Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

KONSEP DASAR KEPERAWATAN ANAK DAN SYSTEM


PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA

Dosen Pengampu : Rehana, S.Pd, S.Kep, M.Kes

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1
TINGKAT IIA
1. Adela Ayu Basmari (PO7120119001)
2. Adiza (PO7120119002)
3. Ahmad Widad Allan Anuari (PO7120119003)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIPLOMA III KEPERAWATAN PALEMBANG

1
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul: “Konsep Dasar Keperawatan Anak dan System Perlindungan Anak
di Indonesia”. Pembuatan makalah dimaksudkan untuk memenuhi tugas yang di
berikan Dosen sebagai bahan pembelajaran dan penilaian.
kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,
kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki
sehingga dapat diselesai dengan baik. Oleh karena itu, masukan, saran, kritik, dan
usul yang sifatnya untuk perbaikan dari berbagai pihak khususnya Bapak serta
rekan – rekan sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
memberi masukan sehingga makalah ini dapat di selesaikan dan saya berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Palembang, 2 Agustus 2020

Kelompok 1

2
DAFTAR ISI

Daftar isi
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................2
1.3 Tujuan......................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN................................................................................................................3
2.1 Pengertian Anak...........................................................................................3
2.2 Filosofi Keperawatan Anak....................................................................3
2. 3 Paradigma Keperawatan Anak..................................................................7
2.4 Prinsip Perawatan Anak............................................................................10
2.5 Family Centered Care (FCC)....................................................................11
2.6 Atraumatic Care.........................................................................................15
2.7 Membangun system perlindungan anak di Indonesia............................18
2.8 Perkembangan Peraturan Undang-undang Perlindungan Anak Di
Indonesia...........................................................................................................21
2.9 Perundang-Undangan Nasional Tentang Kekerasan, Eksploitasi,
Penelantaran dan Perlakuan Salah pada Anak.............................................25
2.10 Definisi dan Sanksi Kekerasan, Eksploitasi, Penelantaran dan
Perlakuan Salah dalam Undang-Undang Nasional dan Perbandingannya
dengan Insrumen Internasional......................................................................26
2.11 Analisis Perkembangan Pembentukan Perubahan Kedua
Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016...................................................30
BAB III............................................................................................................................36
PENUTUP.......................................................................................................................36
3.1 Kesimpulan.................................................................................................36
3.2 Saran............................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................37

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak-anak sangatlah berbeda dari orang dewasa baik secara fisiologis


maupun psikologis. Asuhan keperawatan pediatric merupakan fenomena yang
spasial. Untuk menghadapi tantangan berespons terhadap kebutuhan anak,
banyak fasilitas asuhan keperawatan dewasa ini diperlengkapi dengan unit
pediatrik terpisah, sehingga perawat dan staf asuhan keperawatan profesional
lainnya dapat memberikan terapi berdasarkan kebutuhan individual pasiennya
masing-masing.
Namun, pada kenyataannya banyak fasilitas asuhan kesehatan tidak
memiliki ruangan berstandar tinggi seperti yang dimaksud. Sebagai konsekuensi
yang harus dipikul dalam penataan ruangan tersebut, anak-anak yang menderita
penyakit akut kadang-kadang tidak menerima perhatian khusus serta perawatan
yang mereka inginkan yang sepatutnya harus mereka dapatkan.
Keluarga merupakan unsur penting dalam perawatan anak, mengigat anak
bagian dari keluarga. Kehidupan anak dapat ditentukan oleh lingkungan keluarga,
kehidupan dan kesehatan anak juga dipengaruhi oleh dukungan keluarga. Hal ini
dapat telihat bila dukungan keluarga sangat baik maka pertumbuhan dan
perkembangan anak relatif stabil, tetapi bila dukungan pada anak kurang baik,
maka anak akan mengalami hambatan pada dirinya yang dapat menggangu
psikologis anak (Hidayat, 2005). Anak dipandang sebagai individu yang unik,
yang punya potensi untuk tumbuh dan berkembang ( Supartini, Yupi ). Anak
bukanlah miniature orang dewasa, melainkan individu yang sedang berada dalam
proses tumbuh kembang dan mempunyai kebutuhan yang spesifik.
Sepanjang rentang sehat-sakit, anak membutuhkan bantuan perawat baik
secara langsung maupun tidak langsung sehingga tumbuh kembangnya dapat
terus berjalan. Orangtua diyakini sebagai orang yang paling tepat dan paling baik
dalam memberikan perawatan pada anak, baik dalam keadaan sehat maupun sakit.
Keberadaan anak di tengah-tengah keluarga sangat penting, baik dalam

4
perawatan anak sehat, maupun saat anak sakit. Keluarga dengan anak yang sedang
sakit di rumah menuntut keluarga itu sendiri untuk memberi perawatan yang
optimal pada anak.
Atas dasar tersebut pemerintah berupaya melakukan pemberian perlindungan
terhadap anak. Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya
perlindungn bagi hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak
(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang
berhubungan dengan kesejahteraan anak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud filosofi keperawatan anak?
2. Apa yang dimaksud paradigma keperawatan anak?
3. Bagaimana prinsip keperawatan anak?
4. Bagaimana system perlindungan anak di indonesia?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari filosofi keperawatan anak.
2. Untuk mengetahui pengertian dari paradigma keperawatan anak.
3. Untuk mengetahui prinsip keperawatan anak.
4. Untuk mengetahui system perlindungan anak di Indonesia.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Anak


Menurut  UU RI No. IV th 1979 ttg kesejahteraan anak, disebutkan bahwa
anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah
Sedangkan menurut UU RI No. I th 1974 Bab IX ps 42 disebutkan bahwa
anak  yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai perkawinan yang sah.
Dari kedua pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian anak
adalah seseorang yang dilahirkan dalam atau sebagai perkawinan yang sah yang
belum mencapai usia 21 tahun dan belum menikah.

2.1.1 Kedudukan Anak di Indonesia


Di Indonesia anak dipandang sebagai pewaris keluarga, yaitu penerus keluarga
yang kelak akan melanjutkan nilai – nilai dari keluarga serta  dianggap sebagai
seseorang yang bisa memberikan perawatan dan perlindungan ketika kedua orang
tua sudah berada pada tahap lanjut usia ( jaminan hari tua  ) . Anak masih
dianggap sebagai  sumber tenaga murah yang dapat membantu ekonomi keluarga.
Keberadaan anak  dididik menjadi pribadi yang mandiri

2.2 Filosofi Keperawatan Anak


Filosofi keperawatan anak merupakan keyakinan atau cara pandang perawat
dalam meberikan pelayanan keperawatan pada anak.
Tujuan dan manfaat :
1. Pencapaian derajat kesehatan yang tinggi bagi anak sebagai satu bagian dari
sistem pelayanan kesehatan di keluarga.
2. Meningkatkan kepuasaan anak dan keluarga
3. Mengurangi fragmentasi pemberian asuhan
Kunci Filosofi Keperawatan Anak :
1. Family Centered Care
2. Atraumatic Care
3. Primary Nursing
4. Case Management

6
a. Family Centered Care (Perawatan berfokus pada keluarga)
Keluarga merupakan bagian penting dalam keperawatan anak mengingat anak
adalah bagian dari keluarga. Kehidupan anak dapat ditentukan oleh lingkungan
keluarga, untuk itu keperawatan anak harus mengenal keluarga sebagai tempat
tinggal atau sebagai konstanta tetap dalam kehidupan anak (Wong,Perry &
Hockenberry, 2002).
Pada dasarnya, setiap asuhan pada anak yang dirawat di rumah sakit
memerlukan keterlibatan orangtua. Waktu kunjungan orangtua terhadap anaknya
harus terbuka 24 jam, tersedia aktivitas bermain dan layanan pendidikan
kesehatan pada orangtua yang terprogram secara reguler. Anak membutuhkan
orangtua selama proses hospitalisasi.
Untuk mencapai tujuan dari upaya pencegahan dan pengobatan pada anak yang
dirawat di rumah sakit, sangat diperlukan kerjasama antara orangtua dan tim
kesehatan dan asuhan pada anak baik sehat maupun sakit paling baik
dilaksanakan oleh orangtua dengan bantuan tenaga kesehatan yang berkompeten.

Konsep dasar pada filosofi Perawatan berfokus pada keluarga :


1. Enabling (memberdayakan)
Perawat memberdayakan keluarga dengan cara menciptakan
kesempatan dan cara bagi semua anggota keluarga untuk menampilkan
kemampuan dan ketrampilan yang ada dan untuk mendapatkan kemampuan
kemampuan dan ketrampilan baru yang perlu untuk memenuhi kebutuhan anak
dan keluarga

2. Empowering (memperkokoh)
Interaksi perawat dengan keluarga yang sedemikian rupa sehingga
keluarga mempertahankan atau mendapatkan perasaan mengontrol kehidupannya
dan aspek perubahan positif sebagai hasil dari perilaku perbantuan

Elemen pokok asuhan yang berpusat pada keluarga :


1. Hubungan anak dan orangtua adalah unik, berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya. Setiap anak mempunyai karakteristik yang berbeda
dan berespons terhadap sakit dan perawatan di rumah sakit secara berbeda

7
pula. Demikian pula orangtua mempunyai latar belakang individu yang
berbeda dalam berespon terhadap kondisi anak dan perawatan di rumah
sakit.
2. Orangtua dapat memberikan asuhan yang efektif selama hospitalisasi
anaknya.
3. Kerjasama dalam model asuhan adalah fleksibel dan menggunakan konsep
dasar asuhan keperawatan anak.
4. Keberhasilan dari pendekatan ini tergantung pada kesepakatan tim
kesehatan untuk mendukung kerjasama yang aktif dari orangtua.
Kesepakatan untuk menggunakan pendekatan family centered tidak cukup
hanya dari perawat tetapi juga seluruh petugas yang ada.

b. Atraumatic care
Atraumatic care adalah pemberian asuhan/ pelayanan terapeutik pada setting,
personal, dan intervensi yang digunakan untuk mengurangi atau meminimalkan
distress psikologis dan fisik, yang dialami anak yang sakit dan keluarganya pada
sistem yankes.
Therapeutik care adalah seluruh tindakan yang meliputi preventif, penegakan
diagnosa, pengobatan, dan penatalaksanaan lainnya atau perawatan paliatif pada
kondisi akut maupun kronis
Setting adalah tempat pelayanan kesehatan diberikan: rumah, RS/ lainnya

Personel adalah setiap orang yang terlibat langsung dalam pemberian terapeutik
care
Intervensi adalah seluruh tindakan/ kegiatan dalam rentang pendekatan psikologis
(menyiapkan anak untuk dilakukan prosedur) dan fisik (memberikan ruang untuk
orangtua rooming in).
Atraumatic care adalah perawatan yang tidak menimbulkan adanya taruma
pada anak dan keluarga. Dasar pemikiran pentingnya asuhan terapeutik ini adalah
bahwa walaupun ilmu pengetahuan dan teknollogi di bidang pediatrik telah
berkembang pesat, tindakan yang dilakukan pada anak tetap menimbulkan trauma,
rasa nyeri, marah, cemas dan takut pada anak.

8
Atraumatic care difokuskan pada pencegahan terhadap trauma yang
merupakan bagian dalam keperawatan anak. Perhatian khusus pada anak sebagai
individu yang masih dalam usia tumbuh kembang sangat penting karena masa
anak merupakan proses menuju kematangan. Kalau proses menuju kematangan
tersebut terdapat hambatan atau gangguan maka anak tidak akan mencapai
kematangan.

Prinsip utama dalam asuhan terapetik :


1. Cegah atau turunkan dampak perpisahan antara orangtua dan anak
dengan menggunakan pendekatan family centered
2. Tingkatkan kemampuan orangtua dalam mengontrol perawatan
anaknya
3. Cegah atau kurangi cedera baik fisik maupun psikologi. Rasa nyeri
karena tindakan perlukaan tidak akan bisa dihilangkan, tetapi dapat dikurangi
dengan menggunakan tehnik distraksi atau relaksasi
4. Modifikasi lingkungan fisik rumah sakit dengan lingkungan yang
bernuansa anak

c. Primary Nursing
Primary Nursing a/ menjaga / merawat anak selama 24 jam. Model terkini
dalam keperawatan anak : meningkatnya pertanggungjawaban terhadap
klien.Primary Nursing secara umum mendukung pelaksanaan Askep pada anak
dan menjadikan asuhan yang konsisten terhadap anak serta berfokus pada unit
keluarga sebagai bagian komponen integral pada perencanaan dan pelaksanaan
asuhan keperawatan.
d. Manajemen Kasus
Pengelolaan kasus secara komprehensif adalah bagian utama dalam pemberian
asuhan keperawatan secara utuh, melalui upaya pengkajian, penentuan diagnosa,
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dari berbagai kasus baik yang akut
maupun kronis. Pendekatan psikologis yang dilakukan dengan mempersiapkan
secara fisik, memberi kesempatan orangtua dan menciptakan lingkungan yang

9
nyaman bagi anak dan orangtua dengnan berprinsip pada upaya pencegahan dan
peningkatan kesehatan.
Kemampuan perawat dalam mengelola kasus secara baik tentu berdampak
dalam proses penyembuhan pada anak, mengingat anak memiliki kebutuhan yang
spesifik dan berbeda satu sama lain. Keterlibatan orangtua dalam pengelolaan
kasus juga dibutuhkan karena proses perawatan di rumah adalah bagian tanggung
jawabnya dengan meneruskan program perawatan di rumah sakit. Pendidikan dan
keterampilan mengelola kasus pada anak selma di rumah sakit, akan mampu
memberikan keterlibatan secara penuh bagi keluarga (Wong,D.L,1995).

2. 3 Paradigma Keperawatan Anak


Paradigma keperawatan anak merupakan suatu landasan berfikir dalam
penerapan ilmu keperawatan anak. Penggunaan paradigm keperawatan anak
tetap mengacu pada konsep paradigma keperawatan secara umum. Landasan
berfikir tersebut terdiri dari empat komponen, di antaranya manusia dalam hal
ini anak, keperawatan, sehat-sakit dan lingkungan yang dapat digambarkan
sebagai berikut :

Manusia (Anak)

Sehat-Sakit Lingkungan

Keperawatan

 Manusia (Anak)
Anak baik sebagai individu maupun bagian dari keluarga merupakan salah
satu sasaran dalam pelayanan keperawatan. Untuk dapat memberikan pelayanan
keperawatan yang tepat sesuai dengan masa tumbuh kembangnya, anak di
kelompokkan berdasarkan masa tumbuh kembangnya yaitu
1.      Bayi                             : 0 – 1 th

10
2.      Toddler                       : 1 – 2,5 th
3.      Pra Sekolah                 : 2,5 – 5 th
4.      Sekolah                       : 5 – 11 th
5.      Remaja                        : 11 – 18 th
 Terdapat perbedaan dalam memberikan pelayanan keperawatan antara
orang dewasa dan anak sebagai sasarannya. Perbedaan itu dapat dilihat dari
struktur fisik, dimana secara fisik anak memiliki organ yang belum matur
sepenuhnya. Sebagai contoh bahwa komposisi tulang pada anak lebih banyak
berupa tulang rawan, sedangkan pada orang dewasa sudah berupa tulang keras.
Proses fisiologis juga mengalami perbedaan, kemampuan anak dalam
membentuk zat penangkal anti peradarangan belum sempurna sehingga daya
tahan tubuhnya masih rentan dan mudah terserang penyakit. Pada aspek
kognitif,  kemampuan berfikir anak  serta tanggapan terhadap pengalaman masa
lalu sangat berbeda dari orang dewasa, pengalaman yang tidak menyenangkan
selama di rawat akan di rekam sebagai suatu trauma, sehingga pelayanan
keperawatan harus meminimalisasi dampak traumatis anak.
Manusia sebagai klien dalam keperawatan anak adalah individu yang
berusia antara 0–21 tahun, yang berada dalam suatu rentang perubahan
perkembangan dari bayi sampai remaja.
Sebagai individu yang sedang dalam proses tumbuh kembang, anak
mempunyai kebutuhan spesifik (fisik, psikologis, sosial dan spiritual) yang
berbeda dengan orang dewasa. Diyakini bahwa anak bukan miniatur orang
dewasa, harta dan kekayaan orang tua yang nilainya dihitung secara ekonomi
tetapi anak adalah mahluk yang unik dan utuh, biopsiko-sosio cultural spritual
Anak merupakan anggota unit keluarga dalam suatu kultur dan
masyarakat, maka keperawatan anak tidak boleh hanya memperhatikan anak itu
sendiri,akan tetapi kultur keluarga dan masyarakat harus diperhatikan . Sebagai
bagian dari keluarga salah satu bagian yang penting adalah keterlibatan anggota
keluarga dalam memberikan pelayanan perawatan. Anak merupakan masa depan
bangsa dan negara (dunia) yang berhak atas pelayanan kesehatan untuk memenuhi
kebutuhan spesifiknya pada tiap tahap usia.

11
 Sehat-Sakit
Rentang sehat-sakit merupakan batasan yang dapat diberikan bantuan
pelayanan keperawatan pada anak. Rentang ini adalah suatu alat ukur dalam
menilai status kesehatan yang bersifat dinamis dalam setiap waktu. Sehat-sakit
berada dlam suatu rentang mulai dari sehat opimal pada satu kutub sampai
meninggal pad kutub berikutnya seperti terlihat berikut ini : sehat optimal, sakit
berat, meninggal.

Sepanjang rentang tersebut, anak memerlukan bantuan perawat baik secara


langsung maupun tidak langsung dengan melakukan bimbingan antisipasi pada
orangtuanya.

 Lingkungan
Lingkungan dalam pradigma keperawatan anak yang dimaksud adalah
lingkungan internal maupun eksternal yang berperan dalam perubahan status
kesehatan anak.
Lingkungan internal di antaranya adalah genetik,kematangan biologis, jenis
kelamin, intelektual, emosi dan adanya predisposisi atau resistensi terhadap
penyakit.
Lingkungan eksternal yaitu status nutrisi, orangtua, saudara sekandung (sibling),
masyarakat/kelompok sekolah, kelompok/geng, disiplin yang ditanamkan
orangtua, status sosial ekonomi. Perkembangan anak sangat dipengaruhi
rangsangan terutama dari lingkungan eksternal yaitu ligkungan yang aman, peduli
dan penuh kasih sayang.

 Keperawatan
Komponen ini merupakan bentuk pelayanan keperawatan yang diberikan
kepada anak dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan secara optimal
dengan melibatkan keluarga. Fokus utama dalam pelaksanaan pelayanan
keperawatan adalah peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
Keperawatan kesehatan anak meliputi hubungan antara perawat dengan
anak dan perawat dengan keluarga di mana perawat tidak semata-mata merawat

12
anak selama sakit, tetapi bertanggung jawab secara keseluruhan yang
memungkinkan pemenuhan kebutuhan anak keluarga. Perawat dipandang sebagai
orang yang dapat bekerja secara efektif dengan bayi dan anak serta dapat
menciptakan suatu kondisi bagi anak lain agar berfungsi lebih efektif dalam
merawat anaknya.
Perawat harus berfikir kritis, menggunakan ilmu dan mempunyai
keterampilan professional untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang
berkualitas. Lingkungan di sekitar anak memegang peranan penting, perawat perlu
memahami bagaimana anak berinteraksi dengan lingkungannya.
Agar tercapai perawat perlu melakukan 3 tingkat pencegahan:

1. Primer mencakup promosi dan pencegahan penyakit serta kecelakaan melalui


penyuluhan kesehatan dan bimbingan antisipasi
2. Sekunder bila anak sakit agar tidak terjadi komplikasi dengan memberikan
perawatan langsung
3. Tersier agar anak bisa tetap berfungsi dalam ketidakmampuan

2.4 Prinsip Perawatan Anak


1. Anak bukan miniatur orang dewasa tapi sebagai individu yang unik .
2. Anak adalah individu yang unik yang mempunyai kebutuhan yang khusus
sesuai tumbuh kembang.
3. Pelayanan keperawatan anak berorientasi pada pencegahan penyakit dan
peningkatan derajat kesehatan, bukan hanya mengobati anak yang sakit.
4. Keperawatan anak merupakan disiplin ilmu yang berfokus pada
kesejahteraan anak sehingga perawat bertanggung jawab secara
komprehensif memberikan askep yang memungkinkan pemenuhan
kebutuhan bagi anak dan keluarganya.
5. Praktek keperawatan anak mencakup kontrak (bisa formal/informal)
dengan aanak dan keluarga untuk mencegah, mengkaji dan mengintervensi
dan meningkatkan kesejahteraan hidup dengan menggunakan proses
keperawatan yang sesuai dengan aspek moral (etik) dan aspek hukum
(legal).

13
6. Tujuan perawatan anak dan remaja adalah untuk meningkatkan
maturasi/kematangan yang sehat bagi anak dan remaja sebagai mahluk
biopsikososial dan spiritual dalam konteks keluarga dan masyarakat.
7. Berfokus pada pertumbuhan & perkembangan

2.5 Family Centered Care (FCC)


Perlukah orang tua terlibat dalam merawat anak saat anaknya sedang
dirawat? Tentu harus terlibat. Mengapa harus melibatkan orang tua? Karena anak
tidak bisa jauh dari orang tua dan orang tua mempunyai sumberdaya yang bisa
membantu penyembuhan anak sehingga keluarga sangat penting dilibatkan dalam
perawatan, dimana istilahnya adalah family centered care. Family Centered Care
(FCC) atau perawatan yang berpusat pada keluarga didefinisikan sebagai filosofi
perawatan berpusat pada keluarga, mengakui keluarga sebagai konstanta dalam
kehidupan anak. Family Centered Care meyakini adanya dukungan individu,
menghormati, mendorong dan meningkatkan kekuatan dan kompetensi keluarga.
Intervensi keperawatan dengan menggunakan pendekatan family centered
care menekankan bahwa pembuatan kebijakan, perencanaan program perawatan,
perancangan fasilitas kesehatan, dan interaksi sehari-hari antara klien dengan
tenaga kesehatan harus melibatkan keluarga. Keluarga diberikan kewenangan
untuk terlibat dalam perawatan klien, yang berarti keluarga dengan latar belakang
pengalaman, keahlian dan kompetensi keluarga memberikan manfaat positif
dalam perawatan anak. Memberikan kewenangan kepada keluarga berarti
membuka jalan bagi keluarga untuk mengetahui kekuatan, kemampuan keluarga
dalam merawat anak.

 Manfaat Penerapan Family Centered Care (FCC)


Manfaat penerapan family centered care adalah sebagai berikut:
a. Hubungan tenaga kesehatan dengan keluarga semakin menguat dalam
meningkatkan kesehatan dan perkembangan setiap anak.
b. Meningkatkan pengambilan keputusan klinis berdasarkan informasi yang
lebih baik dan proses kolaborasi.
c. Membuat dan mengembangkan tindak lanjut rencana perawatan
berkolaborasi dengan keluarga.

14
d. Meningkatkan pemahaman tentang kekuatan yang dimiliki keluarga dan
kapasitas pemberi pelayanan.
e. Penggunaan sumber-sumber pelayanan kesehatan dan waktu tenaga
profesional lebih efisien dan efektif (mengoptimalkan manajemen
perawatan di rumah, mengurangi kunjungan ke unit gawat darurat atau
rumah sakit jika tidak perlu, lebih efektif dalam menggunakan cara
pencegahan).
f. Mengembangkan komunikasi antara anggota tim kesehatan.
g. Persaingan pemasaran pelayanan kesehatan kompetitif.
h. Meningkatkan lingkungan pembelajaran untuk spesialis anak dan tenaga
profesi lainnya dalam pelatihan-pelatihan.
i. Menciptakan lingkungan yang meningkatkan kepuasan profesional.
j. Mempertinggi kepuasan anak dan keluarga atas pelayanan kesehatan yang
diterima.

 Elemen-elemen Family Centered Care (FCC)


Dalam family centered care kebutuhan semua anggota keluarga tidak hanya
harus dipertimbangkan, dengan mengacu pada elemen penting family centered
care yang meliputi:
a. Memasukkan pemahaman ke dalam kebijakan dan praktik bahwa keluarga
bersifat konstan dalam kehidupan anak, sementara sistem pelayanan dari
personal pendukung di dalam sistem tersebut berubah-rubah.
b. Memfasilitasi kolaborasi keluarga/profesional pada semua tingkat pelayanan
keperawatan di rumah sakit, rumah, dan di masyarakat. Perawatan anak
secara individual, pengembangan implementasi dan evaluasi program serta
pembentukan kebijakan.
c. Saling bertukar informasi yang lengkap dan jelas antara anggota keluarga
dan profesional dalam hal dukungan tentang cara yang supportif di setiap
saat.
d. Menggabungkan pemahaman dan penghormatan terhadap keanekaragaman
budaya, kekuatan dan individualitas di dalam dan diantara seluruh keluarga

15
termasuk keanekaragaman suku, ras, spiritual, sosial, ekonomi, bidang
pendidikan dan geografi ke dalam kebijakan praktik.
e. Mengenali dan menghormati metode koping yang berbeda dan menerapkan
program dan kebijakan menyeluruh yang menyediakan pelayanan
perkembangan, pendidikan, emosi, lingkungan dan dukungan keuangan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang berbeda-beda.
f. Mendorong dan memfasilitasi dukungan dan jaringan kerja sama keluarga
dengan keluarga.
g. Menetapkan bahwa rumah, rumah sakit, dan pelayanan masyarakat dan
sistem pendukung untuk anak-anak yang memerlukan pelayanan kesehatan
khusus dan keluarganya bersifat fleksibel, dapat diakses, dan komprehensif
dalam menjawab pemenuhan kebutuhan keluarga yang berbeda sesuai yang
diperlukan.
h. Menghargai keluarga sebagai keluarga, dan anak-anak sebagai anak-anak,
mengakui bahwa mereka memiliki beragam kekuatan, perhatian, emosi dan
cita-cita yang melebihi kebutuhan mereka untuk mendapatkan layanan dan
dukungan kesehatan serta perkembangan khususnya.

 Prinsip-prinsip Family Centered Care (FCC)


Beberapa prinsip Family Centered Care meliputi:
a. Menghormati setiap anak dan keluarganya. Perawat dalam melaksanakan
asuhan keperawatan pada anak menghormati anak dan keluarga sebagai
subjek perawatan. Perawat menghormati anak dan keluarga memiliki pilihan
yang terbaik bagi perawatan mereka.
b. Menghargai perbedaan suku, budaya, sosial, ekonomi, agama, dan
pengalaman tentang sehat sakit yang ada pada anak dan keluarga. Perawat
menghargai perbedaan suku, budaya, sosial ekonomi, agama dan
pengalaman tentang sehat sakit anak dan keluarga dalam memberikan
asuhan keperawatan. Pelayanan yang diberikan mengacu kepada standar
asuhan keperawatan dan diperlakukan sama pada semua pasien dan
keluarga.

16
c. Mengenali dan memperkuat kelebihan yang ada pada anak dan keluarga.
Mengkaji kelebihan keluarga dan membantu mengembangkan kelebihan
keluarga dalam proses asuhan keperawatan pada klien.
d. Mendukung dan memfasilitasi pilihan anak dan keluarga dalam memilih
pelayanan kesehatannya. Memberikan kesempatan kepada keluarga dan
anak untuk memilih fasilitas kesehatan yang sesuai untuk mereka,
menghargai pilihan dan mendukung keluarga.
e. Menjamin pelayanan yang diperoleh anak dan keluarga sesuai dengan
kebutuhan, keyakinan, nilai, dan budaya mereka. Memonitor pelayanan
keperawatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan, nilai, keyakinan dan
budaya pasien dan keluarga.
f. Berbagi informasi secara jujur dan tidak bias dengan anak dan keluarga
sebagai cara untuk memperkuat dan mendayagunakan anak dan keluarga
dalam meningkatkan derajat kesehatan. Petugas kesehatan memberikan
informasi yang berguna bagi pasien dan keluarga, dengan benar dan tidak
memihak. Informasi yang diberikan harus lengkap, benar dan akurat.
g. Memberikan dan menjamin dukungan formal dan informal untuk anak dan
keluarga. Memfasilitasi pembentukan support grup untuk anak dan keluarga,
melakukan pendampingan kepada keluarga, menyediakan akses informasi
support grup yang tersedia dimasyarakat.
h. Berkolaborasi dengan anak dan keluarga dalam penyusunan dan
pengembangan program perawatan anak di berbagai tingkat pelayanan
kesehatan. Melibatkan keluarga dalam perencanaan program perawatan
anak, meminta pendapat dan ide keluarga untuk pengembangan program
yang akan dilakukan.
i. Mendorong anak dan keluarga untuk menemukan kelebihan dan kekuatan
yang dimiliki, membangun rasa percaya diri, dan membuat pilihan dalam
menentukan pelayanan kesehatan anak. Petugas kesehatan berupaya
meningkatkan rasa percaya diri keluarga dengan memberikan pengetahuan
yang keluarga butuhkan dalam perawatan anak (American Academy of
Pediatric, 2003).

17
2.6 Atraumatic Care
Pernahkah Anda dirawat di rumah sakit? Tentu ada yang pernah. Bagaimana
perasaan Anda saat mendapatkan prosedur tindakan? Pasti takut, stres cemas,
berbagai perasaan muncul. Coba Anda bayangkan ketika anak-anak harus
menjalani prosedur-prosedur, di mana anak-anak terutama yang masih kecil
belum bisa menahan sakit sehingga akan berdampak pada psikologis anak itu
sendiri maupun orang tuanya karena orang tua pasti tidak tega melihat anaknya
yang kesakitan, sehingga seorang perawat anak harus menerapkan teknik untuk
mengurangi atau menghilangkan dampak tersebut yang disebut dengan atraumatic
care.
Atraumatic care atau asuhan atraumatik adalah penyediaan asuhan terapeutik
dalam lingkungan oleh seseorang (personal) dengan melalui penggunaan
intervensi yang menghilangkan atau memperkecil distres psikologis dan fisik
yang dialami oleh anak-anak dan keluarga mereka dalam sistem pelayanan
kesehatan. Atraumatic care yang dimaksud di sini adalah perawatan yang tidak
menimbulkan adanya trauma pada anak dan keluarga. Perawatan tersebut
difokuskan dalam pencegahan terhadap trauma yang merupakan bagian dalam
keperawatan anak. Perhatian khusus pada anak sebagai individu yang masih
dalam usia tumbuh kembang sangat penting karena masa anak-anak merupakan
proses menuju kematangan, yang mana jika proses menuju kematangan tersebut
terdapat hambatan atau gangguan maka anak tidak akan mencapai kematangan.

 Prinsip-prinsip Atraumatic Care


Apakah Anda sudah pernah praktik di rumah-sakit terutama di ruang
anak? Tentu beberapa sudah pernah, sebagai contoh bagaimana cara perawat saat
mau memasang infus pada anak? Tentu anak ketakutan, menangis, merajuk tidak
mau tangannya ditusuk sementara orang tua juga ketakutan, tidak tega melihat
anaknya, sehingga sering anak tersebut di pegang kuat-kuat bahkan diikat agar
cairan infus bisa masuk, padahal kita bisa mempelajari prinsip atau teknik untuk
mengatasi hal tersebut supaya anak tidak mengalami trauma.

18
Tujuan utama perawatan atraumatik adalah ˜Pertama, jangan melukai,
yang memberikan kerangka kerja untuk mencapai tujuan ini adalah dengan
mencegah atau meminimalkan pemisahan anak dari keluarganya, meningkatkan
pengendalian perasaan dan mencegah atau meminimalkan nyeri dan cedera pada
tubuh. Beberapa contoh pemberian asuhan atraumatik meliputi pengembangan
hubungan anak-orang tua selama dirawat di rumah sakit, menyiapkan anak
sebelum pelaksanaan terapi dan prosedur yang tidak dikenalinya, mengendalikan
rasa sakit, memberikan privasi pada anak, memberikan aktivitas bermain untuk
mengungkapkan ketakutan dan permusuhan, menyediakan pilihan untuk anak-
anak dan menghormati perbedaan budaya.
Beberapa kasus yang sering dijumpai di masyarakat seperti peristiwa yang
menimbulkan trauma pada anak adalah cemas, marah, nyeri dan lain-lain. Apabila
hal tersebut dibiarkan dapat menyebabkan dampak psikologis pada anak dan
tentunya akan mengganggu perkembangan anak. Dengan demikian atraumatic
care sebagai bentuk perawatan terapeutik dapat diberikan pada anak dan keluarga
dengan mengurangi dampak psikologi dari tindakan keperawatan yang diberikan
seperti memperhatikan dampak tindakan yang diberikan dengan melihat prosedur
tindakan atau aspek lain yang kemungkinan berdampak terjadinya trauma, untuk
mencapai perawatan tersebut beberapa prinsip yang dapat dilakukan oleh perawat
antara lain:
a. Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga. Dampak
perpisahan dari keluarga maka anak mengalami gangguan psikologis seperti
kecemasan, ketakutan, kurang kasih sayang sehingga gangguan ini akan
menghambat proses penyembuhan anak dan dapat mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan anak.
b. Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan pada anak.
Melalui peningkatan kontrol orang tua pada diri anak, diharapkan anak mandiri
dalam kehidupannya, anak akan selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas
sehari-hari, selalu bersikap waspada dalam segala hal, serta pendidikan
terhadap kemampuan dan keterampilan orang tua dalam mengawasi perawatan
anak.

19
c. Mencegah dan mengurangi cedera (injury) dan nyeri (dampak psikologis).
Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam
keperawatan anak. Proses pengurangan rasa nyeri sering kali tidak bisa
dihilangkan secara cepat akan tetapi dapat dikurangi melalui berbagai teknik
misalnya distraksi, relaksasi, imaginary. Apabila tindakan pencegahan tidak
dilakukan maka cedera dan nyeri akan berlangsung lama pada anak sehingga
dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.
d. Tidak melakukan kekerasan pada anak. Kekerasan pada anak akan
menimbulkan gangguan psikologis yang sangat berarti dalam kehidupan anak.
Apabila ini terjadi pada saat anak dalam proses tumbuh kembang maka
kemungkinan pencapaian kematangan akan terhambat, dengan demikian
tindakan kekerasan pada anak sangat tidak dianjurkan karena akan
memperberat kondisi anak.
e. Modifikasi lingkungan. Melalui modifikasi lingkungan fisik yang bernuansa
anak dapat meningkatkan keceriaan, perasaan aman dan nyaman bagi
lingkungan anak sehingga anak selalu berkembang dan merasa nyaman di
lingkungannya.

20
2.7 Membangun system perlindungan anak di Indonesia

Kasus kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun psikis, masih banyak terjadi di
Indonesia. Data Kementerian Sosial (2013) menyebutkan, prevalensi kekerasan
anak antara usia 13-17 tahun yaitu kekerasan fisik pada anak lakilaki 1 dari 4 anak
dan 1 dari 7 pada anak perempuan; kekerasan psikologis anak laki-laki 1 dari 8
anak dan anak perempuan 1:9; kekerasan seksual untuk anak laki-laki sebanyak
1:12 dan 1:19 untuk anak perempuan.

Situasi ini menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki kerentanan yang lebih
besar untuk menjadi korban kekerasan dibandingkan anak perempuan. Anak tidak
pula hanya menjadi korban, juga menjadi pelaku kekerasan, meskipun
sesungguhnya anak pelaku juga adalah anak korban. Kondisi ini tentu menjadi
keprihatinan kita semua dan perlu upaya integratif dalam menyelesaikannya.

Maka dari itu, perlu sebuah sistem perlindungan anak agar mereka mampu
mendukung tumbuh kembang anak dengan baik. Saat mereka mampu melewati
hari-hari dengan keceriaan, maka harapan masa depan bangsa akan semakin
cerah. Pertanyaannya, bagaimana mewujudkan sistem perlindungan anak itu?

Menguatkan Regulasi dan Kelembagaan

Salah satu fungsi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah melakukan
pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI secara masif melakukan
advokasi membangun sistem perlindungan anak yang terdiri atas aspek norma dan
regulasi, struktur dan kelembagaan, serta program dan anggaran. Namun
demikian, masih banyak yang perlu diperbaiki untuk membangun sistem
perlindungan anak.

Secara norma hukum, Indonesia telah memiliki norma hukum yang memadai
sebagai bentuk perlindungan terhadap anak. Undang-Undang No 1/ 1974 dan
Undang-Undang No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak menunjukkan komitmen
pemenuhan hak anak oleh pemerintah Indonesia sebelum era 1980-an.

21
Ratifikasi Convention on the Rights of Children (CRC) melalui Keputusan
Presiden Nomor 36/1990 adalah bentuk komitmen Indonesia di kancah
internasional. Setelah itu, lahir Undang-Undang Perlindungan Anak No 23/ 2002
yang kemudian mengalami perubahan menjadi UU Perlindungan Anak No 35/
2014 dan Undang-Undang No 17/2016. Adanya Undang- Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak (SPPA) No 11/2012 menjadi momentum perlindungan
khusus bagi anak berhadapan dengan hukum (ABH).

Belum lagi Undang- Undang No 23/2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga (PKDRT) dan Undang-Undang No 21/ 2007 tentang Penghapusan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Selain itu, pada UUD 1945 Pasal 28
B Ayat 2 juga telah mencantumkan hak anak, yaitu ”Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.

Pekerjaan rumah yang tersisa adalah bagaimana implementasi peraturan ini secara
baik untuk perlindungan anak serta memberikan edukasi bagi para pelaksana
perlindungan anak. Dilihat dari struktur dan lembaga, nomenklatur kelembagaan
perlindungan anak muncul pada 2009 di Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak.

Namun, berbagai kementerian dan lembaga terlibat langsung dalam pemenuhan


hak anak, di antaranya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia
dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kementerian
Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam
Negeri, BKKBN, Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah
Agung, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta kementerian
lain yang terlibat secara tidak langsung pada pemenuhan hak anak.

Irisan dan saling berkaitan antar-kelembagaan yang terlibat dalam isu


perlindungan anak ini memerlukan koordinasi yang baik sehingga semua
pemangku kepentingan berfungsi dengan baik. Selain itu, sumber daya pelaksana
juga perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Dibutuhkan

22
SDM yang mumpuni di berbagai bidang yang berhadapan langsung dengan anak,
misalnya guru, aparat penegak hukum yang berperspektif anak, pekerja sosial,
tenaga konseling, dan advokasi perlindungan anak.

Perbaikan SDM secara kuantitatif dan kualitatif masih sangat diperlukan. Di


beberapa daerah misalnya, masih belum memiliki pekerja sosial dan tenaga
psikolog. Kalaupun ada, SDM-SDM tersebut harus terus diasah pemahaman dan
keterampilannya, serta kemampuan berjejaringnya, selain ditambah jumlahnya.
Hal ini mengingat isu perlindungan anak membutuhkan kerja sama lintas sektor.

Peran Pemda

Pemerintah daerah (Pemda) memiliki peran yang sangat penting pada


perlindungan anak sebagaimana disebutkan dalam UU Perlindungan Anak. UU
No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan PP No 18/ 2016 tentang Perangkat
Daerah menguatkan bahwa urusan perlindungan anak menjadi urusan wajib
daerah. Saat ini sudah mulai bermunculan dinas teknis untuk perlindungan anak,
tapi sebagian besar masih mencari bentuk dari sebelumnya yang berupa badan.

Kebijakan perlindungan anak di pusat belum semuanya dapat diserap dengan baik
oleh Pemda. Padahal, Pemda adalah ujung tombak perlindungan anak di daerah
dan short cut penanganan pertama kasus perlindungan anak ada di desa dan
kecamatan. Belum lagi minimnya kesadaran Pemda untuk mendirikan lembaga
pengawas dalam hal ini Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD), membuat
situasi perlindungan anak masih belum lengkap.

Anggaran dan program perlindungan anak di daerah saat ini masih jauh dari kata
memadai. Dari pengawasan kebijakan anggaran di 9 provinsi pada 2015, KPAI
menemukan bahwa anggaran non-pemenuhan kebutuhan dasar untuk
perlindungan anak hanya 1-2% dari keseluruhan APBD. Jumlah anggaran yang
terbatas tersebut digunakan untuk pemenuhan non-kebutuhan dasar, seperti
program pencegahan, penanganan, serta pengawasan tentu masih sangat kurang.

23
Apalagi upaya pencegahan harus diupayakan lebih masif. Anggaran dan program
yang memadai serta tepat sasaran dan tepat guna sangat dibutuhkan untuk
menunjang keberhasilan perlindungan anak. Perubahan dari badan menjadi dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di berbagai daerah diharapkan
menjadi angin segar agar program dan pembiayaan perlindungan anak akan lebih
baik dengan tetap melakukan monitoring dan evaluasi.

Pada akhirnya, perlindungan anak membutuhkan kerja bersama. Perlindungan


anak bukan sekadar retorika merawat dan membesarkan buah hati. Namun, semua
laku kebangsaan menyiapkan generasi kuat, kukuh, dan tanggung jawab demi
masa depan cerah. Semoga sistem perlindungan anak ini dapat segera diwujudkan
pada setiap tingkatan pemerintahan. Selamat Hari Anak Nasional!

2.8 Perkembangan Peraturan Undang-undang Perlindungan Anak Di


Indonesia

Anak merupakan harapan bangsa dan apabila sudah sampai saatnya akan
menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan negara, dengan
demikian anak perlu dibina dengan baik agar mereka tidak salah dalam hidupnya
kelak. Setiap komponen bangsa, baik pemerintah maupun non-pemerintah
memiliki kewajiban untuk secara serius memberi perhatian terhadap pertumbuhan
dan perkembangan anak. Komponen-komponen yang harus melakukan
pembinaan terhadap anak adalah orang tua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah.

Anak nakal itu merupakan hal yang wajar-wajar saja, karena tidak
seorangpun dari orang tua yang menghendaki kenakalan anaknya berlebihan
sehingga menjurus ke tindak pidana. Pada kenyataannya banyak kasus kejahatan
yang pelakunya anak-anak. Jika ditelusuri, seringkali anak yang melakukan tindak
pidana adalah anak bermasalah yang hidup ditengah lingkungan keluarga atau
pergaulan sosial yang tidak sehat

Istilah kenakalan anak itu pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan
di Ameriks dalam rangka usaha membentuk suatu undang-undang peradilan bagi
anak di negara tersebut. Dalam pembahasannya ada kelompok yang menekankan
psegi pelanggaran hukumnya, ada pula yang menekankan pada sifat tindakan anak

24
apakah sudah menyimpang dari orma yang berlaku atau belum melanggar hukum.
Namun semua sepakat bahwa dasar pengertian kenakalan anak adalah perbuatan
atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.

Menurut Katini Kartono (1992:7) yang dikatakan Juvenile Deliquency,


adalah:

“Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda,


merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.”

Secara filosofi anak merupakan bagian dari generasi muda, sebagai salah
satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa di masa yang akan datang yang memiliki peran serta cirri-ciri
khusus serta memerlukan pembinaan dan perlindungan yang khusus pula.

Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tndakan siapa
saja (individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemertintah) baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pada hakikatnya ana tidak dapat melindungi diri
sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik,
sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan.

Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak merupakan


salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Agar
perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan
bertanggungjawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan
perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan
situasi, yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara
manusiawi positif, yang merupakan pula perwujudan adanya keadilan dalam
suatu masyarakat. Dengan demikian, perlindungan anak harus diusahakan
dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan bernegara,
bermasyarakat, dan berkeluarga berdasarkan hukum demi perlakuan benar,
adil, dan kesejahteraan anak.

25
Biro Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa penanganan masalah
perlindungan anak di Indonesia masih jalan di tempat. Sementara itu, Komite Hak
Anak PBB menyebutkan bahwa Indonesia masih mendapatkan “rapor” buruk
dalam penanganan perlindungan anak. Buruknya penanganan perlindungan anak
ini ditunjukkan oleh data statistik anak-anak yang menjadi korban tindak pidana.
Menurut BPS, pada tahun 2014 jumlah penduduk Indonesia yang menjadi korban
tindak pidana  sebanyak 1,06 persen, dan dari jumlah tersebut sebanyak 0,29
persen atau 247.610 adalah anak-anak. Dari 247.610 anak yang menjadi korban
kejahatan, 80 persen diantaranya memiilih untuk tidak memproses kasus tersebut
ke kepolisian.

Meski jumlah data di atas tidak memberikan rincian terhadap anak-anak


yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi, penelantaran maupun perlakuan
salah. Akan tetapi rincian tentang kasus-kasus anak ini bisa didapat di berbagai
non-goverment organization (NGO) baik dari dalam negeri ataupun dari luar
negeri yang selalu memantau pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Berdasarkan data yang dihimpun ECPAT Indonesia, ditemukan sekitar 30 persen
dari total kasus kekerasan terhadap anak merupakan kasus kejahatan seksual anak.
Jika persentase ECPAT ini digunakan untuk menghitung korban kejahatan anak,
maka sekitar 74 ribu anak adalah korban dari kejahatan seksual.

Tingginya anak-anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi,


penelantaran dan perlakuan salah disebabkan karena belum maksimalnya upaya
pemerintah dan peran berbagai aktor perlindungan anak dalam menjalankan upaya
preventif. Bahkan instrumen hukum positif saat ni juga belum benar-benar
mampu melindungi anak-anak dari tindak kejahatan.

Ada 22 undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap anak-


anak dari praktik kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah.
Adapun gambaran dari 22 undang-undang ini dapat digambarkan pada tabel di
bawah ini.

26
Hukum Positif terkait Perlindungan Anak

No. Undang-Undang (UU)


1. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
2. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi KILO 138
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang HAM
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi KILO 182

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT
9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang
Hak-Hak Anak Sipil dan Politik
10. Undang-Undang No. 31 Tahun 2006 tentang LPSK
11. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
12. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO
13. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-
Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE
14. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

15. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

16. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to


Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women
and Children, Supplementing the United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan
Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak,
Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak
Pidana Transnasional yang Terorganisasi)
17. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Opsional
Protokol KHA tentang Anak yang berkonflik dengan Senjata
18. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Opsional
Protokol KHA tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi
Anak

27
19. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPA
20. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang REVISI UU No. 13/2006
(LPSK)
21. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang REVISI UU No. 23/2002
(Perlindungan Anak)
22 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang
Undang-undang yang disebutkan di atas tidak semuanya mengatur
perlindungan anak secara langsung, tetapi ada juga yang mengatur masalah
perlindungan anak secara tidak langsung, bahkan sebagian adalah ratifikasi
konvensi (opsional protokol) internasional. Namun demikian, semuanya memiliki
relasi atau keterkaitan dengan perlindungan anak di Indonesia.

Undang-Undang Perlindungan Anak menjadi catatan khusus, karena


undang-undang ini telah dua kali mengalami revisi, dan revisi yang dilakukan
tidak didasarkan pada semangat untuk melakukan harmonisasi dengan standard
internasional yang diratifikasi tetapi lebih didasarkan pada respon atas persoalan-
persoalan anak yang mengemuka atau muncul di masyarakat. Dengan kata lain
revisi yang dilakukan masih bersifat parsial dan kasuistis. Oleh sebab itu, revisi
yang sudah dilakukan tidak menjawab pengentasan persoalan anak secara
menyeluruh.

2.9 Perundang-Undangan Nasional Tentang Kekerasan, Eksploitasi,


Penelantaran dan Perlakuan Salah pada Anak
Perundang-undangan nasional tentang perlindungan anak mengatur
sejumlah tindak pidana yang ditujukan pada anak diantaranya: kekerasan,
penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah dan diskriminasi terhadap anak.], yang
mana tindakan tersebut dilarang dan diancam pidana. Pengaturan terhadap tindak
pidana tersebut di atas tertuang dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang No.
23 Tahun 2002, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 dan secara khusus untuk
tindak pidana seksual pada anak diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016.

28
Namun undang-undang tersebut tidak memberikan definisi yang
memuaskan terhadap tindak pidana kekerasan, eksploitasi, penelantaran,
diskirminasi dan perlakuan salah pada anak. Undang-undang nasional cenderung
memberikan ancaman hukuman kepada siapa saja yang melakukan tindak pidana
tersebut dengan ancaman hukuman yang sangat bervariasi dan cenderung
menggunakan pendekatan retributive (balas dendam). Meski dalam beberapa
pasal juga memberikan ancaman hukuman berupa denda, ganti kerugian dan
rehabilitatif, tetapi pendekatan retributif lebih menonjol dalam undang-undang
nasional.

2.10 Definisi dan Sanksi Kekerasan, Eksploitasi, Penelantaran dan


Perlakuan Salah dalam Undang-Undang Nasional dan Perbandingannya
dengan Insrumen Internasional
Secara umum undang-undang nasional tidak memberikan definisi yang
memuaskan terhadap tindak pidana kekerasan, eksploitasi, penelantaran,
diskriminasi dan perlakuan salah terhadap anak. Bahkan jenis tidak pidana
tersebut tidak didefinisikan sehingga sulit untuk menakar perbuatan pidana yang
ditujukan kepada anak, karena lemahnya unsur-unsur dalam rumusan delik
tersebut. Pentingnya mencantumkan unsur-unsur tindak pidana pada anak adalah
untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Dalam konteks hukum pidana unsur
tindak pidana (bestandelen delick) menjadi hal yang sangat krusial untuk
memasikan pelaku tindak pidana telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana pada anak. Berikut ini ditampilkan beberapa
definisi dari tindak pidana tersebut dalam konteks undang-undang nasional yakni
dari persfektif Undang-Undang No. 23/2002 juncto Undang-Undang No. 35/2014,
Undang-Undang No. 23/2004, UU No. 44/2008.

Larangan melakukan kekerasan terhadap anak dipertegas dengan pasal 76


huruf C yang berbunyi:

Pasal 76C

“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan menyuruh


melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.”

29
Pasal di atas telah memberikan peringatan terhadap siapapun yang
melakukan kekerasan terhadap anak dengan ancaman pidana. Hanya saja ketika
merujuk penjelasan pasal ini, maka tidak ada unsur-unsur pasal yang dimaksud
tentang tindak pidana kekerasan pada anak. Selain itu dalam konteks undang-
undang perlindungan anak juga dicantumkan dalam pasal kekerasan seksual pada
anak yang diatur dalam pasal 76 huruf D dan E yang bunyi lengkapnya sebagai
berikut:

Pasal 76D

“Setiap orang dilarang melakukan ekekarasan atau ancaman kekerasan


memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”

Pasal 76E

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,


memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan
cabul”

Dari rumusan di atas menunjukkan bahwa belum adanya rumusan yang


secara spesifik pada jenis tindak pidana kekerasan pada anak maupun kekerasan
seksual pada anak. Kekerasan fisik, kekerasan seksual maupun kekerasan mental
tidak diuraikan sebagai unsur-unsur deliknya secara rinci, sehingga perilaku
kekerasan pada anak yang terjadi di dalam masyarakat masih sulit dibuktikan atau
malah menimbulkan keraguan bagi penegak hukum untuk menggunakan pasal-
pasal tersebut. Ada beberapa ukuran yang bisa dipergunakan untuk
mendefinisikan dan mengurai unsur kekerasan terhadap anak (child abuse) salah
satunya adalah rumusan berikut ini:

“Child abuse includes physical and non-physical violence, infanticide,


neglect and sexual violence. Non-physical violence, which includes emotional
violence, can take many forms including insults, ignoring, isolation, rejection,
threats, emotional indifference and belittlement. It is more prevalent than other
forms of violence. Neglect involves the failure to provide for the development of
the child including leaving the child alone without appropriate care, not
providing the child with adequate food, clothing, medicines or health care, or the

30
failure to properly supervise or protect children from harm.” (UNICEF: Analysis
of Domestic Related to Law Violence against Children : June 2015 : 1)

Analisa dari uraian di atas yang dapat ditarik jika diperbandingkan antara
rumusan yang ada dalam undang-undang perlindungan anak menunjukkan masih
terjadinya kesenjangan antara unsur-unsur yang ada dalam undang-undang
perlindungan anak dengan definisi di atas, sehingga unsur-unsur kekerasan
terhadap anak mencakup bentuk-bentuk yang lebih konkret dan rinci, tidak
sekedar mencatumkan kekerasan fisik, mental dan sosial, yang menimbulkan
keraguan pada penegak hukum dan sulitnya membuktikan secara juridis formil,
sehingga pada akhirnya merugikan anak itu sendiri.

Selain itu, perlu juga mempertimbangkan kekerasan dalam rumah tangga


yang dialami oleh anak. Pendefinisian secara khusus menjadi penting, agar
definisi yang terlalu luas terhadap kekerasan anak dalam lingkup rumah tangga
menjadi lebih spesifik. adapun rumusan berikut ini juga bisa dipertimbangkan
untuk digunakan:

“Domestic violence is one of the most pervasive forms of violence


affecting children and includes acts of violence perpetrated by one member of a
family or household against another, including children. Domestic violence
may include physical violence, verbal and emotional abuse, sexual coercion and
rape, and other various controlling behaviours. Children who witness acts of
domestic violence are regarded as victims of the violence.” (UNICEF: Analysis
of Domestic Related to Law Violence against Children : June 2015 : 3)

Rekomendasi yang patut dipertimbangkan di masa depan dalam


menyempurnakan rumusan kekerasan terhadap anak adalah: sebaiknya pasal-pasal
tentang kekerasan pada anak (kekerasan fisik, seksual dan mental) harus
memasukkan semua unsur dalam rumusan delik dan lebih operasional sehingga
memudahkan dalam menentukan apakah sebuah perbuatan kekerasan terhadap
anak merupakan kategori perbuatan melawan hukum atau bukan melawan hukum.

Definisi tindak pidana eksploitasi terhadap anak di atas juga masih sangat
abstrak. Pertanyaannya apa yang membedakan antara tindak pidana kekerasan

31
pada anak dan tindak pidana eksploitasi pada anak. Adakah perbedaannya?
Menjawab hal ini, rumusan pasal 76 huruf I mengatur sebagai berikut:

Pasal 76I

“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,


menyeluruh melakukan,a tau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual terhadap anak.”

Norma larangan di atas ini adalah  kabur dan unsur-unsur dari perbuatan
yang dilarang juga tidak tidak dicantumkan. Rumusan eksploitasi harus
didefinisikan secara kongkret, sehingga ketika unsur tersebut dipenuhi maka siapa
saja yang melakukan tindak pidana eksploitasi dapat dipidana. Eksploitasi dalam
konteks pasal ini dibatasi pada eksloitasi seksual dan eksploitasi ekonomi. Unsur
eksploitasi seksual dan unsur eksploitasi ekonomi juga perlu dijabarkan secara
lebih lanjut, sehingga memiliki makna yang berbeda dengan tindak pidana
kekerasan seksual pada anak.

Penelantaran pada anak sebagaimana didefinisikan di atas menunjukkan


sulitnya menegakan delik ini dan sulit juga memastikan jenis dan unsur deliknya
sebagai tindak pidana penelantaran pada anak. Dalam pasal 76 huruf B
penelataran dana perlukan salah ditempat dalam satu pasal yang berbunyi:

Pasal 76B

“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan,


menyeluruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.”

Perbuatan yang dilarang dalam pasal di atas masih sangat kabur, unsur-
unsur penelantaran tidak dijelaskan dalam rumusan delik maupun penjelasan.
Pasal 1 angka 6 UU No. 35/2014 hanya mendefinisikan anak telantar sebagai
berikut :

6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara


wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

Rumusan ini tidak cukup untuk memastikan bahwa seseorang yang telah
terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana penelantaran
pada pada anak. Berdasarkan pemaparan di atas, tentunya rumusan norma pada

32
undang-undang perlindungan anak perlu diperbaiki rumusannya karena
urgensinya yang tinggi.

2.11 Analisis Perkembangan Pembentukan Perubahan Kedua Perlindungan


Anak Nomor 17 Tahun 2016
Perkembangan pengaturan perlindungan anak kembali mendapatkan angin
segar pada tahun 2014, hal ini ditandai dengan pemerintah mengadakan perubahan
dan penambahan terhadap UU 23/2002 melalui Undang-Undang nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU 35/2014), yang telah berlaku sejak diundangkannya,
yaitu pada tanggal 17 Oktober 2014. Penambahan substansi dalam UU 35/2014,
di antaranya penambahan definisi kekerasan, perlindungan hak-hak anak dari
segala bentuk kekerasan di satuan pendidikan, pemenuhan hak anak untuk tetap
bertemu dan berhubungan pribadi dengan kedua orang tuanya setelah terjadi
perceraian, larangan untuk memperlakukan anak secara diskriminatif dan segala
bentuk kekerasan.

Perubahan dan penambahan terhadap UU 23/2002 ini agar perlindungan


anak selama ini belum dapat berjalan dengan aktif, karena masih adanya tumpang
tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi anak.
Di sisi lain, maraknya kejahatan terhadap anak di masyarakat, salah satunya
adalah kejahatan seksual, memerlukan peningkatan komitmen dari pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat serta semua pengangku kepentingan yang
terkait dengan penyelengaraan perlindungan anak. Untuk efektivitas pengawasan
penyelenggaraan perlindungan anak diperlukan lembaga independen yang
diharapkan dapat mendukung pemerintah dan pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan perlindungan anak.

Di dalam penjelasan UU 35/2014, menyebutkan bahwa perubahan ini


mempertegas perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan
terhadap anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah
konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis, dan sosial anak korban dan/atau
anak pelaku kejahatan, Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak

33
korban dan/atau anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku
kejahatan yang sama.

Memang jumlah kekerasan pada anak khususnya kekerasan seksual terus


meningkat. Terutama di tahun 2016 banyak sekali pemberitaan kekerasan seksual
terhadap anak. Contohnya saja, anak diperkosa oleh orangtuanya, anak diperkosa
oleh orangtua tirinya, anak diperkosa oleh saudaranya, anak diperkosa oleh
keluarganya, anak diperkosa oleh temannya, bahkan anak perempuan diperkosa
oleh beberapa orang yang melibatkan laki-laki dewasa ataupun laki-laki yang
masih dikategorikan anak diabawah umur. Kondisi demikian mendorong banyak
pihak, terutama para pemerhati perlindungan anak mendesak pemerintah untuk
menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk
mengubah undang-undang perlindungan anak. Presiden Joko Widodo pun
merespon dengan cepat tuntutan tersebut dengan menetapkan Perppu Nomor 1
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.

Rabu, 25 Mei 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani


Perppu Nomor 1 Tahun 2016. Perppu yang sering disebut dengan Perppu Kebiri
ini merupakan Perppu pertama yang dikeluarkan di masa Pemerintahan Jokowi,
setelah lama diperdebatan. Sebagian pihak menyambut baik langkah Jokowi
menerbitkan Perppu ini. Sebab hal itu dipandang sebagai bentuk keseriusan
Pemerintah dalam hal mengatasi kondisi darurat kejahatan seksual terhadap anak.
Terlebih kasus kejahatan seksual terhadap Anak di Indonesia dari hari ke hari
semakin meningkat. Korban tidak hanya diperkosa, tetapi juga disiksa, dibunuh,
bahkan dimutilasi. Oleh karena itu menurut Jokowi, kejahatan seksual pantas
disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Sehingga
membutuhkan penanganan khusus atau cara-cara kusus untuk mengatasinya.
Salah satunya melalui pemberatan sanksi bagi pelaku dengan sanksi kebiri sebagai
salah satu hukuman tambahan yang diatur dalam Perppu ini.

Perppu tersebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya disahkan. Perppu


disetujui dalam sidang paripurna, pada tanggal 12 Oktober 2016, tanpa ada
pengubahan isi. Namun, pengesahan ini disertai catatan. Fraksi Partai Keadilan

34
Sejahtera dan Fraksi Partai Gerindra sempat menolak pengesahan Perppu menjadi
undang-undang. Namun, setelah lobi pimpinan fraksi dan pimpinan DPR, PKS
akhirnya menyetujui dengan catatan. Sedangkan Gerindra tetap dalam posisi
menolak. Perppu tersebut menjadi undangundang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
perrubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (UU 1/2016).

Perppu ini mengubah dua pasal dari undang-undang sebelumnya, yakni


pasal 81 dan 82, serta menambah satu pasal 81A. Berikut ini isi dari Perppu
Nomor 1 Tahun 2016: Pasal 81 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Menjadi
catatan, bahwa Pasal 76D Undang-Undang 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) menyatakan bahwa setiap orang
dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Sedangkan hukuman pidana
pada UU KDRT sebelumnya adalah paling singkat tiga tahun dan paling lama 15
tahun. Adapun nominal denda sebelumnya berkisar Rp 60 juta hingga Rp 300
juta.

Lebih lanjut Pasal 81 ayat (2) menyatakan ketentuan pidana sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 81 ayat (3)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
orangtua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak,
pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau
dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah
1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal
81 ayat (4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku
yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76D. Pasal 81 ayat (5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana

35
dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang,
mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau
hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana
mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 81 ayat (6) Selain dikenai pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat
dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Pasal 81 ayat (7)
Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai
tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Pasal 81
ayat (8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama
dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Pasal
81 ayat (9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.

Sedangkan tambahannya Pasal 81A ayat (1) menyatakan Tindakan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana
pokok. Pasal 81A ayat (2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
Pasal 81A ayat (3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi. Pasal
81A ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan
rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 82 sebagai pasal tambahan, ayat (1) menyatakan setiap orang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Tetapi bunyi
pasal 76E dalam UU KDRT menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Lebih lanjut Pasal 82 ayat (2) menyatakan dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang

36
yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga
kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh
lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 82 ayat (3)
menyatakan selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku
yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76E. Pasal 82 ayat (4) menyatakan dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu)
orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu
atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1). Pasal 82 ayat (5) menyatakan selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan
berupa pengumuman identitas pelaku. Pasal 82 ayat (6) menyatakan terhadap
pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai
tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Pasal 82
ayat (7) menyatakan bahwa tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
diputuskan bersamasama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu
pelaksanaan tindakan, dan Pasal 82 ayat (8) menyatakan pidana tambahan
dikecualikan bagi pelaku Anak.

Pasal 82A sebagai pasal tambahan menyatakan bahwa ayat (1)


menyatakan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6)
dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pasal
82A ayat (2) menyatakan pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
Pasal 82A ayat (3) menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Namun atas pengesahan, penjelasan dari pihak pemerintah masih kurang


jelas terkait implementasi hukuman tambahan UU 1/2016 tersebut. Kalau pun
harus setuju, maka catatan yang terpenting bahwa Perppu ini akan direvisi, maka

37
harus dibuat undangundang yang lebih komprehensif dan bisa menjawab
persoalan bangsa, khususnya anak dan perempuan. Hal ini agar kedepan tidak
terjadi tumpang tindih terkait perlindungan anak, agar kepastian perlindungan
anak semakin jelas dan semakin pasti didalam menjaga generasi penerus bangsa
ini.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Menurut  UU RI No. IV th 1979 ttg kesejahteraan anak, disebutkan bahwa
anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah
Sedangkan menurut UU RI No. I th 1974 Bab IX ps 42 disebutkan bahwa
anak  yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai perkawinan yang sah.

38
Filosofi keperawatan anak merupakan keyakinan atau cara pandang perawat
dalam meberikan pelayanan keperawatan pada anak.
Paradigma keperawatan anak merupakan suatu landasan berfikir dalam
penerapan ilmu keperawatan anak. Penggunaan paradigm keperawatan anak tetap
mengacu pada konsep paradigma keperawatan secara umum.

Perundang-undang nasional di bidang perlindungan anak khususnya terkait


tindak pidana kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran pada anak
perlu diamandemen.

3.2 Saran
Bagi para pembaca yang telah membaca makalah ini kiranya dapat
memberikan saran/kritik serta masukan yang berarti pada perbaikan selanjutnya
suapaya makalah ini menjadi makalah yang sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Aziz, Alimul, 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1.


Jakarta: Salemba Medika.
Hockenberry, Marilyn, 2005. Wong’s Essentials of Pediatric Nursing Seventh
Edition. United States of America.Elsevier Mosby.

39
Supartini, 2004. Buku ajar: Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta, EGC.
Yuliastati, Nining, 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan: Keperawatan
Anak, Cetakan I. Jakarta Selatan : Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Wong, D.L, et all, 2009. Wong, Buku Ajar Keperawatan Pediatric. (6th ed.).
Missouri; Mosby. 
Wong, Whalley, 2005. Manual of Pediatric Nursing. Philadelphia. Mosby
Company
Arief, Barda Nawawi., Perlindungan Hukum Bagi Anak, Makalah Seminar
Nasional Peradilan Anak, FH UNPAD, Bandung, 1996.
Abdussalam, H.R.dan Adri Desasfuryanto., Hukum perlindungan Anak, PTIK,
Jakarta, 2014.
Atamasasmita, Romli., Problema Kenakalan Anak dan Remaja, Armico,
Bandung, 1984.

40

Anda mungkin juga menyukai