Anda di halaman 1dari 34

KEDUDUKAN ANAK AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN

MAKALAH

Disusun Untuk Melengkapi Salah Satu Persyaratan Kelulusan

Mata Kuliah Hukum Perdata Internasional

Oleh :

1. MAYA TIARA SARI


010117015
2. Asri Naturali MS
010117352
Kelas Ekstensi Hukum

Dosen :

1. HJ TUTI SUSILAWATI K., S.H.,M.H.


i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala,

karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang

berjudul “KEDUDUKAN ANAK AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN”.

Makalah ini saya susun guna memenuhi salah satu persyaratan Kelulusan

Mata Kuliah Hukum Perdata Internasional.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu Saya

menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saya

mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca makalah ini agar

penulis bisa menyadari kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan informasi bagi pembaca dan

bermanfaat umtuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Amin.

Bogor, 31 Maret 2020

MAYA TIARA SARI /

ASRI NATURALI MS

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR..........................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................ii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang................................................................................1

1.2. Rumusan masalah..........................................................................2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN..................3
2.1.1. Pengertian Perkawinan Campuran........................................................3
2.1.2. Putusnya Perkawinan Campuran Karena Perceraian.................5
2.2. TINJAUAN TENTANG ANAK......................................................7
2.2.1. Pengertian Anak.........................................................................7
2.2.2. Akibat Perkawinan Campuran Kedudukannya Terhadap Anak............7
2.2.3. Akibat Perceraian Campuran Terhadap Anak.....................................9

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. PENGATURAN STATUS HUKUM ANAK AKIBAT PERCERAIAN

PERKAWINAN CAMPURAN...............................................................11

3.1.1. Menurut Undang Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia...............................................11

3.1.2. Menurut Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia...............................................16

3.2. AKIBAT HUKUM PERCERAIAN PERKAWINAN CAMPURAN

ii
TERHADAP HAK ASUH ANAK...........................................................19

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan..........................................................................................26

Saran...................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan kelas

masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan dan transportasi telah

menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat

kaya da orang Indonesia.

Menurut hasil survey online yang dilakukan Indo-MC tahun 2002 dari 574

responden yang terjaring 95,19% adalah perempuan warga negara Indonesia (WNI)

yang melakukan pernikahan dengan warga negara asing (WNA). Sebagian besar

adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan

saat libur, bekas teman sekolah/kuliah dan sahabat pena.

Menurut ketentuan Pasal 57 UU no.1 tahun 1974 pengertian perkawinan

campuran didefinisikan sebagai “yang dimaksud dengan perkawinan campuran

adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaaan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewargaan Indonesia”.

Masalah perceraian termasuk dalam bidang status personal, dimana

perceraian yang dilakukan antara pasangan yang berkewarganegaraan sama

menjadi tidak masalah, tetapi menjadi kurang dan sedikit ada masalah jika pasangan

suami istri tersebut mempunyai kewarganegaraan yang berbeda. Disamping itu juga

terdapat akibat hukum lain yang ditimbulkan karena perceraian dalam perkawinan

campuran antar Warga Negara antara lain sebagai berikut(sudargo gautama,2005) :

a. Akibat terhadap Harta Benda bersama setelah kawin

1
b. Akibat terhadap Hak Perwalian anak dari hasil perkawinan campuran antar

Warga Negara

c. Akibat terhadap status kewarganegaraan anak dan masing-masing pihak

Ada kalanya perceraian dari perkawinan campuran tidak menimbulkan

masalah pada akibat hukum yang ditimbulkannya. Hal ini karena adanya

kesepakatan yang dibuat antara pihak suami dan istri baik mengenai harta bersama

setelah perkawinan dan hak perwalian anak maupun status kewarganegaraan anak

dan masing-masing pihak. Sehingga proses peradilan menjadi cepat dan tidak

berlarut-larut.

Berkaitan dengan uraian dan gambaran kasus dari perkawinan campuran antar

warga negara yang saat ini telah menjadi tren dikalangan masyarakat baik kelas

bawah maupun kelas atas, maka perlu diadakan penelitian secara normatif yang

dikaji dari bahan hukum primer dan sekunder mengenai akibat hukum perceraian

dari perkawinan campuran antar warga negara.

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bagaimanakah kedudukan anak akibat perceraian dari perkawinan

campuran?

2. Akibat Hukum Perceraian Perkawinan Campuran terhadap Hak Asuh

Anak ?

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN

2.1.1 Pengertian perkawinan campuran

Perkawinan Campuran menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah “Yang dimaksud

dalam perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua

orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan

kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu

pihak berkewarganegaraan Indonesia1.

Pada Pasal 38 UU No 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa Perkawinan dapat putus

karena :

a) Kematian, Kematian seseorang merupakan gejala alam sebagai kodrat

makhluk hidup karena kematian itu tidak dapat dihindarkan dan merupakan

suatu hal yang menyebabkan putusnya perkawinan suami-isteri yang

bersangkutan.2

b) Perceraian, Pasal 14 PP No 9 tahun 1975 menjelaskan bahwa putusnya

perkawinan karena perceraian adalah putusnya perkawinan karena

dinyatakan thalaq oleh seorang suami pada perkawinan yang

diselenggarakan menurut agama islam. 3 Dalam hal ini perceraian dilihat

sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami

1
Pasal 57 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
2
Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Cetakan ke II, Badan Penerbit FH UI,
Jakarta, 2004, hlm . 103.
3
Pasal 14 PP No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1975 tentang Perkawinan

3
istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang

berlaku.

c) Atas keputusan Pengadilan, yaitu berakhirnya perkawinan yang didasarkan

atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 4

Menurut GHR Yang dinamakan perkawinan campuran ialah perkawinan antara

orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan 5. Yang

dimaksud hukum yang berlainan, adalah disebabkan karena perbedaan

kewarganegaraan, tempat, golongan dan agama. Dengan adanya pembatasan pada

perbedaan kewarganegaraan itu, maka perkawinan antara dua orang yang berlainan

golongan (umpamanya; Bumi putera dan Timur Asing) atau berlainan agama

(umpama: Islam dan Kristen) tapi sama-sama warganegara Indonesia, tidak

merupakan Perkawinan Campuran menurut Undang-Undang Perkawinan, yang

menurut G.H.R adalah perkawinan campuran. Dengan berlakunya Undang-Undang

Perkawinan No.1 Tahun 1974 maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam GHR

dimaksud telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku.

Adapun yang disebut dengan perkawinan internasional yaitu suatu perkawinan

yang mengandung unsur asing. Unsur asing tersebut bisa berupa seorang mempelai

mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua

mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di

negara lain atau gabungan kedua-duanya 6.

Berdasarkan rumusan tersebut perkawinan campuran yang dimaksud oleh

undang-undang perkawinan di atas dapat disimpulkan unsur-unsur perkawinan

campuran antara lain :

4
Pasal 38 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
5
Pasal 1 Regeling op de Gemengde Huwalijken S. 1898 No. 158, yang terkenal dengan singkatan G.H.R
6
Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International Suatu Orientasi, (Jakarta,
Raja GrafindoPersada, 1997, Halaman 36

4
a) Perkawinan antara pasangan yang tunduk pada hukum perkawinan yang

berbeda karena berbeda kewarganegaraan.

b) Salah satu pihak adalah warga negara indonesia (WNI).

c) Pihak lainnya bukan warga negara indonesia (WNA).

d) Perkawinan dilangsungkan di Indonesia atau dilangsungkan di luar negeri

(pasal 56 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan).

2.1.2 Putusnya Perkawinan Campuran Karena Perceraian

Perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari

kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam hal ini

perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana

pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum

yang berlaku (Erna, 1999). Atau dengan kata lain perceraian merupakan terputusnya

keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling

meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami

istri.

Mereka yang melakukan perkawinan campuran sesuai dengan pasal 57 UU

No. 1 tahun 1974 apabila hendak melakukan perceraian maka tunduk pada UU No.

1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975 untuk pengadilan negeri (bagi yang non

muslim), dan ditambah dengan kompilasi hukum islam serta UU No. 7 tahun 1989 jo.

UU No. 3 tahun 2006 tentang peradilan agama bila perkara diajukan melalui

pengadilan agama (bagi yang muslim). Alasan-alasan perceraian diatur dalam pasal

19 PP No. 9 tahun 19757 :

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan

lain sebagainya yang sulit disembuhkan.


7
Abdul Kadir Muhammad, hukum perdata indonesia, citra aditya bakti, hlm. 109

5
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar

kemampuannya.

c) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dari hal-hal diatas putusnya perkawinan campuran karena perceraian

tersebut akan membawa suatu konsekuensi hukum, salah satunya adalah mengenai

status anak dari perkawinan campuran tersebut.

Maka ditentukan dalam pasal 58, bahwa orang yang melakukan perkawinan

campuran itu, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat

pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan

dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang telah berlaku. 8

2.2 TINJAUAN TENTANG ANAK

2.2.1 Pengertian Anak

8
K. Wantjik Saleh S.H. 1980. Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Hlm. 45-46

6
Definisi anak dalam pasal 1 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam hukum perdata, diketahui

bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2

KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat

menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan

dalam keadaan hidup9. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau

kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain 10. Dengan

demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap

melakukan perbuatan hukum, karena anak yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun.

2.2.2 Akibat Perkawinan Campuran Kedudukannya terhadap anak

Anak yang lahir dari orang tua yang melakukan perkawinan campuran memiliki

kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda

sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU

Kewarganegaraan yang lama yaitu UU No. 62 tahun 1958 bahwa anak hanya

mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan

yang baru yaitu UU No. 12 tahun 2006 bahwa anak akan memiliki dua

kewarganegaraan, dalam artian bisa mengikuti kewarganegaraan bapak atau

ibunya.

Anak yang lahir dari orang tua yang melakukan perkawinan campuran, dengan

perkawinan yang sah sama-sama diakui sebagai warga negara indonesia. Sebelum

berusia 18 maka ia mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun apabila setelah


9
Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata: Suatu Pengantar,
Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005, hlm.21
10
Lihat ketentuan dalam KUHPerdata pasal 1330

7
berusia 18 tahun maka anak berhak menentukan sendiri kewarganegaraannya.

Pada pasal 1b UU No 62 tahun 1958 menyatakan WNI adalah orang yang pada

waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya

seorang WNI, dengan pengertian hubungan kekeluargaan itu diadakan sebelum

anak itu berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin dibawah 18 tahun. Hal ini berarti

Indonesia berdasarkan UU tersebut menganut asas ius sanguinis (keturunan),

sehingga bila terjadi perkawinan antara WNI dengan WNA, maka anak-anaknya

mengikuti kewarganegaraan ayahnya.11

Adapun Asas-asas dalam menentukan kewarganegaraan yang dianut dalam

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 ini sebagai berikut 12 :

1) asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan

kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan

negara tempat kelahiran

2) asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan

kewarganegaraan seseorang berdasarkan Negara tempat kelahiran, yang

diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur

dalam undang-undang

3) asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu

kewarganegaraan bagi setiap orang

4) asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan

kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam undang-undang.

11
Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 326.
12
Penjelasan UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

8
Pasal 4 huruf d UU Nomor 12 tahun 2006 yang menerangkan bahwa warga

negara Indonesia adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang

ayah Warga Negara Asing dan Ibu Warga Negara Indonesia 13.

2.2.3 Akibat Perceraian Perkawinan Campuran Terhadap Anak

Disini apabila terjadi perceraian terhadap orang tua yang melakukan

perkawinan campuran, maka masalah terhadap pengurusan terhadap anak menjadi

masalah. Dalam pasal 41 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, menegaskan

bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu 14 :

1) baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-

anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada

perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan

keputusan.

2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak

dapat memenuhi kewaijban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa

ibu ikut memikul biaya tersebut

Berdasarkan kedua ketentuan diatas, dapat terlihat meskipun masing-masing

pihak telah bercerai namun tanggung jawab dalam hal pengasuhan anak berada

pada kedua pihak, sedangkan pembiayaan bekas suamilah yang paling bertanggung

jawab, sehingga dengan tanggung jawab inilah masa depan anak dapat terjamin,

karena segala sesuatunya yang terpenting adalah kepentingan terbaik si anak.

13
Pasal 4 huruf d UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
14
Purnadi purbacaraka & Agus Brotosusilo, sendi-sendi hukum perdata internasional (suatu orientasi), cetakan
kedua, jakarta: rajawali, 1989, hlm. 17

9
BAB III

PEMBAHASAN

10
3.1. PENGATURAN STATUS HUKUM ANAK AKIBAT PERCERAIAN

PERKAWINAN CAMPURAN

3.1.1. Menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan

Republik Indonesia

Pasal 1b UU 62/1958 menyatakan, WNI adalah orang yang pada waktu

lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya seorang WNI,

dengan pengertian hubungan kekeluargaan itu diadakan sebelum anak itu berumur

18 (delapan belas) tahun atau sebelum ia kawin di bawah 18 (delapan belas) tahun.

Hal ini berarti Indonesia berdasarkan UU No 62/1958 menganut asas ius sanguinis

(keturunan), sehingga bila terjadi perkawinan antara WNI dengan WNA, maka anak-

anak akan mengikuti kewarganegaraan ayahnya 15.

Dari pengertian tersebut dapat ditarik adanya masalah Hukum Perdata

Internasional (HPI) yaitu adanya unsur asing dalam perkawinan campuran. Hal itu

disebabkan karena adanya perbedaan kewarganegaraan antara suami dan istri.

Dilihat dari segi Hukum Perdata Internasional, Indonesia menganut asas/prinsip

nasionalitas atau prinsip kewarganegaraan dalam menentukan kewarganegaraan

seseorang. Asas/prinsip ini berdasarkan pada Pasal 16 Algemene Bepaligen van

Wetgeving (AB)16, yang isinya menyatakan bagi WNI dimanapun ia berada akan

berlaku hukum nasional Indonesia. Hal ini berlaku secara analogi bagi orang asing

yang berada di Indonesia.

Dalam hal kewarganegaraan yang diterima anak-anak dalam Undang- Undang

ini terdapat pengecualiannya. Kekecualiannya itu ialah apabila negara asing si ayah

tidak memberikan kewarganegaraan bagi anak-anak yang dilahirkan, sehingga anak

15
Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing (Bandung : Alumni, 1992), hlm.326
16
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet.5, (Bandung : Binacipta, 1987), hlm. 68.

11
menjadi “stateless”, “apatride”, tanpa kewarganegaraan. Dalam hal terjadi seperti itu,

karena dalam Undang-Undang ini tidak mengenal adanya stateless/apatride maka

ibu si anak dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar si anak

menjadi WNI mengikuti kewarganegaraan ibunya. Hal itu juga diberlakukan apabila

perkawinan kedua orang tuanya putus karena perceraian.

Pasal 3 UU 62/1958, memberi kemungkinan bagi si ibu untuk memohonkan

kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya. Permohonan tersebut baru boleh

diajukan dalam waktu 1 (satu) tahun sesudah anak yang bersangkutan berumur 18

(delapan belas) tahun kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri atau

Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya. Setelah itu Menteri

Kehakiman mengabulkan atau menolak permohonan itu denganpersetujuan Dewan

Menteri dan kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh atas permohonan

itu mulai berlaku pada hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman.

Ketentuan yang diatur di dalam Pasal 3 Undang-Undang ini, terdapat

kelemahan karena dengan adanya ketentuan tersebut maka si anak sampai umur 18

(delapan belas) tahun berada dalam keadaan tidak menentu, menghadapi

kemungkinan di deportasi ke luar negeri. Hal ini disebabkan karena si anak sebelum

berumur 18 (delapan belas) tahun merupakan warga negara asing. Bagi si anak

akan diberlakukan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian 17

dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan

Keimigrasian18 jo Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2005 tentang Perubahan

17
Indonesia, Undang-Undang tentang Keimigrasian, UU No. 9 tahun 1992, LN No. 33 tahun 1992, TLN No. 3474. Untuk
selanjutnya cukup disebut UU 9/1992.
18
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Visa, Izin Masuk, dan Keimigrasian, PP No. 32 tahun 1994, LN No. 55 tahun
1994, TLN No. 3563. Untuk selanjutnya cukup disebut PP 32/1994.

12
atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan

Keimigrasian19.

Kedudukan anak dalam PP No.32/1994 diatur dalam Pasal 45 dan 46. Pasal

45 menyatakan bahwa Anak yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan

belum kawin dapat mengikuti status Izin Tinggal orang tuanya. Selanjutnya anak

yang lahir di Indonesia berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin

dari ibu warga negara Indonesia dan ayahnya tidak atau belum memiliki Izin

Keimigrasian, dapat diberikan Izin Tinggal Terbatas.

Pada Pasal 46 intinya mengenai Izin Tinggal yang diberikan untuk anak,

diberikan setelah anak tersebut berada secara sah atau lahir di wilayah Republik

Indonesia. Apabila ketentuan-ketentuan tersebut di atas dilanggar, maka

berdasarkan Pasal 42 UU 9/1992, orang asing tersebut dapat dideportasi ke luar

Indonesia.

Ketentuan-ketentuan keimigrasian tersebut mencerminkan ketidakadilan bagi

anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan perempuan warga negara Indonesia

dengan laki-laki asing. Anak-anak hanya akan memperoleh Izin Tinggal Terbatas

karena statusnya orang asing sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Hal ini

rentan sekali terhadap bahaya dideportasi ke luar negeri. Dalam PP 32 Tahun 1994

menyatakan bahwa Izin Tinggal Terbatas itu jangka waktunya 1 (satu) tahun dan

perpanjangan Izin Tinggal Terbatas tersebut dapat dilakukan paling banyak 5 (lima)

kali berturut-turut namun hal tersebut berubah dengan adanya PP 18 Tahun 2005

maka Izin Tinggal Terbatas jangka waktunya menjadi 2 (dua) tahun dan dapat

diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali berturut-turut.

19
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peratiuran Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin
Masuk, dan Keimigrasian, PP No. 18 tahun 2005, LN No. 40 tahun 2005. Untuk selanjutnya cukup disebut PP 18/2005.

13
Dalam ketentuan UU 62/1958, anak yang lahir dari perkawinan campuranbisa

menjadi WNI dan bisa menjadi WNA20:

 Menjadi WNI

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita WNA

dengan pria WNI (Pasal 1 huruf b UU 62/1958), maka kewarganegaraan anak

mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si

anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.

 Menjadi WNA

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita WNI dengan

pria WNA. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing

sehingga harus dibuatkan paspor di kedutaan besar ayahnya, dan dibuatkan

kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya

pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu

untuk mengasuh anaknya, walaupun pada Pasal 3 UU 62/1958 dimungkinkan

bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan

Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah

pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.

UU 62/1958 menganut asas kewarganegaraan tunggal dan anti apatride.Jadi

seseorang tidak diperkenankan memiliki dwi kewarganegaraan, karena itu orang tua

harus menentukan kewarganegaraan anaknya menjadi WNA atau WNI.Masih terkait

dengan kewarganegaraan anak, dalam UU 62/1958, hilangnyakewarganegaraan

ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki

20
“Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Hukum Indonesia.”
<http://www.jurnalhukum.blogspot.com/2006/oj>, 18 (delapan belas) Februari 2008.

14
hubungan hukum dengannya dan belum dewasa/belum berusia 18 (delapan belas)

tahun atau belum menikah. Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan

kewarganegaraan anak yang belum dewasa/belum berusia 18 (delapan belas) tahun

atau belum menikah menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan

hukum dengan ayahnya).

UU 62/1958 tersebut secara filosofis, yuridis, dan sosiologis sudah tidaksesuai

lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia.

Secara filosofis, Undang-Undang tersebut masih mengandung ketentuan-ketentuan

yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena bersifat

diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga

negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-

anak. Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan Undang-Undang

tersebut adalah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang sudah tidak

berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada

Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan yang lebih

menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara.

Secara sosiologis, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi

denganperkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari

masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya

persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta

adanya kesetaraan dan keadilan gender. Hal tersebut juga seiring dengan telah ikut

sertanya Indonesia dalam meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

tanggal 18 Desember 1979 mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination Of All Forms Of

15
Discrimination Against Women/CEDAW) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1984, tanggal 24 Juli 1984, yang mewajibkan negara-negara peserta memberi

kepada perempuan hak yang sama dengan laki-laki berkenaan dengan

kewarganegaraan anak-anak mereka.Dengandemikian perlunya UU

Kewarganegaraan baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

ketatanegaraan Republik Indonesia, maka lahirnya UU 12/2006 pengganti dari UU

62/1958 merupakan suatu langkah maju dalam hal pengaturan mengenai

kewarganegaraan Republik Indonesia.

3.1.2. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia

Dalam penjelasan umum UU 12/2006 memuat asas-asas

kewarganegaraanumum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam

Undang-Undang ini sebagai berikut :

1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan

kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan

negara tempat kelahiran.

2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan

kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang

diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur

dalam Undang-Undang ini.

3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu

kewarganegaraan bagi setiap orang.

16
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan

kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda

(bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda

yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu

pengecualian. UU Kewarganegaraan yang baru ini tetap menganut asas

kewarganegaraan tunggal, dan juga tidak menginginkan terjadinya tanpa

kewarganegaraan (apatride). Kewargangeraan ganda (bipatride), yang diberikan

kepada anak-anak dalam Undang-Undang ini, adalah kewarganegaraan ganda

terbatas, terbatas karena nantinya setelah anak-anak berusia 18 (delapan belas)

tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu

kewarganegaraannya.

Pada dasarnya menurut UU 12/2006 seorang anak yang dilahirkan di dalam

suatu perkawinan campuran tanpa memperdulikan status si ayah WNI dan ibu WNA

atau ayah WNA dan ibu WNI atau si ayah apatride atau negara si ayahtidak

memberikan kewarganegaraan kepada si anak, anak itu tetap dapat memperoleh

status WNI. Pada Pasal 25 UU 12/2006 hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu

(apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara

otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.

Mengenai persoalan status anak hasil perkawinan campuran, Undang undang

nomor 12 tahun 2006 ini telah memberi jalan keluar yang dirasa sangat

menguntungkan bagi Ibu Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Ayah

Warga Negara Asing. Sesuai dengan ketentuan dalam Undang undang nomor 12

tahun 2006 anak yang dilahirkan oleh perempuan Warga Negara Indonesia yang

17
menikah dengan laki-laki Warga Negara Asing, memperoleh status

kewarganegaraan yaitu Warga Negara Indonesia. Hal ini berarti status anak tidak

mengikuti status kewarganegaraan ayahnya, tercantum dalam pasal 4 huruf d UU

Nomor 12 tahun 2006 yang ditulis sebagai berikut : “warga negara Indonesia adalah

anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing

dan Ibu Warga Negara Indonesia.21

Tidak hanya mengatur status kewarganegaraan anak hasilperkawinan yang

sah, Undang undang nomor 12 tahun 2006 juga mengatur statuskewarganegaraan

anak luar kawin yang diakui ayah Warga Negara Asing. Hal initercantum dalam

pasal 5 ayat (1) yaitu sebagai berikut : “Anak Warga Negara Indonesia yang lahir

diluar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum

kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui

sebagai Warga Negara Indonesia”.22

Bila negara sang Ayah yangberkewarganegaraan asing tersebut menganut

asas ius sanguinis, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut mempunyai

kewarganegaraan ganda. Ketentuanhukum mengenai hal ini juga sudah diatur

dalam pasal 6 ayat (1), (2) dan (3) UUnomor 12 tahun 2006. Dalam ketentuan

tersebut nampak bahwa Indonesia memberidua kewarganegaraan terbatas bagi

anak-anak yang lahir dari pernikahan campurankhususnya bagi anak yang

ketentuan negara ayahnya menganut asas ius sanguinis iniberarti anak-anak

tersebut mendapatkan dua kewarganegaraan ayah dan ibunya,sampai berumur 18

tahun. Setelah itu, mereka harus menentukan kewarganegaraanyang akan

dipilihnya. Ini berarti hak wanita yang menikah dengan pria asing, sebagaiwarga

negara Indonesia diakui dan dilindungi pemerintah. Nasib anak-anak juga jadilebih

21
UU No.12 tahun 2006 Pasal 4 huruf d
22
UU No.12 tahun 2006 Pasal 5 ayat (1)

18
jelas.

Bila anak yang berkewarganegaraan ganda terbatas ini mengalamimasalah

berkaitan dengan kewarganegaraannya maka untuk menentukkan

statuspersonalnya akan dipakai kewarganegaraan yang nyata dan efektif.

Maksudnyakewarganegaraan mana yang lebih efektif digunakan si anak dalam

kehidupan sehari-hari. Ini berkaitan dengan tempat ia tinggal, hubungan

kekeluargaan dan sebagainya.Bila ternyata salah satu orang tua meninggal, hukum

warisan yang berlaku untukanak berkewarganegaraan ganda terbatas adalah

Hukum Nasional si pewaris saat ia meninggal.

3.2. Akibat Hukum Perceraian Perkawinan Campuran terhadap Hak Asuh Anak

Ketentuan Undang undang nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan

memberikan jalan keluar bagi anak hasil perkawinan campuran antar warga negara,

yakni memberikan kewarganegraan ganda sampai dengan anak usia 18 tahun

seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 dan juga mengakomodir kepentingan

seorang ibu Warga Negara Indonesia yang ingin mengasuh anak kandungnya hasil

dari perkawinan campuran dinegaranya sendiri tanpa dibebani dengan kewajiban-

kewajiban yang memberatkan oleh Negara. Hal tersebut terutama bila terjadi

perceraian. Dalam UU nomor 12 tahun 2006 tidak diatur mengenai perwalian,

sehingga apabila terjadi perceraian dalam perkawinan campuran antar warga

negara maka diproses melalui pengadilan dan mengenai hak perwalian diputus oleh

hakim.

Undang-undang ini menggariskan bahwa Indonesia menganut asas ius

sanguinis patriarkal. Artinya, anak yang lahir dari perkawinan ibu WNI dan ayah

WNA otomatis mengikuti kewarganegaraan sang ayah.

19
Sementara itu, pewarganegaraan anak WNA untuk menjadi WNI hanya bisa

setelah si anak berusia 18 tahun. Setiap tahunnya bila keluarga perkawinan

campuran itu tinggal di Indonesia, anak-anak yang dilahirkan harus terus-menerus

berurusan dengan pihak imigrasi. Tiap tahunnya, mereka harus memperpanjang

KITAS. Rumitnya masalah keimigrasian untuk anak yang lahir dari perkawinan

campuran ini sama ruwetnya pada saat orang tua mereka harus mengurus

perceraian. Penentuan hak asuh anak ada di pengadilan agama/ pengadilan negeri.

Bila ibu memenangkan hak asuh, sang Ibu tak bisa langsung berlega hati. Masih

ada upaya dari ayah WNA untuk naik banding kasasi ke tingkat pengadilan lebih

tinggi.

Pada tahun 2006 lalu terbit UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Indonesia. Sesuai UU Kewarganegaraan 2006, anak-anak yang lahir setelah

Agustus 2006, otomatis mendapatkan kewarganegaraan ganda. Setelah usia 18

dengan masa tenggang hingga tiga tahun, barulah si anak diharuskan memilh

kewarganegaraan yang mana yang akan dipilihnya. Jika terjadi perceraian maka ibu

dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan anak dengan berdasarkan pada

ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Bahwa negara Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya,

termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.

Adapun kutipan Pasal 29 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, 

sebagai berikut:23

(1)    Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan warga

negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh

23
Pasal 29 UU No.23 Tahun 2002

20
kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(2)    Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1), anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada

dalama pengasuhan salah satu dari kedua orangtuanya.

(3)    Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat(2),

sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya

berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas

permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan

Republik Indonesia bagi anak tersebut.

Apabila ternyata terjadi perceraian dalam perkawinan campur yang berbeda

kewarganegaraan, maka anak memiliki hak untuk memilih pengasuhan orangtua.

Demi hukumnya maka anak yang masih di bawah umur  otomatis akan mengikuti ibu

dan mendapat kewarganegaraan Indonesia.

Namun jika anak lahir sebelum terbitnya UU No 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan, maka anak tersebut harus dilaporkan terlebih dahulu ke pihak

yang berwenang agar bisa mendapat kewarganegaraan Indonesia. Ada baiknya

pada saat mengambil keputusan bercerai, pasangan yang akan bercerai membuat

kesepakatan baik mengenai harta bersama setelah perkawinan dan hak perwalian

anak maupun status kewarganegaraan anak dan masing-masing pihak. Sehingga ke

depannya tidak menimbulkan masalah pada akibat hukum yang ditimbulkannya.

21
Apabila dihubungkan dengan pasal 41 UU No.1 Tahun 1974 mengenai akibat

putusnya perkawinan karena perceraian ialah : 24

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-

anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada

perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi

keputusannya;

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak

dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa

ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya

penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Dan berdasarkan Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974: 25

1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya.

2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku

sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku

terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Serta berdasarkan Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974: 26

24
Pasal 41 UU No.12 Tahun 2006
25
Pasal 45 UU No.1 tahun 1974
26
Pasal 47 UU No.1 tahun 1974

22
1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau

belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan

orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum

di dalam dan di luar Pengadilan.

Berdasarkan Pasal 48 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa: “Orang tua tidak

diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang

dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu

menghendakinya.”27

Berdasarkan pasal 229 KUHPerdata, bahwa: “Setelah memutuskan

perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orangtua atau

keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang dibawah umur, Pengadilan

Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orangtua akan melakukan perwalian atas

tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orangtua itu dipecat atau dilepaskan dari

kekuasaan orangtua, dengan mengindahkan putusan-putusan Hakim terdahulu yang

mungkin memecat atau melepas mereka dari kekuasaan orangtua.

Penetapan ini tidak berlaku sebelum hari putusan perceraian perkawinan itu

memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Sebelum itu tidak usah dilakukan

pemberitahuan, dan tidak boleh dilakukan perlawanan atau banding.

Terhadap penetapan ini, bapak atau ibu yang tidak diangkat menjadi wali boleh

melakukan perlawanan, bila dia tidak hadir atas panggilan yang dimaksud dalam

27
Pasal 48 UU No.1 tahun 1974

23
alinea pertama. Perlawanan ini harus dilakukan dalam waktu tiga puluh hari setelah

penetapan itu diberitahukan kepadanya.

Bapak atau ibu yang setelah hadir atas panggilan tidak diangkat menjadi

wali,atau yang perlawanannya ditolak, dalam tiga puluh hari setelah hari termasuk

dalam alinea kedua, dapat naik banding mengenai penetapan itu.

Alinea keempat Pasal 206 berlaku terhadap pemeriksaan para orangtua.” 28

Jadi, penentuan hak asuh anak yang diberikan adalah berdasarkan Pasal 41

UU No. 1 Tahun 1974, akan diberikan kepada orang tua bersama (joint custody)

hanya bila ada perselisihan mengenai penguasaannya maka pengadilan akan

memutuskan kepada siapa hak asuh akan diberikan. Namun, patokan baik oleh

Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama akan memperhatikan kepentingan

terbaik bagi anak. Di Pengadilan Negeri tidak ada pengaturan yang tegas mengenai

hak asuh, namun anak yang masih kecil akan diberikan kepada pihak ibu. Dan untuk

pemberian nafkah terhadap anak tetap merupakan kewajiban sang ayah.

Kesimpulan:

- Kedua orang tua tetap berhak mengasuh dan memelihara anak yang

dihasilkan dari perkawinan mereka berdasarkan kepentingan si anak,

tetapi apabila terjadi perselisihan, maka Pengadilan akan memutuskan

dan menentukan siapakah yang lebih berhak untuk mengasuh si anak;

- Ayah bertanggung jawab secara financial atas seluruh kebutuhan si anak,

dan apabila Ayah nya tidak dapat memenuhhi kewajibannya, maka

28
Pasal 229 KUHPerdata

24
Pengadilan dapat menentukan apakah si Ibu dapat ikut memberikan

nafkah Finansial bagi si Anak atau tidak.

25
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Perkawinan campuran merupakan perkawinan antara dua orang yang di

Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan

dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan campuran bukan merupakan suatu

perkawinan antara dua orang yang berlainan agama atau hal lainnya, namun yang di

maksud dengan perkawinan adalah perkawinan antara wanita dan laki-laki yang

berbeda kewarganegaraannya.

Mereka yang melakukan perkawinan campuran sesuai dengan pasal 57 UU

No. 1 tahun 1974 apabila hendak melakukan perceraian maka tunduk pada UU No.

1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975 untuk pengadilan negeri (bagi yang non

muslim), dan ditambah dengan kompilasi hukum islam serta UU No. 7 tahun 1989 jo.

UU No. 3 tahun 2006 tentang peradilan agama bila perkara diajukan melalui

pengadilan agama (bagi yang muslim). Perceraian pada perkawinan campuran ini

tentu berdampak pula pada status anak. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang

lama yaitu UU No. 62 tahun 1958 bahwa anak hanya mengikuti kewarganegaraan

ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru yaitu UU No. 12

tahun 2006 bahwa anak akan memiliki dua kewarganegaraan, dalam artian bisa

mengikuti kewarganegaraan bapak atau ibunya. Namun setelah anak menginjak

umur 18 tahun, maka anak tersebut bisa memilih sendiri kewarganegaraannya.

Selain itu mengenai pengasuhan anak, kedua orang tua tetap berhak

mengasuh dan memelihara anak yang dihasilkan dari perkawinan mereka

26
berdasarkan kepentingan si anak, tetapi apabila terjadi perselisihan, maka

Pengadilan akan memutuskan dan menentukan siapakah yang lebih berhak untuk

mengasuh si anak. Ayah bertanggung jawab secara financial atas seluruh

kebutuhan si anak, dan apabila Ayah nya tidak dapat memenuhhi kewajibannya,

maka Pengadilan dapat menentukan apakah si Ibu dapat ikut memberikan nafkah

Finansial bagi si Anak atau tidak.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang sudah dikemukakan oleh kelompok kami, kami

memberikan saran bahwa pada dasarnya anak adalah subjek hukum yang belum

cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua

atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil

perkawinan campuran dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan,

memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya,

karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil

perkawinan campuran. Sehingga kedudukan anak akibat perkawinan campuran ini

akan memiliki 2 (dua) kewarganegaraan. Untuk masalah anak yang memiliki dua

kewarganegaraan, saran dari kelompok kami adalah setelah anak berusia 18 tahun

atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih

tersebut harus disampaikan kepada KJRI (Kantor Jenderal Republik Indonesia) atau

Perwakilan RI terdekat dari tempat tinggal pemohon, yang diserahkan paling lambat

3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Sehingga anak

tersebut memiliki kewarganegaraan yang berlandaskan hukum.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

4. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

5. UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian

6. PP No. 32 tahun 1994 tentang visa izin masuk dan izin keimigrasian.

7. PP No. 18 tahun 2005 tentang perubahan atas peraturan PP No.32 tahun 1994

8. PP No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun

1975 tentang Perkawinan.

9. Regeling op de Gemengde Huwalijken S. 1898 No. 158, yang terkenal dengan

singkatan G.H.R

10. Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia,

Cetakan ke II, Badan Penerbit FH UI, Jakarta, 2004

11. Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata

International Suatu Orientasi, Jakarta, Raja GrafindoPersada, 1997.

12. Abdul Kadir Muhammad, hukum perdata indonesia, citra aditya bakti

13. K. Wantjik Saleh S.H. 1980. Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia,

Jakarta.

14. Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum

Perdata: Suatu Pengantar, Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005.

15. Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, Alumni, Bandung, 1992.

16. Purnadi purbacaraka & Agus Brotosusilo, sendi-sendi hukum perdata

internasional (suatu orientasi), cetakan kedua, jakarta: rajawali, 1989

28
17. Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing (Bandung : Alumni, 1992).

18. Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet.5,

(Bandung : Binacipta, 1987)

19. “Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Hukum

Indonesia.” <http://www.jurnalhukum.blogspot.com/2006/oj>, 18 (delapan

belas) Februari 2008.

29

Anda mungkin juga menyukai