OLEH:
Nama : RUNIAWAN
Nim : 193020209025
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami bisa
menyusun Makalah ini dengan baik. Dengan judul dari makalah ini adalah Makalah
Hubungan Pancasila degan Kehidupan Pengemis dan Eksploitasi Anak.
Makalah ini kami susun sebagai bentuk dari tugas mata kuliah Pancasila, dengan
tujuan agar apa yang telah kami ketahui dapat disampaikan kepada Anda sekalian serta bisa
menambah wawasan dan pengetahuan tentang Pancasila.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen Pancasila kami, yang telah
memberikan tugas untuk melakukan penelitian mengenai keadaan sosial yang berhubungan
dengan Pancasila, dimana bisa sangat membantu kami dalam kegiatan perkuliahan kami saat
di kelas maupun di luar kelas. Kegiatan ini sangat membantu kami dalam memahami materi-
materi yang berkaitan Pancasila.
Semoga Makalah ini bisa membantu Anda sekalian yang membacanya. Kami juga
mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam Makalah kami ini. Kami juga bersedian untuk
menerima saran dan kritik Anda sekalian.
RUNIAWAN
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Tinjauan Pustaka
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Permasalahan yang dikaji
1.1 Kehidupan pengemis dan anak jalanan di Indonesia
1.2 Kekerasan terhadap pengemis dan anak jalanan di Indonesia
1.3 Pendidikan dan pemberdayaan pengemis dan anak jalanan di Indonesia
B. Kaitan Dengan Pancasila
2.1Kehidupan pengemis dan anak jalanan di Indonesia
2.2Kekerasan terhadap pengemis dan anak jalanan di Indonesia
2.3Pendidikan dan pemberdayaan pengemis dan anak jalanan di Indonesia
C. Undang – Undang yang Mengatur tentang pengemis dan perlindungan anak
D. Penanggulangan Untuk Masalah tersebut
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua orang yang lahir ke dunia ini memiliki hak asasi yang kehadirannya tidak
dapat ditolak atau dicegah oleh siapapun. Karena, hak asasi manusia bersifat kodrati yang
berarti hak itu dimiliki setiap orang atas dasar kodratnya sebagai manusia. Di negara
Indonesia harkat dan martabat manusia sebagai perwujudan hak asasi manusia dihargai dan
dilindungi dalam undang-undang, khususnya pada UUD 1945, yang berdasarkan asas-asas
Pancasila. Dengan demikian, jelaslah bahwa di Indonesia seseorang berhak dan wajib
diperlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama satu dengan yang lain.
Hak hidup setiap manusia tidak dapat dikurangi, ditambah, atau dihilangkan oleh
siapapun dan dalam keadaan apapun. Hak-hak hidup manusia itu diantaranya : hak untuk
tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan dan tidak dipaksa untuk melakukan
yang tidak disukai ataupun diperlakukan dengan tidak sesuai harkat, martabat dan
kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya.
Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan amanah bagi kedua orangtua
mereka. Dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah
tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang berperan strategis dan
mempunyai ciri serta sifat khusus untuk menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan
negara di masa depan. Setiap anak kelak diharapkan mampu memikul tanggung jawab
mereka masing-masing, maka seorang anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Anak juga
diharapkan berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan untuk
mewujudkan kesejahteraan anak dengan cara memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-
haknya serta adanya perlakuan kepada mereka tanpa diskriminasi.
Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan amanah yang diberikan
kepada orangtua mereka sehingga harus dijaga. Karena, dalam diri setiap anak melekat
harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari
sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa, penerus cita-cita
bangsa, dan generasi muda yang diharapkan dapat mempertahankan eksistensi bangsa di
masa depan. Sehingga setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam
keharmonisan serta berhak mendapat perlindungan dari segala tindak kekerasan dan
diskriminasi yang mungkin dilakukan kepadanya.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan
memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum
pelindungan anak yang berlaku. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraannya, negara
dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak,
terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.
Walaupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah
membahas tentang hak anak, dalam pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak
masih memerlukan suatu undang-undang sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan
kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Pembentukan undang-undang ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari
kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam menjamin dan memajukan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Disebutkan juga dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang hak dari anak yang
menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin
dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Undang-undang ini
meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai
berikut:
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan
PEMBAHASAN
Kecamatan Cipocok Jaya, didominasi lanjut usia (lansia) yang hidup sendiri dan tak diurus keluarganya.
Sementara pengemis dari Kramatwatu dan Kasemen, lebih banyak pengemis musiman yang beroperasi setiap bulan
Ramadhan. Sedangkan di daerah Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi. Disebut sebagai kampungnya pengemis,
dikarenakan banyak warga yang berprofesi sebagai pengumpul barang bekas, atau pengamen. Walaupun tidak semua
warganya, karena juga ada penduduk yang karyawan, pegawai, atau pedagang. Namun, para pengemis atau pengumpul
barang bekas di kedua kampung itu tidak tidur di emperan layaknya gelandangan. Mereka mengontrak kamar atau
bahkan rumah meski berukuran sempit. Tidak jarang, kamar berukuran 1,5 meter x 2 meter dihuni dua sampai tiga
orang.
Sedangkan dari pelacakan dan penelitian M. Ali Humaidy, pihaknya menemukan beberapa kesimpulan atas fenomena di
Desa Pragaan Daja Sumenep. Misalnya mengenai soal kriteria pengemis. Pengemis dibagi menjadi 2 kriteria yaitu
pengemis konvensional dan nonkonvensional. Untuk pengemis konvensional, peneliti merujuk kepada mereka yang
biasa mengemis secara door to door, berada di emperan toko dan sebagainya. Ciri mereka biasanya menggunakan baju
compang camping dan jauh dari layak. Sedangkan pengemis nonkonvensional lebih maju atau bisa dikatakan sebagai
pengemis modern. Dianggap modern lantaran telah memanfaatkan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan. Misalnya,
menggunakan nama-nama di alamat buku telepon. Mereka yang termasuk pengemis modern biasanya tidak berpakaian
compang camping, tapi lebih necis. Dan, mereka tidak door to door. Tapi, dengan banyak mengirim proposal atau
menemui langsung membawa surat permintaan dana.
Dilihat secara empiris di lapangan, para pengemis di daerah sumenep, kondisi ekonominya bisa dibilang
mampu. Indikatornya, mereka memiliki rumah keramik, sepeda motor, bahkan ada yang memiliki parabola.
Dari beberapa studi lapangan itu, terdapat hubungkan teori kemiskinan, kemiskinan fisik dan psikologis. Warga Pragaan
Daja Sumenep misalanya yang mengemis lebih kepada miskin secara psikologis. Mereka miskin secara psikologis
lantaran sebenarnya mampu, tapi menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencaharian.
Kebanyakan pengemis menganggap kalau meminta-minta merupakan suatu perbuatan yang mulia dari pada mencuri.
Mereka terus berada dalam pemahaman itu, padahal keliru. Jelas-jelas tangan di atas lebih baik dari pada tangan di
bawah.
Selain aspek psikologis, adanya faktor ekological context yang menjadi penyebab lain dari masalah ini.
Misalnya, dari segi regulasi ekonomi, di Desa Pragaan Daja Sumenep jauh dari aktifitas pasar. Juga dari segi geografis,
warga setempat hidup di tempat tidak produktif. Pemerintah juga perlu introspeksi diri. Karena pemerintah selama ini
sudah mengajarkan masyarakatnya secara tidak langsung menjadi pengemis. Bantuan-bantuan dengan dalih mengangkat
derajat orang miskin tanpa seleksi yang ketat, sama saja dengan meninabobokan dan mengajarkan masyarakat menjadi
manja, malas, dan tanpa usaha. Beberapa kasus justru setelah memperoleh bantuan, uangnya dipakai untuk memancing
ataupun kenikmatan kehidupan dunia lain. Bantuan yang dilakukan pemerintah tidaklah salah apabila sampai pada tahap
tertentu dihentikan, serta kepada siapa bantuan itu diberikan haruslah tepat.
http://www.tribunjabar.co.id/read/artikel/10728/pengemis-dan-pemaksaan-rasa-iba
Pengemis dan Pemaksaan Rasa Iba
Contoh:
Salah satu anak jalanan, Suci Indah Permata, mengadu dipaksa pihak
sekolah membayar biaya pendidikan sebesar Rp 4 juta. "Padahal, saya sudah
melengkapi surat keterangan miskin," kata siswi Sekolah Menengah Kejuruhan
Negeri 3 Kota Malang itu sambil menitikkan ari mata, Jumat 28 September 2012.
Menurut Alles, banyak anak jalanan yang putus sekolah, bahkan tidak bisa
membaca, menulis dan berhitung.
"Bagi anak jalanan yang putus sekolah, kami mendirikan Pusat Kegiatan
Anak (PKA), yaitu sekolah nonformal yang membekali mereka dengan pelajaran
umum, pengembangan karakter, serta keterampilan," kata Alles (Antara – Kam,
26 Jul 2012).
2.1. Kaitan dengan Masalah Kehidupan Pengemis dan Anak Jalanan di Indonesia
Kehidupan yang dijalani oleh para pengemis dan anak jalanan yang sangat
memprihatinkan tentu mengundang suatu rasa kemanusiaan kita. Kehidupan yang
jauh dari layak sangat tidak relevan dengan sila yang ke-5, yang berbunyi, “Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Kemiskinan memaksa mereka untuk menjadi
pengemis dan anak jalanan. Padahal dalam sila ke-5 sangat menjunjung tinggi nilai-
nilai keadilan. Seharusnya pemerintah dapat mengatasi permasalahan ini dengan
solusi yang adil dan mengangkat nilai kemanusiaan pula. Karena dalam sila ke-5
merupakan perwujudan dari tujuan dan cita-cita bangsa. Dimana dalam hal ini nilai
keadilan distributiflah yang harus terwujud, yaitu suatu hubungan antara negara
terhadap waranya dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam
bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta
kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban.
Sementara dalam masalah yang berbeda, yaitu orang tua yang
mengeksploitasi anak kecil dengan menjadikan anaknya sebagai pengemis seperti
yang telah dibahas sebelumnya merupakan suatu tindakan tidak bermoral. Padahal
dengan jelas telah disebutkan dalam sila ke-2, yang berbunyi, ”Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab”. Dalam sila tersebut jelas terkandung nilai suatu kesadaran sikap
moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia
dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya baik
terhadap diri sendiri, sesama manusia maupun terhadap lingkungannya. Tetapi dalam
kasus ini para orang tua tersebut hanya memikirkan nasib dirinya dengan cara
pengeksplotasian anak demi memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal seharusnya
sebagai seorang anak yang tentunya juga mempunyai hak asasi manusia, mereka
haruslah dilindungi, dirawat dan dipenuhi kebutuhannya oleh orang tua. Maka dalam
hal ini, seharusnya orang tua tersebut memiliki moral kemanusiaan. Sehingga
nantinya kasus anak-anak yang menjadi pengemis dan anak jalanan akan berkurang.
Dalam kasus sewa menyewa anak, merupakan perbuatan yang melanggar
hukum dan hak asasi manusia. Perdagangan anak sangatlah tidak
berperikemanusiaan, terlihat dari tindakan yang menjual seorang anak yang berarti
disamakan dengan barang, yang menandakan pelaku tidak berperasaan. Pada kasus
ini, hak-hak anak tidak dihiraukan. Anak menjadi tertindas dan tidak dapat membela
haknya sebagai makhluk manusia. Ketidakpedulian terhadap hak-hak hidup orang
lain menimbulkan ketidakadilan bagi orang lain. Seharusnya nilai-nilai keadilan
dijunjung tinggi, akan tetapi di sini menunjukan tidak adanya keadilan terhadap anak
– anak. Mereka yang seharusnya mendapat hak perlindungan, penganyoman, dan
kasih dari orang tua, tetapi di sini mereka malah dijual sehingga mereka tidak
memperoleh hak mereka. Anak kecil yang bahkan masih balita yang seharusnya
masih dalam dekapan kasih sayang orang tua, tetapi karena alasan kemiskinan
mereka harus berada di jalanan untuk mengemis. Yang bahkan akan kepanasan dan
kehujanan. Hal tersebut sangat ironis dan sangat melanggar hukum karena tidak
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
2.2. Kaitan dengan Masalah Kekerasan pada Pengemis dan Anak jalanan di
Indonesia
Kekerasan yang dialami oleh anak-anak jalanan ini berhubungan dengan nilai-
nilai yang ada pada Pancasila, yaitu terkait dengan sila 2 yang berbunyi
“Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”. Kemanusiaan berasal dari kata manusia
yaitu makhluk yang memiliki akal budi, cipta dan rasa. Kata “adil” disini mempunyai
arti sama rata atau sepadan sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing.
Kata “beradab” disini mengandung tata arti kesopanan, kesusilaan atau moral. Jadi
arti dari sila ke 2 ini yaitu sikap dan perbuatan manusia yang sesuai dengan kodrat
hakikat manusia yang sopan.
Sikap kekerasan pada anak ini sangat bertentangan dengan nilai sila ke 2 pada
Pancasila. Dimana sila ke-2 mengandung nilai-nilai untuk menjunjung tinggi azas
kemanusiaan. Pada kasus ini, hak-hak anak tidak dihiraukan. Anak menjadi tertindas
dan tidak dapat membela haknya sebagai makhluk manusia. Seharusnya dalam diri
setiap orang harus menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menghargai akan
kesamaan hak dan derajat tanpa membedakan. Kita juga harus mengembangkan
sikap saling mencintai, menghargai, menghormati, tenggang rasa, dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga, tidak ada lagi kasus kekerasan yang terjadi
terhadap kaum yang tertindas terlebih kekerasan kepada anak yang tak berdaya.
2.3. Kaitan dengan Masalah Pendidikan dan Pemberdayaan bagi Pengemis dan
Anak Jalanan di Indonesia
Oleh sebab itu, agar konsisten dengan sila ke-5, pemerintah mengadakan
pendidikan dan pemberdayaan kepada para pengemis tersebut dengan tujuan untuk
meningkatkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan anak jalanan adalah memberikan
sekolah gratis bagi mereka atau dapat dengan cara membuat suatu perkumpulan
khusus anak jalanan dan mereka diberikan suatu pelajaran membaca,menulis dan
ketertiban dalam hidup. Dengan begitu maka seorang anak akan tetap mendapatkan
haknya sebagai seorang anak untuk mendapatkan pendidikan. Sehingga mereka
mempunyai keterampilan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik daripada menjadi
seorang pengemis yang hanya mengandalkan belas kasihan orang lain.
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau
memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 6
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan
cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 7
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat,
gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya,
kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal
3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara
seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak
pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).
Pasal 17
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,dan Pasal 4
dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 6
Teknik penanganan kegiatan preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, antara
lain:
a. patroli pada tempat-tempat yang kemungkinan atau sering terjadi gangguan
keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) serta tindak pidana yang
dilakukan oleh Gelandangan, Pengemis, dan Gepeng;
b. pengawasan secara periodik terhadap aktivitas Gelandangan, Pengemis, dan
Gepeng;
c. pengawasan ke tempat-tempat yang biasa menjadi persinggahan Gelandangan,
Pengemis, dan Gepeng.
D. Penanggulangan Untuk Masalah Tersebut
Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka
pelaksanaan Pasal 35 (Larangan Perdagangan Anak) Konvensi Hak-Hak Anak
(Ccnvention On The Rights Of The Child) 1989, dilakukan dengan dua upaya yaitu :
Pencegahan (Preventif) dapat dilakukan dengan meratifikasi Konvensi Hak-
Hak Anak kedalam peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur masalah
trafficking.
Represif dengan menyelidiki dan menindak dan memberikan sanksi kepada
pelaku trafficking, menumbuhkan partisipasi masyarakat dengan membentuk
Lembaga Swadaya Masyarakat yang menangani masalah trafficking
Masyarakat juga dapat berpartisipasi dengan tidak memberikan sedekah
langsung kepada pengemis-pengemis jalanan yang beroperasi setiap hari agar mereka
tidak terus menggantungkan hidup dengan memita-minta. Masyarakat lebih baik
memberikan bantuannya lewat lembaga-lembaga yang menangani masalah seperti itu,
sebagai contoh lembaga yang menampung para manula, orang-orang yang
terbelakang dan orang-orang yang tidak dapat bekerja karena masalah fisik dan
lembaga yang memberikan bantuan pinjaman untuk modal usaha rakyat. Selain itu,
hal ini dilakukan agar tumbuh daya juang dari para peminta-minta untuk berusaha
meningkatkan kualitas hidupnya dengan mencari pekerjaan.
BAB III
A. Kesimpulan
Kehidupan anak jalanan dan pengemis di Indonesia sangatlah tragis, peraturan
dan perundang-undangan yang mengatur perlindungan anak di Indonesia tidak
berbanding lurus dengan fakta kehidupan anak di Indonesia, mereka tidak bisa
mendapatkan hak-nya sebagai seorang anak, yang melatar belakangi maraknya
pengemis dan anak jalanan sebagai korban pengeksplotasian anak di Indonesia
adalah kemiskinan.
Pendidikan di Indonesia sangatlah mahal, hal ini yang mengakibatkan
banyaknya anak yang putus sekolah khususnya untuk keluarga yang kurang
mampu dan bantuan dari pemerintah yang kurang memadai mengakibatkan
banyaknya para anak jalanan yang kurang mendapatkan pendidikan karena
terhalangnya biaya.
Pemberdayaan dilakukan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan
ketrampilan anak jalanan seperti memberikan sekolah gratis bagi mereka atau
dapat dengan cara membuat suatu perkumpulan khusus ank jalanan dan
mereka diberikan suatu pelajaran membaca,menulis dan ketertiban dalam
hidup. Dengan begitu maka Seorang anak akan tetap mendapatkan hak-nya
sebagai seorang anak untuk mendapatkan pendidikan.
B. Saran
Seharusnya perturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tidak hanya
menjadi peraturan yang tertulis saja, seperti Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia telah membahas tentang hak anak, dalam pelaksanaan
kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan
negara untuk memberikan perlindungan pada anak, misalnya UU No 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No 11 Tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial. Hal ini juga tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam
panasila sebagai dasar falsafah negara yaitu sila ke-2 “kemanusiaan yang adil dan
beradap”, karena para orang tua hanya memikirkan nasib dirinya dengan cara
pengeksplotasian anak demi memenuhi kebutuhan keluarga. Seharusnya perundang-
undangan itu harus di intepretasikan oleh aparat penegak hukum untuk melindungi
hak asasi anak-anak di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2012, Maryati Ibu Dua Anak Pengemis Jalanan Perlu Perhatian, http://padang-today.com/?
mod=berita&today=detil&id=35137, diakses pada tanggal 12 November 2012.