KELOMPOK 11:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2024
1
KATA PENGANTAR
Segala rasa puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya lah, kami dapat menyelesaikan artikel yang berjudul “Tinjauan
Hukum Terhadap Perlindungan Anak Yang Tidak Melakukan Dispensasi Pernikahan Dini.”
Artikel ini dibuat sebagai bagian dari tugas mata kuliah Pengantar Hukum
Indonesia. Dalam proses penulisan artikel ini, kami menerima banyak bantuan, baik secara moral
maupun materi, dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami sebagai penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada seluruh dosen pengajar mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan petunjuk kepada kami.
Dalam menyelesaikan artikel ini, kami mengakui sepenuhnya bahwa apa yang
kami susun masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Kami
sebagai penulis mengharapkan adanya masukan konstruktif dari berbagai pihak.
Kelompok 11
2
DAFTAR ISI
BAB I ............................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................................... 4
1.1. LATAR BELAKANG ............................................................................................................. 4
1.2. PENGERTIAN ........................................................................................................................ 6
1.2.1. Pengertian Perkawinan ............................................................................................................ 6
1.2.2. Pengertian Pernikahan Dini ..................................................................................................... 7
1.3. BIDANG HUKUM YANG MENGKAJI .............................................................................. 8
1.3.1. Hukum Islam ............................................................................................................................. 8
1.3.2. Hukum Positif............................................................................................................................ 8
1.4. ISU HUKUM ........................................................................................................................... 9
BAB II ........................................................................................................................................................ 11
PERMASALAHAN .............................................................................................................................. 11
BAB III....................................................................................................................................................... 13
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 13
3.1. Undang-Undang yang Mengatur Pernikahan Dini ................................................................. 13
3.2. Dispensasi Perkawinan Dini ...................................................................................................... 15
3.3. Perlindungan Anak yang Tidak Melakukan Dispensasi Pernikahan Dini ........................... 16
BAB IV ....................................................................................................................................................... 19
KESIMPULAN ..................................................................................................................................... 19
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Pengetahuan orang tua mengenai batas minimal usia pernikahan tentu mengambil
peran penting dalam pemutusan mata rantai penikahan dini, orang tua seharusnya mengetahui
usia untuk menikah yang tepat. Menurut Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 Pasal 6
dan 7 menetapkan bahwa usia pernikahan yang tepat bagi pria adalah 19 tahun dan wanita
berusia 16 tahun, tetapi tahun 2014 Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional atau
BKKBN memutuskan bahwa usia minimal untuk menikah masing-masing adalah 25 dan 21
tahun.
Terlepas dari pengertian dan peraturan hukum tentang pernikahan, masalah serius
yang datang dari pernikahan adalah usia kedua mempelai yang bertentangan dengan aturan
atau dalam kata lain mempelai di bawah umur.
Sulitnya pencegahan pernikahan di bawah umur atau meluasnya pernikahan dini
terjadi karena banyaknya dispensasi, misalnya saja anak 16 tahun sudah diizinkan menikah
namun dengan izin orang tua serta pengadilan setempat, namun yang lebih parah masih
banyak pernikahan di bawah umur yang dilakukan secara tersembunyi.
Pernikahan dini tentu berdampak pada pola pengasuhan yang akan diterapkan
orang tua kepada anak (Suri, dkk. 2021). Pola pengasuhan sendiri merupakan cara bagaimana
nantinya orang tua dalam mendidik serta membesarkan anak sebagai bentuk tanggung jawab
serta kasih sayang, juga suatu bentuk interaksi orang tua terhadap anak yang tujuannya
membentuk tingkah perilaku, dan pengetahuan, dan nilai yang sesuai dengan diri orang tua.
Pola asuh yang dianut orang tua memiliki peran yang penting terhadap daya
kembang anak itu sendiri (Fauziah dkk, 2020). Sedangkan mengasuh dengan positif tentunya
butuh usaha dan waktu, hal ini mengindikasi bahwa seorang ibu harus mempunyai keadaan
emosi yang stabil dan tenang dalam menghadapi perilaku anak.
Pernikahan dini bersumber pada masalah struktural antara lain kemiskinan dan
ketimpangan gender yang tentu berkaitan dengan pandangan masyarakat terhadap pernikahan,
seksualitas, dan moralitas menurut agama serta adat istiadat.
5
antara orang tua, tentang pola asuh, serta anak laki-laki dan perempuan punya hak yang sama
dalam pendidikan untuk masa depannya.
1.2. PENGERTIAN
1.2.1. Pengertian Perkawinan
Dalam hidup di dunia, Allah SWT menciptakan makhluk-makhlukNya
berpasangan agar hidup berdampingan, saling mencintai, dan berbagi kasih untuk meneruskan
keturunan. Manusia sebagai makhluk sosial yang beradab, menjadikan makna “hidup
berdampingan” sebagai suami dan istri dalam ikatan perkawinan yang diikat agama dan hukum,
agar jadi sah disertai dengan tanggung jawab. Seorang pria dan wanita yang memasuki kehidupan
suami istri, berarti telah memasuki gerbang baru dalam kehidupannya untuk membentuk suatu
rumah tangga sakidah, mawaddah, dan warahmah.
Kata kawin menurut istilah hukum Islam sama dengan kata Nikah atau kata Zawaj.
Kemudian, yang dinamakan nikah menurut Syara’ ialah Akad atau ijab qabul antara wali calon
istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya.
Dapat dibilang jika seseorang belum pernah menikah, artinya bahwa seseorang
tersebut belum pernah mengkabulkan dirinya terhadap ijab aqad nikah yang memenuhi rukun dan
syarat. Jika dikatakan anak itu lahir diluar pernikahan, maka artinya anak tersebut dilahirkan
seorang wanita tetapi tidak berada dalam suatu ikatan perkawinan berdasarkan akad nikah yang
sah menurut hukum.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan
bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Menurut pasal itu bahwa perkawinan, suami istri perlu
saling membantu dan melengkapi, agar masing- masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan dalam berkeluarga.
R. Sardjono mengatakan bahwa: “Ikatan lahir batin berarti bahwa para pihak yang
bersangkutan karena perkawinan itu merupakan suami istri baik bagi mereka dalam hubungannya
dengan masyarakat luas. Pengertian ikatan lahir batin suami istri yang bersangkutan terkandung
niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.”
6
Dari beberapa pengertian perkawinan dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah
suatu hubungan antara laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri yang memenuhi rukun dan
syarat hukum perkawinan.
7
1.3. BIDANG HUKUM YANG MENGKAJI
1.3.1. Hukum Islam
Substansi Hukum Islam untuk mewujudkan kemaslahatan sosial bagi manusia baik
di masa sekarang maupun di masa depan. Hukum Islam sendiri bersifat luas, humanis, dan selalu
membawa rahmat.
Dalam ranah pemikiran tentang hal ini ada ayat dan hadis Nabi yang mengkaji
tentang pernikahan, pada prinsipnya semua perbuatan orang muslim yang sudah memasuki akil
baligh tidak terlepas dari hukum syara’ seperti dirumuskan dalam kaidah syara’ al ashlu fi al
’af’aal at-taqayyudu bi al-hukmi al-syar’iyy. Pada mulanya hukum menikah adalah sun nah sesuai
dengan Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3
َ س ط ُ وا ف ِّي ال ي َ ت َا َم ى ف َ ان ِّك حُ وا َم ا ط َ ا
ب ل َ ك ُ م ِّم َن الن ِّ س َ ا ِّء ِّ َو إ ِّ ن خِّ ف ت ُم أ َ َّل ت ُق
ث َو ُر ب َ ا ع َ ف َ إ ِّ ن خِّ ف ت ُم أ َ َّل ت َع ِّد ل ُ وا ف َ َو ا ِّح د َ ة أ َ و َم ا َم ل َ ك َت َ َم ث ن َى َو ث ُ ََل
ك أ َ د ن َى أ َ َّل ت َ ع ُ و ل ُ و ا
َ ِّ أ َي َم ا ن ُ ك ُ م ذ َ ل
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Sekalipun dikatakan bahwa pernikahan dini diperbolehkan menurut syariat Islam,
tetapi tidak berarti hal ini diperbolehkan mutlak bagi seluruh perempuan dalam segala kondisi.
Sebab sebagian perempuan ada beberapa keadaan, yang mengindikasi untuk lebih baik ia tidak
menikah dini.
8
atau KUHPer Pasal 29 menyebut bahwa usia minimal laki-laki untuk menikah adalah 18 tahun,
sedangkan perempuan minimal 15 tahun sehingga baru diizinkan untuk melakukan pernikahan.
Sedangkan batas kedewasaan seseorang menurut buku KUHPerdata Pasal 330 adalah ketika
berusia 21 tahun dan belum pernah menikah.
9
Penting untuk mendiskusikan dan meningkatkan kesadaran tentang pernikahan dini
agar dapat menghentikan praktik ini dan menghadirkan masa depan yang lebih cerah bagi anak-
anak di seluruh dunia.
10
BAB II
PERMASALAHAN
1
Mughniatul Ilma, Op.cit, hlm. 148.
11
Menjamin hak-hak anak dan melindungi mereka dari perlakuan yang tidak
menyenangkan serta tindakan penyelewengan orang tua untuk menikahkan anak, dalam
pernikahan dini yang dilakukan tanpa dispensasi kawin, tidak ada jaminan hukum yang mengatur
keberlangsungan perkawinan tersebut berdasarkan kehendak anak yang masih di bawah umur serta
mengenai kesiapan anak baik secara mental maupun fisik dalam membina rumah tangga.
12
BAB III
PEMBAHASAN
2. Syarat perkawinan.
13
3. Hak dan kewajiban suami istri, yang diatur oleh negara dalam Undang-Undang
Perkawinan Bab 5 Pasal 30 sampai Pasal 34, dan lainnya
UNFPA atau The United Nations Population Fund menyatakan bahwa pernikahan
dini adalah pernikahan di mana kedua mempelai atau salah satunya berusia di bawah 18 tahun.
Konsep ini sesuai dengan Convention on the Rights of the Child, yang mengategorikan
seseorang sebagai anak jika berusia di bawah 18 tahun. Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 di Indonesia menyebutkan bahwa seseorang yang berusia 21 tahun harus
mendapatkan izin dari kedua orang tua untuk melangsungkan pernikahan. Bagi mereka yang
belum berusia 19 tahun (untuk pria) dan belum berusia 16 tahun (untuk wanita), tidak boleh
melangsungkan pernikahan, kecuali ada izin dispensasi dari pengadilan atau pejabat yang
ditunjuk oleh orang tua salah satu pihak.
14
mengenai Perkawinan dan Pasal-pasal terkait dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Meluasnya pernikahan di bawah umur dipengaruhi banyaknya dispensasi yang
diberi izin, contohnya saja remaja 16 tahun sudah menikah karena diberi izin orang tua dan izin
dari pengadilan setempat, yang lebih parahnya, banyak pernikahan yang dilakukan secara
tersembunyi karena adanya kehamilan diluar pernikahan.
2
Mughniatul Ilma, “Regulasi Dispensasi Dalam Penguatan Aturan Batas Usia Kawin Bagi Anak Pasca Lahirnya UU
No. 16 Tahun 2019”, Al-Manhaj: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Vol. 2 No. 2, hlm. 151.
15
mempertimbangkan berbagai aspek hukum, sehingga kepastian hukum dalam hal ini
menjadi kurang jelas.3
3
Ibid, hlm. 150.
16
melalui Lembaga Peradilan seperti Pengadilan Agama ataupun Pengadilan Umum. Pernikahan
dini yang dilaksanakan tanpa pengajuan dispensasi kawin menyebabkan mempelai tidak memiliki
perlindungan hukum atas segala hak-haknya karena ketiadaan pihak atau lembaga hukum negara
yang kompeten dapat menjamin memberi perlindungan. Secara umum terdapat fungsi yang
mengelola hak-hak anak dalam dispensasi kawin yaitu:
Menjamin anak mendapat haknya, melindungi anak tersebut dari perlakuan yang
tidak menyenangkan, pernikahan dini yang dilakukan tanpa dispensasi kawin tentu menjadikan
pernikahan tersebut tidak memiliki jaminan hukum untuk mengatur keberlangsungan perkawinan
berdasarkan kehendak anak yang masih di bawah umur serta mengenai kesiapan anak baik secara
mental maupun fisik dalam membina rumah tangga.
Perlindungan hukum konkret yang dapat diberikan dalam pernikahan dini tanpa
dispensasi kawin, namun telah tercatat oleh lembaga pencatat perkawinan menurut PLT Deputi
Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Nahar SH., M.SI,
adalah bahwa perkawinan tersebut dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Peninjauan
dilakukan dari segi administrasi terkait pencatatan perkawinan dan memastikan bahwa perkawinan
tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 yang
menggantikan Pasal 6 ayat 2 huruf e Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1974.4
Pembatalan perkawinan dini dapat diajukan atas dasar kondisi psikologis anak yang
tentu masih rentan serta tidak stabil dalam membina istana bahagia, menurut Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 pada hakikatnya perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.5 Pembatalan perkawinan diatur dalam ketentuan
Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Dispensasi kawin dilakukan berdasarkan ketetapan atau putusan pengadilan
merupakan suatu angin segar praktik perkawinan anak di bawah umur yang hidup di dalam
masyarakat, agar pernikahan dini memiliki kepastian hukum serta perlindungan hak-hak anak
sebelum pernikahan terjadi atau jika ditinjau melalui segi administrasi perkawinan, maka
4
Hasil Wawancara dengan Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Anak KemenPPA, “Maraknya Promosi Perkawinan
Anak”, (dipresentasikan dalam Instagram live: Kemenppa dan urbansiana.com), pada tanggal 25 Februari 2021.
5
Hisbah, Op.Cit, hlm. 384.
17
perkawinan tersebut akan mendapat jaminan perlindungan yang telah diakui secara sah di mata
hukum.
18
BAB IV
KESIMPULAN
Dalam pernikahan dini aspek perlindungan anak adalah hal yang sangat penting
karena pernikahan di bawah umur tentu memiliki dampak yang merugikan bagi anak-anak.
Dispensasi pernikahan dini adalah izin yang diberikan kepada anak di bawah usia pernikahan yang
ditentukan oleh undang-undang untuk menikah. Berdasarkan tinjauan hukum terhadap
perlindungan anak yang tidak melakukan dispensasi pernikahan dini, dapat ditarik beberapa
kesimpulan yang penting untuk dipahami.
Pertama, perlindungan hukum anak adalah aspek yang sangat penting dalam
menjaga kesejahteraan dan hak-hak mereka. Dalam konteks pernikahan dini, anak yang tidak
melakukan dispensasi pernikahan dini mungkin tidak mendapatkan perlindungan hukum yang
sama dengan anak yang telah mendapatkan dispensasi. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian
status hukum anak tersebut dan meningkatkan risiko terhadap kekerasan, eksploitasi, dan
keterbatasan dalam hal pendidikan dan kesejahteraan.
Kedua, dispensasi kawin merupakan upaya hukum untuk memberikan status
hukum yang jelas kepada anak yang melakukan pernikahan di bawah umur. Namun, penting untuk
diingat bahwa dispensasi kawin tidak selalu memberikan perlindungan yang memadai bagi anak
tersebut. perlindungan hukum harus melampaui sekadar memberikan dispensasi kawin dan
memastikan bahwa anak-anak tetap mendapatkan perlindungan yang setara dan komprehensif.
Ketiga, regulasi perlindungan anak yang kuat sangat penting dalam mencegah
pernikahan dini. Undang-undang yang mengatur usia minimal perkawinan harus ditegakkan
dengan tegas dan didukung oleh upaya pencegahan yang efektif. Pemerintah harus memiliki
kebijakan yang jelas dan efektif dalam melindungi anak-anak dari pernikahan dini, sementara
lembaga masyarakat dan individu harus terlibat aktif dalam mendukung perlindungan anak dan
mengubah norma sosial yang mengizinkan pernikahan di bawah umur.
Keempat, pendidikan dan kesadaran tentang hak-hak anak, dampak negatif pernikahan dini, dan
pentingnya perlindungan anak harus menjadi prioritas.Pendidikan yang menyeluruh dan kesadaran
yang tinggi akan memberikan dasar yang kuat dalam melindungi anak-anak dan mencegah
pernikahan dini.
19
Dalam rangka melindungi anak-anak dari pernikahan dini, diperlukan kerjasama
yang kuat antara pemerintah, lembaga masyarakat, dan individu. Perlindungan hukum yang kuat,
pendidikan yang menyeluruh, dan kesadaran yang tinggi akan menjadi langkah penting dalam
melindungi hak-hak anak dan mencegah pernikahan di bawah umur. Hanya dengan upaya bersama
yang holistik dan berkelanjutan, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan
mendukung bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
20
DAFTAR PUSTAKA
Rifiani, Dwi, Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal de Jure: 2021
Fadilah, Dini. Tinjauan Dampak Pernikahan Dini dari Berbagai Aspek, Jurnal Pamator: 2021
Achmad Bahroni, “Dispensasi Kawin Dalam Tinjauan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 juncto
Tranparansi Hukum.
Permono, Kurniawan Dedy (et.al), Tinjauan Hukum Pengaruh Dispensasi Perkawinan Di Bawah
Notarius: 2021
Judiasih, Sonny Dewi (et.al), Suistainable Development Goals Upaya Penghapusan Perkawinan
Safira, Levana (et.al), Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Perkawinan Bawah
Umur Tanpa Dispensasi Kawin Dari Pengadilan, Jurnal Acta Diurnal: 2021
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
21