Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA

Disusun Oleh :

Muhammad Raziq Muniranda - 1601110097

Raynata Hamid – 1801110170

Dandi Bagaskara - 1801110178

Rivatul Husna T – 1901110002

Khairul Ikhsan – 1901110019

Muhammada Hafiz Akbar – 1901110020

Inggar Muammar - 1901110021

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

ACEH

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, dengan


taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia”. Tidak lupa pula shalawat
beriringkan salam disampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
membawa umat islam dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu
pengetahuan seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, baik dari materi maupun penulisnya. Penulis dengan rendah hati
dan dengan tangan terbuka menerima berbagai masukan maupun saran yang
bersifat membangun yang diharapkan berguna bagi para pembaca.
Akhir kata, penulis berharap mudah-mudahan makalah ini dapat
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, dan bisa menjadi tolak ukur kita terhadap
dunia sosial sebaik mungkin.

Billahittaufiq wal hidayah Wassalaamu`alaikum wr.wb.

Banda Aceh, Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................3
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5
A. Tinjauan Tentang Anak Menurut Peraturan Perundang-Undangan dan Para
Sarjana...........................................................................................................5
B. Sejarah Lahirnya Hukum Anak di Indonesia................................................8
C. Latar Belakang dan Sejarah Lahirnya Konvensi Hak Anak........................10
D. Perkembangan Peraturan Undang-undang Perlindungan Anak Di Indonesia.
.....................................................................................................................14
E. Hukum Positif terkait Perlindungan Anak..................................................17
BAB III PENUTUP..............................................................................................20
A. KESIMPULAN...........................................................................................20
B. SARAN.......................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan masyarakat
dituntut untuk dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan
sosial atau kebudayaan. Meskipun telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui dan memahami
bagaimana prosedur-prosedur yang berlaku dalam hukum itu sendiri. Tidak
adanya pemahaman tersebut seringkali menyebabkan terjadi implementasi
hukum yang tidak benar. Hal tersebut dapat membuat hukum yang berlaku di
masyarakat menjadi tidak optimal dan membuat masyarakat menjadi lupa,
bahwa ada hukum yang mengatur Batasan-batasan hak-hak mereka dengan
hakhak orang lain. Karena ketidaktahuan akan hukum tersebut, maka timbulan
gejala sosial yang dinamakan kejahatan.

Kejahatan merupakan Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat


disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata
menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketentraman kehidupan manusia.

Kejahatan sejak dahulu hingga sekarang selalu mendapatkan sorotan,


baik itu dari kalangan pemerintah maupun dari masyarakat itu sendiri.
Persoalan kejahatan bukanlah merupakan persoalan yang sederhana terutama
dalam masyarakat yang sedang mengalami perkembangan seperti Indonesia
ini. Perkembangan itu dapat dipastikan terjadi karena adanya perubahan tata
nilai, dimana perubahan tata nilai yang bersifat positif berakibat pada
kehidupan masyarakat yang harmonis dan sejahtera, sedangkan perubahan tata
nilai bersifat negatif menjurus ke arah runtuhnya nilainilai budaya yang sudah
ada.

Fenomena munculnya kejahatan sebagai gejala sosial karena pengaruh


kemajuan iptek, kemajuan budaya dan pembangunan pada umumnya tidak
hanya menimpa orang dewasa, tetapi juga menimpa anak-anak. Upaya

1
penanganan atas kejahatan yang muncul adalah dengan memfungsikan
instrumen hukum pidana secara efektif melalui sistem peradilan pidana.

Anak pada dasarnya adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang


Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat,
martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak
dilahirkan merdeka, tidak boleh dilenyapkan atau dihilangkan, kemerdekaan
anak harus dilindungi dan diperluas dalam hal mendapatkan hak atas hidup
dan hak perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara.5 Oleh karena itu tidak ada setiap manusia atau pihak lain yang boleh
merampas hak tersebut, karena hak asasi anak tersebut merupakan bagian dari
hak asasi manusia (HAM) yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum
secara internasional maupun hukum nasional.

Atas dasar tersebut pemerintah berupaya melakukan pemberian


perlindungan terhadap anak. Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan
sebagai upaya perlindungn bagi hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak
asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai
kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Oleh karenanya
penghargaan akan hak-hak yang melekat pada anak tetaplah harus
dikedepankan dalam segala waktu, tempat maupun personality pengedepanan
prinsip-prinsip on-diskriminasi, kepentingan terbaik untuk anak, dan hak
untuk hidup kelansungan dan perkembangan, penghargaan terhadap pendapat
anak, tidaklah ditawartawar lagi harus senantiasa menyertai anak tersebut.

Akibat semakin memprihatikannya perlindungan anak di Indonesia,


teruatama dengan meomentum banyaknya anak-anak yang menjadi korban
dari kekerasan seksual di Indoesia, maka Presiden Jokowi mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti UndnagUndang atas Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau yang
lebih dikenal tentang Perppu Perlindungan Anak, dan akhirnya dijadikan
undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia
(DPR RI) menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun

2
2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang
(UU 17/2016) pada tanggal 12 oktober 2016 pada sidang rapat Paripurna DPR
RI tanpa ada pengubahan isi.

Dengan landasan pemikiran ini, penulis akan mencoba memaparkan


mengenai makalah tentang anak menurut peraturan Perundang-Undangan dan
para Sarjana, sejarah lahirnya hukum anak di Indonesia, perlindungan anak di
Indonesia, serta latar belakang dan sejarah lahirnya Konversi Hak anak.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini yaitu:

1. Bagaimana anak menurut peraturan Perundang-Undangan dan para


Sarjana?
2. Bagaimana sejarah lahirnya hukum anak di Indonesia?
3. Bagaimana latar belakang dan sejarah lahirnya Konversi Hak anak?
4. Bagaimana perlindungan anak di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Adapun makalah ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui anak menurut peraturan Perundang-Undangan dan para


Sarjana.
2. Mengetahui sejarah lahirnya hukum anak di Indonesia.
3. Mengetahui latar belakang dan sejarah lahirnya Konversi Hak anak.
4. Mengetahui tentang perlindungan anak di Indonesia.

3
4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Tentang Anak Menurut Peraturan Perundang-Undangan dan


Para Sarjana
Menurut R.A. Kosnan “Anak-anak yaitu manusia muda dalam umur
muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk
keadaan sekitarnya”.1 Oleh karna itu anak-anak perlu diperhatikan secara
sungguhsungguh. Akan tetapi, sebagai makhluk sosial yang paling rentan dan
lemah, ironisnya anak-anak justru seringkali tempatkan dalam posisi yang
paling di rugikan, tidakmemiliki hak untuk bersuara, dan bahkan mereka
sering menjadi korban tindak kekerasa dan pelanggaran terhadap hak-haknya.

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa pengertian tentang anak


menurut peraturan perundang- undangan, begitu juga menurut para pakar ahli.
Namun di antara beberapa pengertian tidak ada kesamaan mengenai
pengertian anak tersebut, karna di latar belakangi dari maksud dan tujuan
masing-masing undang-undang maupun para ahli. Pengertian anak menurut
peraturan perundang-undangan dapat dilihat sebagai berikut:2

1. Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2. Anak menurut Kitab Udang –Undang Hukum perdata Di jelaskan dalam
Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, mengatakan orang
belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan
tidak lebih dahulu telah kawin. Jadi anak adalah setiap orang yang belum
berusia 21 tahun dan belum meniakah. Seandainya seorang anak telah
menikah sebalum umur 21 tahun kemudian bercerai atau ditinggal mati

1
Koesnan, R.A.. Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur, Bandung,
2005 hal 99
2
Prints, Darwin, , Hukum Anak Indonesia,: Citra Adiya Bhakti, Bandung, 1997 hal 201

5
oleh suaminya sebelum genap umur 21 tahun, maka ia tetap dianggap
sebagai orang yang telah dewasa bukan anak-anak.
3. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Anak dalam Pasal 45
KUHPidana adalah anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam belas)
tahun.
4. Menurut Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Yang disebut anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
5. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak Dijelaskan dalam (Pasal 1 Ayat (3)) Anak adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana
6. Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut : "Anak adalah setiap manusia
yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi
kepentingannya"
7. Menurut UU No.44 thn 2008 ttg Pornografi Pasal 1 angka 4 “Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun “
8. Menurut UU No. 3 TAHUN 1997 Tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka
1 “ Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin “
9. Menurut Konvensi Hak-hak Anak Anak adalah setiap manusia yang
berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak
tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal j. Menurut UU
No.39 thn 1999 ttg HAM Pasal 1 angka 5 “ Anak adalah setiap manusia
yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
terrnasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya.”

6
Sedangkan membicarakan sampai batas usia berapa seseorang dapat
dikatakan tergolong anak, pembatasan pengertian anak menurut menurut
beberapa ahli yakni sebagai berikut :

Menurut Bisma Siregar, dalam masyarakat yang sudah mempunyai


hukum tertulis diterapkan batasan umur yaitu 16 tahun atau 18 tahun ataupun
usia tertentu yang menurut perhitungan pada usia itulah si anak bukan lagi
termasuk atau tergolong anak tetapi sudah dewasa.3

Menurut Sugiri "selama di tubuhnya masih berjalan proses


pertumbuhan dan perkembangan, anak itu masih menjadi anak dan baru
menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi
batas umur anak-anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu
18 (delapan belas) tahun untuk wanita dan 21 (dua puluh) tahun untuk laki-
laki."4

Sedangkan Hilman Hadikusuma merumuskannya dengan "Menarik


batas antara sudah dewasa dengan belum dewasa, tidak perlu di
permasalahkan karena pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa
namun ia telah dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum
dewasa telah melakukan jual beli, berdagang, dam sebagainya, walaupun ia
belum berenang kawin." 5

Dari beberapa pengertian dan batasan umur anak sebagaimana tersebut


di atas yang cukup bervariasi tersebut, kiranya menjadi perlu untuk
menentukan dan menyepakati batasan umur anak secara jelas dan lugas agar
nantinya tidak terjadi permasalahan yang menyangkut batasan umur anak itu
sendiri. Dalam lingkup Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia serta
Undang-undnag tentang Perlindungan Anak sendiri ditetapkan bahwa anak
adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan, dan belum pernah menikah.
3
Bismar Siregar, Telaah tentang Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Wanita,
Yogyakarta: Pusat Studi Kriminologi F. H. UII, 1986, hal 90
4
Sugiri, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara Jakarta,1990, hal 25
5
Hilman Hadikusuma.. Hukum Waris Adat. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003, hal
89

7
B. Sejarah Lahirnya Hukum Anak di Indonesia
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan manusia,  sejak penciptaan
manusia sampai dengan saat ini anak memiliki pemaknaan yang berbeda-beda.
Dan hal tersebut semakin berkembang dari zaman ke zaman. Sebagai contoh
dahulu terdapat paham yang mengatakan bahwa banyak anak banyak rejeki,
tetapi hal tersebut terjadi pada zaman feodal dimana pekerjaan manusia masih
sangat homogen dan kebutuhan yang belum sebanyak zaman sekarang dan
pada saat itu kuantitas sangat berpengaruh dalam peningkatan perekonomian
suatu keluarga. Namun hal tersebut tidak akan menjadi relevan lagi di zaman
ini, dimana manusia semakin banyak jumlahnya, yang berarti persaingan juga

8
semakin besar satu sama lain. Diikuti dengan semakin beragamnya kebutuhan
manusia dan meningkatnya ketergantungan manusia pada barang-barang.6

Pada saat ini kualitas dari suatu pribadi lebih penting dari pada
kuantitas untuk memenangkan persaingan. Saat ini semakin banyak anak akan
menyusahkan bagi orang tuanya karena biaya yang butuhkan untuk
menghidupi anak tersebut yang tidak sedikit. Pemaknaan anak pun bergeser
kearah peningkatan kualitas dari anak tersebut. Inilah yang menyebabkan
semakin menjamurnya lembaga pendidikan-pendidikan untuk mendidik anak
supaya nantinya menjadi orang yang berguna dan berkualitas. Dalam rangka
untuk menghasilkan anak-anak yang berkualitas itu juga yang salah satu
alasan adanya hukum perlindungan anak. Di Indonesia sendiri hukum yang
mengatur tentang anak sudah ada sejak tahun 1925 pada masa kolonial
Belanda, dengan lahirnya Staatsblaad 1925 No. 647 Juncto Ordonansi 1949
No 9 yang mengatur tentang Pembatasan Kerja Anak dan Wanita. Diikuti
pada tahun 1926 dengan lahirnya Staatsblaad 1926 No 87 tentang pembatasan
Anak dan Orang Muda bekerja diatas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret
1942 lahirlah Kitab Undang-undang hukum Pidana yang disahkan mulai
belaku pada tanggal 26 Februari 1946. Dalam beberapa pasalnya KUHP
mengatur tentang anak yaitu Pasal 45,46, dan 47 yang memberikan
perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana Anak sebagai
pelaku sebaliknya di dalam Pasal 290, 292, 293, 294, 297, dan lain-lain
memberikan perlindungan terhadap anak dengan memperberat hukuman atau
mengkualifikasikan tindakan-tindakan tertentu sebagai tindakan pidana jika
dilakukan terhadap anak, padahal tindakan tersebut tidak akan dikategorikan
sebagai tindakan pidana jika dilakukan terhadap orang dewasa Anak sebagai
korban. 7

Dilanjutkan pada tahun 1948 dengan lahirnya Undang-undang No. 12


tahun 1948 tentang Pokok-pokok Perburuhan yang melarang anak melakukan
6
Lubis, Muhammad Ansori. "Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban (Tindak)
Kekerasan yang dilakukan Keluarga dalam Upaya Pembentukan Hukum Pidana Nasional (Studi
Kasus di Kota Medan)”." (2007).
7
Ibid.

9
pekerjaan. Pada tanggal 23 Juli 1979 lahirlah Undang-Undang No. 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak dan kemudian disusul pada tanggal 29
Februari 1988 dengan lahirnya peraturan pelaksana No.2 Tahun 1988 tentang
Usaha Kesejahteraan Anak. Secara Internasional pada tanggal 20 November
1989 lahirlah konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa yang di ratifikasi oleh
Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 dimana melalui
konvensi ini setiap Negara diwajibkan untuk menjamin hak anak-anak. Pada
tahun 1948 dengan disahkannya Undang-undang No. 12 Tahun 1948 anak
secara tegas dilarang bekerja.Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa usia pekerja adalah minimal 15
tahun dan maksimal 55 tahun. Akan tetapi dalam kenyataan banyak anak yang
terpaksa bekerja oleh karena alasan ekonomi di Indonesia. Untuk menyikapi
masalah tersebut maka pemerintah mengeluarkan Permenaker No.1 Tahun
1987 tentang anak yang terpaksa bekerja. Anak yang terpaksa bekerja
disyaratkan harus ada ijin tertulis dari orang tuawali dengan lama bekerja 4
jamhari, dengan upah yang sama dengan orang dewasa, tidak bekerja pada
malam hari, dan pada tempat-tempat yang berbahaya pada kesehatannya. Hal
ini sangat bertentangan dengan Undang-undang No.12 Tahun 1948 jo
Undang-undang No. 13 Tahun 2003. Pada tahun 1974 diatur beberapa pasal
tentang anak, seperti usia boleh kawin untuk pria adalah 19 sembilan belas
tahun dan untuk wanita 16 enam belas tahun. 8

Namun dalam prakteknya hal ini banyak dilanggar dengan


diadakannya kawin adat atau kepercayaan, sehingga masalah usia sudah tidak
diperhatikan. Ditambah dengan beberapa daerah tertentu, perkawinan jarang
dicatatkan membuat masalah sendiri dalam menentukan status seorang anak.

C. Latar Belakang dan Sejarah Lahirnya Konvensi Hak Anak


Konvensi Hak Anak ( Convention of Rights of The Child ) telah
disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) pada

8
Ibid.

10
tanggal 20 November 1989, dan mulai mempunyai kekuatan memaksa
(entered in force) pada tanggal 2 September 1990. Konvensi hak anak ini
merupakan instrumen yang merumuskan prinsip-prinsip yang universal dan
norma hukum mengenai kedudukan anak. Oleh karena itu, konvensi hak anak
ini merupakan perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang
memasukkan hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak budaya. Sebelum
disahkan Konvensi Hak Anak, sejarah mencatat bahwa hak-hak anak jelas
melewati perjalanan yang cukup panjang dimulai dari usaha perumusan draf
hak-hak anak yang dilakukan Mrs. Eglantynee Jebb, pendiri Save the Children
Fund. Setelah melaksanakan programnya merawat para pengungsi anak-
anak,pada Perang Dunia Pertama, Jebb membuat draft “Piagam Anak” pada
tahun 1923. Beliau menulis: “Saya percaya bahwa kita harus menuntut hak-
hak bagi anak-anak dan memperjuangkannya untuk mendapat hak universal”.9
Dalam draf yang dikemukakannya, Jebb mengembangkannya menjadi
7 (tujuh) gagasan mengenai hak-hak anak yaitu :
1. Anak harus dilindungi di luar dari segala pertimbangan mengenai ras
kebangsaan dan kepercayaan.
2. Anak harus dipelihara dan harus tetap menghargai keutuhan keluarga.
3. Bagi anak harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan
secara normal, baik material, moral dan spiritual.
4. Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak
yang cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan
anak terlantar harus diurus atau diberi perumahan.
5. Anaklah yang pertama-tama harus mendapat bantuan atau pertolongan
pada saat ada kesengsaraan.
6. Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program
kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapatkan pelatihan agar pada saat
diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah serta harus
dilindungi dari segala bentuk eksploitasi.

9
Darwan Prinst, S.H., 2003, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 103- 119.

11
7. Anak harus diasuh dan dididik dengan pemahaman bahwa bakatnya
dibutuhkan untuk mengabdi pada sesama.
Di Indonesia, Konvensi Hak Anak baru diratifikasi pada tahun 1990
melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Konvensi Hak Anak dewasa
ini telah diratifikasi oleh banyak negara anggota PBB. Sampai dengan bulan
Februari 1996 konvensi ini telah diratifikasi oleh 187 (seratus delapan puluh
tujuh) negara.
Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
hak anak di Indonesia diantaranya adalah Undang - Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 ayat (1) undang - undang ini
menentukan, “Anak adalah seorang yang belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dan belum kawin”. Hal ini dapat mengubah status menjadi
dewasa berdasarkan hukum, dan akibatnya dia kehilangan haknya untuk
dilindungi sebagai anak.
Undang - Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga
menentukan bahwa :
1. Anak adalah orang yang telah mencapai umur 18 tahun (delapan belas)
(Pasal 1 ayat {1}).
2. Umur tanggung jawab kriminal adalah 8 tahun, ( Pasal 4 ayat {1} )
padahal dalam United Nation Standart Minimum Rules for Administration
of Juvenile 1995 (Beajing Rules) menyatakan 12 ( Dua belas ) tahun.
Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990
tertanggal 25 Agustus 1990, maka Konfensi Hak Anak dinyatakan berlaku di
Indonesia sejak tanggal 5 Oktober 1990. Sebenarnya jaminan negara terhadap
perlindungan hukum bagi anak sudah ditegaskan dalam UUD 1945 pada
alinea ke empat, sebagai berikut : “Kemudian daripada itu untuk membentuk
susunan pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu

12
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam
susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia,dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dari pernyataan tersebut
terlihat bahwa negara Republik Indonesia berkewajiban untuk :
1. Melindungi segenap warga negaranya, termasuk juga yang digolongkan
sebagai anak dan anak jalanan.
2. Menyelenggarakan upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa di
antaranya menyelenggarakan pendidikan formal dan informal bagi anak,
termasuk anak jalanan.
Konvensi Hak-hak Anak terdiri dari 54 pasal yang terbagi dalam 4
bagian, yaitu :
1. Mukadimah, yang berisi konteks Konvensi Hak-hak Anak.
2. Bagian Satu (Pasal 1-41), yang mengatur hak-hak anak.
3. Bagian Dua (Pasal 42-45), yang mengatur masalah pemantauan dan
pelaksanaan Konvensi Hak-hak Anak.
4. Bagian Tiga (Pasal 46-54), yang mengatur masalah pemberlakuan
konvensi.
Konvensi Hak-hak Anak mempunyai 2 protokol opsional, yaitu :
1. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak
Dalam Konflik Bersenjata (telah diratifikasi oleh Indonesia dengan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2012).
2. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak,
Prostitusi Anak dan Pornografi Anak (Indonesia telah meratifikasi
protokol opsional ini dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2012).
Konvensi Hak-hak Anak berisi 8 kluster, yaitu:
1. Kluster I : Langkah-langkah Implementasi
2. Kluster II : Definisi Anak
3. Kluster III : Prinsip-prinsip Hukum KHA

13
4. Kluster IV : Hak Sipil dan Kebebasan
5. Kluster V : Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif
6. Kluster VI : Kesehatan dsn Kesejahteraan Dasar
7. Kluster VII : Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya
8. Kluster VIII : Langkah-langkah Perlindungan Khusus
Hak-hak anak menurut Konvensi Hak-hak Anak dikelompokkan dalam
4 kategori, yaitu :
1. Hak Kelangsungan Hidup, hak untuk melestarikan dan mempertahankan
hidup dan hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan
yang sebaik-baiknya.
2. Hak Perlindungan, perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan
dan keterlantaran.
3. Hak Tumbuh Kembang, hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai
standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral
dan sosial.
4. Hak Berpartisipasi, hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang
mempengaruhi anak.
Sebagai perwujudan komitmen pemerintah dalam meratifikasi
Konvensi Hak-hak Anak, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22
Oktober 2002 yang secara keseluruhan, materi pokok dalam undang-undang
tersebut memuat ketentuan dan prinsip-prinsip Konvensi Hak-hak Anak.
Bahkan sebelum Konvensi Hak-hak Anak disahkan, Pemerintah telah
mengesahkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 telah diperluas
pengertian anak, yaitu bukan hanya seseorang yang berusia dibawah 18 tahun,
seperti yang tersebut dalam Konvensi Hak-hak Anak, tapi termasuk juga anak
yang masih dalam kandungan. Begitu juga tentang hak anak, dalam Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002 terdapat 31 hak anak. Setelah meratifikasi
Konvensi hak-hak Anak, negara mempunyai konsekuensi :
1. Mensosialisasikan Konvensi Hak-hak Anak kepada anak.

14
2. Membuat aturan hukum nasional mengenai hak-hak anak.
3. Membuat laporan periodik mengenai implementasi Konvensi Hak-hak
Anak setiap 5 tahun.

D. Perkembangan Peraturan Undang-undang Perlindungan Anak Di


Indonesia
Anak merupakan harapan bangsa dan apabila sudah sampai saatnya
akan menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan negara,
dengan demikian anak perlu dibina dengan baik agar mereka tidak salah dalam
hidupnya kelak. Setiap komponen bangsa, baik pemerintah maupun non-
pemerintah memiliki kewajiban untuk secara serius memberi perhatian
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Komponen-komponen yang
harus melakukan pembinaan terhadap anak adalah orang tua, keluarga,
masyarakat, dan pemerintah.

Anak nakal itu merupakan hal yang wajar-wajar saja, karena tidak
seorangpun dari orang tua yang menghendaki kenakalan anaknya berlebihan
sehingga menjurus ke tindak pidana. Pada kenyataannya banyak kasus
kejahatan yang pelakunya anak-anak. Jika ditelusuri, seringkali anak yang
melakukan tindak pidana adalah anak bermasalah yang hidup ditengah
lingkungan keluarga atau pergaulan sosial yang tidak sehat

Istilah kenakalan anak itu pertama kali ditampilkan pada Badan


Peradilan di Ameriks dalam rangka usaha membentuk suatu undang-undang
peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam pembahasannya ada kelompok
yang menekankan psegi pelanggaran hukumnya, ada pula yang menekankan
pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari orma yang berlaku
atau belum melanggar hukum. Namun semua sepakat bahwa dasar pengertian
kenakalan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.

Menurut Katini Kartono (1992:7) yang dikatakan Juvenile Deliquency,


adalah:

15
“Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda,
merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja
yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.”

Secara filosofi anak merupakan bagian dari generasi muda, sebagai


salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa di masa yang akan datang yang memiliki peran serta cirri-
ciri khusus serta memerlukan pembinaan dan perlindungan yang khusus pula.

Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tndakan


siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemertintah)
baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada hakikatnya ana tidak dapat
melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan
kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan
penghidupan.

Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak


merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak
Indonesia. Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara
teratur, tertib dan bertanggungjawab maka diperlukan peraturan hukum
yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai
sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan
situasi, yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara
manusiawi positif, yang merupakan pula perwujudan adanya keadilan
dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, perlindungan anak harus
diusahakan dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan bernegara,
bermasyarakat, dan berkeluarga berdasarkan hukum demi perlakuan
benar, adil, dan kesejahteraan anak.
Biro Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa penanganan masalah
perlindungan anak di Indonesia masih jalan di tempat. Sementara itu, Komite
Hak Anak PBB menyebutkan bahwa Indonesia masih mendapatkan “rapor”

16
buruk dalam penanganan perlindungan anak. Buruknya penanganan
perlindungan anak ini ditunjukkan oleh data statistik anak-anak yang menjadi
korban tindak pidana. Menurut BPS, pada tahun 2014 jumlah penduduk
Indonesia yang menjadi korban tindak pidana  sebanyak 1,06 persen, dan dari
jumlah tersebut sebanyak 0,29 persen atau 247.610 adalah anak-anak. Dari
247.610 anak yang menjadi korban kejahatan, 80 persen diantaranya memiilih
untuk tidak memproses kasus tersebut ke kepolisian.

Meski jumlah data di atas tidak memberikan rincian terhadap anak-


anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi, penelantaran maupun
perlakuan salah. Akan tetapi rincian tentang kasus-kasus anak ini bisa didapat
di berbagai non-goverment organization (NGO) baik dari dalam negeri
ataupun dari luar negeri yang selalu memantau pelaksanaan Undang-Undang
Perlindungan Anak. Berdasarkan data yang dihimpun ECPAT Indonesia,
ditemukan sekitar 30 persen dari total kasus kekerasan terhadap anak
merupakan kasus kejahatan seksual anak. Jika persentase ECPAT ini
digunakan untuk menghitung korban kejahatan anak, maka sekitar 74 ribu
anak adalah korban dari kejahatan seksual.

Tingginya anak-anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi,


penelantaran dan perlakuan salah disebabkan karena belum maksimalnya
upaya pemerintah dan peran berbagai aktor perlindungan anak dalam
menjalankan upaya preventif. Bahkan instrumen hukum positif saat ni juga
belum benar-benar mampu melindungi anak-anak dari tindak kejahatan.

Ada 22 undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap anak-


anak dari praktik kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah.
Adapun gambaran dari 22 undang-undang ini dapat digambarkan pada tabel di
bawah ini.

E. Hukum Positif terkait Perlindungan Anak


No. Undang-Undang (UU)

17
1. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
2. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi KILO 138
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang HAM
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi KILO 182

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT
9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Anak Sipil dan Politik
10. Undang-Undang No. 31 Tahun 2006 tentang LPSK
11. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
12. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO
13. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-
Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE
14. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

15. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

16. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol


to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially
Women and Children, Supplementing the United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah,
Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama
Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang
Terorganisasi)
17. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Opsional

18
Protokol KHA tentang Anak yang berkonflik dengan Senjata
18. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Opsional
Protokol KHA tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan
Pornografi Anak
19. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPA
20. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang REVISI UU No.
13/2006 (LPSK)
21. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang REVISI UU No.
23/2002 (Perlindungan Anak)
22 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang

Undang-undang yang disebutkan di atas tidak semuanya mengatur


perlindungan anak secara langsung, tetapi ada juga yang mengatur masalah
perlindungan anak secara tidak langsung, bahkan sebagian adalah ratifikasi
konvensi (opsional protokol) internasional. Namun demikian, semuanya
memiliki relasi atau keterkaitan dengan perlindungan anak di Indonesia.

Undang-Undang Perlindungan Anak menjadi catatan khusus, karena


undang-undang ini telah dua kali mengalami revisi, dan revisi yang dilakukan
tidak didasarkan pada semangat untuk melakukan harmonisasi dengan
standard internasional yang diratifikasi tetapi lebih didasarkan pada respon
atas persoalan-persoalan anak yang mengemuka atau muncul di masyarakat.
Dengan kata lain revisi yang dilakukan masih bersifat parsial dan kasuistis.
Oleh sebab itu, revisi yang sudah dilakukan tidak menjawab pengentasan
persoalan anak secara menyeluruh.

19
20
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam lingkup Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia serta
Undang-undnag tentang Perlindungan Anak sendiri ditetapkan bahwa anak
adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan, dan belum pernah menikah. Sejarah perkembangan
lahirnya hukum anak di Indonesia semakin berkembang seiring dengan
perkembangan kebudayaan manusia, sejak penciptaan manusia sampai dengan
saat ini anak memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Dan hal tersebut
semakin berkembang dari zaman ke zaman.

Perundang-undang nasional di bidang perlindungan anak khususnya


terkait tindak pidana kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran
pada anak perlu diamandemen. Perbaikan undang-undang ini harus dilakukan
dengan caramelengkapi unsur-unsur deliknya sehingga persoalan tindak
pidana ini menjadi clear dan mudah ditegakkan oleh penegak hukum, serta
mudah difahami oleh masyarakat awam sekalipun. Ada kesan bahwa bahasa
undang-undang hanya bisa difahami oleh mereka yang berpendidikan hukum
semata. Padahal undang-undang yang baik haruslah dibuat untuk mudah
dipahami masyarakat yang menggunakan undang-undang itu.

Beberapa rekomendasi yang ditawarkan dalam untuk mengantisipasi


problematikan di atas antara lain: (1) perlu dipertimbangkan rumusan delik
pidana dalam undang-undang perlindungan anak dengan model rumusan
single track. Artinya antara perbuatan yang dilarang dengan ancaman
pidananya dirumuskan dalam pasal yang sama; (2) Menyebutkan semua unsur
dalam tindak pidana kekerasan pada anak, eksploitasi anak, penelantaran anak
dan perlakuan salah pada anak; (3) Mempertimbangkan untuk dimasukkannya
unsur tambahan dalam rumusan delik yang ditujukan kepada siapa saja
melaporkan, menolong dan/atau memberikan bantuan kepada anak yang
mengalami kekerasan, penelantaran, eksploitasi dan perlakuan salah; (3)

21
mendefinisikan tindak pidana yang disesuaikan dengan standar internasional
khususnya dengan ketentuan yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.

B. SARAN
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai berikut: 1)
Penulis berharap agar pihak pembentuk undang-undang yaitu pihak legislatif
agar mengesahkan Perubahan Kedua Undang-Undang Perlindungan Anak
akibat dari kebutuhan dinamika perlindungan anak, bukan karena ada
kepentingan; 2) Penulis menyarankan agar Perubahan Kedua Undang-Undang
Perlindungan Anak menjadi dasar penegak hukum dalam bertindak untuk
penegakan hak-hak anak dan 3) Penulis menyarankan agar pemerintah
membuat aturan yang lebih baik lagi terkait perlindungan anak, agar tidak
terjadi tumpang tindih antar lembaga negara.

22
DAFTAR PUSTAKA

Bismar Siregar, Telaah tentang Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Wanita,
Yogyakarta: Pusat Studi Kriminologi F. H. UII, 1986, hal 90

Darwan Prinst, S.H. 2003, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 103- 119.

Hilman Hadikusuma. Hukum Waris Adat. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003,
hal 89

Koesnan, R.A. Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur,


Bandung, 2005 hal 99

Lubis, Muhammad Ansori. "Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban


(Tindak) Kekerasan yang dilakukan Keluarga dalam Upaya Pembentukan
Hukum Pidana Nasional (Studi Kasus di Kota Medan)”." (2007).

Prints, Darwin, Hukum Anak Indonesia: Citra Adiya Bhakti, Bandung, 1997 hal
201

Sugiri, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara Jakarta,1990, hal 25

23

Anda mungkin juga menyukai