Anda di halaman 1dari 22

LEGAL REASONING PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KASUS

PERCERAIAN BAWAH TANGAN DI LOMBOK BARAT

Oleh :

NAMA : Evi Varadiba


NIM : I2BO2310020

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS MATARAM
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga saya
berhasil menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah selesai tepat pada
waktunya yang berjudul “Legal Reasoning Hakim Tentang Tindak
Pidana Pencurian Dengan Pemberatan”. Makalah ini berisikan tentang
pengambilan keputusan hakim, khususnya tindak pidana pencurian
dengan pemberatan, diharapkan makalah ini dapat menambahkan
pengetahuan kita semua, bagaimana kehidupan masyarakat dan system
pemerintahan peradilan kita pada masa sekarang.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
karena itu, kritik dan saran dari guru dan teman-teman yang bersifat
membangun , selalu saya harapkan demi lebih baiknya makalah ini. Akhir
kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah
SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita.

Mataram, Deseber 2023


Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................i


KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1
A. LATAR BELAKANG ....................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH ................................................................................5
C. TUJUAN ...................................................................................................... 6
BAB II PEMBAHSAN..............................................................................................7
A. Perceraian Bawah Tangan ........................................................................8

B. Penyebab Perceraian Bawah Tangan di

Masyarakat Lombok Barat ......................................................................10

C. Tindakan Hukum Yang Perlu dilakukan..................................................12

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

D.

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada umumnya setiap manusia memiliki kebutuhan untuk

hidup bersama dalam sebuah ikatan perkawinan serta menimbulkan

kebutuhan, baik kebutuhan lahir maupun kebutuhan batin terhadap

kedua belah pihak dan menimbulkan akibat yang sangat penting

dalam masyarakat bagi kedua belah pihak, keturunanya maupun

anggota masyarakat di sekitar. Perkawinan adalah salah satu hak

yang harus didapatkan oleh setiap orang dijelaskan dalam Pasal 28B

ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Bab III bagian kedua

mengenai Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, bahwa setiap

orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah dan dalam Pasal 10 ayat (2) bahwa

perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas

antara calon suami dan calon isteri yang bersangkutan sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan khususnya Bab I tentang Dasar Perkawinan yang pada

intinya menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

1
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam Pasal 2 Inpres

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam khususnya Bab

II tentang Dasar-Dasar Perkawinan, perkawinan menurut Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan

untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah suatu

ibadah. Perkawinan merupakan salah satu hal yang bernilai ibadah

bagi tiap individu yang melakukanya, perkawinan sebagai ibadah yang

harus dengan rukun dan syarat-syarat serta segala ketentuan yang

sudah diterapkan dalam norma-norma agama maupun dalam

peraturan perundang-undangan yang sudah sejak lama berlaku di

Negara Indonesia.

Perkawinan merupakan salah satu kepentingan guna

menjadi wadah dalam membangun suatu hubungan keluarga serta

melangsungkan keturunan, perkawinan tidak hanya sebatas

kebahagiaan kehidupan di dunia, namun yang lebih penting adalah

untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Perkawinan tidak semata-

mata dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memenuhi syarat sahnya

perkawinan, syarat sah perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan

ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

yang pada intinya perkawinan yang sah apabila dilakukan dengan

hukum agamanya masing-masing dan tiap perkawinan harus

dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2
Dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam sahnya perkawinan apabila

dilakukan menurut Hukum Islam yang berlaku. Dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat tujuan

perkawinan yaitu membentuk keluarga yang kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang

sakinah, mawadah, dan warahmah. Pada kenyataanya banyak

perkawinan yang tidak dapat mewujudkan tujuan dari suatu

perkawinan, selalu ada perselisihan-perselisihan yang ditimbulkan

dalam sebuah keluarga dan apabila perselisihan-perselisihan tersebut

tidak bisa diselesaikan antara kedua belah pihak, maka perselisihan

tersebut menimbulkan perceraian. Putusnya perkawinan diatur dalam

Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

khususnya pada Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan Serta

Akibatnya yaitu: kematian,perceraian, dan Atas putusan pengadilan.

Perceraian adalah putusnya hubungan perkawinan antara

suami dan isteri dan menurut Islam cerai atau talaq adalah putusnya

hubungan perkawinan antara suami dan isteri sementara maupun

untuk selamanya. menurut istilah talaq adalah melepaskan hubungan

perkawinan dengan cara suami mengucapkan secara sukarela kalimat

talaq kepada isterinya dengan keadaan sadar dan dengan kata-kata

yang jelas. Perceraian tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa ada

3
alasan-alasan yang kuat untuk dilakukanya perceraian dan alasan-

alasan perceraian tersebut diatur dalam Pasal 19 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya pada

Bab V tentang Tata Cara Perceraian, yang pada intinya ada beberapa

faktor yang mempengaruhi perceraian antara lain salah satu pihak

berbuat zina, menjadi pemabuk dan lain sebagainya yang sukar

disembuhkan, salah satu pihak meninggalkan selama 2 (dua) tahun,

salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, adanya

kekerasan dalam rumah tangga, tidak dapat menjalankan kewajiban

sebagaimana suami dan isteri, dan adanya perselisihan terus

menerus dalam rumah tangga.

Dalam Pasal 116 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam khususnya Bab XVI tentang Putusnya

Perkawinan bagian kesatu umum, alasan-alasan perceraian ditambah

dengan suami melanggar taklik talaq dan peralihan agama atau

murtad. Perceraian harus dilakukan di pengadilan sesuai dengan yang

telah ditetapkan dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya pada Bab VIII tentang

Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya yang pada intinya perceraian

hanya dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan tidak

bisa mendamaikan kedua belah pihak, demikian juga menurut Pasal

115 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

4
khususnya pada Bab XVI tentang Putusnya xvi Perkawinan bagian

kesatu umum pada intinya menyebutkan perceraian untuk yang

beragama Islam hanya dapat dilakukan di Pengadilan Agama. Pada

kenyataanya tidak semua orang melakukan perceraian melalui

pengadilan melainkan melakukan perceraian di bawah tangan,

contohnya pada Kabupaten Lombok Barat, berdasarkan hasil apa

yang terlihat di Kabupaten Lombok Barat banyak masyarakatnya yang

melakukan perceraian di bawah tangan. Adapun tatacaranya hanya

mengucapkan talaq hingga talaq ke 3 dan hubungan perkawinan

tersebut sudah putus tanpa adanya putusan dari pengadilan dan talaq

tersebut dilakukan di rumah kepala desa serta dihadiri keluarga kedua

belah pihak untuk dijadikan saksi dan setelah talaq tersebut selesai

kemudian harta gono gini dan hak anak serta hal lain diselesaikan

dengancara musyawarah. Hal tersebut mengakibatkan banyak hak-

hak dari anak dan isteri yang tidak didapatkan seperti yang tertera

pada peraturan perundang-undangan, contohnya hak asuh anak, hak

yang didapatkan isteri setelah becerai dan pembagian harta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan maslah

dari tulisan ini adalah:

1. Apa yang melatar belakangi masih maraknya perceraian bawah

tangan di Lombok

5
2. Bagaimana upaya pemerintah khususnya pihak terkait dalam

menanggulangi kasus perceraian bawah tangan ini

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari tulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui apa penyebab utama masih tingginya kasus

perceraian bawah tangan di Lombok Barat.

2. Menganalalisa apa upaya yang perlu dilakukan pemerintah

khususnya peradilan agama dalam menanggulangi kasus

perceraian bawah tangan.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perceraian Bawah Tangan

1. Pengetian Perceraian di Bawah Tangan

Pengertian cerai dalam bahasa arab disebut Thalak diambil

dari kata “ithlaq” artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Thalak

secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang. Istilah ini

dipergunakan syari‟ah untuk menunjukkan cara cara yang sah untuk

mengakhiri suatu perkawinan (Rahman, 2006: 304). Perkataan “talak”

dan “furqah‟ dalam istilah fiqih mempunyai arti yang umum dan arti

yang khusus. Arti yang umum, ialah segala macam bentuk perceraian

yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim dan

perceraian yang jatuh dengan sendirinya yang disebabkan

meninggalnya salah seorang suami atau isteri. Arti khusus ialah

perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja.

Perceraian di bawah tangan adalah perceraian yang

dilakukan diluar pengadilan melainkan dengan cara talaq. Secara

etimologis, talaq berasal dari kata “ithalaq” yang artinya melepaskan

atau meninggalkan, sementara secara terminologis, ada beberapa

rumuskan talaq, menurut Sayyid Sabiq talaq adalah melepas tali

ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri, Sayyib Sabiq

(Kushidayati, 2015) dan meurut Abdurrahman al-Jaziri, talaq berarti

menghilangkan akad perkawinan sehingga isteri tidak lagi halal bagi

7
suami. Abdurrahman Al-Jaziri (Afriana, 2017)Talaq tersebut tidak

sesuai dengan hukum positif, tetapi selama perceraian tersebut sudah

memenuhi syarat maka perceraian tersebut sah menurut Hukum

Islam, Menurut Kamal Muchtar (Marfuah & Erlina, 2021) ada beberapa

alasan lain yang memberikan wewenang atau hak talaq suami antara

lain;

a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab

dari pihak Indonesia waktu melaksanakan akad nikah.

b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah

dan dianjurkan membayar uang mut’ah (pemberian suka rela dari

suami kepada Indonesia) setelah suami menalak isterinya.

c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa perkawinannya

dan pada masa iddah apabila ia menalaknya.

d. Perintah-perintah menalak dalan Al-Qur’an dan Hadist banyak

ditujukan pada suami. Syarat-syarat seorang suami yang sah

menjatuhkan talaq ialah :

1) Berakal sehat

2) Telah baligh

3) Tidak karena paksaan

Perceraian menurut perspektif Hukum Islam dapat terjadi

dengan segala cara yang menunjukan berakhirnya hubungan suami

isteri dengan cara perceraian dengan kata kata, Perceraian dengan

kata kata dilakukan dengan cara suami mengucapkan kata talaq

8
kepada isteri dalam keadaan sadar. Perceraian di bawah tangan

atau perceraian di luar pengadilan istilahnya muncul menjadi

fenomena di masyarakat akibat dari pelaksanaan hukum perceraian

yang dilakukan oleh masyarakat tidak sesuai ketentuan hukum

positif. Dalam hukum Islam mensyariatkan perceraian yang

bersumber dari Al qur‟an dan Al Hadits, sehingga selama perceraian

itu telah memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan,

maka perceraian tersebut dianggap syah. Perceraian dalam

perspektif Hukum Islam dapat terjadi dengan segala cara yang

menunjukkan berakhirnya hubungan suami istri diantaranya

sebagai berikut (Afriana, 2017) :

a. Perceraian dengan kata-kata Adakalanya kata-kata yang

digunakan itu terus terang, tetapi adakalanya dengan sindiran.Yang

dengan kata terus terang yaitu kata-kata yang mudah dipahami

artinya waktu diucapkan, seperti: “engkau tertalak”, atau dengan

segala kata-kata yang diambil dari kata dasar talak. Sedangkan

kata-kata sindiran yang bisa digunakan itu berarti talak dan lainnya,

seperti: “engkau terpisah”, atau dengan kata “perkaramu ada di

tanganmu sendiri”.

b. Perceraian dengan surat Perceraian dengan menggunakan surat

dapat dijatuhkan sekalipun yang menulisnya mampu berkata-kata.

Karena suami boleh menolak istrinya dengan lafadz (ucapan),

9
iapun berhak untuk menolak melalui surat, dengan syarat suratnya

itu jelas dan terang. Misalnya: “Wahai Fulanah! Engkau tertalak”.

c. Isyarat orang bisu Isyarat orang bisu merupakan alat menjelaskan

maksud hatinya kepada orang lain. Karena itu, isyarat seperti ini

dipandang sama nilainya dengan kata-kata yang diucapkan dalam

menjatuhkan talak apabila orang bisu memberikan isyarat yang

maksudnya mengakhiri hubungan suami istri.

d. Mengirimkan seorang utusan Talak dianggap sah dengan mengirim

seorang utusan untuk menyampaikan kepada istrinya yang berada

di tempat lain bahwa ia telah ditolak. Dalam hal ini, utusan tadi

bertindak selaku orang yang menolak. Karena itu, tolaknya sah.

B. Penyebab Perceraian Bawah Tangan di Masyarakat Lombok

Barat

Kasus Perceraian di Kabupaten Lombok Barat dan

Kabupaten Lombok Utara masih tinggi. Tercatat, Angka perceraian di

tahun 2021 sebanyak 1383 kasus dan terus mengalami peningkatan

dan masih banyak kasus perceraian yang tidak dilaporkan

(https://www.medianasional.id). Jika dilihat dari apa yang dipaparkan

perceraian bawah tangan ini ditengararai oleh factor sosilisasi serta

SDM Masyarakat yang masih kurang. Jika di tilik lebih dalam

fenomena perceraian di bibawah tangan di Lombok Barat di pengaruhi

beberapa hal, antara lain sebagai berikut:

1. Agama

10
Masayarakat yang melakukan perceraian bawah tangan di

Lombok Barat yang merupakan muslim, rata-rata menganggap

bahwa perceraian yang tercatat secara hukum bukanlah sebuah

kewajiban sehingga hukum cerai itu jatuh, sehingga banyak

Masyarakat yang masih menganggap percatatan percerain tidak

terlalu penting untuk dilakukan.

2. Ekonomi

Masalah ekonomi menjadi factor utama yang dapat

mempengaruhi tidak dicatatnya perceraian. Sebabnya karena

pada masa lampau masyarakat menganggap bahwa mencatatkan

pernikahan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan harus

melalui prosedur yang rumit. Dan masyarakat zaman sekarang

terbentur dengan kebiasaan bahwa mempelai laki -laki harus

menanggung mahar dan biaya pesta perkawinan sehingga

membuat masyarakat untuk melakukan perkawinan secara agama

yang penting halal.

3. Sosial

Lombok sendiri merupakan surganya perkawinan dibawah

umur serta perceraian, sehingga perkawinan dibawah umur yang

tidak bisa dilgalkan harus melakukan pernikahan siri atau dibawah

tangan, sehingga karena perkawinannya tidak tercatat maka

perceraiannyanyapun tidak bisa didaftarkan.

4. Hukum

11
Kesadaran hukum masyarakat yang lebih baik sehingga

setiap anggota Masyarakat mengetahui, memahami, menyadari

dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan

warga masyarakat serta menghormati hak asasi manusia dalam

kehidupan sehari-hari. Kesadaran hukum masyarakat harus

dimulai dari tingkatan sosial terkecil yaitu dalam keluarga. Namun

pada kenyataannya, terkhusus di masyarakat Lombok Barat

terdapat beberapa masyarakat yang benar-benar tidak

mengetahui aturan tentang pencatatan perkawinan dan

perceraian, ada yang mengetahui aturan tersebut namun

mengabaikan, dan ada pula Masyarakat yang tidak mengetahui

hukum-hukum pencatatan namun melaksanakannya.

C. Tindakan Hukum Yang Perlu dilakukan

Lombok Barat sebagai sebuah kabupaten yang dapat

dikatakan lebih maju dibanding kabupaten lain di Nusa tenggara

Barat, dengan SDM yang ada harusnya mampu menekan angka

penomena sosia ini, melihat dari apa yang terjadi kiranya perlu

pemerintah khususnya peradilan agama beserta pihak terkait

melakukan beberapa terobosan:

1. Penyuluhan

Kita sebagai masayarakat yang bisa dikatakan

berpendidikan tidak akan pernah tau bagaimana hukum dan tata

cara perceraian tanpa membaca dan mendatangi peradilan

12
Agama. Hal tersebut menunjukkan betapa minimnya usaha

pemerintah dalam melakukan sosialisasi terkait maslah hukum

perceraian ini, yang padahal berdasarkan hukum positif Indonesia

berkaitan dengan perceraian seperti peraturan yang terdapat

dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan

Kompilasi Hukum islam telah mengatur bagaiamana bercerai

dengan prosedur yang baik dan benar. Tetapi kenyataan hukum

yang ada di masyarakat tidaklah sesuai dengan peraturan yang

ada. Hal inilah yang kemudian menjadi perhatian atas tidak

terlaksananya peraturan tersebut, sehingga ada beberapa

ketentuan perceraian yang harus diperhatikan yaitu:

a. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan persidangan

setelah pengadilan yang bersangkutan sudah berusaha dan

tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;

b. Perceraian harus dilakukan dengan cukup alasan, bahwa

antara suami dan istri tidak akan bisa hidup rukun sebagai

pasangan suami istri;

c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam

perundangan sendiri.

Sudah menjadi kewajiban sebagai pemerintah yang

diberi amanat oleh negara untuk mengawasi dan melayani warga

masyarakatnya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berkaitan

dengan kepentingan masyarakat dan menyangkut kepentingan

13
umum, sebisa mungkin pemerintahan memberikan informasi

kepada masyarakat atau pemerintah desa harus mengetahui.

Dalam kasus ini, perceraian yang terjadi dikalangan masyarakat

umum apalagi tidak melalui prosedur yang sebagaimana

mestinya, perangkat desa wajib mengambil tindakan sesuai

dengan tupoksi masing-masing. Berdasarkan hasil wawancara

tentang kasus perceraian bawah tangan yang ada di Desa

Kabupaten Lombok Barat, awal mula terjadinya kasus perceraian

dibawah tangan adalah semakin memuncaknya masalah demi

masalah yang timbul, sehingga hal tersebut membuat kedua belah

pihak mengesampingkan hukum yang berlaku.

2. Perubahan peratuan

Perubahan peraturan yang dimaksud disini adalah kiranya

pemerintah mampu melakukan beberapa terobosan mengenai

peratuan-peraturan dan pelayanan terkait masalah perkawinan

dan perceraian bawah tangan ini

a. Membuat KUA lebih pro aktif.

KUA yang ada dikecamatan terkesan hanya berkantor tanpa

memlakukan tugasnya secara lebih aktif. Masyarakat yang

masih awam masih banyak yang enggan mengunjungi KUA

untuk sekedar mencari solusi atau informasi, sehingga kiranya

KUA harusnya mampu lebih pro aktidf turun kedesa untuk

mewadahi sekaligus penyuluhan terkait hukum yang ada,

14
karena pada dasarnya hanya Sebagian kecil Masyarakat yang

mengetahui dengan pasti terkait hukum perkawianan dan

perceraian.

b. Mempermudah pengurusan administrasi

Hal lain ytang perlu dipotong dalam pengurusannyanya adalah

administrasi dan tata cara perceraian yang masih terlihat rumit

dan mahal bagi kalangan Masyarakat, dan hal tersebutlah

yang memberatkan bagi mereka untuk melakukan pengurusan

terkait perceraian tersebut, sehingga adanya kasus ini.

Misalnya Kabupaten Lombok Barat yang lumayan luas, dimana

Masyarakat yang dari daerah terpencil harus melakukan

pengurusan itu ke Kota Kabupaten, yang membutuhkan waktu

berhari-hari, dan tentunya dengan biaya yang tidak sedikit.

Kiranya pihak pemangku kewenangan dapat

mempertimbangkan hal ini untuk menjadi pertimbangan

sehingga Masyarakat bisa melaksanakan apa yang sudah

dituangkan. Hal ini bisa saja dilakukan pengurusannya di KUA

kecamatan, dan penebitan surat putusannya juga tidak

memakan waktu yang terlalu lama dengan berbagai alur

seperti saat ini.

c. Pemberian sangsi kepada pelaku

Hal lain yang menajdi indikasi penyebab masih maraknya

penomena ini adalah sangsi yang tidak jelas, terkait masalah

15
ini termasuk pernikahan dibawah tangan, dan dibawah umur.

Sangsi yang diberikan tidak terlalu memberatkan bagi pelaku

maupun pihak berwenang yang masih memberi izin apa yang

sebenarnya sudah tidak diperkankan tersebut. Hal ini Kembali

lagi kepada bagaimana kurangnya pengetahuan Masyarakat

terkait hukum yang berlaku.

16
BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas ada beberapa kesimpulan yang bisa

diambil:

1. Penyebab perceraian dibawah tangan dilombok masih tinggi

karena beberapaf faktor yaitu, Agama, Ekonomi, Sosial dan

Hukum. Hal lain juga yang menjadi penyebabnya karena

kurangnya informasi dan sosialisai terkait hukum dan penacatan

perceraian yang samapai kemasyarakat.

2. Pemerintah sangat perlu melakukan beberapa tindakan terkait

masih maraknya fenomani ini dikalangan masyarakat, mulai dari

penyuluhan, memodifikasi perutan yang efektif, dan pemberian

sangsi yang lebih jelas.

17
DAFTAR PUSTAKA

Afriana, riza devi. (2017). 済 無 No Title No Title No Title. Angewandte

Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 6(November), 5–24.

Kushidayati, L. (2015). Legal Reasoning Perempuan dalam Perkara Gugat

Cerai di Pengadilan Agama Kudus Tahun 2014. Yudisia, 6(1), 141–

159.

Marfuah, N. A., & Erlina, E. (2021). Legal Reasoning Hakim dalam

Menentukan Besaran Bagian Harta Bersama dalam Perkara

Perceraian (Studi Putusan Nomor 139/Pdt.G/2017/PA Takalar 1B).

Qadauna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Keluarga Islam, 2(1), 27–

37. https://doi.org/10.24252/qadauna.v2i1.15798

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Undang

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahann Atas UndangUndang

Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan;

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) tanggal 10 Juni 1991 No. I

Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4/MUNAS

VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama

18
https://www.medianasional.id/kasus-perceraian-dan-pernikahan-dini-

meningkat-pa-giri-menang-lobar-ajak-semua-berkolaborasi/

19

Anda mungkin juga menyukai