Anda di halaman 1dari 16

BAHASA HUKUM INDONESIA

HUKUM PERKAWINAN

DISUSUN OLEH :

1. Pengga Agata
2. Aldian Rifky Azzuri

UNIVERSITAS PAMULANG

2020

DAFTAR ISI

1
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………………1
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………….2
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………3
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………….4
A. Latar Belakang…………………………………………………………………….4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………..4
C. Tujuan…………………………………………………………………………………4
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………5
A. Pengertian Perkawinan…………………………………………………………..5
B. Syarat Hukum Perkawinan......................................................………………7
C. Pencegahan Perkawinan……………………………………………………….…8
D. Pembatalan Perkawinan……………………...………………………………….8
E. Perjanjian Perkawinan…………………………………………...……………….9
F. Hak dan Kewajiban suami-istri……………………………………………...10
G. Harta benda dalam Perkawinan…………………………………………….12
H. Putusnya perkawinan dan akibatnya…………………………………..…13
I. Kedudukan Anak……………………………………………………………………13
J. Hak dan Kewajiban orant tua dan anak…………………………………...14
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………..16
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………..16

2
KATA PENGANTAR

Alhamduillah segala puji dan syukur bagi Allah Subhanahu


Wata’ala yang telah memberikan rahmat, karunia serta kesempatan
dan kesehatan sehingga kami bias menyelesaikan makalah ini, dengan
judul “Hukum Perkawinan” dalam waktu yang sudah ditentukan.

Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu sebagai salah satu


tugas dari mata kuliah Bahasa Indonesia Hukum. Dalam penyusunan
makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan, dan jauh dari
kata sempurna.Oleh karena itu, kami menharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun agar kami bisa lebih baik lagi dalam
penyusunan makalah kedepannya.

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain


untuk menjalankan kehidupannya. Selain membutuhkan orang lain manusia
juga membutuhkan pendamping hidup. Pedamping hidup dapat diwujudkan
melalui proses perkawinan.
Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk
menghalalkan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong
menolong antara pria dengan wanita yang antara keduanya bukan
muhrim. Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas bahwa penikahan
adalah suatu akad yang suci dan luhur antara pria dengan wanita,
yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri yang di
halalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga
sakinah, mawadah serta saling menyantuni antara keduanya
Agar terjaminnya ketertiban pranata perkawinan dalam
masyarakat, maka Undang Undang Nomer 1 Tahun 1974,
menentukan bahwa setiap perkawinan harus di catat oleh petugas
yang berwenang.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu pengertian Perkawinan menurut Undang Undang?


2. Apa dasarnya sehingga Sahnya Perkawinan?
3. Apa saja Syarat Perkawinan menurut Undang Undang?
4. Apa saja Hak dan Kewajiban sebagai Suami-Istri?
5. Apa yang menjadikan penyebab putusnya perkawinan?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian perkawinan
2. Untuk mengetahui dasar sahnya perkawinan
3. Untuk mengetahui syarat dalam perkawinan
4. Untuk mengetahui Hak dan Kewajiban sebagai suami-istri
5. Untuk mengetahui penyebab putusnya dan perkawinan

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan

Dalam kehidupan di dunia yang indah ini, Allah SWT menciptakan


makhluk-makhluk-Nya berpasang-pasangan agar hidup berdampingan, saling
mencintai dan berkasih sayang untuk meneruskan keturunan. Manusia sebagai
makhluk sosial yang beradab, menjadikan makna “hidup berdampingan”
sebagai suami dan isteri dalam suatu perkawinan yang diikat oleh hukum, agar
menjadi sah dan disertai dengan tanggung jawab. Seorang pria dan seorang
wanita yang memasuki kehidupan suami dan isteri, berarti telah memasuki
gerbang baru dalam kehidupannya untuk membentuk sebuah rumah tangga
sakinah, mawaddah dan wa rahmah.

Menurut Undang Undang Nomer 1 Tahun 1974 Pasal 1


“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Menurut Prof. DR. R.Wirjono Prodjodikoro, perkawinan di definiskan


sebagai “ suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan perkawinan.”

Nani Suwondo mengemukakan pengertian perkawinan adalah :


“ Suatu tindakan hukum yang dilakukan dengan maksud akan hidup
bersama dengan kekal, antara dua orang yang berjenis kelamin yang
berlainan dan dilangsungkan menurut cara-cara yang ditetapkan
pemerintah, perkawinan mana berdasarkan hukum sipil dan berasaskan
monogamy

Menurut R. Sardjono mengemukakan perkawinan seperti dikutip oleh Asmin,


mengatakan bahwa :
“ Ikatan lahir batin berarti bahwa para pihak yang bersangkutan karena
perkawinan itu sangat formil merupakan suami isteri baik bagi mereka
dalam hubungannya dengan masyarakat luas. Pengertian ikatan lahir batin
suami isteri yang bersangkutan terkadang niat yang sungguh-sungguh
untuk hidup bersama sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk dan
membina keluarga yang bahagia dan kekal.”

Dari semua pengertian perkawinan tersebut dapat disimpulkan bahwa

5
perkawinan adalah suatu hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami isteri yang memenuhi rukun dan syarat peraturan
hukum perkawinan

Menurut Undang Undang Nomer 1 Tahun Nomer 1974, Sahnya suatu


perkawinan adalah merujuk pada dasar hukum sebagai berikut

Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteriisteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurangkurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.

6
B. Syarat Syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun


1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat
materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat
formil.

Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d
11 UU No. I tahun 1974 yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai


2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang
tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila
kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada
penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.

Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No.


I/1974 direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

 Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan


harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat
Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan
dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum
perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan
lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan
itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon
mempelai (Pasal 3-5)
 Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu
diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis
dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).
 Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan
membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan yang memuat antara lain:

7
1. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.
2. hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan
(pasal 8-9)

 Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang


dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta
perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang
saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan
dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan
pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing
diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).

C. Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan adalah suatu usaha yang digunakan untuk


menghindari terjadinya perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan
Undang Undang. Mengenai pencegahan perkawinan diatur dalam Pasal 13 -
Pasal 21 Undang Undang Nomer 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan)
Suatu perkawinan dapat dicegah apabila :
1. Perkawinan tidak memenuhi syarat
2. Salah seorang mempelai berada dibawah pengampunan, sehingga dengan
perkawinan tersebut dapat mengakibatkan kesengsaraan bagi mempelai
lainnya
3. Calon mempelai masih terikat suatu hubungan dengan perkawinan
lainnya

Pihak pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali,
pengampu dari salah seorang mempelai.

D. Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan dapat diajukan terhadap perkawinan yang telah


dilaksanakan dan dilakukan oleh pihak pihak tertentu karena perkawinan
tersebut tidak memenuhi syarat. Mereka yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan antara lain:
1. Anggota keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau
istri
2. Suami atau Istri
3. Pejabat yang berwenang
4. Setiap orang yang memiliki kepentingan hokum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut.

8
Pembatalan perkawinan dapat di batalkan apabila:
1. Seorang mempelai pria telah melangsungkan perkawinan tapi masih
terikat dengan perkawinan yang lain, maka istri perkawinan yang lain itu
dapat mengajukan pembatalan perkawinan
2. Pembatalan perkawinan didasarkan karena pegawai pencatat
perkawinan tidak berwenang mengawinkan sepasang suami-istri, atau
wali nikah tidak sah, atau dilangsungkan tanpa kehadiran 2 orang saksi,
maka mereka yang dapat mengajukan pembatalan adalah para keluarga
dalam garis lurus keatas dari suami atau istri.
3. Suami atau istri juga dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan mereka dilakukan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

E. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian diatara calon suami-istri
mengenai harta perkawinan mereka kelak setelah menikah. Isinya terbatas,
hanya mengatur harta kekayaan dalam perkawinan dan tidak mengatur hal
lain di luar itu, misalnya tentang kekuasaan orang tua terhadap anak.
Perjanjian perkawinan yang mengatur di luar harta perkawinan adalah tidak
sah.
Perjanjian perkawinan hanya boleh dibuat pada waktu sebelum
perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan yang dibuat setelah
dilangsungkannya perkawinan menjadi tidak sah dengan sendirinya batal
demi hukum.
Perjanjian perkawinan harus dibuat secara tertulis. Perjanjian tertulis ini
harus disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Dengan dilaksanakanya
pencatatan, maka isi perjanjian perkawinan dapat mengikat pihak ketiga yang
bersangkutan dengan perjanjian itu

Dalam Perjanjian Perkawinan di atur oleh Pasal 29 Undang Undang Nomer 1


Tahun 1974
Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

9
F. Hak dan Kewajiban Suami-Istri

Hak adalah sesuatu atau hal yang didapat oleh seseorang dari orang lain,
sedangkan kewajiban adalah sesuatu atau hal yang diberikan oleh seseorang
kepada orang lain. Hak dan kewajiban suami istri sudah diatur didalam
undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974 dalam pasal 30 sampai pasal 34

Pasal 30

Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah


tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Pasal 31
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga

Pada ayat pertama, sekiranya dapat dipahami bahwa walaupun suami sebagai
kepala rumah tangga, bukan berarti kedudukan suami lebih tinggi dari seorang
istri. Karena kedudukan istri adalah seimbang dengan kedudukan seorang
suami.
Kemudian pada ayat kedua, pihak suami maupun istri semuanya berhak
melakukan perbuatan hukum jika merasa dirugikan oleh pihak lain.
Kedudukan suami istri itu seimbang, dalam melakukan perbuatan hukum.
Selanjutnya pada ayat ketiga. Jika ini tertukar, misalnya seorang istri yang
menjadi pemimpin didalam rumah tangganya menggantikan suami atau
keduanya sama-sama ingin berkuasa, tidak ada yang mengatur atau diatur,
sudah pasti keadaan rumah tangganya akan menemukan ketidaktenangan dan
ketentraman.

Pasal 32
1. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap
2. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami isteri bersama.

10
Tempat kediaman yang dimaksud disitu adalah tempat tinggal yang dapat
dijadikan untuk beristirahat, berkumpul, berlindung dari teriknya matahari
dan dinginnya hujan. Tempat kediaman diatur oleh suami-istri, bisa
mengontrak, tinggal ditempat mertua atau orangtua ataupun sebagainya.

Pasal 33

Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati setia dan


memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Disini yang jadi permasalahan adalah banyak sekali terjadi kasus tentang
istri meninggalkan suami yang sakit-sakitan, ataupun seorang suami
meninggalkan istri yang sakit-sakitan. Istri yang meninggalkan suami ketika
usahanya telah bangkrut, ataupun suami yang meninggalkan seorang istri jika
usahanya telah sukses.
jika memang benar-benar cinta, seorang istri bisa menerima bagaimanapun
keadaan suami dan juga sebaliknya seorang suami dapat menerima istri
bagaimanapun keadaannya.
Suami meghormati harga diri seorang istrinya, dan sebaliknya seorang istri
harus menghormati harga diri seorang suaminya juga. Misalnya seorang suami
jangan memarahi istrinya didepan banyak orang atau di tempat umum, dan
sebaliknya.

Kemudian memberi bantuan lahir dan bathin, sekiranya dapat dipahami,


seperti suami memberikan pendidikan, pakaian, makan, tempat tinggal kepada
seorang istri dan sebaliknya. Suami/istri dapat saling memberi teguran,
nasihat dan solusi jika salah satunya ada yang memiliki masalah, suami atau
istri memberi siraman rohani kepada pasangannya, agar tujuan pernikahan
warahmahnya dapat tercapai. Bisa juga dengan memberikan kebutuhan
hubungan seksual.

Pasal 34
1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Sudah seharusnya pria menjadi pelindung bagi wanita, bukan malah


menyakitinya, bahkan jika sampai menyaktiri fisiknya. Begitupula jika sudah
berkeluarga, suami wajib melindungi istrinya dari apapun. Mulai dari

11
perbuatan atau ucapan sang istri yang sekiranya melampaui hukum positif
maupun hukum syari’at, ataupun suami melindungi istri dan anaknya dari
gangguan pihak lain.

Suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan yang dibutuhkan didalam


rumah tangga dengan sesuai kemampuannya, secara singkat suami wajib
memberikan nafkah kepada istri maupun anak.

G. Harta benda dalam Perkawinan

Dalam Pasal 35 UU Perkawinan dikatakan:


1. “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama”.
2. “Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain”.

Berdasarkan pasal tersebut untuk melakukan perbuatan hokum harta


Bersama harus didahului oleh perjanjian atau kesepakan di antara suami dan
istri. Sedangkan untuk melakukan perbuatan Hukum terhadap harta bawaan,
suami atau istri sepenuhnya menguasai harta bawaannya masing-masing.
Sehingga mereka mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hokum atas harta bawaannya.

Pasal 119 Burgerlijk Wetboek (BW) mengatakan:


“Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan
harta secara bulat antara kekayaan suami dan isteri, sekadar mengenai hal itu
dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain”.
Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata Burgerlijk Wetboek)
memiliki konsep yang berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan. Pasal 119
KUH Perdata menentukan bahwa sejak saat perkawinan dilangsungkan secara
hokum terjadi kebersamaan harta kekayaan diantara suami dan istri,
sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. Ini
berarti apabila suami istri tidak membuat perjanjian kawin sebelum
perkawinan maka seluruh harta kekayaan yang diperoleh masing masing
sebelum perkawinan berlangsung akan menjadi harta Bersama.

12
H. Putusnya Perkawinan beserta Akibatnya

Dalam membina hubungan atau ikatan rumah tangga antara suami dan istri
sudah barang tentu di kemudian hari akan terjadi putusnya perkawinan, entah
itu disebabkan kematian ataupun karena perceraian.
Penyebab putusnya perkawinan sebagaima tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebabkan oleh :
a. Kematian
b. Perceraian dan
c. Atas keputusan Pengadilan

Lebih lanjut pada Pasal 39 mengatur tentang perceraian :


(1). Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
(2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
istri itu tidak akan dapat hidup rukun, sebagai suami istri.
(3). Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Gugatan perceraian juga dimuat dalam pasal selanjutnya yaitu Pasal 40 :
(1). Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2). Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur
dalam peraturan perundangan tersendiri.

Akibat perceraian ini, pihak yang bersangkutan yaitu suami atau istri memiliki
kewajiban yang harus dilakukan dan dijalankan, sebagaimana yang tertuang
dalam Pasal 41, Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
(1). Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberikan
keputusannya.
(2). Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa
ikut memikul biaya tersebut.
(3). Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

I. Kedudukan Anak

Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU


Perkawinan) tidak memberikan pengaturan yang mendetail mengenai
13
kedudukan Anak. Pengaturan mengenai kedudukan anak dalam UU
Perkawinan membagi kedudukan anak kedalam dua kelompok, yaitu:
1. Anak yang sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah
2. Anak yang dilahirkan diluar Perkawinan, Pasal 43 ayat (1) menentukan
anak yang dilarikan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

Pasal 44 Undang-Undang Perkawinan memberikan hak kepada suami untuk


menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya apabila si suami dapat
membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak tersebut merupakan hasil
dari perzinaan tersebut. Atas penyangkalan ini pengadilan akan memberikan
keputusan mengenai sah atau tidaknya anak tersebut.

Mengenai kedudukan anak, di dalam Kitab Undang Undang Perdata (Burgerlijk


Wetboek) memiliki pengaturan yang lebih rinci
KUH Perdata membagi kedudukan anak menjadi :
1. Anak Sah (Echte Kinderen), adalah anak anak yang tumbuh atau
dilahirkan sepanjang perkawinan ayah-ibunya
2. Anak tidak sah atau amak luar kawin atau anak alami (onwettige,
onechte, nutuurlijkw kinderen), dibedakan menjadi :
a. Anak diluar kawin yang bukan hasil perselingkuhan (overspelig)
atau sumbang (bloedschennis)
b. Anak Zinah (overspelige kindereen) dan sumbang (bloed schennige
kindereen).

Selain itu juga dikenal anak adopsi, yaitu anak yang diankat oleh suami-istri
sebagai anak mereka yang dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari
perkawinan suami istri.

J. Hak dan Kewajiban antara orang tua dan anak

Dalam sebuah perkawinan untuk membangun sebuah rumah tangga, di


dalam rumah tangga terdiri dari suami, istri, dan anak (apabila di dalam
perkawinan tersebut memilki anak), dan di dalam rumah tangga masing
masing pihak memiliki hak dan kewajiban, baik Hak dan Kewajiban Orang Tua
terhadap anak, juga Hak dan Kewajiban Anak terhadap Orang Tua.

Berdasarkan Undang Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,


ketentuan-ketentuan perihal hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, dan
juga adanya hak dan kewajiban anak terhadap orang tua.
Ketentuan-ketentuan tersebut sebagai berikut

14
Kewajiban Orang Tua

Berdasarkan pasal 45 ayat (1) bahwa mengatakan :


“Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik
baiknya”

Masa berlakunya kewajiban pasal 45 ayat (1) di atas, berdasarkan pasal 45


ayat (2) mengatakan sebagai berikut:
“Kewajiban Orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai
anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus”

Artinya adalah bahwa orang tua memiliki kewajiban yang tercantum pada ayat
(1) pada saat :
1. Sampai anak tersebut kawin (menikah)
2. Dapat berdiri sendiri (mandiri)
3. Apabila terjadi perceraian Orang Tua, maka perceraian itu tidak
mengakibatkan kewajiban terhadap anak putus

Kewajiban Anak

Berdasarkan pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974,


kewajiban anak terhadap orang tua sebagai berikut :
“Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang
baik”

Didalam pasal 46 ayat (2) memuat ketentuan dan berkaitan dengan pasal 45
ayat (1) bahwa :
“Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuanya, orang
tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan
bantuanya.”

Artinya bahwa seorang anak yang telah dianggap dewasa, memiliki kewajiban
memelihara kewajibannya sesuai dengan kemampuannya terhadap orang tua
dan keluarganya.

15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Perkawinan adalah


ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.(UU Nomer 1 Tahun 1974 Pasal 1).

Tujuan Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk memenuhi sahnya perkawinan
calon mempelai harus memenuhi syarat syarat perkawinan yang diatur dalam
mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun 1974. Pasal 6 s/d Pasal 11
memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedang Pasal 12
mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.

Putusnya perkawinan adalah berakhirnya atau bubarnya perkawinan


yang telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa
factor seperti kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan

Dari seluruh penjelasan diatas dapat kami simpulkan bahwa Hukum


Perkawinan adalah keseluruhan peraturan atau norma hokum yang mengatur
bagaimana perorangan yang satu (pria) dengan perseorangan yang lain
(wanita) melakukan perkawinan atau membentuk rumah tangga beserta hak
dan kewajibannya masing masing yang diatur dalam Undang Undang No. 1
Tahun 1974

16

Anda mungkin juga menyukai