Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

TENTANG PERLINDUNGAN HAK ASASI ANAK DAN PEREMPUAN


MENURUT HUKUM DI INDONESIA

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Hj Ellydar Chaidir S.H., M.Hum

Disusun Oleh :
Urwatul Uwusqa Alyamar (216210298)

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2022/2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan
rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
perlindungan hak asasi anak dan perempuan menurut hukum di Indonesia.
Makalah ini merupakan tugas dari mata kuliah Ibadah & Muamallah yang diampu
oleh Bapak Prof. Dr. Hj Ellydar Chaidir S.H., M.Hum. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih pada Bapak dosen


yang banyak memberikan bimbingan dan nasehat sehingga dapat terselesaikan
penulisan tugas makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat
kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bisa
membangun demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan meningkatkan ilmu
pengetahuan bagi pembaca.

Pekanbaru, 3 Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................1
DAFTAR ISI..............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................3
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................4
1.3 Tujuan Masalah....................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................5
2.1 Pelanggaran Hak Anak-Anak dan Perempuan di Indonesia................................5
2.2 Peraturan Perundang-undangan Tentang Perlindungan Terhadap Anak dan
Perempuan..................................................................................................................9
2.3 Bagaimana Pelaksanaan Perlindungan Hak Asasi Anak dan Perempuan............16
BAB III PENUTUP..................................................................................................19
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................19
3.2 Saran.....................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada mata kuliah pendidikan kewarganegaraan terdapat materi
pelanggaran hak anak dan perempuan di Indonesia, peraturan perundang-
undangan tentang perlindungan terhadap anak dan perempuan, dan
bagaimana pelaksanaan perlindungan hak asasi anak dan perempuan. Dapat
dikatakan bahwa masalah perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak,
bukan saja masalah hak asasi manusia melainkan lebih luas lagi adalah
masalah penegakkan hukum. Perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh hukum.

Perlindungan hukum merupakan perlindungan akan harkat dan martabat,


serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek
hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai
kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari
hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan
perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan
tidak terpenuhinya hak-hak tersebut. Kemudian perlindungan hukum dapat
kita lihat sebagai suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum
dalam bentuk perangkap hukum baik preventif maupun yang bersifat represif,
baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Kata lainnya perlindungan hukum
sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum
dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian dan kedamaian.

Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukannya pembahasan yang lebih


efektif dalam memahami apa itu pelanggaran hak anak dan perempuan di
Indonesia, peraturan perundang-undangan tentang perlindungan terhadap
anak dan perempuan, dan bagaimana pelaksanaan perlindungan hak asasi
anak dan perempuan. Maka dalam bab pembahasan terdapat definisi-definisi
pelanggaran hak anak dan perempuan, peraturan perundang-undangan tentang
perlindungan terhadap anak dan perempuan, dan pelaksanaan perlindungan
hak asasi anak dan perempuan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu Pelanggaran Hak Anak dan Perempuan di Indonesia
2. Apa itu Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan terhadap
Anak dan Perempuan
3. Bagaimana Pelaksanaan Perlindungan Hak Asasi Anak dan Perempuan

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui dan memahami apa itu Pelanggaran Hak Anak dan
Perempuan di Indonesia
2. Untuk mengetahui apa itu Peraturan Perundang-undangan tentang
Perlindungan terhadap Anak dan Perempuan
3. Untuk mengetahui Pelaksanaan Perlindungan Hak Asasi Anak dan
Perempuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pelanggaran Hak Anak dan Perempuan di Indonesia
A. Pelanggaran Hak Anak
Secara normatif, Indonesia telah mempunyai landasan hukum bagi
perlingungan hak anak, namun sampai saat ini persoalan anak masih
menjadi isu yang memerlukan perhatian khusus. Selain masih belum
diperhatikannya hak anak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang ternyata
masih banyak tindak pelanggaran hak anak, baik akibat ketidaktahuan,
kekeliruan cara pandang, maupun pengabaian pemenuhan hak anak.
Pelanggaran tersebut dapat berupa kekerasan fisik/psikis sebagai
pelampiasan emosi, eksploitasi ekonomi dengan menjadikan anak sebagai
pekerja anak atau anak jalanan sehingga mengabaikan pendidikannya,
perdagangan anak untuk tujuan seksual komersial atau tujuan ekonomi
lainnya, pembuangan dan pembunuhan bayi, serta balita bergizi buruk,
yang kesemuanya sering dikaitkan dengan kemiskinan. Selain itu juga
masih sering terlihat adanya pemaksaan kehendak orang tua akibat kurang
dihargainya pendapat anak atau menjadikan anak hanya sebagai obyek
semua.

Hak dan kewajiban anak haknya memperoleh kasih sayang.


Kewajiban anak adalah penghormatan dan ketaatan. Idealnya prinsip ini
tidak bisa dipisahkan. Artinya, seorang diwajibkan menghormati jika
memperoleh kasih sayang dan orang tua diwajibkan menyayangi jika
memperoleh penghormatan. Dalam banyak hal anak-anak bergantung pada
orang dewasa. Karena ketergantungan ini, sering kali anak dianggap
sebagai makhluk yang tidak berdaya. Hak anak dianggap sebagai suara
yang tidak perlu didengarkan, meskipun anak bisa melahirkan gagasan dan
tindakan yang berarti untuk melakukan perubahan bagi lingkungan
sekitarnya.
Berikut adalah beberapa hal terkait hak anak yang perlu mendapatkan
perhatian pemerintah :
1) Hak Penduduk dan Kebebasan Sipil
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UU Perlindungan Anak,
mendapatkan akta kelahiran adalah bentuk pengakuan pertama negara
terhadap keberadaan seorang anak. Mendapatkan akta kelahiran disebut
juga sebagai hak Kependudukan dan Kebebasan Sipil. Namun menurut
data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sampai bulan
November 2012 masih ditemukan sekitar 50 juta anak Indonesia yang
tidak memiliki akta kelahiran. Ini sama artinya, secara hukum jutaan anak
tidak diakui sebagai warga negara Indonesia dan dengan sendirinya tidak
berhak mendapat layanan negara. Padahal mendapatkan identitas, nama,
dan kewarganegaraan dalam bentuk akta lahir yang dikeluarkan negara
merupakan hak konstitusional anak. Fakta ini berdampak, anak yang tidak
memiliki akta lahir sangat rentan terhadap tindak kekerasan, eksploitasi,
serta praktek-praktek manipulasi terhadap asal-usul anak. Oleh sebab itu,
pencatatan kelahiran sangatlah penting bagi anak, sebagai bagian integral
dari Hak Penduduk dan Kebebasan Sipil.

2) Hak Pendidikan
Bentuk pelanggaran hak anak lainnya adalah hak atas pendidikan.
KPAI mencatat sekitar 2,5 juta anak dari 26,3 juta anak usia wajib belajar
di tahun 2010 yakni usia 7–15 tahun, belum dapat menikmati pendidikan
dasar 9 tahun. Sementara, 1,87 juta anak dari 12,89 juta anak usia 13–15
tahun tidak mendapatkan hak atas pendidikan. Ada berbagai faktor yang
menyebabkan anak tidak dapat sekolah, di antaranya kesulitan untuk
mengakses sekolah, terutama anak-anak yang berada di wilayah
perbatasan maupun di daerah Komunitas Adat Terpencil, selain juga
karena kendala ekonomi dan kurangnya kesadaran orang tua tentang arti
pendidikan bagi anak.
3) Hak Kesehatan
Menurut laporan Kemenkes, hingga Juni 2012 tercatat 821 penderita
AIDS berusia 15– 19 tahun, bahkan 212 penderita berusia 5–14 tahun.
Sedangkan untuk anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba,
Badan Narkotika Nasional (2006) menyebutkan, 80% dari sekitar 3,2
pengguna berasal dari kelompok usia muda (remaja/pemuda).
Penggunaaan jarum suntik secara bergantian dalam mengkonsumsi
narkotika adalah praktek yang lazim ditemukan di dalam kalangan remaja.
Ini membuat mereka bersiko tertular virus HIV/AIDS. Pada September
2011, Kemensos merilis kabar adanya 464 anak Indonesia usia di bawah
15 yang tahun mengidap HIV/AIDS. Selain dari jarum suntik, pemakai
narkoba anak itu mewarisi HIV dari ibu mereka. Fenomena lainnya adalah
kasus anak kurang gizi (marasmus kwasiokor). Menurut data KPAI,
diperkirakan ada 10 juta anak-anak usia balita yang menderita kurang gizi,
dan 2 juta di antaranya menderita gizi buruk. Kasus ini dapat ditemui di
Sumatera, NTT, NTB, dan Sulawesi. Menurut data Komnas PA, di
Sumatra Barat terdapat 23.000 dari total 300.000 anak usia balita terancam
menderita gizi buruk, dan itu juga berlangsung di beberapa daerah lainnya.

B. Pelanggaran Hak Perempuan


Banyak yang beranggapan kekerasan terhadap perempuan bukan
pelanggaran HAM. Padahal kekerasan terhadap perempuan selain pidana,
juga bentuk pelanggaran HAM yang berbasis gender yang mengakibatkan
rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan secara fisik, seksual,
psikologis, termasuk ancaman, paksaan, pembatasan kebebasan baik yang
terjadi di area publik maupun dosmetik.

Pelanggaran terhadap perempuan yang sering terjadi :


1) Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina,
melecehkan, karena ketimpangan relasi kuasa atau gender, yang berakibat
penderitaan psikis atau fisik yang termasuk yang menggangu kesehatan
reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan
dengan aman dan optimal. Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun
(2001- 2012), sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan
seksual setiap hari. Pada tahun 2012, setidaknya telah tercatat 4,336 kasus
kekerasan seksual, dimana 2,920 kasus diantaranya terjadi di ranah
publik/komunitas, dengan mayoritas bentuknya adalah perkosaan dan
pencabulan (1620). Sedangkan pada tahun 2013, kasus kekerasan seksual
bertambah menjadi 5.629 kasus. Ini artinya dalam 3 jam setidaknya ada 2
perempuan mengalami kekerasan seksual. Usia korban yang ditemukan
antara 13-18 tahun dan 25-40 tahun. Kekerasan Seksual menjadi lebih sulit
untuk diungkap dan ditangani dibanding kekerasan terhadap perempuan
lainnya karena sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat.

2) Kekerasan Berbasis Gender


Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di
Dunia Kerja (KILO 190) memberi pengertian istilah kekerasan dan
pelecehan berbasis gender sebagai kekerasan dan pelecehan yang
ditujukan pada orang-orang karena jenis kelamin atau gender tertentu
secara tidak proporsional, dan termasuk pelecehan seksual. Gender kerap
dilekatkan kepada perempuan karena faktanya kekerasan berbasis gender
lebih banyak terjadi kepada perempuan dan anak-anak perempuan
daripada laki-laki dan anak laki-laki.

3) Kekerasan di Lembaga Pendidikan


Kekerasan yang terjadi kerap dilakukan baik oleh seorang pendidik
kepada anak, ataupun kekerasan antar teman. Tidak saja kekerasan fisik
(dipukul atau dianiaya), tapi juga kekerasan psikis, yaitu kekerasan secara
emosional yang dilakukan dengan cara menghina, melecehkan, atau
melontarkan perkataan yang menyakiti perasaan, melukai harga diri dan
menurunkan rasa percaya diri sehingga anak merasa terhina tak berdaya.
Kemudian adapun kasus siswi hamil yang kehilangan hak pendidikan, dan
ataupun kekerasan seksual yang dialami seprang mahasiswi oleh
dosennya.

2.2 Peraturan Perundang-undangant tentang Perlindungan terhadap Anak


dan Perempuan
A. Peraturan Hak Anak
1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Berdasarkan ketentuan UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002,
dimana negara sebagai pembuat regulasi dan pemerintah sebagai
implementator dalam menjalankan regulasi dan program belum mampu
melaksanakan tugasnya seperti yang diamanatkan konstitusi maupun
perjanjian intrumen-instrumen internasional menyangkut kebijakan
keberpihakan terhadap anak. Sementara itu, ketentuan Konvensi PBB
tentang Hak Anak (Convention on the Right of the Child) maupun UU
Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002, khususnya Pasal 59 memastikan
bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan
khusus(Children Need Special Protection) bagi anak-anak yang menjadi
korban zat adiktif. Apalagi Mahkamah Konstitusi telah memberi
keputusan hukum tetap pada pasal 113 ayat (2), 114 dan 199, UU
Kesehatan No. 36 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa ‘tembakau
dengan segala jenis produknya, termasuk rokok merupakan zat adiktif’.
Oleh karena itu, sesuatu yang dinyatakan zat adiktif, dilarang untuk
diiklankan dan dipromosikan seperti halnya miras dan psikotropika dan
menerapkan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok demi
menjamin perlindungan kepada anak dari penyalagunaan zat adiktif.

2) Keputusan Presiden No. 87 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional


(RAN) Pemberantasan Eksploitasi Seks Komersial Anak (RAN ESKA)
Kepres RAN ESKA dibuat sebagai terobosan untuk mempercepat
pemberantasan eksploitasi seks komersial anak karena ada sebuah
keprihatinan nasional akan hadirnya fenomena ESKA di Indonesia yang
sangat eskalarif. Secara rinci RAN ESKA melalui gugus tugas yang
dibentuk mengambil langkah-langkah riil di dalam memerangi
eksplotasi seks komersial anak.

3) Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 tentang RAN Penghapusan


Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
Kepres ini bertujuan untuk mencegah dan menghapus bentuk-
bentuk pekerjaan terpuruk untuk anak yang ada di Indonesia sebagai
implementasi atas lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang
Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and
Immediate Actor for The Elimination of The Worst Forms of Child
Labaor (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak). Kepres
ini sangat penting karena menjadi pijakan bagi penghapusan pekerjaan
terburuk bagi anak yang masih sangat banyak di jumpai di Indonesia.

B. Peraturan Hak Perempuan


Diantara Peraturan Perundangundangan yang mengandung muatan
perlindungan hak asasi perempuan adalah: Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-
undang Politik (UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 42 Tahun 2008).
Kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender
(PUG) dan Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan
yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005.

1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM


UU ini mengartikan HAM sebagai, “seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia” (Pasal 1 ayat (1). Dengan adanya UU HAM, semua peraturan
perundang-undangan harus sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan
HAM seperti diatur dalam UU ini. Diantaranya penghapusan
diskriminasi berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan
politik. Pelarangan diskriminasi diatur dalam Pasal 3 ayat (3), yang
berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”.

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (3) menjelaskan bahwa


diskriminasi berdasarkan jenis kelamin telah dilarang oleh hukum.
Aturan hukum lainnya harus meniadakan diskriminasi dalam setiap
aspek kehidupan, sosial, politik, ekonomi, budaya dan hukum. Pasal-
pasalnya dalam UU HAM ini selalu ditujukan kepada setiap orang, ini
berarti semua hal yang diatur dalam UU HAM ini ditujukan bagi semua
orang dari semua golongan dan jenis kelamin apapun.

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT


Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pada awalnya tidaklah
dianggap sebagai pelanggaran hak asasi perempuan. Letaknya pada
ranah domestik menjadikan KDRT sebagai jenis kejahatan yang sering
tidak tersentuh hukum. Ketika ada pelaporan KDRT kepada pihak yang
berwajib, maka biasanya cukup dijawab dengan selesaikan dengan
kekeluargaan. Sebelum keluarnya UndangUndang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT), korban tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang PKDRT, permasalahan
KDRT yang sebelumnya dianggap sebagai masalah domestik diangkat
ke ranah publik, sehingga perlindungan hak korban mendapat payung
hukum yang jelas. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini
tidak hanya meliputi suami, isteri, dan anak, melainkan juga orang-
orang yang mempunyai hubungan keluarga dan menetap dalam rumah
tangga serta orang yang membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut (Pasal 2). Asas PKDRT sendiri seperti dijelaskan
dalam Pasal 3 adalah untuk: (1) penghormatan hak asasi manusia, (2)
keadilan dan kesetaraan gender, (3) nondiskriminasi, dan (4)
perlindungan korban.
Adapun tujuan PKDRT sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 adalah
untuk: (1) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (2)
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (3) menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga; (5) memelihara keutuhan rumah
tangga yang harmonis dan sejahtera.

3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan


Undang-undang Nomor Tahun 2006 tentang kewarganegaraan ini
menggantikan Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan. Undang-undang No. 62 Tahun 1958 secara filosofis,
yuridis, dan sosiologis dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia.
Secara filosofis, UU 62/58 masih mengandung ketentuan-ketentuan
yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena
bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan
persamaan antarwarga negara, serta kurang memberikan perlindungan
terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan
konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah UUDS
1950 yang sudah tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang menyatakan kembali kepada UUD 1945. Dalam
perkembangannya, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang lebih
menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga
negara. Secara sosiologis, UU tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki
adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan
hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.

4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)
Definisi dari perdagangan orang sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1 ayat (1) UU PTPPO adalah: “Perdagangan Orang adalah
tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan
dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau
memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan
dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang
dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
ekspolitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.

Indonesia sendiri sebelum keluarnya UU PTPPO telah memiliki


beberapa aturan yang melarang perdagangan orang. Pasal 297 KUHP
misalnya, mengatur larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki
yang belum dewasa. Selain itu, Pasal 83 UU Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (UUPA), juga menyebutkan larangan
memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk sendiri atau
dijual. Namun peraturanperaturan tersebut tidak merumuskan
pengertian perdagangan orang secara tegas. Bahkan Pasal 297 KUHP
memberikan sanksi terlalu ringan dan tidak sepadan (hanya 6 tahun
penjara) bila melihat dampak yang diderita korban akibat kejahatan
perdagangan orang. Karena itu, sudah semestinya ada sebuah peraturan
khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu
menyediakan landasan hukum formil dan materiil sekaligus.

5) Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG)


Inpres Nomor 9 Tahun 2000 ini, memberikan petunjuk adanya
keseriusan pemerintah dalam upaya untuk menghilangkan bentuk
diskriminasi dalam eluruh sendi kehidupan bernegara. Dalam
konsideran Inpres ini disebutkan dua hal, yaitu:
a. Bahwa dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas
perempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender
dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, dipandang perlu melakukan strategi pengarusutamaan
gender ke dalam seluruh proses pembangunan nasional.
b. Bahwa pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses
pembangunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kegiatan fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah di
tingkat Pusat dan Daerah.

6) Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional


Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang
diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005
Presiden Habibie meresmikan pembentukan Komnas Perempuan
melalui Keppres Nomor 181 tahun 1998, yang kemudian diubah dengan
Perpres Nomor 65 tahun 2005. Pembentukan Komnas Perempuan
berdasarkan Pasal 1 Perpres Nomor 65 Tahun 2005 adalah, “Dalam
rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap
perempuan serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang
dilakukan terhadap perempuan”. Adapun tujuan dari Komnas
Perempuan sesuai Pasal 2 adalah untuk:
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi
manusia perempuan di Indonesia.
b. meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi
manusia perempuan.

Komnas Perempuan adalah salah satu lembaga negara yang bersifat independen.
Adapun tugas dari Komnas Perempuan sesuai Pasal 4 Perpres Nomor 65 Tahun
2005 adalah:
a. menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
b. melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrumen internasional
yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan;
c. melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian
tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak
asasi manusia perempuan serta penyebarluasan hasil
d. pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang
mendorong pertanggungjawaban dan penanganan;
e. memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif
dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong
penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang
mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan, dan
pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan;
f. mengembangkan kerja sama regional dan intemasional guna meningkatkan
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan
hak-hak asasi manusia perempuan.
2.3 Bagaimana Pelaksanaan Perlindungan Hak Asasi Anak dan Perempuan
A. Perlindungan Hak Anak
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan
sejahtera. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam
mengurangi permasalahan perlindungan dan pemenuhan hak anak, seperti
upaya untuk mengurangi pekerja anak di Indonesa.

Adapun upaya-upaya lainnya yang telah dilakukan terkait perlindungan dan


pemenuhan hak anak yaitu:
1. Pemerintah membuat program, misalnya:
 Penerbitan akta kelahiran gratis bagi anak;
 Pendidikan tentang cara pengasuhan tanpa kekerasan kepada orangtua
dan guru;
 Layanan kesehatan untuk anak;
 Meningkatkan anggaran pendidikan dasar dan menggratiskan biaya
pendidikan dasar.
2. DPR/DPRD membuat UU/Perda untuk melindungi anak dari tindak
kekerasan dan eksploitasi, mengancam pelaku dengan ancaman hukuman
sehingga diharapkan bisa menimbulkan efek jera.
3. Jajaran penegak hukum (polisi, jaksa) dan penegak keadilan (hakim)
memproses setiap pelanggaran hak anak dengan tegas, tanpa pandang bulu,
dan memberi sanksi yg setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan.

B. Perlindungan Hak Perempuan


Perlindungan Hak Perempuan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) :
1. Menyusun peraturan perundang-undangan terkait pencegahan
kekerasan seksual
2. Pelatihan bagi aparat penegak hukum yang sensitif gender dalam
penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan Anak
3. Membentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di prov/kab/kota
sebagai lembaga layanan perempuan dan anak yang mengalami
kekerasan
4. Peningkatan Kapasitas SDM dalam pencatatan dan pelaporan data
kasus kekerasan terhadap perempuan melalui Sistem Informasi Online
Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) termasuk memberi
tambahan tentang TPPO
5. Kemen PPPA berkoordinasi dengan kementerian dalam negeri untuk 
penyediaan anggaran yang cukup untuk pencegahan, penanganan
kekerasan, dan pemberdayaan korban kekerasan

Perlindungan Hak Perempuan dari Tindak Pidana Perdagangan Orang


(TPPO) :
1. Segera dibentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO (GT
PP TPPO). Bagi daerah yang sudah membentuk GT PP TPPO agar
menindaklanjuti penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD)
2. Mengoptimalkan sumber anggaran dari pihak ketiga atau lainnya yang
tidak mengikat (CSR, Sponsor, LSM, Ormas, Akademisi, Peneliti)
diluar APBD.
3. Memahami tupoksi p2TP2A dan GT TPPO (penyamaan persepsi)
melalui sosialiasi yang intens dan berkelanjutan

Perlindungan Hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan :


1. Sosialisasi dan advokasi kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
dan stakeholder terkait (Asosiasi Pengusaha dan Serikat Buruh/Pekerja)
2. Pelatihan dan Keterampilan kepada tenaga kerja perempuan
3. Penyediaan Balai Latihan Kerja (BLK) di Kabupaten/ Kota
Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus
(SDKK) :
1. Penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK)
Perlindungan Hak Perempuan
2. Sosialisasi terkait Model Perlindungan Lansia yang responsif Gender
3. Pelatihan Perempuan tangguh Bencana
4. Penyusunan Pergub/Perwali/ Perda Perlindungan dan Pemberdayaan
Perempuan dan Anak pada Konflik Sosial (P3AKS)
5. Pelatihan konselor pendamping Lansia dan penyandang disabilitas
6. Pembentukan Pusat Informasi dan Konsultasi-Perempuan Penyandang
Disabilitas
7. Pelatihan keterampilan untuk perempuan lansia dan disabilitas
8. Pendataan tentang data perempuan dan anak di wilayah konflik
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun hal-hal penting yang dapat disimpulkan adalah Perlindungan
anak segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap
anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan
pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. Perlindungan
anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat.
Dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak
membawa akibat hukum, baik dalam kaitanyya dengan hukum tertulis
maupun hukum tidak tertulis.

Demikian pula upaya pemerintah dalam menjamin terwujudnya


perlindungan terhadap hak asasi perempuan di Indonesia, adalah dengan
dibentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Komnas Perempuan adalah lembaga
indenpenden di Indonesia yang dibentuk sebagai mekanisme nasional untuk
menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Komisi nasional ini didirikan
tanggal 15 Oktober 1998 berdasarkan Keputusan Presiden No. 181/1998.

3.2 Saran
Perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak menjadi suatu
keharusan untuk dilakukan, karena perempuan dan anak wajib dilindungi dan
mendapatkan perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia. Kemudian masyarakat perlu diberikan pemahaman
tentang perlindungan terhadap hak asasi anak dan perempuan, karena
perempuan kaum yang lemah yang masih serng mendapat tindakan-tindakan
kekerasan ataupun yang bersifat diskriminatif.
DAFTAR PUSTAKA
https://media.neliti.com/195802-ID-kekerasan-terhadap-hak-hak-anak-
peran-da.pdf

https://media.neliti.com/240319-perlindungan-hak-asasi-anak-di-era-globa-
c60525f1.pdf

https://media.neliti.com/113990-ID-hak-asasi-perempuan-dalam-peraturan-
peru.pdf

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/1731/indonesia-
wujudkan-langkah-nyata-upaya-perlindungan-hak-perempuan

https://jurnal.unpad.ac.id/prosiding/article/download/13235-adapun-upaya-
upaya

Anda mungkin juga menyukai