Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FIQH MUNAKAHAT II

PERLINDUNGAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat II

Dosen Pengampu:
Dr. Armia, M.A

Disusun Oleh: HKI 3-B


Kelompok 10
1. Hasan To’at Nasution 0201202024
2. Muhammad Fahmi Siagian 0201202051
3. Nuri Luthfia 0201192068
4. Syalwa Deswita 0201202037

PROGRAM STUDY AHWAL SYAKHSIYYAH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alikum warahmatullahi wabarakatuh


Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala,
atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang masih memberikan kesehatan dan kesempatan
kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah dengan judul
“Perlindungan Anak Akibat Perceraian” tepat pada waktunya.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Orang Tua penulis yang telah
memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tugas makalah ini. Dan juga
kepada Dosen Pengampu Bapak “Dr. Armia, M.A” mata kuliah Fiqh Munakahat II yang
telah mengajari dan membimbing penulis dalam pembuatan tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa tugas makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tugas makalah ini bermanfaat bagi penulis
dan juga para pembaca serta bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu pendidikan.
Wasalamu’alikum warahmatullah wabarakatuh

Medan, Oktober 2021

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 3
A. Anak dan Orang Tua ....................................................................................... 3
B. Perceraian ....................................................................................................... 5
C. Perlindungan Anak Akibat Perceraian ............................................................. 6
D. Perkawaninan Campuran .............................................................................. 11
E. Perlindungan Diskriminasi Pada Anak Korban Perceraian............................. 13
F. Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Anak Akibat Perceraian ...................... 15
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 16
A. Kesimpulan................................................................................................... 16
B. Saran dan kritik ............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indahnya ikatan suci pernikahan yang menyatukan antara laki-laki dan perempuan
yang beda watak, tabiat, rasa dan bahkan mungkin ras dan status sosial adakalanya
langgeng sampai dengan ajal menjemput dan tidak jarang kita temukan berakhir dengan
perceraian. Bahkan tidak jarang juga kita temukan pasangan yang telah menikah tersebut
berakhir dengan tragis seperti saling membunuh satu sama lain.
Perceraian walaupun merupakan hal yang dibenci dalam hukum Islam, karena
berdasarkan kesimpulan para ulama hukumnya adalah makruh. Namun, perceraian masih
saja terjadi di kalangan umat Islam disebabkan karena biduk rumah tangga sudah tidak
lagi memiliki kesatuan pemahaman. Sehingga jalan satu-satunya yang bisa ditempuh
adalah bercerai untuk bisa meminimalisir mudharat yang akan ditimbulkan bila terus
bersama dalam pertengkaran yang mungkin berakibat fatal pada kedua pasangan dan
anak-anaknya.
Dan dapat dipastikan perceraian yang terjadi memiliki dampak yang sangat luas
terutama bagi keluarga kedua belah pihak, terutama bagi keberlangsungan dan masa
depan anak-anak yang mereka miliki selama masa pernikahan. Dampak ini tidak banyak
dipikirkan oleh para orang tua ketika mereka memutuskan untuk bercerai. Berdasarkan
hipotesis awal penulis dampak yang mungkin ditimbulkan pasca perceraian orang tua
adalah dampak psikologis, dampak keberlangsungan kebutuhan dasar (makanan, pakaian
dan tempat tinggalnya) dan pendidikannya.
Lalu bagaimana aturan hukum yang berlaku untuk memecahkan masalah tersebut
di atas. Maka ketika berbicara masalah perlindungan hukum terhadap anak akibat
terjadinya perceraian orang tua harus merujuk pada peraturan-peraturan tersebut. Oleh
karena itu, penulisan ini dengan merujuk pada undang-undang atau peraturan yang
berlaku sudahkah tanggungjawab orang tua dipenuhi dengan baik pasca mereka bercerai
dan bagaimana akibat hukumnya ketika orang tua tidak melaksanakan kewajiban
tersebut.

1
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang timbul adalah sebagai berikut.
1. Jelaskan definisi anak dan orang tua!
2. Jelaskan definisi perceraian!
3. Bagaimana bentuk perlindungan anak akibat perceraian orang tuanya?
4. Jelakan definisi pernikahan campuran serta perlindungan anak pasca
perceraian campuran!
5. Bagaimana bentuk perlindungan diskriminasi anak korban perceraian?
6. Apa dampak yang ditimbulkan anak akibat perceraian?

C. Tujuan Penulisan
Pokok tujuan penulisan makalah adalah untuk mengetahui dan memahami
rumusan masalah diatas.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anak dan Orang Tua
Pengertian anak di dalam bidang hukum perdata erat hubungannya dengan
pengertian kedewasaan. Pengertian anak di dalam hukum positif Indonesia masih terdapat
perbedaan dalam penentuan kedewasaan yang terletak pada perbedaan tolak ukur
menurut ketentuan hukum yang tertulis, antara lain:

1. Konvensi Hak Anak 1989. Bagian I Pasal 1 Konvensi Hak Anak mengatur
bahwa yang dimaksud anak adalah: “setiap orang yang berusia di bawah 18
tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan
bahwa usia dewasa anak dicapai lebih awal.”
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 memberikan batasan umur
antara belum dewasa dengan telah dewasa yaitu 21 tahun, dengan
pengecualian jika anak sudah kawin sebelum berumur 21 tahun, dan dengan
pendewasaan sesuai yang diatur pada Pasal 419 KUH Perdata.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 1
angka I menjelaskan bahwa anak adalah: “seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 47 ayat (1)
mengatur bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
menikah, ada di bawah kekuasaan orang tuanya.
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO
Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-
bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 2000
menentukan bahwa anak berarti: “semua orang yang berusia di bawah 18
tahun” (sesuai dengan Pasal 2 Konvensi ILO Nomor 182).
6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1
angka 2 UU Nomor 4 Tahun 1979 menentukan bahwa: “Anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
pernah kawin.”

3
7. Kompilasi Hukum Islam juga menentukan kedewasaan berdasarkan sejak
adanya tanda-tanda perubahan badaniah, baik bagi pria maupun wanita. Jadi,
yang dipakai untuk menentukan batas umur kedewasaan bagi anak yaitu
dengan dilihat permasalahannya terlebih dahulu. Batas umur kedewasaan
dalam hal umum adalah 18 tahun, dengan dasar asas hukum lex specialis
derogat legi generali (undang-undang yang khusus mengalahkan undang-
undang yang umum). Pengecualiannya dalam hal perkawinan yaitu batas umur
minimum menikah untuk pria ialah 19 tahun dan untuk wanita ialah 16 tahun.
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun berada di bawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya, orang tualah yang
mewakili anak dalam hal perbuatan hukum di dalam maupun di luar gedung
pengadilan. Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1990 bertempat
di New York menyelenggarakan Convention on the Rights of the
Childs (CRC), di antara hasil-hasilnya menyatakan bahwa; Anak adalah setiap
orang di bawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku
terhadap anak kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. (Pasal 1 Convention
on the Rights of the Childs).1
Orang tua adalah ayah dan/atau ibu seorang anak, baik melalui hubungan biologis
maupun sosial. Umumnya, orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam
membesarkan anak, dan panggilan ibu/ayah dapat diberikan untuk perempuan/pria yang
bukan orang tua kandung (biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini. Contohnya
adalah pada orang tua angkat (karena adopsi) atau ibu tiri (istri ayah biologis anak) dan
ayah tiri (suami ibu biologis anak).
Lebih lanjut dijelaskan Wikipedia mengutip Thamrin Nasution, orang tua
merupakan setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau tugas rumah
tangga yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai bapak dan ibu. Jika menurut
Hurlock, orang tua merupakan orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama
dalam masa perkembangan. Tugas orang tua melengkapi dan mempersiapkan anak
menuju ke kedewasaan dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat

1
InfokomMUISumut, ANAK DAN KEKUASAAN ORANG TUA (Sumut: 11 November 2019),
https://www.muisumut.com/blog/2019/11/11/anak-dan-kekuasaan-orang-tua/, Akses 16 Oktober 2021.

4
membantu anak dalam menjalani kehidupan. Dalam memberikan bimbingan dan
pengarahan pada anak akan berbeda pada masing-masing orang tua kerena setiap keluarga
memiliki kondisi-kondisi tertentu yang berbeda corak dan sifatnya antara keluarga yang
satu dengan keluarga yang lain. 2
B. Perceraian
Secara harfiah, definisi perceraian adalah pemutusan terhadap ikatan pernikahan
secara Agama dan hukum. Namun di dalam Islam, arti perceraian tidaklah semudah
pernikahan. Banyak tahap yang harus dilalui ketika perceraian benar-benar dilakukan.
Dalam Al-Qur’an Surat Ath-Thalaq, yang dipergunakan sebagai Undang-Undang
perkawinan, bahwa perceraian hanya akan terjadi katika ada saksi dan melalui tiga tahap,
yaitu talak 1, talak 2, dan kemudian talak.
Perceraian yang merupakan bagian dari kajian hukum keluarga tidak terlepas dari
pembaruan yang terjadi di berbagai negara. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan bahwa perkara perceraian cenderung menganut prinsip “harus
adanya persaksian dan mempersukar terjadinya perceraian”. Prinsip ini telah
menghilangkan hak mutlak suami atas perceraian. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang”.
Menurut Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selanjutnya KHI melalui
Pasal 130 kembali menegaskan bahwa Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau
menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya
hukum banding dan kasasi. 3
Perceraian adalah peristiwa hukum yang akibatnya diatur oleh hukum, atau
peristiwa hukum yang diberi akibat hukum. Perceraian menimbulkan akibat hukum
putusnya perkawinan. Selain itu, ada beberapa akibat hukum lebih lanjut dari perceraian

2
https://id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua (31 Agustus 2021, pukul 12.10), Akses 16 Oktober 2021.
3
Iksan, Adnan dan Khairunnisa, Perlindungan Anak Pasca Percerian Orang Tua, Jurnal Fundamental,
Volume 9 Nomor 1 (t.k.: Januari-Juni 2020), hlm. 7.

5
sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai
berikut:
a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi
kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.4
C. Perlindungan Anak Akibat Perceraian
Pengaturan tentang Hak Asuh Anak Menurut Hukum di Indonesia
Anak merupakan seseorang yang lahir dari hasil perkawinan antara seseorang
laki-laki dengan wanita, dan yang dilahirkan oleh seorang wanita walaupun tidak atas
dasar perkawinan tetap disebut anak. Anak adalah aset bangsa yang merupakan generasi
baru penerus cita-cita bangsa dan juga sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
Maka dari itu, kepribadian anak sangat menentukan kehidupan masa depan bangsa yang
akan datang.
Anak merupakaan subjek hukum nasional yang harus dilindungi, dibina,
dibesarkan, dan dipelihara. Tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, anak juga
berhak untuk pelayanan, pengembangan di bidang kemampuan dan kehidupan sosial.
Anak berhak terhadap pemeliharaan dan perlindungan sejak dalam kandungan maupun
sudah dilahirkan.
Selama anak tersebut belum pernah menikah maka anak tersebut masih berada di
bawah kekuasaan orang tua. Namun belum menunjukan hasil, bahwa masyarakat
Indonesia bisa memenuhi sesuai kebutuhan dan perkembangannya. Hal ini menyebabkan
kondisi dan situasi serta keterbatasan pemerintah juga masyarakat yang belum mungkin
mengembangkan secara nyata peraturan UU yang sudah ada.

4
Hasibah Zahra P, TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK AKIBAT
TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 (Sumut: USU 2018),
hlm. 66-67.

6
Dalam pengajuan permohonan perceraian dapat diajukan juga permohonan atas
hak asuh anak kepada pengadilan. Salah satu pihak dapat mengajukan permohonan hak
asuh anak demi kepentingan dan keberlangsungan masa depan anak. Secara umum anak
berhak mendapat perlakuan yang baik, kasih sayang meskipun kedua orang tua telah
bercerai, tetapi anak harus tetap mendapatkan kasih sayang. Anak juga berhak untuk tetap
mendapatkan jaminan pendidikan, kehidupan yang layak, kesehatan, dan perlindungan.
Hak asuh anak menurut hukum di Indonesia menyebutkan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juga disebutkan hak dan kewajiban
anak. Dalam Undang- undang ini perlindungan anak lebih diutamakan, dimana hal ini
tetap harus dilakukan meskipun diantara ibu atau ayahnya yang bersengketa salah satunya
berkeyakinan di luar Islam, atau diantara mereka berlainan bangsa, namun dalam
memutuskan terhadap pilihan anak tersebut harus melihat keadaan anak tersebut.
Perlindungan Hukum terhadap Hak-Hak Anak Akibat Perceraian
Perlindungan anak dibedakan menjadi dua yaitu, bersifat yuridis dan non yuridis.
Perlindungan yuridis terdapat aturan hukum yang berakibat langsung bagi anak.
Sedangkan perlindungan non yuridis menyangkut perlindungan dalam beberapa bidang,
yaitu: 1) dalam bidang sosial yang ada hubungannya dengan perlindungan anak untuk
bermasyarakat atau bersosial dan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang anak
juga pengadaan kondisi sosial. Seorang anak mempunyai hak untuk dapat tempat layak
untuk hidup dan berkembang. 2) Dalam bidang kesehatan yang ada hubungannya dengan
perlindungan juga kesehatan anak baik jasmani dan juga rohani serta melakukan tindakan
meningkatkan gizi dan kesehatan anak. Pemerintah seharusnya bisa memberikan jalan
yang mudah agar anak bisa mendapat jaminan kesehatan, memberikan fasilitas kesehatan
gratis agar dilakukan untuk baiknya tumbuh kembang anak. 3) Dalam bidang pendidikan
menyangkut hak anak agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan dengan banyak
program bantuan serta fasilitas pendidikan canggih dan lengkap, guna meningkatkan
perkembangan anak. 5

5
Gede Andi Wiradharma, I Nyoman Putu Budiartha, I Ketut Sukadana, PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP ANAK DALAM TERJADINYA PERCERAIAN, Jurnal Preferensi Hukum, Vol. 1, No. 2,
(Denpasar: September 2020), hlm. 48-49.

7
Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Perceraian dalam Bentuk Fungsi
Hukum
Perlindungan hukum bagi anak korban perceraian dalam bentuk fungsi hukum
diklasifikasikan menjadi tiga tahap, yaitu:
1) Upaya Preventif, yaitu pencegahan dalam bentuk ancaman terhadap pelaku
pelanggar hukum, kehadiran hukum dengan berbagai sanksinya tersebut dapat
menjadi instrumen untuk memberikan penjeraan baik secara khusus maupun
secara umum memberikan rasa takut kepada masyarakat sehingga terhalang untuk
melakukan tindakan melanggar hukum.
2) Upaya Represif, bila hukum dilanggar maka harus dilakukan penegakan hukum
terhadap para pelanggar tanpa pandang bulu, yang dilakukan oleh lembaga
peradilan yang memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk itu.
3) Upaya Rehabilitatif, yaitu mengembalikan keadaan semula. Hukum akan men-
jadi instrumen untuk membuat orang itu kembali menjadi baik dengan adanya
hukuman yang diberikan kepada para pelanggar hukum, selain membuat jera
diharapkan juga dapat menjadikan seseorang kembali menjadi baik sesuai dengan
tujuan penghukuman yaitu mencapai reintegrasi sosial dan resosia-lisasi dengan
masyarakatnya sehingga hukum juga dapat disebut sebagai hukum rehabilitasi. 6
Kedudukan dan Hak Anak setelah Perceraian
Kedudukan dan perlindungan hak-hak anak menurut Pasal 41 huruf a Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah baik bapak maupun ibu tetap mempunyai kewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka Pengadilan yang
memberikan keputusannya.
Hak- hak anak di Indonesia secara umum ditentukan dalam Pasal 4 sampai dengan
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara lain:
a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;

6
Erlan, Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian, https://pa-ngamprah.go.id/publikasi/hak-perempuan-
dan-anak-pasca-perceraian (27 May 2021), Akses 16 Oktober 2021.

8
b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan;
c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua;
d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri. 7
Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Bercerai
Bentuk tanggung jawab orang tua kepada anaknya tidak terhenti pada suatu akibat
perceraian. Orang tua masih berkewajiban untuk melaksankan tanggung jawabnya seperti
menanggung biaya hidup bagi anaknya, memberikan tempat tinggal yang layak, serta
memberikan kiswah bagi anak-anaknya sehingga anak dapat berkembang dan tumbuh
sebagaimana mestinya, tidak terhalangi oleh akibat suatu perceraian yang terjadi terhadap
kedua orang tua mereka. Sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 bahwa akibat suatu perceraian kedua orang tua tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepantingan anak.
Pembahasan mengenai tanggung jawab orang tua setelah perceraian juga
disebutkan dalam Pasal 149 Huruf d Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa:
“Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan biaya
hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun”. Pengertian
hadhanah menurut Pasal 1 Huruf g Kompilasi Hukum Islam adalah: “Pemeliharaan anak,
yaitu kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu
berdiri sendiri”.
Hak lain yang melekat pada anak, termasuk kewajiban orang tua bagi anak juga
termuat dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 4
menyebutkan bahwa: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

7
Hasibah Zahra P, TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK AKIBAT
TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 (Sumut: USU 2018),
hlm. 75-77.

9
Mengenai tanggung jawab orang tua juga disebutkan dalam Pasal 9 Undang-
Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang menyatakan bahwa “Orang
tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak
baik secara rohani, jasmani maupun sosial”.
Dalam kompilasi Hukum Islam Pasal 105 Huruf c yang menyatakan bahwa
“Dalam hal terjadinya perceraian biaya pemeliharaan ditanggung oleh bapaknya”.
Berdasar hal tersebut ayah wajib memberikan biaya nafkah kepada anaknya setiap bulan,
dan demi kepentingan si anak maka kedua orang tua wajib memberikan asuhan sebaik-
baiknya. 8
Hak Nafkah Anak Akibat Perceraian Orang Tuanya
Setelah terjadinya perceraian, tanggung jawab ayah dan ibunya terhadap anaknya
tidak akan terhenti karena orang tua masih mempunyai kewajiban untuk menanggung
biaya hidup anaknya, tidak hanya materi tetapi juga kasih sayang, kepedulian, perhatian,
serta memberikan tempat tinggal atau rumah yang nyaman dan layak bagi anaknya
dengan harapan anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana anak pada
umumnya, walaupun dalam keadaan orang tua yang telah bercerai. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan.
Putusan perceraian yang sudah didapatkan oleh penulis berupa putusan cerai talak
di Pengadilan Agama Surakarta dengan Nomor : 941/Pdt.G/2019/PA.Ska. Pemohon dan
Termohon telah dinyatakan resmi bercerai oleh Hakim. Pertimbangan Majelis Hakim
dalam memutuskan perkara perceraian sesuai dengan Pasal 2 huruf f Undang-Undang
Perkawinan serta Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Perkawinan, yaitu suami dan isteri sering terjadi perselisihan dan pertengkaran
serta tidak ada lagi harapan untuk hidup rukun dalam rumah tangga. Pemohon dan
Termohon selalu bertengkar karena Termohon (Istri) tidak menghormati dan menghargai
Pemohon (suami), serta bersikap kasar kepada Pemohon dan anaknya. Sebelum
menjatuhkan putusan, Majelis Hakim menawarkan mediasi kepada kedua pihak. Akan
tetapi tidak berhasil dan kedua pihak sepakat untuk bercerai. Akibat dari terkabulnya
permohonan cerai yang diajukan oleh Pemohon ialah:

8
Iksan, Adnan dan Khairunnisa, Perlindungan Anak Pasca Percerian Orang Tua, Jurnal Fundamental,
Volume 9 Nomor 1 (t.k.: Januari-Juni 2020), hlm. 9-10.

10
1) Memberikan ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’i kepada
Termohon dihadapan sidang Pengadilan Agama Surakarta;
2) Menetapkan hak asuh anak Pemohon dan Termohon ada pada Pemohon
(Ayahnya);
3) Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.
486.000,- (empat ratus delapan puluh enam ribu rupiah).
Berdasarkan putusan tersebut, Majelis Hakim memutuskan juga mengenai
penetapan hak asuh anak yang jatuh pada Pemohon atau ayahnya. Hal ini tertuang dalam
Pasal 66 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
menyatakan bahwa permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan
harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak
atau sesudah ikrar talak diucapkan. Hakim dalam mempertimbangkan hak asuh anak jatuh
ke tangan ayahnya (Pemohon) karena ibunya (Termohon) dianggap tidak layak untuk
mengasuh karena bersikap kasar terhadap anaknya, tidak memperlakukan anak dengan
baik, dan tidak mendidik anak dengan baik. Anak tersebut juga sangat dekat dan akrab
dengan ayahnya. Sehingga Hakim memutuskan hak asuh anak jatuh kepada ayahnya.
Akan tetapi dalam putusan perceraian tersebut tidak diputuskan mengenai beban biaya
atau nafkah yang harus ditanggung oleh si ayah kepada anaknya. Hal ini sangat
memungkinkan hak-hak anak terabaikan apabila ayahnya lalai dalam menunaikan
kewajibannya. 9
D. Perkawaninan Campuran
Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berlainan hukumnya itu menurut UU No. 1 Tahun 1974 hanyalah karena perbedaan
kewarganegaraan, tegasnya hukum Indonesia dan hukum asing. 10

9
Erfandha Warsshandy, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK AKIBAT PERCERAIAN ATAS
HAK NAFKAH (Surakarta: UMS 2020), hlm. 3-4.
10
Juanda Wiranata, PERLINDUNGAN HUKUM ANAK AKIBAT PERCERAIAN DARI PERKAWINAN
CAMPURAN, Lex et Societatis, Vol. I/No. 3, (t.k.: Juli 2013), hlm. 7-8.

11
Perlindungan Hukum Anak Akibat Perceraian Dari Perkawinan Campuran
Beda
Tentang Perlindungan hukum bagi anak akibat perceraian dari perkawinan
campuran beda kewarganegaraan, tentunya juga perlu mendapatkan perlindungan. Pasal
1 angka (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya
cukup disingkat UU Perlindungan Anak) menegaskan bahwa: “Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, maka upaya perlindungan yang diberikan
undang-undang terhadap seorang anak dilaksanakan sejak dini, yakni sejak anak masih
berupa janin dalam kandungan ibunya sampai dengan anak berumur 18 (delapan belas)
tahun.
Undang-undang ini meletakkan kewajiban untuk memberikan perlindungan
terhadap anak berdasarkan asas-asas nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi
anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan terhadap
pendapat anak, sebagaimana yang termuat dalam ketentuan pasal 2 UU Perlindungan
Anak yang menyatakan: “Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang meliputi
non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup
dan perkembangan, perhargaan terhadap pendapat anak”. Dalam penjelasan pasal 2 UU
Perlindungan Anak di atas disebutkan bahwa asas perlindungan anak di sini sesuai dengan
prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Internasional Hak-Hak Anak.
Lebih lanjut, yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak dalam
penjelasan pasal 2 UU Perlindungan Anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang
menyangkut anak yang dilakukan oleh orang tua, pemerintah, masyarakat, badan
legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi
pertimbangan utama.
Perlindungan Hukum Terhadap Status Kewarganegaraan Anak Akibat
Perceraian Dari Perkawinan Campuran
Berdasarkan pasal 1330 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, mereka yang
digolongkan tidak cakap salah satunya adalah mereka yang belum dewasa. Dengan
demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan

12
perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang
tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum.
Anak yang lahir dari orang tua yang melakukan perkawinan campuran memiliki
kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda jadi tunduk
pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan Undang-Undang
Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun
berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua
kewarganegaraan. Anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita warga negara
Indonesia dengan pria warga negara asing, maupun anak yang lahir dari perkawinan
seorang wanita warga negara asing dengan pria warga negara Indonesia, sama-sama
diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda ,
dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan
pilihannya.
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan
campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing:
1) Menjadi warganegara Indonesia.
2) Menjadi warganegara asing. 11
E. Perlindungan Diskriminasi Pada Anak Korban Perceraian
Diskriminasi atau bahasa asing discrimination bisa diartikan merupakan
sebuah tindakan membanding-bandingkan, adapun penjelasan diskriminasi menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pembedaan perlakuan terhadap
sesama warga negara. Dapaung penjelasan terkait definisi diskriminasi dapat kita
temui dalam 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 1 angka 3 yang
mengartikan setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun
tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam

11
Juanda Wiranata, PERLINDUNGAN HUKUM ANAK AKIBAT PERCERAIAN DARI PERKAWINAN
CAMPURAN, Lex et Societatis, Vol. I/No. 3, (t.k.: Juli 2013), hlm. 8-10.

13
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. 12
Terkait perceraian dalam pasal 14 UU perlindungan anak ayat 1 Setiap Anak
berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan
hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik
bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir, lebih lanjut dalam ayat 2
menjelaskan dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak
tetap berhak:
a) Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang
Tuanya;
b) Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk
proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya;
c) Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya;
d) Memperoleh Hak Anak lainnya.
Dari bunyi pasal 14 ayat 2 diatas dijelaskan kewaiban-kewajiban orang tua setelah
perceraian. Yang menjadi permasalah apabila poin dalam pasal 14 ayat 2 di langgar
apakah dapat dikatakan diskriminasi kepada anak.13
Sebagai landasan tindak lanjut larangan terhadap poin diatas dijelaskan dalam
pasal UU Perlindungan anak pasal 76A yang berbunyi: Setiap orang dilarang:
a) Memperlakukan Anak secara diskriminatif yang mengakibatkan Anak
mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat
fungsi sosialnya;
b) Memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas secara diskriminatif.
Yang apabila dilanggar maka sebagaimana di atur dalam pasal yang berbunyi
77 “Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. Dari runtutan pasal di

12
Hardian Iskandar, ASPEK HUKUM DISKRIMINASI PADA ANAK AKIBAT PERCERAIAN, Journal.umg,
hlm. 38-39.
13
Ibid, hlm. 40-41.

14
atas untuk mencapai pembuktian orang tua yang bercerai melakukan diskriminasi
harus ditinjau dari unsur-unsur itikat baik pasangan yang telah bercerai. Sebagai
penafsiran pasal 14 ketika unsur anak sebagai mana penjelasan dalam UU
perlindungan anak berkehendak tidak ingin bertemu dengan salah satu oang tua yang
bercerai dan merasa tercukupi dengan ikut dalam salah satu orang tua serta tidak
dalam tekanan bahkan sangat bahagia dengan kehidupannya bersama salah satu
orang tua itu maka tidak bisa dikatakan sebuah diskriminasi. Dikarenakan pada
hakekatnya diskriminasi adalah membanding orang satu dengan orang lain, pandangan
politik dll. 14
F. Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Anak Akibat Perceraian
Perceraian dapat membawa dampak terhadap anak, yaitu dampak terhadap
psikologis anak dan dampak terhadap ekonomis anak. Dampak psikologis berkaitan
dengan perkembangan jiwa anak, seperti anak menjadi pemarah, sering depresi, malu,
tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan berbohong. Sedangkan dampak
ekonomis anak berkaitan dengan pemenuhuan kebutuhan hidup anak yang kurang dan
pendidikan anak yang menjadi terabaikan. 15

14
Ibid, hlm. 40-42.
15
Hasibah Zahra P, TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK AKIBAT
TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 (Sumut: USU 2018),
hlm. 84.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tentang Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Akibat Perceraian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Seorang anak yang menjadi korban perceraian menurut Undang-undang No 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, tetap mempunyai hak untuk
memperoleh perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Selain itu anak
juga berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan
kasih sayang dari keluarga dan orang tua pada khususnya. Orang tua dalam hal ini
mempunyai kewajiban atas kehidupan si anak. Menurut Kompilasi Hukum Islam
di dalam pasal 77 ayat 3, disebutkan bahwa "Suami isteri memikul kewajiban
untuk mengasuh dan memelihara anak· mereka, baik mengenai pertumbuhan
jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya". Dalam hal ini
tanpa terkecuali, apakah itu seorang ayah atau ibu, apakah masih bersatu atau
sudah bercerai.
2. Anak yang menjadi korban dari perceraian kedua orang tuanya, selain mempunyai
hak atas pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan hidup, juga mempunyai hak
untuk menuntut orang tua jika melalaikan kewajibannya untuk tidak menafkahi
dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, ditempat diadakannya sidang
perceraian dahulu. Orang tua yang tidak melaksanakan putusan hakim untuk:
tetap menafkahi anaknya, maka dapat dikenakan sanksi yaitu yang dinamakan
dengan sita eksekusi.
B. Saran dan kritik
Demikianlah makalah ini kami susun, penulis menyadari dalam makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
meminta untuk para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaannya makalah yang kami buat selanjutnya. Semoga makalah ini menjadi
sumber referensi dan bermanfaat bagi para pembaca.Aamiin ya Robbal ‘alamiin.
Wassalamu’alaikum wr. wb.

16
DAFTAR PUSTAKA

Erlan. (2021, May). Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian. Retrieved from
https://pa-ngamprah.go.id/publikasi/hak-perempuan-dan-anak-pasca-perceraian
Ernawati. (n.d.). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN. Retrieved from
https://media.neliti.com/media/publications/162641-ID-perlindungan-hukum-
terhadap-anak-di-bawa.pdf
Iksan, Adnan dan Khairunnisa. (2020, Januari-Juni). PERLINDUNGAN ANAK PASCA
PERCERAIAN ORANG TUA. Jurnal Fundamental, 9, 1-16. Retrieved from
https://ejurnal.stihm-bima.ac.id/index.php/jurnalstih/article/download/9/15
InfokomMUISumut. (2019). ANAK DAN KEKUASAAN ORANG TUA. Sumut.
Retrieved from https://www.muisumut.com/blog/2019/11/11/anak-dan-
kekuasaan-orang-tua/
P Hasibah, Z. (2018). TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
ANAK TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1
TAHUN 1974. 1-111. Retrieved from
http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/5846/140200357.pdf
Rahmawati, I. (2005). HAK ANAK AKIBAT PERCERAIAN. 1-5. Retrieved from
http://repository.unair.ac.id/52269/1/Per%20154-05%20Rah%20h.pdf
Warasshandy, E. (2020). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK AKIBAT
PERCERAIAN ATAS HAK NAFKAH. 1-14. Retrieved from
http://eprints.ums.ac.id/84104/10/Naskah%20Publikasi%20ERFANDHA.pdf
Wikipedia. (2021). Orang tua. Retrieved from https://id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua
Wiradharma. Gede Andi, I Nyoman Putu Budiartha, dan I Ketut Sukadana. (2020,
September). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM
TERJADINYA PERCERAIAN. Jurnal Preferensi Hukum, 1, 1-4. Retrieved from
https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/juprehum/article/download/23
41/1706/
Wiranata, J. (2013, July). PERLINDUNGAN HUKUM ANAK AKIBAT PERCERAIAN
DARI PERKAWINAN CAMPURAN. Lex et Societatis,, 1, 1-8. Retrieved from
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/2444

17

Anda mungkin juga menyukai