Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Hukum Perkawinan Menurut Undang – Undang No. 1 Tahun 1974

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Hukum Perdata

Dosen Pengampu

Ibu Binti Ni’matul Khoiriyah, M. H.

Disusun Oleh Kelompok 5 HTN 4E


1.YOSI MEGA SILVIANA 126103212203
2. MOKHAMAD CANDRA K. 126103212202
3. MOH IMAWAN FANANI 126103212201

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN


ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI
RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
MARET 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas seluruh
karunianya sehingga makalah “ Hukum Perkawinan Menurut Undang – Undang No. 1
Tahun 1974” ini bisa terselesaikan. Sholawat serta salam semoga selalu abadi
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya. Sehubungandengan
selesainya makalah ini, maka penulis mengucapkan terimakasih kepada;

1. Bapak Prof. Dr. Maftukin, M.Ag, selaku Rektor UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung.

2. Bapak Dr. Nur Efendi,M.Ag selaku Dekan Fasih UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung.

3. Bapak Ahmad Gelora Mahardika, M.H. selaku Ketua Jurusan Hukum


Tata Negara UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

4. Ibu Binti Ni’matul Khoiriyah, M.H. selaku Dosen pengampu mata


kuliah Hukum Perdata.

5. Semua pihak yang telah membantu hingga terselesainya penulisan


makalah ini.

Dengan penuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima oleh Allaah SWT.
Serta tercatat sebagai amal shalih. Hingga akhirnya, makalah ini penulis suguhkan
kepada segenap pembaca dengan harapan adanya saran dan kritik yang bersifat
konstruktif demi perbaikan. Semoga makalah ini bermanfaat serta mendapat ridho
dari Allah SWT.

Tulungagung, 08 Maret 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................1
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1

C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................................1


BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................................2
A. Pengertian Hukum Perkawinan ............................................................................................2

B. Hukum Perkawinan Menurut UU No.1Tahun 1974...........................................................2


C. Pencegahan Perkawinan........................................................................................................4
D. Pembatalan Perkawinan........................................................................................................5
E. Hubungan Hukum Antara Wali Dan Anak............................................................................6
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 7
A. Kesimpulan .......................................................................................................................... 7

B. Daftar pustaka .......................................................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang menyatukan antara dua insan dalam
ikatan yang suci yang diridhoi oleh Illahi Rabbi. Perkawinan juga sering diungkapkan
sebagai suatu hal yang sakral karena dengan perkawinan ditujukan untuk membentuk
suatu keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Namun pada masa sekarang ini
sering kali kita temukan perkara perceraian. Dalam hal ini, pernikahan itu seakan-akan
menjadi sesuatu media atau lahan yang hanya untuk bersenang-senang atau bermain-
main saja.

Untuk menghindari kasus yang demikian itu, pemerintah menyusun UU yang


mengatur masalah perceraian. Sehingga dalam masalah perceraian masih ada usaha
mediasi agar keinginan akan diadakannya perceraian itu bisa dibatalkan. Namun
dalam UU perkawinan No. 1 tahun 1974 ini tidak hanya diatur masalah perceraian
yang masih bisa dibatalkan saja akan tetapi juga masalah perceraian yang harus
dilakukan. Jadi dalam UU ini juga diatur masalah pengharusan atas pembatalan
perkawinan. Suatu perkawinan bukanlah merupakan bidang hukum perikatan,
melainkan hukum keluarga, oleh karena itu hanya diperkenankan adanya
kelangsungan suatu pembentukan keluarga sebagai suatu yang benar-benar atas
kehendak yang disetujui bersama antara kedua pihak yang bersangkutan tanpa campur
tangan pihak lain.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Tentang Hukum Perkawinan?
2. Bagaimana Pengertian Dari Hukum Perkawinan Menurut UU No.1Tahun 1974?
3. Apa Yang Dimaksud Dengan Pencegahan Perkawinan?
4. Apa Yang Dimaksud Dengan Pembatalan Perkawinan?
5. Bagaimana Hubungan Hukum Antara Wali Dan Anak?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Memahami Pengertian Dari Hukum Perkawinan
2. Untuk Memahami Pengertian Dari Hukum Perkawinan Menurut UUNo.1 Tahun
1974
3. Untuk Memahami Tentang Pencegahan Perkawinan
4. Untuk Memahami Tentang Pembatalan Perkawinan
5. Untuk Memahami Hubungan Hukum Antara Wali Dan Anak

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM PERKAWINAN


KUHPerdata juga mengatur mengenai persyaratan yang harus dipenuhi bagi para
calon pasangan suami istri yang hendak melangsungkan perkawinan, syarat-syarat
yang harus dipenuhi tersebut dibagi menjadisyarat materiil dan formil, sebagai
berikut:
Syarat Materil
Syarat materiil adalah syarat yang menyangkut pribadi para pihak yang akan
melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga
dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-Undang:
1) Syarat materil absolut adalah syarat mengenai pribadi seorang yang harus
diindahkan untuk perkawinan pada umumnya, yang berlaku untuk seluruh
perkawinan
2) Syarat formil adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas
yang harus dipenuhi sebelum proses perkawinan:
1) Pemberitahuan / aangifte tentang kehendak kawin kepada pegawai
catatan sipil, yaitu pegawai yang nantinya akan melangsungkan
pernikahan.
2) Pengumuman.
Para pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan, selain harus memenuhi
persyaratan untuk sahnya suatu perkawinan, mereka juga harus memperhatikan
beberapa larangan-larangan dalam melangsungkan perkawinan, diantaranya:
a) Ada hubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas;
b) Ada hubungan darah dalam garis keturunan menyamping;
c) Ada hubungan darah semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu
atau bapak tiri
d) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang untuk kawin.1

B. PENGERTIAN HUKUM PERKAWINAN MENURUT UU No.1 TAHUN 1974


Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum dimana setiap hubungan hukum yang
dilakukan antara tiap individu dengan individu lainnya akan menimbulkan akibat-
akibat terkait dengan hubungan hukum yang terjadi. Perkawinan sebagai salah satu

1
1 Ibid, hlm. 119
2
bentuk hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita yang terjalin
didasarkan atas adanya ikatan lahir batin diantara keduanya, akan menimbulkan akibat
hukum baik bagi pasangan suami-istri tersebut maupun pada hal-hal lain dan pihak lain
yang terkait dengan perkawinan tersebut. Akibat hukum perkawinan yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu:
a) Adanya hubungan suami-istri;
b) Hubungan orang tua dengan anak;
c) Hubungan harta kekayaan.
Sejak awal terjadinya perkawinan antara pasangan suami-istri, timbulah hubungan
hukum antara suami-istri. Hubungan hukum tersebut adalah adanya hak dan kewajiban
antara suami-istri. Pengaturan mengenai hak dan kewajian suami istri diatur dalam
Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang
Perkawinan. Hak dan kewajiban suam-istri yang dimaksud antara lain:
a) Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30);
b) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup masyarakat (Pasal 31 ayat (1));
c) Suami-istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat (2));
d) Suami-istri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap (Pasal 32 ayat (1));
e) Suami-istri wajib salin mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (Pasal 33);
f) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
rumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34);
g) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya {Pasal 34 ayat (2)).
Selanjutnya apabila selama perkawinan berlangsung suami lalai dalam menjalankan
semua kewajibannya maka istri dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk
menuntut pembatalan perkawinan (konsekuensi hukum) dan begitu juga sebaliknya
bagi pihak suami.
Berkaitan dengan hubungan orang tua dengan anak yang muncul sebagai akibat
perkawinan, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak diatur dalam Pasal 45 sampai
dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai
berikut:
a) Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya yang
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri (Pasal 45);
b) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik (Pasal
46 ayat (1));
c) Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua (Pasal 46
ayat (2));
d) Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tua (Pasal 47 ayat (1));
e) Orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47 ayat (2));
3
f) Orangtuatidakdiperbolehkanmemindahkanhakataumenggadaikanbarang- barang
tetap yang dimiliki anaknya yang belum berusia 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak menghendakinya (Pasal 48).
Lain halnya dengan hubungan hukum antara suami-istri yang dapat putus karena
perceraian, hubungan hukum antara orang tua dengan anaknya tidak akan putus
meskipun perkawinan yang dibina oleh kedua orang tuanya putus oleh perceraian.
Hak dan kewajiban orang tua akan tetap melekat dan harus tetap dijalankan oleh seiap
orang tua meskipun hubungan perkawinan tersebut telah putus.

Akibat hukum perkawinan selanjutnya yaitu berkaitan dengan harta benda dalam
perkawinan diatur di Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang intinya menetapkan sebagai berikut:
a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama,
sedangkan :
1) harta bawaan dari masing-masing suami-isteri;
2) harta benda yang diperoleh masing-masing suami-isteri sebagai hadiah
3) warisan Apabila kemudian ditentukan oleh suami-isteri, maka harta
bawaan suami-isteri tersebut menjadi harta bersama. Untuk
menentukan agar harta bawaan suami-isteri atau yang diperoleh selama
perkawinan menjadi atau tidak menjadi harta bersama, maka suami-
isteri tersebut harus membuat Perjanjian Kawin terlebihdahulu.
b. Dalam hal harta bersama, suami dan isteri dapat bertindak atas
persetujuan keduabelah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan
masing-masing, suami-isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta.
c. bendanya. Adapun hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai
harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik
menurut Riduan Syahrani adalah sewajarnya, mengingat hak dan kedudukan
suami maupun isteri dalam kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat,
dimana masing masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. 2
d. Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan Pasal 37 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu hukum agama
(kaedah agama), hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

C. PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pencegahan perkawinan adalah usaha untuk membatalkan perkawinan sebelum
perkawinan itu berlangsung. Pencegahan perkawinan itu dapat dilakukan apabila calon
suami atau calon istri yang akan melangsungkan pernikahan berdasarkan hukum
islam yang termuat dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu

2
Riduan Syahrani, Seluk Beluk ..., Op, Cit., hlm. 100.
4
perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat- syarat
melangsungkan perkawinan. Syarat pencegahan perkawinan dibagi dalam dua segi,
yaitu:
• Syarat Materiil: berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan
perkawinan.
•Syarat administratif: syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan
(calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi dan wali) dan pelaksanaan akad nikahnya.
Hal-hal yang bisa menjadi alasan terjadinya pencegahan perkawinan, telah disebutkan
dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu tentang hal-hal yang menyebabkan dilarangnya
kawin. Diantaranya:
Pasal 40
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lainnya
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang
tidak beragama Islam.3
Selain itu, perkawinan juga bisa dicegah jika istri atau suami maupun wali nikah sedang
melakukan ihram karena bebas dari ihram juga merupakan salah satu syarat sah bagi
keberlangsungan nikah.Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam
daerah hukum diamana perkawinan itu dilangsungkan dengan memberitahukan juga
kepada pencatat perkawinan. Sedangkan pihak yang lain diberitahukan tentang
permohonan pencegahan oleh pegawai pencatat perkawinan. Hal ini sebagaimana yang
telah disebutkan dalam UU no. 1 tahun 1975 pasal 17 ayat 1 dan 2. Namun jika hal-hal
yang menyebabkan pencegahan perkawinan ini ternyata tidak ada, pencegahan ini bisa
dicabut dengan putusan pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan
pencegahan pada pengadilan oleh yang mencegah (pasal 18 UU No. 1 tahun 1974 dan
dalam KHI pasal 67).

D. PEMBATALAN PERKAWINAN
Arti pembatalan perkawinan ialah tindakan Pengadilan yang berupa putusan yang
menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah (no legalforce
ordeclared void), sehingga perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada(never
existed). Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat- syarat (Pasal 22
sampai dengan Pasal 28 Undang-undangNomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan), ini berarti bahwa perkawinan batal karena tidak terpenuhinya syarat-

3
Amandemen UU Peradilan Agama No. 3 Tahun 2006, UU Peradilan Agama No.7 Tahun 1989 dan
Kompilasi Hukum Islam, media center

5
syarat yang dimaksud, namun jika perkawinan itu telah terlanjur terlaksana, maka
perkawinan itu dapat dibatalkan. Di dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa “Perkawinan dapat dibatalkan
apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan
perkawinan.”Secara sederhana, ada dua sebab terjadinya pembatalan
perkawinan:4Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Misalnya, tidak
terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan
prosedural lainnya.Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan”. Misalnya,
perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai
calon suami danistri.Undang-undang Perkawinan mengatur tempat diajukannya
permohonan pembatalan perkawinan yang dimuat didalam Pasal 25 yaitu
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah
hukum di manaperkawinan dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami isteri,
suami atau isteri.Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan
alasan dalam ayat 1 Pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai
suami isteri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai
pencatat perkawinanyang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui
supaya sah.

E. HUBUNGAN HUKUM ANTARA WALI DAN ANAK


Hubungannya sendiri termasuk sangat dekat karena disebuah pernikahan wali dan
anak sangat di butuhkan karena wali sendiri merupakan orangtua dari mempelai wanita
dan laki-laki. Wali sendiri sebagai syarat dalam pernikahan hal ini sesuai dengan hukum
islam syarat pernikahan harus ada wali untuk syaratnya. Bila hal tersebut tidak ada maka
syarat pernikahan tersebut belum ada maka pernikahan tersebut tidak sah wali sendiri
dapat digantikan dan harus memenuhi syarat menjadi wali pernikahan tersebut.
Oleh sebab itu selama seorang anak belum dewasa maka kepentingan hukumnya
diwakili oleh walinya dalam hal ini orangtua juga termasuk penerima kuasa untuk
anaknya yang belum dewasa.Pada ayat (5) juga ditentukan bahwa wali bertanggung
jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. 5 Ketentuan Pasal 52 selanjutnya
mengatur, bahwa wali tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang
tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin,
kecuali apabila kepentingan anak menghendaki.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan wali lalai dalam melakukan kewajiban dan
tanggung jawab terhadap anak yang berada di bawah perwaliannya yaitu, faktor interen
(faktor penyebab yang berasal dari dalam diri wali itu sendiri, Anggapan wali terhadap
tidak pentingnya catatan harta anak yang berada di bawah perwaliannya. Kurangnya
pengetahuan dari wali terhadap kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap anak di
bawah perwaliannya.
4
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 107
5
Ibid,hal 53
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum dimana setiap hubungan hukum yang
dilakukan antara tiap individu dengan individu lainnya akan menimbulkan akibat-
akibat terkait dengan hubungan hukum yan terjadi. Perkawinan sebagai salah satu
bentuk hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita yang terjalin
didasarkan atas adanya ikatan lahir batin diantara keduanya, akan menimbulkan akibat
hukum baik bagi pasangan suami-istri tersebut maupun pada hal-hal lain dan pihak lain
yangterkait dengan perkawinan tersebut

Pencegahan perkawinan adalah usaha untuk membatalkan perkawinan sebelum


perkawinan itu berlangsung. Pencegahan perkawinan itu dapat dilakukan apabila calon
suami atau calon istri yang akan melangsungkan pernikahan berdasarkan hukum islam
yang termuat dalam pasal 13 Undang- undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu perkawinan
dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan
perkawinan.

1) Syarat pencegahan perkawianan dibagi dalam dua segi, yaitu:Syarat Materiil:


berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan.
Diantaranya yaitu tentang larangan adanya atau dilakukannya suatu perkawinan.

2) Syarat administratif: syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun


perkawinan (calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi dan wali) dan
pelaksanaan akad nikahnya.

Adapun UU pernikahan pasal 55 no1 tahun 1974 tentang pernikhan. Wali merupakan
suatu perbuatan yang dapat mewakili perbuatan hukum seseorang yang berada di bawah
perwalian dengan demikian secara hukum wali adalah penerima kuasa dibawah anak
perwalian. Dalam pasal 55 ayat 2 no1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu seorang
anak yang belum dewasa masih dibwah perwalian orangtuanya. Oleh sebab itu selama
seorang anak belum dewasa maka kepentingan hukumnya

7
DAFTAR PUSTAKA

Sophar Maru Hutagalung, 2022, Praktik Peradilan Perdata, Kepailitan dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Edisi Kedua, Sinar Grafika.
Wismayanti, Yanuar Farida, 2007, “Permasalahan dan Kebutuhan Anak yang
berkonflik dengan Hukum di Lapas Anak Blitar”. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Kesejahteraan Sosial,Kemensos R.
Amandemen UU Peradilan Agama No. 3 Tahun 2006, UU Peradilan Agama No.7
Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam, media center.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cetakan kedua, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
Amandemen UU Peradilan Agama No. 3 Tahun 2006, UU Peradilan Agama No. 7
Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam, media center.
Rasyidi, Lili, Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia,
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991.

Anda mungkin juga menyukai