayat (1) bahwa :
“Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuanya, orang
tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan
bantuanya.”
Artinya bahwa seorang anak yang telah dianggap dewasa, memiliki kewajiban
memelihara kewajibannya sesuai dengan kemampuannya terhadap orang tua
dan keluarganya.
15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tujuan Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk memenuhi sahnya perkawinan
calon mempelai harus memenuhi syarat syarat perkawinan yang diatur dalam
mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun 1974. Pasal 6 s/d Pasal 11
memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedang Pasal 12
mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.
16