Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

HUBUNGAN PANCASILA DENGAN KEHIDUPAN


PENGEMIS DAN EKSPLOITASI ANAK

OLEH:
Nama : RUNIAWAN
Nim : 193020209025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami bisa
menyusun Makalah ini dengan baik. Dengan judul dari makalah ini adalah Makalah
Hubungan Pancasila degan Kehidupan Pengemis dan Eksploitasi Anak.

Makalah ini kami susun sebagai bentuk dari tugas mata kuliah Pancasila, dengan
tujuan agar apa yang telah kami ketahui dapat disampaikan kepada Anda sekalian serta bisa
menambah wawasan dan pengetahuan tentang Pancasila.

Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen Pancasila kami, yang telah
memberikan tugas untuk melakukan penelitian mengenai keadaan sosial yang berhubungan
dengan Pancasila, dimana bisa sangat membantu kami dalam kegiatan perkuliahan kami saat
di kelas maupun di luar kelas. Kegiatan ini sangat membantu kami dalam memahami materi-
materi yang berkaitan Pancasila.

Semoga Makalah ini bisa membantu Anda sekalian yang membacanya. Kami juga
mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam Makalah kami ini. Kami juga bersedian untuk
menerima saran dan kritik Anda sekalian.

PANGKA RAYA, 13 OKTOBER 2019

RUNIAWAN
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Tinjauan Pustaka
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Permasalahan yang dikaji
1.1 Kehidupan pengemis dan anak jalanan di Indonesia
1.2 Kekerasan terhadap pengemis dan anak jalanan di Indonesia
1.3 Pendidikan dan pemberdayaan pengemis dan anak jalanan di Indonesia
B. Kaitan Dengan Pancasila
2.1Kehidupan pengemis dan anak jalanan di Indonesia
2.2Kekerasan terhadap pengemis dan anak jalanan di Indonesia
2.3Pendidikan dan pemberdayaan pengemis dan anak jalanan di Indonesia
C. Undang – Undang yang Mengatur tentang pengemis dan perlindungan anak
D. Penanggulangan Untuk Masalah tersebut
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua orang yang lahir ke dunia ini memiliki hak asasi yang kehadirannya tidak
dapat ditolak atau dicegah oleh siapapun. Karena, hak asasi manusia bersifat kodrati yang
berarti hak itu dimiliki setiap orang atas dasar kodratnya sebagai manusia. Di negara
Indonesia harkat dan martabat manusia sebagai perwujudan hak asasi manusia dihargai dan
dilindungi dalam undang-undang, khususnya pada UUD 1945, yang berdasarkan asas-asas
Pancasila. Dengan demikian, jelaslah bahwa di Indonesia seseorang berhak dan wajib
diperlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama satu dengan yang lain.

Hak hidup setiap manusia tidak dapat dikurangi, ditambah, atau dihilangkan oleh
siapapun dan dalam keadaan apapun. Hak-hak hidup manusia itu diantaranya : hak untuk
tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan dan tidak dipaksa untuk melakukan
yang tidak disukai ataupun diperlakukan dengan tidak sesuai harkat, martabat dan
kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya.

Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan amanah bagi kedua orangtua
mereka. Dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah
tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang berperan strategis dan
mempunyai ciri serta sifat khusus untuk menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan
negara di masa depan. Setiap anak kelak diharapkan mampu memikul tanggung jawab
mereka masing-masing, maka seorang anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Anak juga
diharapkan berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan untuk
mewujudkan kesejahteraan anak dengan cara memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-
haknya serta adanya perlakuan kepada mereka tanpa diskriminasi.

Maraknya kasus-kasus yang bertentangan dengan perlindungan anak, khususnya


kasus perdagangan anak untuk dijadikan pengemis jalanan, membuat penulis tertarik untuk
memahami kasus-kasus tersebut dan mencari solusi untuk meningkatkan tingkat
perlindungan anak di Indonesia.
B. Tinjauan Pustaka

Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan amanah yang diberikan
kepada orangtua mereka sehingga harus dijaga. Karena, dalam diri setiap anak melekat
harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari
sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa, penerus cita-cita
bangsa, dan generasi muda yang diharapkan dapat mempertahankan eksistensi bangsa di
masa depan. Sehingga setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam
keharmonisan serta berhak mendapat perlindungan dari segala tindak kekerasan dan
diskriminasi yang mungkin dilakukan kepadanya.

Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan
memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum
pelindungan anak yang berlaku. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraannya, negara
dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak,
terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.

Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran


masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau
lembaga pendidikan. Kerjasama yang baik antar semua pihak diharapkan mampu
mewujudkan tujuan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak.

Walaupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah
membahas tentang hak anak, dalam pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak
masih memerlukan suatu undang-undang sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan
kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Pembentukan undang-undang ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari
kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam menjamin dan memajukan kehidupan
berbangsa dan bernegara.

Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga,


masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara
terus-menerus demi menjamin kelangsungan perlindungan terhadap hak-hak anak.
Kontinuitas tersebut dilakukan guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik
fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan
kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial,
tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta
berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan Negara.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya


disebut dengan UU No. 23 Th 2002) merupakan peraturan khusus yang mengatur mengenai
masalah anak. Tujuan dari perlindungan anak sendiri disebutkan dalam Pasal 3 UU No. 23
Th 2002 : “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,
demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”

Disebutkan juga dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang hak dari anak yang
menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin
dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Undang-undang ini
meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai
berikut:
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kehidupan pengemis dan anak jalanan di Indonesia?


2. Bagaimana pendidikan anak di Indonesia?
3. Bagaimana seharusnya cara pemberdayaan pengemis dan anak jalanan di Indonesia?

D. Tujuan

1. Untuk mengetahui kehidupan pengemis dan anak jalanan di Indonesia.


2. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan anak di Indonesia.
3. Untuk mengetahui cara memberdayakan pengemis dan anak jalanan di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Permasalahan yang Dikaji


Penulis akan membagi pokok bahasan menjadi tiga, yakni kehidupan pemgemis dan
anak jalanan di Indonesia, pendidikan anak di Indonesia, dan pemberdayaan pengemis
dan anak jalanan di Indonesia.
1.1 Kehidupan pengemis dan anak jalanan di Indonesia
Segudang peraturan dan perundang-undangan yang mengatur
perlindungan anak di Indonesia tidak berbanding lurus dengan fakta kehidupan
anak di Indonesia. Kemiskinan menjadi faktor utama pengeksplotasian anak di
Indonesia. Hak sebagai anak sudah tidak dihiraukan lagi oleh sabagian orang tua
karena desakan ekonomi yang melilit kehidupannya. Untuk mengatasi masalah
perekonomian kebanyakan para orang tua melibatkan peran anak sebagai
penyongkong kehidupan keluarganya. Seperti mengemis, saat ini banyak
dijumpai anak jalanan yang mengemis dengan alasan masalah ekonomi yang
mereka alami.
Dibawah ini beberapa contoh kehidupan pengemis dan anak jalanan di
Indonesia :
1. Sri membelah antrean mobil di perempatan lampu merah jalan di
Depok. Sambil menggendong anaknya yang baru berusia setahun, perempuan
yang tengah hamil empat bulan itu
mendatangi satu per satu mobil yang
terjebak lampu merah. Tadahan tangan
ia julurkan untuk mengetuk hati
pemilik mobil. Ia mengaku terpaksa
Anak jalanan kerap dieksploitasi dengan
membawa anaknya mengemis di jalan
alasan kemiskinan. Foto: Sgp
karena tak bisa meninggalkan si kecil
sendirian di rumah. “Kalau ditinggal di rumah, nggak ada yangjagain.”
Kehadiran si kecil pada saat mengemis, lanjut Sri, tak selamanya berbuah
manis. “Kadang bisa dapat banyak, tapi juga kadang dapatnya sediki”
(Hukumonline,2012).
2. Wanita  berusia 31 tahun yang
dikaruniai dua orang 2 anak laki-laki,
Hendri (5.5 Tahun) dan Zaky (3 Tahun)
terpaksa bekerja dan menjadi Anak
Jalanan (anjal) sebagai peminta-minta
dengan ibunya dan tidur di aspal jalan
yang  tidak beralaskan tikar sehelaipun.
Maryati dan ke 2 anaknya hidup meminta-minta di Jalan Permindo Pasar
Raya Padang, Hendri dan Zaky  untuk sementara ini melupakan teman-teman
lainya yang bisa hidup nyaman,tentram, bisa bersenda gurau, mendapat
belaian kasih sayang dan mengenyam tingkat Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD), namun malah sebaliknya (Padang-today,2012).
3. Pengamen dan pengemis anak bukan pemandangan baru di Jakarta.  Siang itu
daerah perempatan Jatinegara, Jakarta Timur, panas terik. Tampak seorang
anak lelaki berusia 8 tahun tengah asyik
menyanyi sambil menepuk-nepuk tangan di
sisi sebuah mobil. Tak jelas syair lagu apa
yang keluar dari mulutnya. Setelah
bernyanyi beberapa bait, tangannya
menadah pertanda meminta uang. Dengan
muka memelas ia berkata, “Buat makan dan sekolah, Bu. Minta uang,” begitu
katanya singkat.Pemandangan seperti ini pasti sering Anda jumpai di sudut
kota besar, terutama Jakarta. Tak peduli hujan atau panas, anak-anak ini tetap
meminta uang di jalanan (Akses-dunia,2012).
Kehidupan anak jalanan merupakan potret kehidupan di Indonesia pada
saat ini, seharusnya mereka mendapatkan perlingdungan dan mendapatkan
haknya sebagai anak. Anak adalah harapan Bangsa, tumbuh besar, sukses dan
dapat membanggakan kedua Orang Tua dan mengharumkan Bangsa Indonesia,
merupakan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh seorang anak bukan menjadi
tulang punggung keluarga.
Di beberapa daerah juga ditemukan suatu fenomena yaitu “Fenomena
Kampung pengemis”. Di bawah ini merupakan fakta adanya eksploitasi anak
demi menghidupi keluarganya dengan mengorbankan anak.
Kampung Lio, Kecamatan Pancoran Mas, Depok Jawa Barat, hampir seluruh kepala keluarganya di desa ini,
diduga terlibat dengan sindikat perdagangan anak untuk dijadikan sebagai anak jalanan dan sebagai profesi
pengemis.
Dalam sebuah kampung yang dianggap sebagai kampung pengemis memiliki kriteria tersendiri dan berbeda-beda di
setiap kampung pengemis di daerah lainnya. Kriteria setiap kampung ditentukan oleh mayoritas penduduk asal kampung
tersebut, pengemis dari Kampung Kebanyakan dan Desa Sukawarna, Kecamatan Serang, rata-rata berasal dari kampung
tersebut. Mereka berstatus janda dan istri yang ditinggal kerja suaminya keluar daerah. Pengemis asal Kampung Waru,

Kecamatan Cipocok Jaya, didominasi lanjut usia (lansia) yang hidup sendiri dan tak diurus keluarganya.
Sementara pengemis dari Kramatwatu dan Kasemen, lebih banyak pengemis musiman yang beroperasi setiap bulan
Ramadhan. Sedangkan di daerah Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi.  Disebut sebagai kampungnya pengemis,
dikarenakan banyak warga yang berprofesi sebagai pengumpul barang bekas, atau pengamen. Walaupun tidak semua
warganya, karena juga ada penduduk yang karyawan, pegawai, atau pedagang. Namun, para pengemis atau pengumpul
barang bekas di kedua kampung itu tidak tidur di emperan layaknya gelandangan. Mereka mengontrak kamar atau
bahkan rumah meski berukuran sempit. Tidak jarang, kamar berukuran 1,5 meter x 2 meter dihuni dua sampai tiga
orang.
Sedangkan dari pelacakan dan penelitian M. Ali Humaidy, pihaknya menemukan beberapa kesimpulan atas fenomena di
Desa Pragaan Daja Sumenep. Misalnya mengenai soal kriteria pengemis. Pengemis dibagi menjadi 2 kriteria yaitu
pengemis konvensional dan nonkonvensional. Untuk pengemis konvensional, peneliti merujuk kepada mereka yang
biasa mengemis secara door to door, berada di emperan toko dan sebagainya. Ciri mereka biasanya menggunakan baju
compang camping dan jauh dari layak. Sedangkan pengemis nonkonvensional lebih maju atau bisa dikatakan sebagai
pengemis modern. Dianggap modern lantaran telah memanfaatkan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan. Misalnya,
menggunakan nama-nama di alamat buku telepon. Mereka yang termasuk pengemis modern biasanya tidak berpakaian
compang camping, tapi lebih necis. Dan, mereka tidak door to door. Tapi, dengan banyak mengirim proposal atau
menemui langsung membawa surat permintaan dana.

Dilihat secara empiris di lapangan, para pengemis di daerah sumenep, kondisi ekonominya bisa dibilang
mampu. Indikatornya, mereka memiliki rumah keramik, sepeda motor, bahkan ada yang memiliki parabola.
Dari beberapa studi lapangan itu, terdapat hubungkan teori kemiskinan, kemiskinan fisik dan psikologis. Warga Pragaan
Daja Sumenep misalanya yang  mengemis lebih kepada miskin secara psikologis. Mereka miskin secara psikologis
lantaran sebenarnya mampu, tapi menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencaharian.
Kebanyakan pengemis menganggap kalau meminta-minta merupakan suatu perbuatan yang mulia dari pada mencuri.
Mereka terus berada dalam pemahaman itu, padahal keliru. Jelas-jelas tangan di atas lebih baik dari pada tangan di
bawah.

Selain aspek psikologis, adanya faktor ekological context yang menjadi penyebab lain dari masalah ini.
Misalnya, dari segi regulasi ekonomi, di Desa Pragaan Daja Sumenep jauh dari aktifitas pasar. Juga dari segi geografis,
warga setempat hidup di tempat tidak produktif. Pemerintah juga perlu introspeksi diri. Karena pemerintah selama ini
sudah mengajarkan masyarakatnya secara tidak langsung menjadi pengemis. Bantuan-bantuan dengan dalih mengangkat
derajat orang miskin tanpa seleksi yang ketat, sama saja dengan meninabobokan dan mengajarkan masyarakat menjadi
manja, malas, dan tanpa usaha. Beberapa kasus justru setelah memperoleh bantuan, uangnya dipakai untuk memancing
ataupun kenikmatan kehidupan dunia lain. Bantuan yang dilakukan pemerintah tidaklah salah apabila sampai pada tahap
tertentu dihentikan, serta kepada siapa bantuan itu diberikan haruslah tepat.

http://www.tribunjabar.co.id/read/artikel/10728/pengemis-dan-pemaksaan-rasa-iba
Pengemis dan Pemaksaan Rasa Iba

Senin, 7 September 2009 | 10:49 WIB


Selain itu,  kemiskinan pengetahuan juga terlihat dari minimnya
pengetahuan sang orang tua terhadap peraturan perundang-undangan. Padahal
bangsa ini punya segudang peraturan yang menghormati dan melindungi hak dan
kepentingan anak. Sebut saja misalnya UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, dan UU No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial. Hal ini juga tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam panasila sebagai dasar
falsafah negara yaitu sila ke-2 “kemanusiaan yang adil dan beradap”, karena para
orang tua hanya memikirkan nasib dirinya dengan cara pengeksplotasian anak
demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Dalam hal eksploitasi anak ini terdapat pula sewa-menyewa anak untuk
diajak mengemis. Berikut ini suatu artikel yang menunjukkan adanya praktik
tersebut di dalam masyarakat:
Inilah kenyataan hidup. Demi memantik rasa iba, banyak pengemis di
Kota Semarang menggunakan bayi sewaan. Juga kerap ditemui anak usia sekolah
yang dipekerjakan. Berapakah sewa bayi atau anak balita untuk keperluan ini?
Seharian, biasanya mereka menyewa antara Rp 5.000 sampai Rp.10.000, sudah
termasuk memberikan makan pada anak-anak yang disewa.
Pertanyaannya, kenapa mereka berani sewa semahal itu? Berapakah
pendapatan dari seorang pengemis? Menurut Sukinah (bukan nama sebenarnya)
yang selalu mangkal di “setopan bangjo” perempatan jalan arteri utara, tepat di
tengah-tengah perumahan elite Puri Anjasmoro, Semarang, Jawa Tengah,
menuturkan, pendapatan per-hari dari mengemis, rata-rata sekitar Rp.50.000.
Nah, kalau untuk sewa Rp.5.000 sampai Rp10.000, masih untung kan?
Keterangannya itu juga dibenarkan oleh teman-teman seprofesinya.
Menurut penuturan mereka, masalah “dunia per-ngemisan” ini, persis seperti
diungkapkan dalam film-film mandarin dalam kisah “Raja Pengemis”. Jadi meski
dianggap remeh oleh masyarakat, ternyata mengemis dapat dijadikan bisnis besar
dengan omset ratusan juta rupiah per-bulannya. Jadi ada “Raja” nya, yaitu Boss
para pengemis.
Tugas Boss ini mengkoordinir para pengemis, membagi wilayah,
menyediakan tempat penampungan, memberikan pakaian “dinas” harian,
menghidupi mereka setiap harinya. Para pengemis itu, setiap malam lapor ke
Boss, berapa pendapatannya. Setelah dipotong sewa bayi atau anak balita, untuk
jajan dan minum, pendapatan bersih harus segera disetorkan. Perbulannya,
mereka dapat pembagian dari Boss, tergantung senioritas dan besarnya
pendapatan. Dengan perputaran uang seperti itu, banyak pengemis yang di desa
asalnya, hidup layak seperti para pegawai pada umumnya.
Setiap Boss, minimal punya anak buah sampai 50 orang. Setiap pagi,
dengan mobil bak terbuka, diam-diam mereka mengedropnya di tempat-tempat
strategis. Setelah sebulan penuh, mereka berpindah kota. Jadi kerjanya dari kota
yang satu ke kota yang lain.
Sedangkan bayi atau balita yang disewakan, oleh orang tuanya, dianggap
tidak disewakan, tapi dikaryakan. Meski bayi atau balita, sudah dapat
menghasilkan uang bagi orang tuanya. Sekaligus dikader sebagai pengemis,
untuk memasuki dunia “bisnis belas kasihan” Jangan bicara soal moral,
pendidikan atau masa depan si anak. Dalam dunia per-ngemisan, semua itu tidak
terlalu diperhitungkan ataupun dirisaukan. Nah. (M.Ichwan).
Tetapi dalam artikel lain dikatakan :
Adanya sewa menyewa bayi untuk mengemis ini, terutama di Kota
Semarang, diakui oleh AKBP Utriyanto, mewakili Kapolrestabes Semarang.
Dalam sambutan pelatihan hak asasi manusia (HAM) di Hotel Metro, baru-baru
ini, pihaknya telah melakukan penyelidikan, pengemis perempuan yang
menggendong bayi, hampir semuanya menggunakan bayi sewaan. Hal itu perlu
disikapi tegas.
“Kami sudah menyelidiki, mayoritas pengemis menggunakan bayi
sewaan. Ini perlu respons serius. Sebab anak harus mendapat perlindungan
hukum,” terangnya. Pelatihan diadakan Lembaga Bantuan Hukum selama dua
hari. Diikuti sekitar 30 aparat kepolisian dari berbagai satuan, lurah, dan komite
sekolah se-Kota Semarang.
Direktur LBH Semarang Slamet Haryanto menyatakan HAM masih
sering dilanggar. Banyak anak tidak mendapat perlindungan. Contohnya, anak
kecil dibatasi haknya bersekolah karena membantu orangtuanya bekerja.
“Banyak anak yang tidak mendapat perlindungan,” tuturnya.
Dalam pelatihan yang difasilitasi Ira dari Yayasan Setara Jakarta, peserta
diajak memahami perlindungan anak dan HAM secara umum. Kepala Program
LBH, Erwin Dwi Kristianto mengatakan, Kota Semarang harus menjadi kota
ramah anak. Tak boleh ada anak usia sekolah yang hidup di jalanan atau
dipekerjakan oleh orang tuanya maupun orang lain.
Lebih-lebih balita, tak boleh ada yang disewa untuk dipakai mengemis
dan dijualbelikan. “Semarang harus menjadi kota ramah anak. Tak boleh ada
anak usia sekolah yang dipekerjakan atau hidup di jalan. Tak boleh ada bayi
disewakan atau diperjualbelikan,” tuturnya.
Indonesia, lanjut Erwin, telah memiliki Undang-Undang yang mengatur
tentang anak-anak. Di antaranya, UU No.4/1979 tentang Kesejahteraan Anak,
UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 3/1997 tentang
Pengadilan Anak. Pada kenyataannya, papar dia, anak-anak masih sering menjadi
korban.
“Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan, setiap tahun jutaan
anak Indonesia mengalami pelanggaran hak asasi manusia. Jenis bentuk
pelanggarannya pun beragam,” ujarnya.  Erwin menjelaskan pengutipannya, pada
2008, Komnas PA menerima pengaduan kasus pembuangan bayi sebanyak 886
bayi. Sedangkan tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 904 bayi.
Tempat pembuangan bayi juga beragam, mulai dari halaman rumah
warga, sungai, rumah ibadah, terminal, stasiun kereta api, hingga selokan dan
tempat sampah. Kemudian, dari data yang didapatkan dari Direktorat Pelayanan
Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Komnas PA menemukan sekitar 5,4 juta
anak yang mengalami kasus penelantaran pada tahun 2009. (M. Ichwan).
Dari artikel terakhir dapat disimpulkan bahwa kegiatan sewa menyewa
anak untuk dijadikan pengemis sangat melanggar hukum. Hal itu menunjukkan
tidak dihargainya hak asasi yang dimiliki oleh seorang anak. Anak yang
seharusnya mendapat perlindungan dan pengayoman dari orang tua, tetapi malah
dijadikan alat untuk mendapatkan keuntungan ekonomis. Sementara hak-hak
sebagai seorang anak tidak terpenuhi.

1.2 Kekerasan terhadap pengemis dan anak jalanan di Indonesia


Kekerasan terhadap anak jalanan di Indonesia saat ini menjadi salah satu
tindak kejahatan yang paling banyak dilakukan di Indonesia. Tindakan ini adalah
salah satu tindakan yang melanggar hukum di Indonesia. Secara teoritis,
kekerasan terhadap anak jalanan dapat didefenisikan seperti perlakuan fisik,
mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana itu semua
diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan
kesejahteraan anak.
Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang dialami anak-anak jalanan
adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjadi luka
atau goresan. Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang
mencelakakan anak, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya.
Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan atau
meremehkan anak. Biasanya hal ini terjadi ketika seseorang menyuruh dengan
paksa anak-anak dijalanan untuk mengamen, mengemis, bahkan mencopet tetapi
anak tersebut tidak mengindahkan perintah tersebut. Namun demikian perlu
disadari bahwa kekerasan anak jalanan sebetulnya tidak hanya berupa pemukulan
atau penyerangan fisik saja, melainkan juga bisa berupa berbagai bentuk
eksploitasi melalui, misalnya pornografi dan penyerangan seksual, pemberian
makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian
pendidikan dan kesehatan.
Contoh:
 Jakarta - Pendataan anak jalanan (anjal) yang dilakukan Dinas Sosial
DKI sejak 21 Januari 2010, menemukan sebanyak 114 anjal yang membutuhkan
perlindungan dari 4.023 anjal yang terdata. Dari 114 tersebut Dinsos DKI
mengkategorikan 96 anjal mengalami masalah serius berupa tindakan kekerasan
eksploitasi ekonomi dan seksualitas.

Saat petugas Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) melakukan


pendataan, ditemukan lima orang anjal yang mengaku disuruh bekerja manjadi
pengamen oleh sebuah yayasan."Salah satu di antara mereka juga mengaku
pernah diperkosa oleh salah seorang oknum yayasan tersebut," tambah
Budihadjo.

Kejahatan selanjutnya yang masih marak di Negara kita, Negara Indonesia


adalah kekerasan yang sering dilakukan kepada pengemis-pengemis di jalanan.
Baik itu pengemis yang masih anak-anak, remaja bahkan yang sudah tua. Banyak
orang yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka di sekelilingnya.
Masalah pengemis adalah masalah kita semua. Kita sebagai seseorang yang
punya kelebihan dibanding mereka harus bisa menularkan kelebihan itu kepada
mereka. Perbaikan pendidikan mungkin adalah salah satu cara untuk mengatasi
masalah pengemis ini. Perbaikan pendidikan para pengemis adalah salah satu cara
untuk merubah pola pikir para pengemis. Supaya mereka tidak berpikiran
menjadi pengemis adalah satu-satunya jalan untuk menghidupi hidup. Karena
masih banyak jalan yang lebih menantang dan menghasilkan lebih banyak
penghasilan ketimbang jika mereka mengemis. Sekolah gratis, Panti Jompo, Panti
Asuhan, Panti Rehabilitasi, dan sebagainya. Jika dibangun dan dijalankan dengan
integritas adalah salah satu cara untuk menekan angka pertumbuhan pengemis
dan orang yang hidup miskin di Indonesia. Ini merupakan sarana untuk
memperbaiki pendidikan para pengemis dari pengemis yang masih anak-anak
sampai pengemis yang sudah tua. Diharapkan di dalam sarana ini, mereka
mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan bisa merubah pola pikir mereka
yang didapat saat mereka menjadi pengemis.

Contoh:

 Jakarta, karena seorang pengemis datang ke salah satu warung makan


tegal( warteg) untuk meminta sedikit sedekah, sang pemilik warung menendang
dan mengusir dengan membentak- bentak sang pengemis yang diduga berusia 56
tahun.

1.3 Pendidikan dan pemberdayaan bagi pengemis dan anak jalanan di


Indonesia
Kemiskinan memunculkan anak jalanan dan pengemis terutama di
perkotaan yang menjadikan tempat apapun sebagai arena hidup, termasuk stopan,
kolong jembatan, trotoar, ataupun ruang terbuka yang ada. Kegagalan keluarga
merupakan faktor utama penyebab munculnya anak jalanan. Banyak anak jalanan
muncul akibat kelahiran yang tidak dikehendaki. 
Anak jalanan sering dianggap sebagai masalah tanpa akar yang dapat
dipotong begitu saja dengan menangkap dan mengasingkan, tanpa menyentuh
sumber masalahnya. Undang-undang tentang perlindungan anak belum mampu
menurunkan angka kekerasan tersebut, bahkan semakin menunjukkan banyaknya
kekerasan yang dialami anak. Anak-anak yang dieksploitasi, dipekerjakan dalam
lingkungan yang buruk, dan berbagai bentuk diskriminasi masih sangat sering
dijumpai terutama di kota-kota besar dan dalam keluarga miskin.
Pendidikan di Indonesia yang mahal juga merupakan faktor utama
banyaknya anak yang putus sekolah dan melakukan pekerjaan unutk menopang
kehidupan keluarganya seperti halnya yang dilakukan oleh anak jalanan yang
mengemis ataupun mengamen. Mereka tidak bisa meneruskan pendidikannya
karena terhalang oleh biaya pendidikan yang mahal dan keluarga yang tidak
memperdulikan pendidikan bagi anakknya.
Potret nyata mahalnya pendidikan di Indonesia :

TEMPO.CO, Malang-Puluhan anak jalanan di Kota Malang menggelar


unjuk rasa di depan Kantor Dinas Pendidikan Kota Malang. Mereka menuntut
pendidikan gratis bagi anak jalanan.

Salah satu anak jalanan, Suci Indah Permata, mengadu dipaksa pihak
sekolah membayar biaya pendidikan sebesar Rp 4 juta. "Padahal, saya sudah
melengkapi surat keterangan miskin," kata siswi Sekolah Menengah Kejuruhan
Negeri 3 Kota Malang itu sambil menitikkan ari mata, Jumat 28 September 2012.

Bersama puluhan anak jalanan lain, mereka menduduki kantor Dinas


Pendidikan Kota Malang, jalan Veteran Malang. Mereka berorasi, membentang
poster yang menuntut pendidikan gratis untuk anak jalanan (TEMPO.CO – Jum,
28 Sep 2012).
Pendidikan dan pemberdayaan anak jalanan seperti pengemis dan
sebagainya tidak cukup hanya diberikan bantuan berupa uang dan makan yang
cukup, tetapi harus diberikan sesuatu yang berguna untuk meningkatkan
kemampuan ketrampilannya maka harus dilakukan suatu pemberdayaan pada
masyarakat kecil agar tidak mengakibatkan meningkatnya eksploitasi anak karena
alasan perekonomian keluarga.
h
Contoh pendidikan dan pemberdayaan yang telah dilakuakan di Indonesia:
Jakarta (ANTARA) - Anak-anak jalanan harus menghabiskan banyak
waktu mereka di jalan-jalan untuk bekerja membantu orang tua mereka dan
menjadi tulang punggung keluarga, padahal mereka pun membutuhkan
pendidikan yang layak sama seperti anak-anak pada umumnya. 

Pengurus Yayasan Komunitas Sahabat Anak Alles Saragi di Jakarta,


Kamis (25/7), mengatakan anak jalanan harus mendapat pendidikan yang layak
supaya mereka memiliki harapan agar bisa mencapai masa depan yang lebih
baik. 

Menurut Alles, banyak anak jalanan yang putus sekolah, bahkan tidak bisa
membaca, menulis dan berhitung. 

"Banyak anak jalanan yang tidak dapat melanjutkan ke sekolah formal


setelah putus sekolah. Oleh karena itu di sini mereka difasilitasi untuk tetap
mendapat pendidikan informal," katanya. 

Alles mengatakan, anak jalanan yang putus sekolah itu diajarkan


kemampuan dasar antara lain membaca, menulis dan berhitung. Bagi anak jalanan
yang masih bersekolah, mereka dibimbing dalam mengerjakan pekerjaan rumah,
persiapan ujian dan mengulang pelajaran. 

"Bagi anak jalanan yang putus sekolah, kami mendirikan Pusat Kegiatan
Anak (PKA), yaitu sekolah nonformal yang membekali mereka dengan pelajaran
umum, pengembangan karakter, serta keterampilan," kata Alles (Antara – Kam,
26 Jul 2012).

B. Kaitan Dengan Pancasila

2.1. Kaitan dengan Masalah Kehidupan Pengemis dan Anak Jalanan di Indonesia

Kehidupan yang dijalani oleh para pengemis dan anak jalanan yang sangat
memprihatinkan tentu mengundang suatu rasa kemanusiaan kita. Kehidupan yang
jauh dari layak sangat tidak relevan dengan sila yang ke-5, yang berbunyi, “Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Kemiskinan memaksa mereka untuk menjadi
pengemis dan anak jalanan. Padahal dalam sila ke-5 sangat menjunjung tinggi nilai-
nilai keadilan. Seharusnya pemerintah dapat mengatasi permasalahan ini dengan
solusi yang adil dan mengangkat nilai kemanusiaan pula. Karena dalam sila ke-5
merupakan perwujudan dari tujuan dan cita-cita bangsa. Dimana dalam hal ini nilai
keadilan distributiflah yang harus terwujud, yaitu suatu hubungan antara negara
terhadap waranya dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam
bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta
kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban.
Sementara dalam masalah yang berbeda, yaitu orang tua yang
mengeksploitasi anak kecil dengan menjadikan anaknya sebagai pengemis seperti
yang telah dibahas sebelumnya merupakan suatu tindakan tidak bermoral. Padahal
dengan jelas telah disebutkan dalam sila ke-2, yang berbunyi, ”Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab”. Dalam sila tersebut jelas terkandung nilai suatu kesadaran sikap
moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia
dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya baik
terhadap diri sendiri, sesama manusia maupun terhadap lingkungannya. Tetapi dalam
kasus ini para orang tua tersebut hanya memikirkan nasib dirinya dengan cara
pengeksplotasian anak demi memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal seharusnya
sebagai seorang anak yang tentunya juga mempunyai hak asasi manusia, mereka
haruslah dilindungi, dirawat dan dipenuhi kebutuhannya oleh orang tua. Maka dalam
hal ini, seharusnya orang tua tersebut memiliki moral kemanusiaan. Sehingga
nantinya kasus anak-anak yang menjadi pengemis dan anak jalanan akan berkurang.
Dalam kasus sewa menyewa anak, merupakan perbuatan yang melanggar
hukum dan hak asasi manusia. Perdagangan anak sangatlah tidak
berperikemanusiaan, terlihat dari tindakan yang menjual seorang anak yang berarti
disamakan dengan barang, yang menandakan pelaku tidak berperasaan. Pada kasus
ini, hak-hak anak tidak dihiraukan. Anak menjadi tertindas dan tidak dapat membela
haknya sebagai makhluk manusia. Ketidakpedulian terhadap hak-hak hidup orang
lain menimbulkan ketidakadilan bagi orang lain. Seharusnya nilai-nilai keadilan
dijunjung tinggi, akan tetapi di sini menunjukan tidak adanya keadilan terhadap anak
– anak. Mereka yang seharusnya mendapat hak perlindungan, penganyoman, dan
kasih dari orang tua, tetapi di sini mereka malah dijual sehingga mereka tidak
memperoleh hak mereka. Anak kecil yang bahkan masih balita yang seharusnya
masih dalam dekapan kasih sayang orang tua, tetapi karena alasan kemiskinan
mereka harus berada di jalanan untuk mengemis. Yang bahkan akan kepanasan dan
kehujanan. Hal tersebut sangat ironis dan sangat melanggar hukum karena tidak
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
2.2. Kaitan dengan Masalah Kekerasan pada Pengemis dan Anak jalanan di
Indonesia
Kekerasan yang dialami oleh anak-anak jalanan ini berhubungan dengan nilai-
nilai yang ada pada Pancasila, yaitu terkait dengan sila 2 yang berbunyi
“Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”. Kemanusiaan berasal dari kata manusia
yaitu makhluk yang memiliki akal budi, cipta dan rasa. Kata “adil” disini mempunyai
arti sama rata atau sepadan sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing.
Kata “beradab” disini mengandung tata arti kesopanan, kesusilaan atau moral. Jadi
arti dari sila ke 2 ini yaitu sikap dan perbuatan manusia yang sesuai dengan kodrat
hakikat manusia yang sopan.

Sikap kekerasan pada anak ini sangat bertentangan dengan nilai sila ke 2 pada
Pancasila. Dimana sila ke-2 mengandung nilai-nilai untuk menjunjung tinggi azas
kemanusiaan. Pada kasus ini, hak-hak anak tidak dihiraukan. Anak menjadi tertindas
dan tidak dapat membela haknya sebagai makhluk manusia. Seharusnya dalam diri
setiap orang harus menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menghargai akan
kesamaan hak dan derajat tanpa membedakan. Kita juga harus mengembangkan
sikap saling mencintai, menghargai, menghormati, tenggang rasa, dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga, tidak ada lagi kasus kekerasan yang terjadi
terhadap kaum yang tertindas terlebih kekerasan kepada anak yang tak berdaya.

2.3. Kaitan dengan Masalah Pendidikan dan Pemberdayaan bagi Pengemis dan
Anak Jalanan di Indonesia

Banyak anak yang menjadi pengemis bahkan tidak merasakan bagaimana


duduk di bangku sekolah. Alasan kemiskinan dan biaya sekolah yang mahal menjadi
kendalanya. Tidak terpenuhinya pendidikan yang layak bagi anak-anak berhubungan
dengan sila ke-5, yaitu, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan
banyak nya masalah yang terjadi tentang kasus pendidikan anak di Indonesia seperti
anak-anak jalanan yang tidak mendapatakan pendidikan selayaknya akhir akhir ini,
hal ini menggambarkan bahwa di Indonesia belum terjadi keadilan, karena hanya
anak – anak dari kalangan menengah keatas saja yang bisa menikmati bangku
pendidikan di Indonesia, sedangakan untuk kalangan bawah tidak bisa
menikmatinya. Padahal anak – anak adalah generasi penerus bangsa yang menjadi
tumpuan kemajuan bangsa. Hal ini jika dikaitkan dengan tujuan bangsa Indonesia
yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 “Memajukan dan Mencerdaskan
kehidupan bangsa” maka hal ini sangat bertolak belakang dengan hal tersebut.
Karena bagaimanapun pendidikan harus tersebar merata dalam setiap kalangan
masyarakat sebab mendapat pendidikan yang layak merupakan hak setiap orang.

Oleh sebab itu, agar konsisten dengan sila ke-5, pemerintah mengadakan
pendidikan dan pemberdayaan kepada para pengemis tersebut dengan tujuan untuk
meningkatkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan anak jalanan adalah memberikan
sekolah gratis bagi mereka atau dapat dengan cara membuat suatu perkumpulan
khusus anak jalanan dan mereka diberikan suatu pelajaran membaca,menulis dan
ketertiban dalam hidup. Dengan begitu maka seorang anak akan tetap mendapatkan
haknya sebagai seorang anak untuk mendapatkan pendidikan. Sehingga mereka
mempunyai keterampilan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik daripada menjadi
seorang pengemis yang hanya mengandalkan belas kasihan orang lain.

C. Undang – Undang yang Mengatur


Bisnis perdagangan orang saat ini banyak menjerat anak. Bisnis seperti ini
merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan
melanggar hak asasi manusia.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
merupakan peraturan khusus yang mengatur mengenai masalah anak. Tujuan dari
perlindungan anak sendiri disebutkan dalam Pasal 3 UU No. 23 Th 2002 :
“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia,
dan sejahtera.”
Disebutkan juga dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang hak dari anak
yang menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Adapun tindak pidana yang tercantum pada UU No. 21 TAHUN 2007
tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang”

Pasal 5
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau
memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 6
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan
cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 7
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat,
gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya,
kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal
3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara
seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 9
Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak
pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).

Pasal 17
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,dan Pasal 4
dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

Selain itu, terdapat undang-undang yang mengatur tentang gelandangan dan


pengemis, seperti yang terdapat pada UU No 14 Tahun 2007 Tentang Penanganan
Gelandangan dan Pengemis
Pasal 5
(1) Kegiatan tindakan preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilaksanakan
dengan cara antara lain:
a. penyuluhan;
b. bimbingan sosial; dan
c. pembinaan sosial.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikoordinasikan dengan
instansi terkait pada tingkatan masing-masing dan tokoh organisasi sosial
kemasyarakatan setempat sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 6
Teknik penanganan kegiatan preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, antara
lain:
a. patroli pada tempat-tempat yang kemungkinan atau sering terjadi gangguan
keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) serta tindak pidana yang
dilakukan oleh Gelandangan, Pengemis, dan Gepeng;
b. pengawasan secara periodik terhadap aktivitas Gelandangan, Pengemis, dan
Gepeng;
c. pengawasan ke tempat-tempat yang biasa menjadi persinggahan Gelandangan,
Pengemis, dan Gepeng.
D. Penanggulangan Untuk Masalah Tersebut
Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka
pelaksanaan Pasal 35 (Larangan Perdagangan Anak) Konvensi Hak-Hak Anak
(Ccnvention On The Rights Of The Child) 1989, dilakukan dengan dua upaya yaitu :
Pencegahan (Preventif) dapat dilakukan dengan meratifikasi Konvensi Hak-
Hak Anak kedalam peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur masalah
trafficking.
Represif dengan menyelidiki dan menindak dan memberikan sanksi kepada
pelaku trafficking, menumbuhkan partisipasi masyarakat dengan membentuk
Lembaga Swadaya Masyarakat yang menangani masalah trafficking
Masyarakat juga dapat berpartisipasi dengan tidak memberikan sedekah
langsung kepada pengemis-pengemis jalanan yang beroperasi setiap hari agar mereka
tidak terus menggantungkan hidup dengan memita-minta. Masyarakat lebih baik
memberikan bantuannya lewat lembaga-lembaga yang menangani masalah seperti itu,
sebagai contoh lembaga yang menampung para manula, orang-orang yang
terbelakang dan orang-orang yang tidak dapat bekerja karena masalah fisik dan
lembaga yang memberikan bantuan pinjaman untuk modal usaha rakyat. Selain itu,
hal ini dilakukan agar tumbuh daya juang dari para peminta-minta untuk berusaha
meningkatkan kualitas hidupnya dengan mencari pekerjaan.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
 Kehidupan anak jalanan dan pengemis di Indonesia sangatlah tragis, peraturan
dan perundang-undangan yang mengatur perlindungan anak di Indonesia tidak
berbanding lurus dengan fakta kehidupan anak di Indonesia, mereka tidak bisa
mendapatkan hak-nya sebagai seorang anak, yang melatar belakangi maraknya
pengemis dan anak jalanan sebagai korban pengeksplotasian anak di Indonesia
adalah kemiskinan.
 Pendidikan di Indonesia sangatlah mahal, hal ini yang mengakibatkan
banyaknya anak yang putus sekolah khususnya untuk keluarga yang kurang
mampu dan bantuan dari pemerintah yang kurang memadai mengakibatkan
banyaknya para anak jalanan yang kurang mendapatkan pendidikan karena
terhalangnya biaya.
 Pemberdayaan dilakukan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan
ketrampilan anak jalanan seperti memberikan sekolah gratis bagi mereka atau
dapat dengan cara membuat suatu perkumpulan khusus ank jalanan dan
mereka diberikan suatu pelajaran membaca,menulis dan ketertiban dalam
hidup. Dengan begitu maka Seorang anak akan tetap mendapatkan hak-nya
sebagai seorang anak untuk mendapatkan pendidikan.
B. Saran
Seharusnya perturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tidak hanya
menjadi peraturan yang tertulis saja, seperti Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia telah membahas tentang hak anak, dalam pelaksanaan
kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan
negara untuk memberikan perlindungan pada anak, misalnya UU No 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No 11 Tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial. Hal ini juga tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam
panasila sebagai dasar falsafah negara yaitu sila ke-2 “kemanusiaan yang adil dan
beradap”, karena para orang tua hanya memikirkan nasib dirinya dengan cara
pengeksplotasian anak demi memenuhi kebutuhan keluarga. Seharusnya perundang-
undangan itu harus di intepretasikan oleh aparat penegak hukum untuk melindungi
hak asasi anak-anak di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim,2012, Kisah Pilu Kehidupan Anak Jalanan, http://aksesdunia.com/2012/kisah-pilu-


kehidupan-anak-jalanan-di-jakarta/, diakses pada tanggal 12 November 2012.

Anonim, 2012, Kemiskinan Bukan Alasan Mengeksploitasi Anak, http:// www.hukumonline.com


/berita/baca/lt4b854d8027d4a/kemiskinan-bukan-alasan-mengeksploitasi-anak, diakses
pada tanggal 12 November 2012.

Anonim, 2012, Maryati Ibu Dua Anak Pengemis Jalanan Perlu Perhatian, http://padang-today.com/?
mod=berita&today=detil&id=35137, diakses pada tanggal 12 November 2012.

Dharma,F,2007,Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun2002 Tentang


Perlindungan Anak,Visimedia, Jakarta

Sunyoto Usman,2004,Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, PT Pustaka Pelajar,


Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai