Anda di halaman 1dari 8

PERAMPASAN HAK SIPIL TERHADAP KAUM LGBT

DI LINGKUP UNIVERSITAS PALANGKARAYA

(Sebuah Studi Kasus)

Oleh : Hosea

NIM : GAA 118 012

Universitas Palangkaraya

Fakultas ilmu sosial dan politik

Jurusan Sosiologi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

LGBT adalah singkatan dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Istilah tersebut digunakan
pada tahun 1990 untuk menggantikan frasa komunitas gay atau komunitas yang memiliki
orientasi seks terhadap sesama jenis khususnya laki-laki. Istilah LGBT sudah mewakili
kelompok-kelompok yang telah disebutkan seperti di atas. LGBT memiliki lambang berupa
bendera berwarna pelangi.

Jika gay adalah sebutan khusus untuk laki-laki yang memiliki orientasi seks terhadap sesama
jenis, lesbian adalah sebutan untuk perempuan yang menyukai sesama jenis. Sedangkan
biseksual adalah sebutan untuk orang yang bisa tertarik kepada laki-laki atau perempuan.
Transgender sendiri adalah istilah yang digunakan untuk orang yang cara berperilaku atau
berpenampilan berbeda atau tidak sesuai dengan jenis kelaminnya.

Menteri Kesehatan RI Nila Djuwita F Moeloek pernah menegaskan, bahwa perilaku lesbian, gay,
biseksual, dan transgender atau biasa yang disingkat LGBT dari sisi kesehatan tidak dibenarkan
dan bukan gangguan kejiwaan melainkan masalah kejiwaan.

Menurut para ahli, transgender adalah masalah kelainan bentuk organ reproduksi manusia atau
meragukan antara organ wanita atau pria. Namun hal tersebut tentunya seiring waktu dapat
diketahui mana yang lebih dominan dan seharusnya ada jalan keluar atau dapat teratasi.

Menurut survey CIA pada tahun 2015 yang dilansir di topikmalaysia.com jumlah populasi
LGBT di Indonesia adalah ke-5 terbesar di dunia setelah China, India, Eropa dan Amerika.
Selain itu, beberapa lembaga survey independen dalam maupun luar negeri menyebutkan
bahwa Indonesia memiliki 3% penduduk LGBT, ini berarti dari 250 juta penduduk 7,5
jutanya adalah LBGT, atau lebih

sederhananya dari 100 orang yang berkumpul di suatu tempat 3 diantaranya adalah LGBT.
Permasalahan LGBT di Indonesia banyak menimbulkan pertentangan pendapat, antara pihak
pro dan kontra. Mereka yang pro terhadap LGBT menyatakan, bahwa negara dan masyarakat
harus mengkampanyekan prinsip non diskriminasi antara lelaki, perempuan, trangender,
pecinta lawan jenis (heteroseksual) maupun pecinta sejenis (homoseksual). Pendukung
LGBT menggunakan pemenuhan hak asasi manusia sebagai dasar tuntutan mereka dengan
menyatakan bahwa orientasi seksual adalah hak asasi manusia bagi mereka. Sebaliknya,
pihak-pihak yang kontra terhadap LGBT, menilai bahwa LGBT sebagai bentuk penyimpangan,
dan tidak masuk dalam konsepsi HAM. Dalam hal ini, negara dan masyarakat harus
berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan upaya preventif posisi stategis pemerintah
dalam hal ini sangat

diperlukan untuk menangani polemik LGBT secara langsung agar tak terjadi disintegrasi
bangsa. Situasi yang terjadi di Indonesia terkait fenomena LGBT tersebut, tentunya tidak dapat
dilepaskan dari gejolak fenomena LGBT yang terjadi di tingkatan dunia internasional. Pada
tahun 2011, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengeluarkan resolusi pertama tentang
pengakuan atas hak-hak LGBT, yang diikuti dengan laporan dari Komisi Hak Asasi Manusia
PBB yang mendokumentasikan pelanggaran hak-hak dari orang-orang LGBT, termasuk
kejahatan kebencian, kriminalisasi homoseksualitas, dan diskriminasi. Menindaklanjuti
laporan tersebut, Komisi Hak Asasi Manusia PBB mendesak semua negara untuk
memberlakukan hukum yang melindungi hak-hak LGBT. Dasar aturan yang digunakan oleh
PBB adalah dalam perspektif Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal
Hak-Hak Asasi Manusia), Dewan Hak Asasi Manusia PBB mensyahkan resolusi persamaan
hak yang menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan bebas dan sederajat dan setiap orang
berhak untuk memperoleh hak dan kebebasannya tanpa diskriminasi apapun. Resolusi tentang
pengakuan atas hak-hak LGBT adalah resolusi PBB yang pertama yang secara spesifik
mengangkat isu pelanggaran HAM berdasarkan orientasi seksual dan identitas
genderpengakuan atas hak-hak LGBT inilah yang dijadikan sebagai landasan tuntutan bagi
kaum LGBT dalam menuntut hak-hak mereka dengan mengatasnamakan hak asasi manusia.
Namun demikian, tentunya berbicara mengenai hak asasi manusia, maka tidak akan terlepas
dari hukum dan falsafah yang dianut suatu Negara. Bagi negara Indonesia, yang berlandaskan
atas hukum dan Pancasila, maka negara akan menghargai hak-hak setiap warga negara dan
penegakkan HAM pun akan disesuaikan dengan nilai-nilai dan falsafah yang dianut bangsa
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Itu LGBT dan Hak Sipil
2. Bagaimana Perampasan Hak Sipil Terjadi terhadap kaum LGBT di Lingkup Universitas
Palangkaraya

C. Tujuan Peneltian
Untuk mengetahui apa itu LGBT dan Hak hak sipil yang harus di perhatikan dan di lindungi di
lingkup universitas palangkaraya

D. Manfaat Penelitian
Sebagai solusi bagiamana membela kaum kaum LGBT dalam Menjalankan Hak Hak sipil yang
seharusnya di bela dan diperjuangkan
BAB II

LANDASAN TEORI DAN METODOLOGI

A. Landasan Teori

Pindividualistme seringkali dikenal juga dengan sebutan paham liberalisme (kebebasan) yang
dikenalkan oleh John Locke dan Jan Jaques Rousseau dan dikutip oleh Max Boli Sabon dalam
bukunya Hak Asasi Manusia adalah paham yang mengatakan bahwa manusia sejak dalam
kehidupan alamiah (status naturalis) telah mempunyai hak asasi, termasuk yang dimiliki secara
pribadi. Hak manusia meliputi hak hidup, hak kebebasan dan kemerdekaan, serta hak milik (hak
memiliki sesuatu)

John Locke merupakan seorang yang ahli dalam teori politik. Ia memiliki gagasan bahwa
kekuasaan raja harus dibatasi dan harus didasari pada persetujuan rakyat, di mana raja harus
menghormati hak-hak rakyatnya.

Salah satu pemikiran utamanya adalah yang dituangkan di karyanya atau tesis John Locke adalah
First Treatise dan Second Treatise yang merupakan bentuk sanggahan dan kritis atas karya Tesis
Robert Filmer bernama Patriacha, yang menyatakan bahwa raja mempunyai kewenangan Illahi
dan berkuasa penuh atas seluruh rakyatnya.

John Locke pun memberikan pandangan tentang sifat alami manusia. Menurutnya, manusia
secara alaminya dalam keadaan tanpa politik (apolitical). Di mana hak alamiah ini harus
dilindungi oleh pemerintah.

Dalam Second Treatise ini, John Locke menjelaskan bahwa negara dan pemerintahan adalah
institusi yang dijalankan oleh manusia atas dasar kemauan rakyatnya dan hadir untuk
menyeimbangkan setiap hak yang ada pada manusia sehingga tidak mengganggu manusia
lainnya.

Menurut John Locke, manusia itu sejak dilahirkan telah memiliki kebebasan hak asasi. Dan Hal
ini dijumpai pada manusia dalam keadaan alami. Namun untuk menjaga 228 Von Schmid, Ahli-
Ahli …, Op. Cit, Hlm. 189. | 129 hak asasi dan kebebasannya maka sepakat manusia membentuk
‘Body politik atau negara. Katanya :When any number of men have to concerted to make one
community of goverment, there are there by presently incorporated and make an body politic, in
where the majority have right to act and conclude the rest. 229 79 Hal yang paling penting dari
teori John Locke adalah yang menyangkut perjanjian menurutnya ada dua macam perjanjian
masyarakat yaitu pactum unionis dan pactum subjektionis. Pada tahap pertama diadakan pactum
unionis, yaitu perjanjian antar individu untuk membentuk body politik, yaitu negara. Kemudian
pada tahapan kedua, para individu yang telah membentuk body politik tadi bersamasama
menyerahkan hak untuk mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber
dari hukum alam. Perjanjian masyarakat dari John Locke ini tidak melahirkan kekuasaan yang
absolut, melainkan kekuasaan terbatas, kalau penerima kuasa satu orang akan berbentuk
Monarkhi terbatas ataupun Monarkhi Konstitusional (karena pembatasan-pembatasan kekuasaan
raja dimuat dalam konstitusi), maka kalau sekelompok orang yang menerima kuasa maka
berbentuk Obligarkhi. Apa yang membatasi dan dimana letak pembatasannya? Seperti yang telah
disebutkan di atas, pada waktu penyerahan kekuasaan kepada raja, rakyat tidak menyerahkan
kebebasan dan hak-hak asasi kepada raja. Kebebasan dan hak-hak asasi inilah yang menjadi
pembatas dari kekuasaan raja. Sedangkan letak pembatasannya ialah pada perjanjian masyarakat
bagian kedua (pectum subyektionis). Hak ini berarti bahwa kekuasaan raja dibatasi dengan
perjanjian masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, perjanjian mengikat para pihak yang
mengadakan perjanjian, Hal ini sama artinya dengan hukum bagi para pihak yang mengadakan
perjanjian. Dengan demikian perjanjian masyarakat itu sama artinya dengan hukum. Jadi
kekuasaan raja yang dibatasi oleh perjanjian masyarakat, berarti sama dengan kekuasaan raja
dibatasi oleh hukum. Adanya kekuasaan raja yang dibatasi oleh hukum ini disebutkan oleh
Scholten sebagai unsur pertama negara hukum.231 Selanjutnya John Locke menghubungkan
bentuk negara dengan kekuasaan pembentuk Undang-undang (legislatif). Kekuasaan pembentuk
Undang-undang ini menurut John Locke merupakan kekuasaan tertinggi (supreme power).
Apabila kekuasaan pembentuk Undang-undang berada pada masyarakat (community) maka
bentuk negara adalah demokrasi, apabila ada pada beberapa orang yang terpilih, maka bentuk
negaranya oligharkhi, sedangkan apabila ada pada satu orang bentuk negaranya adalah
monarkhi. Penyerahan kekuasaan kepada unsur-unsur tadi (seseorang atau beberapa orang) dapat
dilakukan atau seumur hidup ataupun hanya waktu yang terbatas. John Locke lebih cenderung
untuk menyerahkan kekuasaan pembentuk Undang-undang ini kepada dewan atau majelis. Dan
juga sebaiknya diadakan pemisahan antara kekuasaan pembentuk Undang-undang dengan
kekuasaan pelaksana Undangundang. Kekuasaan pelaksana adakalanya memerlukan paksaan,
sehingga selalu diperlukan adanya kekuatan untuk melaksanakannya secara tetap oleh karenanya
kedua kekuasaan ini seyogyanya dipisahkan, jangan berada pada satu tangan, Selain dua
kekuasaan tersebut masih ada kekuasaan federatif, yang tugasnya menyatakan perang atau
melaksanakan perdamaian dengan negara-negara lain ataupun mengadakan perjanjian-perjanjian
dengan negara lain serta mengadakan hubungan antar negara. Hal yang terakhir ini biasa disebut
hubungan diplomatik. Menurut John Locke kekuasaan negara itu terdiri atas : pertama,
kekuasaan pembentuk Undang-undang (legislatif), kedua, kekuasaan pelaksana Undang-undang
dan ketiga, kekuasaan federatif. Dan John Locke adalah juga orang pertama yang
mengemukakan pemikiran tentang pemisahan ketiga kekuasaan tadi. Buah pikirannya ini
kemudian diperlukan oleh Montesquieu. Berdasarkan Hal-Hal yang telah dikemukakan John
Locke itu, maka :

1. Negara bertujuan menjamin hak-hak asasi warga negara;

2. Penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum;

3. Adanya pemisahan kekuasaan negara demi kepentingan umum;

4. Supremasi dari kekuasaan pembentuk Undangundang yang tergantung pada kepentingan


rakyat, maka dapatlah dikatakan bahwa John Locke merupakan orang pertama yang meletakan
dasar pemikiran tentang unsur negara hukum.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif. Penelitian normatif
merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data
sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat
berupa pendapat para sarjana, yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian
terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah
hukum dan penelitian perbandingan hukum.

2. Sumber Data Sumber data dari penelitian ini hanyalah data sekunder, antara lain mencakup
dokumendokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan
sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku dari perpustakaan dan artikel-artikel yang
berasal dari media eletronik, dokumen-dokumen internasional yang resmi dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang.

4. Analisis data Penulisan Skripsi Ini Menggunakan Teknik Metode Deskriptif.Metode deskriptif
adalah dengan memaparkan apa adanya tetntang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum yang
berlaku. Bagi penelitian hukum normatif hanya data sekunder saja, yang terdiri dari, bahan
hukum primer,bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Untuk mengolah
danmenganalisa bahan hukum tersebut 55`9``tidak bisa lepas dari berbagai penafsiran dalam
ilmu hukum

Anda mungkin juga menyukai