Anda di halaman 1dari 21

TUGAS PENGANTAR ILMU HUKUM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK YANG TIDAK


MELAKUKAN DISPENSASI PERNIKAHAN DINI

KELOMPOK 11:

1. Dinda Nazhwa 02011182328065


2. Elan Miranda 02011282328139
3. Ingrid Emmanuela 02011282328153
4. Phia Irawan Maharani Purba 02011282328163

DOSEN PENGAMPU PENGANTAR HUKUM INDONESIA:

1. Dr. Putu Samawati, S.H., M.H.


2. Dr. M. Erwin, S.H., M.H.
3. Vera Novianti, S.H., M.Hum.
4. M. Syahri Rahmadhan Simangunsong, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2024

1
KATA PENGANTAR

Segala rasa puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya lah, kami dapat menyelesaikan artikel yang berjudul “Tinjauan
Hukum Terhadap Perlindungan Anak Yang Tidak Melakukan Dispensasi Pernikahan Dini.”

Artikel ini dibuat sebagai bagian dari tugas mata kuliah Pengantar Hukum
Indonesia. Dalam proses penulisan artikel ini, kami menerima banyak bantuan, baik secara moral
maupun materi, dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami sebagai penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada seluruh dosen pengajar mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan petunjuk kepada kami.

Dalam menyelesaikan artikel ini, kami mengakui sepenuhnya bahwa apa yang
kami susun masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Kami
sebagai penulis mengharapkan adanya masukan konstruktif dari berbagai pihak.

Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua.

Indralaya, 15 Maret 2024

Kelompok 11

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. 2

BAB I ............................................................................................................................................................ 4

PENDAHULUAN ................................................................................................................................... 4
1.1. LATAR BELAKANG ............................................................................................................. 4
1.2. PENGERTIAN ........................................................................................................................ 6
1.2.1. Pengertian Perkawinan ............................................................................................................ 6
1.2.2. Pengertian Pernikahan Dini ..................................................................................................... 7
1.3. BIDANG HUKUM YANG MENGKAJI .............................................................................. 8
1.3.1. Hukum Islam ............................................................................................................................. 8
1.3.2. Hukum Positif............................................................................................................................ 8
1.4. ISU HUKUM ........................................................................................................................... 9

BAB II ........................................................................................................................................................ 11

PERMASALAHAN .............................................................................................................................. 11

BAB III....................................................................................................................................................... 13

PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 13
3.1. Undang-Undang yang Mengatur Pernikahan Dini ................................................................. 13
3.2. Dispensasi Perkawinan Dini ...................................................................................................... 15
3.3. Perlindungan Anak yang Tidak Melakukan Dispensasi Pernikahan Dini ........................... 16

BAB IV ....................................................................................................................................................... 19

KESIMPULAN ..................................................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 21

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Perkawinan usia dini merupakan hal lumrah di Indonesia, masalah sosial ini
umum terjadi pada anak menuju remaja, remaja perempuan adalah korban paling banyak dari
pernikahan dini. Serta banyak terjadi di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan, menurut
survey lebih banyak terjadi pada keluarga ekonomi kebawah, keluarga dengan tingkat
pendidikan rendah. Sejak dekade 90-an menurut United Nations Children Fund atau UNICEF,
daerah perkotaan mulai menjajaki rawannya pernikahan dini, ditandai dengan meningkatnya
kasus pernikahan dini sebanyak 35% di daerah perkotaan pada tahun 2015 yang hanya sebesar
2% mengalami lonjakan yang cukup pesat pada tahun selanjutnya yaitu 2016 kasus pernikahan
dini di perkotaan mencapai 37% (Arivia et al., 2016). Artinya kasus ini dapat terjadi dimana
bahkan kapan saja, diharapkan orang tua dan lingkungan dapat mengedukasi anak untuk
menikah pada usia yang sesuai.

Hasil penelitian di beberapa negara menunjukkan pernikahan dini cenderung


terjadi di negara berkembang. Menurut United Nations Development Economic and Social
Affairs atau UNDESA, Indonesia sendiri adalah negara yang jumlah perkawinan di bawah
umurnya terhitung banyak di dunia. Riskesdas memaparkan data pada tahun 2010 yang
mencapai hamper 42% ketika berusia 15-19 tahun, 4.8% ketika berusia 10-14 tahun anak sudah
menikah. Hal ini menjadikan Indonesia pada tahun itu masuk menjadi negara yang persentase
pernikahan dininya tertinggi di dunia, berada pada peringkat 37 serta menjadi yang kedua se
ASEAN.

Seperti disampaikan Idawati (Idawati, 2018), pernikahan yang dilakukan sebelum


anak berusia 19 tahun biasanya belum memenuhi kesiapan mental, psikis, dan bahkan materi.
Tetapi dalam kenyataannya, masih ada pernikahan yang dilakukan dibawah usia produktif.
Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia, angka perkawinan sebelum berusia 18 tahun
mencapai lebih dari 700 juta perempuan, dan pernikahan sebelum berusia 15 tahun sekitar 250
juta anak (UNICEF, 2015).

4
Pengetahuan orang tua mengenai batas minimal usia pernikahan tentu mengambil
peran penting dalam pemutusan mata rantai penikahan dini, orang tua seharusnya mengetahui
usia untuk menikah yang tepat. Menurut Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 Pasal 6
dan 7 menetapkan bahwa usia pernikahan yang tepat bagi pria adalah 19 tahun dan wanita
berusia 16 tahun, tetapi tahun 2014 Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional atau
BKKBN memutuskan bahwa usia minimal untuk menikah masing-masing adalah 25 dan 21
tahun.
Terlepas dari pengertian dan peraturan hukum tentang pernikahan, masalah serius
yang datang dari pernikahan adalah usia kedua mempelai yang bertentangan dengan aturan
atau dalam kata lain mempelai di bawah umur.
Sulitnya pencegahan pernikahan di bawah umur atau meluasnya pernikahan dini
terjadi karena banyaknya dispensasi, misalnya saja anak 16 tahun sudah diizinkan menikah
namun dengan izin orang tua serta pengadilan setempat, namun yang lebih parah masih
banyak pernikahan di bawah umur yang dilakukan secara tersembunyi.
Pernikahan dini tentu berdampak pada pola pengasuhan yang akan diterapkan
orang tua kepada anak (Suri, dkk. 2021). Pola pengasuhan sendiri merupakan cara bagaimana
nantinya orang tua dalam mendidik serta membesarkan anak sebagai bentuk tanggung jawab
serta kasih sayang, juga suatu bentuk interaksi orang tua terhadap anak yang tujuannya
membentuk tingkah perilaku, dan pengetahuan, dan nilai yang sesuai dengan diri orang tua.
Pola asuh yang dianut orang tua memiliki peran yang penting terhadap daya
kembang anak itu sendiri (Fauziah dkk, 2020). Sedangkan mengasuh dengan positif tentunya
butuh usaha dan waktu, hal ini mengindikasi bahwa seorang ibu harus mempunyai keadaan
emosi yang stabil dan tenang dalam menghadapi perilaku anak.
Pernikahan dini bersumber pada masalah struktural antara lain kemiskinan dan
ketimpangan gender yang tentu berkaitan dengan pandangan masyarakat terhadap pernikahan,
seksualitas, dan moralitas menurut agama serta adat istiadat.

Mengakibatkan proses hukum guna menyudahi pernikahan dini mengalami


kendala berat. Upaya dalam mengakhiri pernikahan dini tentu harus berjalan dengan
perubahan menuju masyarakat yang berkeadilan seperti memberdayakan anak-remaja
perempuan mengenai haknya akan pendidikan dan kesehatan reproduksi, membuka dialog

5
antara orang tua, tentang pola asuh, serta anak laki-laki dan perempuan punya hak yang sama
dalam pendidikan untuk masa depannya.

1.2. PENGERTIAN
1.2.1. Pengertian Perkawinan
Dalam hidup di dunia, Allah SWT menciptakan makhluk-makhlukNya
berpasangan agar hidup berdampingan, saling mencintai, dan berbagi kasih untuk meneruskan
keturunan. Manusia sebagai makhluk sosial yang beradab, menjadikan makna “hidup
berdampingan” sebagai suami dan istri dalam ikatan perkawinan yang diikat agama dan hukum,
agar jadi sah disertai dengan tanggung jawab. Seorang pria dan wanita yang memasuki kehidupan
suami istri, berarti telah memasuki gerbang baru dalam kehidupannya untuk membentuk suatu
rumah tangga sakidah, mawaddah, dan warahmah.
Kata kawin menurut istilah hukum Islam sama dengan kata Nikah atau kata Zawaj.
Kemudian, yang dinamakan nikah menurut Syara’ ialah Akad atau ijab qabul antara wali calon
istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya.
Dapat dibilang jika seseorang belum pernah menikah, artinya bahwa seseorang
tersebut belum pernah mengkabulkan dirinya terhadap ijab aqad nikah yang memenuhi rukun dan
syarat. Jika dikatakan anak itu lahir diluar pernikahan, maka artinya anak tersebut dilahirkan
seorang wanita tetapi tidak berada dalam suatu ikatan perkawinan berdasarkan akad nikah yang
sah menurut hukum.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan
bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Menurut pasal itu bahwa perkawinan, suami istri perlu
saling membantu dan melengkapi, agar masing- masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan dalam berkeluarga.
R. Sardjono mengatakan bahwa: “Ikatan lahir batin berarti bahwa para pihak yang
bersangkutan karena perkawinan itu merupakan suami istri baik bagi mereka dalam hubungannya
dengan masyarakat luas. Pengertian ikatan lahir batin suami istri yang bersangkutan terkandung
niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.”

6
Dari beberapa pengertian perkawinan dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah
suatu hubungan antara laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri yang memenuhi rukun dan
syarat hukum perkawinan.

1.2.2. Pengertian Pernikahan Dini


Pernikahan dibawah umur merupakan pernikahan yang dilakukan anak dibawah
usia minimal, setiap negara mempunyai batasan yang berbeda tentang kategori usia anak, beberapa
lembaga atau organisasi internasional juga demikian.
UNFPA atau The United Nations Population Fund, mengungkapkan pernikahan
dini merupakan suatu pernikahan dimana kedua ataupun salah satu mempelai berusia di bawah 18
tahun, konsep itu tepat dengan Convention of the Rights of the Child bahwa seseorang dapat
dikategorikan anak apabila masih di bawah usia 18 tahun, sedangkan yang terdapat dalam Pasal 6
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa “Untuk melangsungkan
pernikahan seseorang yang berumur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.” Bagi
mereka yang belum berumur 19 tahun bagi pria dan belum berumur 16 tahun bagi wanita tidak
boleh melangsungkan pernikahan sekalipun diizinkan oleh kedua orang tua, kecuali ada izin
dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua pihak pria maupun pihak
wanita.
Pernikahan dini terjadi hampir diseluruh dunia, khususnya di negara berkembang.
Latar belakang terjadinya pernikahan dini, antara lain adanya budaya yang tertanam dalam
masyarakat, pola pikir orang tua, pengaruh agama, faktor ekonomi, serta aspek lainnya. Di
Indonesia saja banyak ditemukan terjadinya banyak pernikahan dini di daerah pelosok. Hal ini di
pengaruhi oleh budaya masyarakat yang percaya jika seorang wanita hanya akan menjadi ibu
rumah tangga, tidak memerlukan suatu pendidikan atau sekolah yang lebih tinggi sehingga lebih
baik menikah untuk menghasilkan keturunan.
Berdasarkan pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan dibawah
umur adalah suatu pernikahan yang dilaksanakan oleh seseorang laki-laki dan perempuan dimana
kedua belah pihak sudah mencapai usia minimal yaitu 21 tahun tetapi masih dibawah kekuasaan
orang tua sehingga segala perbuatan belum dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.

7
1.3. BIDANG HUKUM YANG MENGKAJI
1.3.1. Hukum Islam
Substansi Hukum Islam untuk mewujudkan kemaslahatan sosial bagi manusia baik
di masa sekarang maupun di masa depan. Hukum Islam sendiri bersifat luas, humanis, dan selalu
membawa rahmat.
Dalam ranah pemikiran tentang hal ini ada ayat dan hadis Nabi yang mengkaji
tentang pernikahan, pada prinsipnya semua perbuatan orang muslim yang sudah memasuki akil
baligh tidak terlepas dari hukum syara’ seperti dirumuskan dalam kaidah syara’ al ashlu fi al
’af’aal at-taqayyudu bi al-hukmi al-syar’iyy. Pada mulanya hukum menikah adalah sun nah sesuai
dengan Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3
َ ‫س ط ُ وا ف ِّي ال ي َ ت َا َم ى ف َ ان ِّك حُ وا َم ا ط َ ا‬
‫ب ل َ ك ُ م ِّم َن الن ِّ س َ ا ِّء‬ ِّ ‫َو إ ِّ ن خِّ ف ت ُم أ َ َّل ت ُق‬
‫ث َو ُر ب َ ا ع َ ف َ إ ِّ ن خِّ ف ت ُم أ َ َّل ت َع ِّد ل ُ وا ف َ َو ا ِّح د َ ة أ َ و َم ا َم ل َ ك َت‬ َ ‫َم ث ن َى َو ث ُ ََل‬
‫ك أ َ د ن َى أ َ َّل ت َ ع ُ و ل ُ و ا‬
َ ِّ ‫أ َي َم ا ن ُ ك ُ م ذ َ ل‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Sekalipun dikatakan bahwa pernikahan dini diperbolehkan menurut syariat Islam,
tetapi tidak berarti hal ini diperbolehkan mutlak bagi seluruh perempuan dalam segala kondisi.
Sebab sebagian perempuan ada beberapa keadaan, yang mengindikasi untuk lebih baik ia tidak
menikah dini.

1.3.2. Hukum Positif


Arti pernikahan, yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan untuk membentuk
keluarga antara pria dan wanita, telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tahun
1974. Sebagai negara hukum, Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 yang mengatur tentang perkawinan. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan oleh
Presiden Soeharto pada 1 April 1975 di Jakarta. Dalam Kompilasi Hukum Islam, peraturan
pemerintah juga membahas mengenai batasan usia bagi calon pengantin. Poin masalah
pernikahan dini tidak dijelaskan secara eksplisit, namun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

8
atau KUHPer Pasal 29 menyebut bahwa usia minimal laki-laki untuk menikah adalah 18 tahun,
sedangkan perempuan minimal 15 tahun sehingga baru diizinkan untuk melakukan pernikahan.
Sedangkan batas kedewasaan seseorang menurut buku KUHPerdata Pasal 330 adalah ketika
berusia 21 tahun dan belum pernah menikah.

Berdasarkan pertimbangan Peraturan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019


tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan dijelaskan
bahwa Pasal 66 jika segala hal berkaitan dengan perkawinan berdasar Undang-Undang tersebut,
maka ketentuan-ketentuan yang tercantum pada buku KUHPerdata tidak berlaku lagi. Ini juga
berlaku untuk batasan umur yang ditetapkan, karena pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang batasan usia
menikah. Pasal 7 ayat 1 menjelaskan tentang batasan umur minimal menikah laki-laki minimal
berusia 19 tahun sedangkan perempuan berusia minimal 16 tahun.
Merujuk Pasal 2 menjelaskan bila terjadi penyimpangan terhadap ayat 1 seseorang
bisa meminta dispensasi kepada pengadilan. Pengadilan yang ditentukan oleh kedua orang tua
pihak calon mempelai laki-laki dan perempuan.

1.4. ISU HUKUM


Pernikahan dini merupakan isu yang kompleks dan sensitif. Istilah ini merujuk pada
pernikahan yang melibatkan salah satu atau kedua pasangan yang belum mencapai usia dewasa,
dampaknya sangat serius terhadap kesejahteraan anak-anak yang terlibat.
Pernikahan dini sering kali terkait dengan masalah seperti pendidikan yang terganggu,
kesehatan yang buruk, kemiskinan, dan kurangnya kesempatan untuk mengembangkan potensi
mereka. Selain itu, pernikahan dini dapat meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga dan kesulitan dalam menjalani peran sebagai pasangan dan orang tua.
Banyak negara dan organisasi internasional telah berupaya untuk mengatasi
pernikahan dini melalui undang-undang, program pendidikan, dan kampanye kesadaran. Tujuan
utamanya adalah melindungi serta menjamin hak-hak anak dan memastikan mereka memiliki
kesempatan yang setara untuk tumbuh dan berkembang.

9
Penting untuk mendiskusikan dan meningkatkan kesadaran tentang pernikahan dini
agar dapat menghentikan praktik ini dan menghadirkan masa depan yang lebih cerah bagi anak-
anak di seluruh dunia.

10
BAB II

PERMASALAHAN

Ketentuan mengenai batas usia minimal untuk melangsungkan pernikahan di


Indonesia telah mengalami perubahan, sesuai dengan peraturan yang berlaku dan yang telah
ditetapkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 yaitu baik bagi pria maupun wanita sudah berusia
minimal 19 tahun, disisi lain ketentuan hukum, regulasi mengenai dispensasi kawin masih
dipertahankan eksistensi atau keberadaannya. Perubahan yang paling mencolok terjadi pada revisi
Undang-Undang Perkawinan terbaru, yang tercantum dalam Pasal 7 ayat 2. Pasal ini menyatakan
bahwa pengajuan dispensasi tetap berlaku jika kedua orang tua, baik dari pihak pria maupun
wanita, mengajukan dispensasi. Selain itu, pengajuan dispensasi hanya boleh diajukan kepada
Pengadilan.
Frasa “Pejabat lain” pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dihilangkan karena
dianggap menimbulkan suatu kebingungan atau kerancuan. Kerancuan tersebut disebabkan oleh
karena banyaknya pejabat berwenang yang dapat memberikan dispensasi dengan kata lain tidak
hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan, dapat juga oleh Pegawai Kantor Urusan Agama atau
KUA, dan Kepala Desa.1
Lembaga peradilan, sesuai dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019,
memiliki kewenangan absolut untuk memberi izin penyimpangan batas usia melangsungkan
perkawinan. Dalam proses pemberian dispensasi, Pengadilan wajib mendengarkan pendapat
kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.

Kenyataannya banyak pernikahan dini yang melibatkan anak di bawah usia


minimal yang tidak mengajukan dispensasi dalam pelaksanaannya, baik melalui Lembaga
Peradilan seperti Pengadilan Agama ataupun Pengadilan Umum. Pernikahan dini yang
dilaksanakan tanpa pengajuan dispensasi kawin dari Pengadilan maka mempelai tidak akan
mendapatkan perlindungan atas hak-haknya karena tidak adanya pihak atau lembaga hukum
negara yang kompeten dapat menjamin memberi perlindungan. Hal ini karena secara umum
terdapat fungsi yang mengatur perlindungan anak dalam dispensasi kawin yaitu:

1
Mughniatul Ilma, Op.cit, hlm. 148.

11
Menjamin hak-hak anak dan melindungi mereka dari perlakuan yang tidak
menyenangkan serta tindakan penyelewengan orang tua untuk menikahkan anak, dalam
pernikahan dini yang dilakukan tanpa dispensasi kawin, tidak ada jaminan hukum yang mengatur
keberlangsungan perkawinan tersebut berdasarkan kehendak anak yang masih di bawah umur serta
mengenai kesiapan anak baik secara mental maupun fisik dalam membina rumah tangga.

12
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Undang-Undang yang Mengatur Pernikahan Dini


Perkawinan usia dini merupakan hal lumrah di Indonesia, masalah sosial ini umum
terjadi pada anak menuju remaja, remaja perempuan adalah korban paling banyak dari
pernikahan dini. Serta banyak terjadi di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan, menurut
survey lebih banyak terjadi pada keluarga ekonomi kebawah, keluarga dengan tingkat
pendidikan rendah.
Namun semenjak dekade 90-an United Nations Children Fund atau UNICEF
memaparkan bahwa daerah perkotaan mulai menjajaki tingginya pernikahan dini, ditandai
meningkatnya kasus pernikahan dini sebanyak 35% di daerah perkotaan pada tahun 2015 yang
hanya sebesar 2% mengalami lonjakan yang cukup pesat pada tahun selanjutnya yaitu 2016
kasus pernikahan dini di perkotaan mencapai 37% (Arivia et al., 2016). Artinya kasus ini dapat
terjadi dimana bahkan kapan saja, diharapkan orang tua dan lingkungan dapat mengedukasi
anak untuk menikah pada usia yang sesuai.
Hasil penelitian di beberapa negara menunjukkan pernikahan dini cenderung terjadi
di negara berkembang. Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs
atau UNDESA, Indonesia sendiri adalah negara yang jumlah perkawinan di bawah umurnya
terhitung banyak di dunia. Riskesdas memaparkan data pada tahun 2010 yang mencapai
hamper 42% ketika berusia 15-19 tahun, 4.8% ketika berusia 10-14 tahun anak sudah menikah.
Hal ini menjadikan Indonesia pada tahun itu masuk menjadi negara yang persentase
pernikahan dininya tertinggi di dunia, berada pada peringkat 37 serta menjadi yang kedua se
ASEAN.
Indonesia mengatur pernikahan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.
1 Tahun 1974, yang mencakup beberapa bab dan pasal-pasal penting, antara lain:

1. Dasar perkawinan tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974


Bab 1 Pasal 5.

2. Syarat perkawinan.

13
3. Hak dan kewajiban suami istri, yang diatur oleh negara dalam Undang-Undang
Perkawinan Bab 5 Pasal 30 sampai Pasal 34, dan lainnya

UNFPA atau The United Nations Population Fund menyatakan bahwa pernikahan
dini adalah pernikahan di mana kedua mempelai atau salah satunya berusia di bawah 18 tahun.
Konsep ini sesuai dengan Convention on the Rights of the Child, yang mengategorikan
seseorang sebagai anak jika berusia di bawah 18 tahun. Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 di Indonesia menyebutkan bahwa seseorang yang berusia 21 tahun harus
mendapatkan izin dari kedua orang tua untuk melangsungkan pernikahan. Bagi mereka yang
belum berusia 19 tahun (untuk pria) dan belum berusia 16 tahun (untuk wanita), tidak boleh
melangsungkan pernikahan, kecuali ada izin dispensasi dari pengadilan atau pejabat yang
ditunjuk oleh orang tua salah satu pihak.

Undang-Undang yang mengatur mengenai perkawinan dan pernikahan dini di


Indonesia meliputi:

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


2. Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 mengenai Perubahan terhadap Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 ini mengatur
lebih lanjut mengenai pernikahan dan ketentuan-ketentuan yang relevan berlaku
sejak 15 Oktober 2019
Adapun perubahan yang terjadi mengatur beberapa aspek terkait perkawinan dan
pernikahan di Indonesia. Beberapa poin penting dari perubahan tersebut adalah:
1. Perubahan norma dalam Undang-Undang mengenai batas usia perkawinan bertujuan untuk
memastikan perkawinan berlangsung dengan baik dan menghasilkan keturunan yang sehat.
Kini, usia minimal perkawinan bagi wanita disamakan dengan usia minimal perkawinan
bagi pria, yaitu 19 tahun. Selain itu, perubahan ini diharapkan dapat mengurangi laju
kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan anak.
2. Perlindungan anak juga menjadi fokus, termasuk hak atas pendidikan setinggi mungkin.
3. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-
XV/2017 memerlukan perubahan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

14
mengenai Perkawinan dan Pasal-pasal terkait dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Meluasnya pernikahan di bawah umur dipengaruhi banyaknya dispensasi yang
diberi izin, contohnya saja remaja 16 tahun sudah menikah karena diberi izin orang tua dan izin
dari pengadilan setempat, yang lebih parahnya, banyak pernikahan yang dilakukan secara
tersembunyi karena adanya kehamilan diluar pernikahan.

3.2. Dispensasi Perkawinan Dini


Perubahan usia minimal melangsungkan pernikahan menambah tinggi harapan
dalam rangka meminimalisir pernikahan dini di Indonesia, namun poin dispensasi kawin masih
tercantum di Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 sehingga memberi suatu kesan
hilangnya ketegasan hukum dan pemerintah dalam memberantas pernikahan dini.
Dispensasi kawin menurut Pasal 1 ayat 5 PERMA No. 5 Tahun 2019 ialah
“Pemberian izin kawin oleh Pengadilan kepada calon suami atau istri yang belu berusia 19 tahun
untuk melangsungkan perkawinan.” Pengadilan juga merupakan satu-satunya lembaga yang
memiliki kewenangan mutlak untuk memberikan izin atau legitimasi dalam hal ini. Undang-
Undang No. 16 Tahun 2019 mengatur mengenai izin penyimpangan usia pernikahan.
Bagi masyarakat pemeluk agama Islam, dispensasi kawin harus diajukan kepada Pengadilan
Agama, sementara agama lain dapat mengajukannya ke Pengadilan Negeri.
Mahkamah Agung atau MA secara khusus mengeluarkan peraturan dispensasi
kawin yaitu Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 mengenai Pedoman Mengadili
Permohonan Dispensasi Kawin yang dikeluarkan oleh dikenal sebagai PERMA No. 5 Tahun 2019,
bertujuan untuk menjamin tindakan proses pengadilan dalam mengadili dispensasi kawin. Maka
dengan adanya hal tersebut, hakim akan lebih berhati-hati dalam memeriksa perkara dispensasi.2

Namun meskipun maknanya baik karena memberi batasan permohonan dispensasi,


namun pemaparan mengenai kriteria dan alas an apa yang dapat diajukan untuk dispensasi kawin
masih kurang tegas. Dispensasi kawin akhirnya bergantung pada subjektivitas hakim dengan

2
Mughniatul Ilma, “Regulasi Dispensasi Dalam Penguatan Aturan Batas Usia Kawin Bagi Anak Pasca Lahirnya UU
No. 16 Tahun 2019”, Al-Manhaj: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Vol. 2 No. 2, hlm. 151.

15
mempertimbangkan berbagai aspek hukum, sehingga kepastian hukum dalam hal ini
menjadi kurang jelas.3

3.3. Perlindungan Anak yang Tidak Melakukan Dispensasi Pernikahan Dini


Pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang mengubah Pasal 1
ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 berisi tentang perlindungan anak, mencakup semua
aspek yang terkait dalam melindungi serta menjamin hak-hak anak agar mereka dapat hidup,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pasal 28 D
ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menegaskan hak setiap
orang atas pengakuan, perlindungan, penjaminan, perlakuan yang adil, dan kepastian hukum di
hadapan hukum.
Kasus pernikahan yang menyelewengi batas usia minimal tanpa melakukan
pengajuan dispensasi kawin dari Pengadilan tetapi secara adminstratif pernikahan tersebut telah
tercatat dalam negara, namun intinya tetap ada saja pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai
pencatatan perkawinan yang terjadi ketika pegawai tersebut membantu meloloskan suatu
perkawinan dan melanggar ketentuan batas usia minimal perkawinan. Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dengan jelas menyebutkan bahwa pegawai pencatat perkawinan tidak boleh
membantu perkawinan yang melanggar batas usia minimal.
Menilik Undang-Undang No. 16 Tahun 2019, pokok-pokok disahkannya Undang-
Undang tersebut sebagai tindak preventif terjadinya pernikahan di bawah umur yang melonjak di
masyarakat, pada dasarnya pernikahan dini punya banyak efek negative bagi tumbuh kembang
anak yang memungkinkan terampas dan tidak terpenuhinya hak anak tersebut. Contohnya saja hak
untuk mendapat perlindungan yang mencakup hak atas kesehatan, pendidikan, dan perlindungan
dari kekerasan serta diskriminasi. Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 mengubah Pasal 7
mengenai usia minimal melaksanakan pernikahan yang awalnya berusia minimal 19 tahun bagi
pria dan 16 tahun bagi wanita, kini usia minimal untuk perkawinan telah diubah menjadi 19 tahun
bagi kedua belah pihak, baik pria maupun wanita. Perubahan ini bertujuan agar lonjakan
pernikahan dini dapat ditekan.
Namun pada kenyataannya tetap banyak pernikahan dini yang melibatkan anak di
bawah usia minimal karena tidak adanya pengajuan dispensasi dalam pelaksanaannya, baik

3
Ibid, hlm. 150.

16
melalui Lembaga Peradilan seperti Pengadilan Agama ataupun Pengadilan Umum. Pernikahan
dini yang dilaksanakan tanpa pengajuan dispensasi kawin menyebabkan mempelai tidak memiliki
perlindungan hukum atas segala hak-haknya karena ketiadaan pihak atau lembaga hukum negara
yang kompeten dapat menjamin memberi perlindungan. Secara umum terdapat fungsi yang
mengelola hak-hak anak dalam dispensasi kawin yaitu:
Menjamin anak mendapat haknya, melindungi anak tersebut dari perlakuan yang
tidak menyenangkan, pernikahan dini yang dilakukan tanpa dispensasi kawin tentu menjadikan
pernikahan tersebut tidak memiliki jaminan hukum untuk mengatur keberlangsungan perkawinan
berdasarkan kehendak anak yang masih di bawah umur serta mengenai kesiapan anak baik secara
mental maupun fisik dalam membina rumah tangga.
Perlindungan hukum konkret yang dapat diberikan dalam pernikahan dini tanpa
dispensasi kawin, namun telah tercatat oleh lembaga pencatat perkawinan menurut PLT Deputi
Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Nahar SH., M.SI,
adalah bahwa perkawinan tersebut dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Peninjauan
dilakukan dari segi administrasi terkait pencatatan perkawinan dan memastikan bahwa perkawinan
tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 yang
menggantikan Pasal 6 ayat 2 huruf e Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1974.4
Pembatalan perkawinan dini dapat diajukan atas dasar kondisi psikologis anak yang
tentu masih rentan serta tidak stabil dalam membina istana bahagia, menurut Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 pada hakikatnya perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.5 Pembatalan perkawinan diatur dalam ketentuan
Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Dispensasi kawin dilakukan berdasarkan ketetapan atau putusan pengadilan
merupakan suatu angin segar praktik perkawinan anak di bawah umur yang hidup di dalam
masyarakat, agar pernikahan dini memiliki kepastian hukum serta perlindungan hak-hak anak
sebelum pernikahan terjadi atau jika ditinjau melalui segi administrasi perkawinan, maka

4
Hasil Wawancara dengan Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Anak KemenPPA, “Maraknya Promosi Perkawinan
Anak”, (dipresentasikan dalam Instagram live: Kemenppa dan urbansiana.com), pada tanggal 25 Februari 2021.
5
Hisbah, Op.Cit, hlm. 384.

17
perkawinan tersebut akan mendapat jaminan perlindungan yang telah diakui secara sah di mata
hukum.

18
BAB IV

KESIMPULAN

Dalam pernikahan dini aspek perlindungan anak adalah hal yang sangat penting
karena pernikahan di bawah umur tentu memiliki dampak yang merugikan bagi anak-anak.
Dispensasi pernikahan dini adalah izin yang diberikan kepada anak di bawah usia pernikahan yang
ditentukan oleh undang-undang untuk menikah. Berdasarkan tinjauan hukum terhadap
perlindungan anak yang tidak melakukan dispensasi pernikahan dini, dapat ditarik beberapa
kesimpulan yang penting untuk dipahami.
Pertama, perlindungan hukum anak adalah aspek yang sangat penting dalam
menjaga kesejahteraan dan hak-hak mereka. Dalam konteks pernikahan dini, anak yang tidak
melakukan dispensasi pernikahan dini mungkin tidak mendapatkan perlindungan hukum yang
sama dengan anak yang telah mendapatkan dispensasi. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian
status hukum anak tersebut dan meningkatkan risiko terhadap kekerasan, eksploitasi, dan
keterbatasan dalam hal pendidikan dan kesejahteraan.
Kedua, dispensasi kawin merupakan upaya hukum untuk memberikan status
hukum yang jelas kepada anak yang melakukan pernikahan di bawah umur. Namun, penting untuk
diingat bahwa dispensasi kawin tidak selalu memberikan perlindungan yang memadai bagi anak
tersebut. perlindungan hukum harus melampaui sekadar memberikan dispensasi kawin dan
memastikan bahwa anak-anak tetap mendapatkan perlindungan yang setara dan komprehensif.
Ketiga, regulasi perlindungan anak yang kuat sangat penting dalam mencegah
pernikahan dini. Undang-undang yang mengatur usia minimal perkawinan harus ditegakkan
dengan tegas dan didukung oleh upaya pencegahan yang efektif. Pemerintah harus memiliki
kebijakan yang jelas dan efektif dalam melindungi anak-anak dari pernikahan dini, sementara
lembaga masyarakat dan individu harus terlibat aktif dalam mendukung perlindungan anak dan
mengubah norma sosial yang mengizinkan pernikahan di bawah umur.
Keempat, pendidikan dan kesadaran tentang hak-hak anak, dampak negatif pernikahan dini, dan
pentingnya perlindungan anak harus menjadi prioritas.Pendidikan yang menyeluruh dan kesadaran
yang tinggi akan memberikan dasar yang kuat dalam melindungi anak-anak dan mencegah
pernikahan dini.

19
Dalam rangka melindungi anak-anak dari pernikahan dini, diperlukan kerjasama
yang kuat antara pemerintah, lembaga masyarakat, dan individu. Perlindungan hukum yang kuat,
pendidikan yang menyeluruh, dan kesadaran yang tinggi akan menjadi langkah penting dalam
melindungi hak-hak anak dan mencegah pernikahan di bawah umur. Hanya dengan upaya bersama
yang holistik dan berkelanjutan, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan
mendukung bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Rifiani, Dwi, Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal de Jure: 2021

Fadilah, Dini. Tinjauan Dampak Pernikahan Dini dari Berbagai Aspek, Jurnal Pamator: 2021

Achmad Bahroni, “Dispensasi Kawin Dalam Tinjauan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 juncto

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.” Jurnal

Tranparansi Hukum.

Permono, Kurniawan Dedy (et.al), Tinjauan Hukum Pengaruh Dispensasi Perkawinan Di Bawah

Umur Terhadap Efektivitas Peraturan Batas Minimum Usia Menikah, Jurnal

Notarius: 2021

Judiasih, Sonny Dewi (et.al), Suistainable Development Goals Upaya Penghapusan Perkawinan

Bawah Umur di Indonesia, Cakra, Bandung: 2019.

Safira, Levana (et.al), Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Perkawinan Bawah

Umur Tanpa Dispensasi Kawin Dari Pengadilan, Jurnal Acta Diurnal: 2021

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan

21

Anda mungkin juga menyukai