Nama : RUNIAWAN
Nim : 193020209025
Kelas : A (2019)
Bentuk pendidikan di Indonesia pada zaman prasejarah masihlah sangat sederhana dan
pendidikan pada zaman prasejarah hanya dilakukan melalui keluarga. Orang tua pada zaman
prasejarah memberikan materi pendidikan kepada anak. Sesuai dengan karakteristik masyarakat
pada zaman prasejarah masih sangat tergantung pada alam dan lingkungan, materi pendidikan
diarahkan pada keterampilan untuk meramu, berburu, mengumpulkan makanan, bercocok tanam,
serta mencetak benda. Model pendidikan masih berbentuk aplikatif, langsung ke lapangan (alam
terbuka) dan pendidikan tersebut diturunkan secara turun-temurun. Hal itu dapat dilihat dari
kebudayaan yang telah dihasilkan masyarakat prasejarah, mulai dari zaman paleolithikum,
mesolithikum, neolithikum, megalithikum, dan perundagian. Pada masa perundagian, pendidikan
mengalami perkembangan yakni sudah diarahkan untuk menguasai keterampilan dalam
pembuatan beberapa benda logam, misalnya seperti gerabah perunggu, kapak perunggu, bejana,
nekara, moko, dan lain sebagainya. Pengajaran pada zaman ini sudah dilakukan pada tingkat
sosial tertentu. Manusia dicitacitakan sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakatnya saat
itu, yakni masyarakatnya memiliki semangat gotong royong, menghormati para tetua, dan taat
kepada adat.
• pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat
tinggi;
• Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru
yang lain;
• Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya
di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar
ke guru-guru tertentu;
• Pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun
melalui jalur kastanya masingmasing
2) Pengaruh Hindu-Budha Terhadap Pendidikan
Bidang pendidikan membawa pengaruh bagi munculnya lembaga-lembaga
pendidikan. Meskipun lembaga pendidikan tersebut masih sangat sederhana dan
mempelajari satu bidang saja, yaitu keagamaan. Akan tetapi lembaga pendidikan yang
berkembang pada masa Hindu-Buddha ini menjadi cikal bakal bagi lahirnya lembaga-
lembaga pendidikan di Indonesia.
Bukti bukti yang menunjukkan telah berkembangnya pendidikan pada masa
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, antara lain adalah :
• Dalam catatan perjalanan I-Tsing, seorang pendeta yang berasal dari Cina,
menyebutkan bahwa sebelum dia sampai ke India, dia terlebih dahulu singgah
di Sriwijaya. Di Sriwijaya I-Tsing melihat begitu pesatnya pendidikan agama
Buddha, sehingga dia memutuskan untuk menetap selama beberapa bulan di
Sriwijaya dan menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha bersama
pendeta Buddha yang ternama di Sriwijaya, yaitu Satyakirti. Bahkan I-Tsing
menganjurkan kepada siapa saja yang akan pergi ke India untuk mempelajari
agama Buddha untuk singgah dan mempelajari terlebih dahulu agama Buddha
di Sriwijaya. Berita I-Tsing ini menunjukkan bahwa pendidikan agama
Buddha di Sriwijaya sudah begitu maju dan tampaknya menjadi yang terbesar
di daerah Asia Tenggara pada saat itu.
• Prasasti Nalanda yang dibuat pada sekitar pertengahan abad ke9, dan
ditemukan di India. Pada prasasti ini disebutkan bahwa raja Balaputradewa
dari Suwarnabhumi (Sriwijaya) meminta pada raja Dewapaladewa agar
memberikan sebidang tanah untuk pembangunan asrama yang digunakan
sebagai tempat bagi para pelajar agama Buddha yang berasal dari Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti tersebut, kita bisa melihat begitu besarnya perhatian raja
Sriwijaya terhadap pendidikan dan pengajaran agama Buddha di kerajaannya.
Hal ini terlihat dengan dikirimkannya beberapa pelajar dari Sriwijaya untuk
belajar agama Buddha langsung ke daerah kelahirannya yaitu India. Tidak
mustahil bahwa sekembalinya para pelajar ini ke Sriwijaya maka mereka akan
menyebarluaskan hasil pendidikannya tersebut kepada masyarakat Sriwijaya
dengan jalan membentuk asrama-asrama sebagai pusat pengajaran dan
pendidikan agama Buddha.
• Catatan perjalanan I-Tsing menyebutkan bahwa pendeta Hui-Ning dari Cina
pernah berangkat ke Ho-Ling (salah satu kerajaan Buddha di Jawa). Tujuannya
adalah untuk bekerja sama dengan pendeta Ho-Ling yaitu Jnanabhadra untuk
menerjemahkan bagian terakhir kitab Nirwanasutra. Dari berita ini menunjukkan
bahwa di Jawa pun telah dikenal pendidikan agama Buddha yang kemudian
menjadi rujukan bagi pendeta yang berasal dari daerah lain untuk bersamasama
mempelajari agama dengan pendeta yang berasal dari Indonesia.
• Pada prasasti Turun Hyang, yaitu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja
Airlangga menyebutkan tentang pembuatan Sriwijaya Asrama oleh Raja
Airlangga. Sriwijaya Asrama merupakan suatu tempat yang dibangun sebagai
pusat pendidikan dan pengajaran keagamaan. Hal ini menunjukkan besarnya
perhatian Raja Airlangga terhadap pendidikan keagamaan bagi rakyatnya
dengan memberikan fasilitas berupa pembuatan bangunan yang akan
digunakan sebagai sarana pendidikan dan pengajaran.
• Istilah surau yang digunakan oleh orang Islam untuk menunjuk lembaga
pendidikan Islam tradisional di Minangkabau sebenarnya berasal dari
pengaruh Hindu-Buddha. Surau merupakan tempat yang dibangun sebagai
tempat beribadah orang Hindu-Buddha pada masa Raja Adityawarman. Pada
masa itu, surau digunakan sebagai tempat berkumpul para pemuda untuk
belajar ilmu agama. Pada masa Islam kebiasaan ini terus dilajutkan dengan
mengganti fokus kajian dari Hindu-Buddha pada ajaran Islam.
Menurut Hasbullah pengajian Al Qur'an pada pendidikan Langgar dibedakan menjadi dua
macam:
Tingkat Rendah, merupakan tingkat pemula. Yaitu mulai mengenal huruf Al Qur'an
sampai bisa membacanya, diadakan pada tiap-tiap kampung dan anak-anak hanya belajar
pada malam hari dan pagi hari setelah sholat subuh,
Tingkat atas, pelajarannya selain di tingkat pemula diatas, ditambah lagi dengan pelajaran
lagu qasida, berjanzi, tajwid serta mengaji kita-kitab.
Pesantren
Belum ditemukan tahun yang pasti kapan pesantren pertama kali didirikan, banyak
pendapat mengatakan bahwa pesantren muncul pada zaman Walisongo dan Maulana Malik
Ibrahim dipandang sebagai orang yang pertama mendirikan pesantren.
Di Jawa sebelum Islam masuk telah dikenal adanya lembaga pendidikan Jawa kuno
yang diberi nama Pawiyatan, ditempat tersebut tinggal bersama Ki Ajar dan Cantrik. Ki Ajar
yang mengajar dan Cantrik murid yang diajar. Di Pawiyatan berlangsung pendidikan
sepanjang hari dan malam. Sistem ini mirip dengan sistem pesantren. Jadi dengan demikian
sistem pendidikan pesantren itu telah ada di Jawa sebelum datangnya Islam. Setelah Islam
masuk maka sistem ini termasuk yang diislamkan.
CC Berg berpendapat bahwa santri berasal dari istilah Shastri , yang dalam bahasa
India, orangorang yang tahu buku0buku suci Agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab
suci Agama Hindu. Kata Shastri berasal dari Shastra yang berarti buku suci, buku-buku
agama atau bukubuku tentang ilmu pengetahuan.
Secara Etimologi, meunasah berasal dari perkataan madrasah, tempat belajar atau
sekolah. Sebagai pendidikan awal bagi anak-anak yang dapat disamamakan dengan tingkat
Sekolah Dasar. Meunasah ini dipimpin atau diasuh oleh seorang Tengku Meunasah (Guru)
yang bertugas untuk membina dan mengajarkan ilmu agama kepada para murid.[11]
Di setiap gampong (kampung) di Aceh ada mennasah sebagai tempat belajar bagi
anak-anak. Pada dasarnya mennasah memiliki multi fungsi yaitu fungsi ibadah, sosial dan
pendidikan. Rangkang adalah tempat tinggal murid yang dibangun di sekitar masjid karena
murid perlu mondok dan tinggal, maka perlu dibangun tempat tinggal untuk mereka di sekitar
masjid.
Lembaga berikutnya adalah dayah. Dayah berasal dari bahasa Arab zawiyah merujuk
pada sudut dari suatu bangunan dan sering dikaitkan dengan masjid. Di sudut Masjid itulah
berlangsungnya proses pendidikan dalam bentuk halaqah atau juga zawiyah dikaitkan juga
dengan tarekat sufi. Di mana Syeikh atau Mursyid melakukan pendidikan sufi.
Surau. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, surau diartikan tempat (rumah) umat Islam
melakukan Ibadah (sembahyang, mengaji dan lain-lain). Christin Pobbin memberi pengertian
bahwa surau adalah rumah yang didiami para pemuda setelah aqil baligh terpisah dari rumah
keluarganya yang menjadi tempat tinggal wanita dan anak-anak.
Jadi surau adalah tempat aktifitas masyarakat sehari-hari dalam hal peribadatan,
pendidikan dan sosial budaya. Intinya bahwa surau memiliki multifungsi bagi masyarakat
dan sangat penting keberadaannya di masyarakat itu sendiri.
Jadi jelas bahwa dalam pendidikan Islam di Indonesia juga terjadi akulturasi-
akulturasi budaya, baik berupa istilah-istilah, ataupun budaya langsung. Karena memang
sesuai sejarah Islam masuk ke Indonesia dalam keadaan telah memeluk agama (Hindu dan
Budha) ataupun kepercayaan (Animisme dan Dinamisme) yang telah melekat kuat di
masyarakat Indonesia. Maka tidak mungkin terjadi penghapusan secara ekstrim terhadap apa
yang telah melekat di masyarakat itu, melainkan dengan cara mengadopsi dan akulturasi
budaya dengan ajaran Islam, sehingga Islam bisa diterima dengan damai di Indonesia.
Dapat dimengerti bahwa pendidikan Islam dimasa awal di indonesia amat fleksibel dan
mudah nerasu kedalam budaya masyaraakat denagan menggunakan fasilitas-fasilitas yang
sederhana, namun ternyata Islam dapat diterima dan mampu berkembang secara dinamis di
negeri Nusantara ini. Ini juga sebagai bukti bahwa Islam menjadi Agama yang Universal
(Rahmatan Lil 'Alamin), bisa diterima di berbagai tempat dalam suasana dan keadaan apapun.
Kata wali berasal dari bahasa Arab ﻰﻟاوN– N ﻲﻟوartinya kekasih,- ﻲﻟوN ﻰﻟاوartinya penguasa.
Para wali songo ditinjau dari kepribadian dan dakwahnya termasuk kekasih Allah. Dan
ditinjau dari tugas dan fungsinya dalam kerajaan Demak, mereka mendapat gelar Susuhunan
(Sunan), yaitu sebagai penasihat dan pembantu raja. Dengan demikian maka sasaran
pendidikan dan dakwah Islam meliputi rakyat umum dan kalangan pemerintah.
Sunan Gunung Jati = Raden Abd. Qadir = Syarif Hidayatullah = Falatehan = Fatahillah
Jika ditinjau lebih lanjut kata Wali Sanga tidak semata-mata Wali (Auliya') yang
berjumlah sembilan. Namun wali sanga adalah suatu lembaga dakwah yang dilegalisasikan
dibawah naungan kerajaan demak, atu juga anggota Dewan yang mengurus penyebaran Islam
di Jawa. Kata Sanga (Sembilan) itu sendiri memilioki berbagai pengertian. Seperti diketahui
bahwa para wali berdakwah juga menggunakan Budaya, Kesenian dan lain-lain. Dan kata
Sanga pun juga memiliki berrbagai implikasi dengan media yang digunakan oleh para wali
tersebut.
Jika ditinjau dari Walisanga sebagai dewan, maka ini dapat dimengerti wali yang
sembilan tersebut adalah wali-wali pokok yang menjadi tokoh sentral dalam dewan tersebut,
selain juga para murid-murid dari wali pokok tersebut dan wali sanga sendiri terdiri dari
beberapa periode atau dekade, dan yang menjadi wali pokoknya jelas mengalami pergantian.
Jadi Walisongo adalah orang-orang yang saleh yang tingkat taqwanya kepada Allah
sangat tinggi, pejuang dakwah Islam dengan keahlian yang berbeda. Ada yang menonjol ilmu
tasawufnya, ada seni budayanya, ada yang memegang pemerintahan dan militer secara
langsung. Semuanya diabdikan untuk pendidikan dan dakwah Islam.
Dari berbagai catatan sejarah, bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah
Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan pada abad ke-10 M, dengan raja pertama adalah Al
Malik Ibrahim bin Mahdum.(a) pengembara dari maroko Ibnu Batutah sempat singgah di
Kerajaan Pasai pada masa pemerintahan Malik Az Zahir pada tahun 1345 M, Ibnu Batutah
menuturkan bawa ia sangat mengagumi akan keadaan Kerajaan Pasai, dimana rajanya sangat
Alim dan ilmu Agama, dengan menganut mazhab Syafi'im serta mempraktekan pola hidup
yang sangat sederhana.[15]
Kedatangan Ibnu batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku
di zaman kerajaan Samudera Pasai adalah sebagai berikut : a) materi pendidikan dan
pengajaran agama bidang syari’at adalah fiqh madzhab syafi’i; b) Sistem pendidikannya
secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqah; c) Tokoh pemerintahan merangkap sebagai
tokoh agama; d) biaya pendidikan berasal dari negara.
Menurut Ibnu Batutah juga Pasai pada abad ke-14 M sudah merupakan pusat studi Islam
di Asia Tenggara dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah
mengatakan bahwa Sultan Malik Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu
pengetahuan. Bila hari jum’at tiba Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama.
Setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama antara
lain Amir Abdullah dari Delhi dan Tajuddin dari Isfahan. Bentuk pendidikan dengan cara
diskusi disebut majlis taklim atau halaqah. Sistem halaqah yaitu para murid mengambil posisi
melingkari guru. Guru duduk ditengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah
murid menghadap guru.
Kerajaan Perlak
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya bernama Sultan
Alaudin (tahun1161 -1186 H / abad ke-12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama
yang baik sehingga seorang raja Pasai menikah dengan putri raja Perlak.
Kerajaan Islam perlak juga mempunyai pusat pendidikan Islam Dayah Cut Kala. Dayah
disamakan dengan perguruan tinggi, materi yang diajarkan yaitu : bahasa Arab, tauhid, tasawuf,
akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan
filsafat. Daerahnya kira-kira dekat dengan Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama
Pangeran Tengku Chik M. Amin pada akhir abad ke-3 H / abad ke-10 M. Inilah pusat pendidikan
pertama. Rajanya Sultan Muhammad Alaudin Muhammad Amin (1245 – 1267) mendirikan
perguruan tinggi islam yaitu Majlis Ta’lim. Lembaga tersebut juga mengajarkan kitab-kitab
agama yang berbobot pengetahun tinggi, misalnya Al-Umm karya Imam Syafi’i.
Pemerintah kolonial Belanda mempunyai ambisi dan strategi sendiri ketika menerapkan
pola pendidikan modern. Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberikan model
pendidikan pada anak bangsa yang berupa sekolah ongko loro dan ongko siji. Sekolah ini
bertujuan agar anak bangsa mendapatkan pendidikan satu tahun dan tiga tahun saja, di mana
materi yang diberikan berupa ketrampilan berhitung, membaca, dan menulis sederhana.
Ketrampilan ini jelas dibutuhkan untuk membantu tugas-tugas administrasi pemerintah Kolonial
Belanda sendiri. Hal ini dilakukan karena di satu sisi pemerintah Belanda ingin mendapatkan
tenaga administrasi level bawah yang bergaji rendah, di sisi lain Belanda tidak ingin memberikan
sepenuhnya ilmu pengajaran dan pengetahuan bagi anak bangsa yang
status sosialnya dipandang rendah. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan persyaratan
bagi siswa yang masuk di sekolah ongko siji dan loro. Syarat utamanya adalah latar belakang
keningratan bagi siswa-siswanya.
Namun demikian, setelah munculnya politik etis yang dimotori van Deventer dan Baron
van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia. Sistem persekolah dan
kurikulum mengalami banyak perubahan. Semula jenjang pendidikan terlama di bangku sekolah
dasar hanya tiga tahun, dengan kebijakan baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam
tahun). Model persekolahan ini dinamakan schakel school dan HIS (Holland Inlandsche School).
Materi pengajaran mengalami perubahan yang cukup banyak. Tingkat kesulitan mengalami
peningkatan dan tidak setiap anak bangsa bisa menjadi siswa di sekolah ini. Kedua sekolah ini
tetap mempertahankan sistem lama dalam penerimaan siswa baru. Mereka yang berasal dari
kalangan rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan memasuki jenjang pendidikan HIS. Mereka yang
berasal dari kalangan priyayi rendah, tentu saja harus ngenger dahulu agar dapat diterima menjadi
siswa sekolah ini. Bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan belajar di sekolah
ini. Sebagai pembanding, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pula ELS (Eropesch Lagere
School) sebagai sekolah dasar untuk anak-anak eropa dan China Lagere School bagi anak-anak
keturunan Tionghoa. Sekolah ini jelas bukan milik kaum pribumi yang secara sosial berada di
bawah posisi orang Eropa dan China.
Pada level yang tertinggi, kebijakan Kolonial Belanda menjelang pertengahan abad
ke-20 mulai mendirikan sekolah setingkat SLTA sekarang dengan sebutan AMS (Algemens
Middlebars School) dan HBS (Hoogere Bourgere School). Minimal anak bangsawan tinggi
yang diperbolehkan memasuki jenjang sekolah ini. Untuk AMS ditempuh selama 3 (tiga)
tahun, sedangkan untuk HBS ditempuh 5 (lima) tahun. Siswa yang bersekolah di HBS secara
sosial ia adalah pribumi yang sudah disamakan derajatnya dengan bangsa Eropa/Belanda.
Pada pendidikan tingkat ini, kualitas menjadi sebuah ukuran mutlak. Oleh karena pola
pendidikannya yang disiplin dengan kurikulum yang jelas maka dengan sendirinya
menghasilkan alumni yang disegani oleh siapa saja. Para alumninya antara lain: Soekarno,
Hatta, Sutan Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soetomo, Cipto Mangunkusuma, A. Rivai,
Suwardi Suryaningrat, dan sebagainya. Sangat jelas bahwa sistem pendidikan masa Kolonial
Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di satu sisi, adanya politik etis tersebut
pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi pribumi dengan
memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi tetap
dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada pribumi jelas tidak sama dengan
pendidikan yang diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya
anak kaum bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS,
dan HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah kestabilan
politik di bawah kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan benih-benih ketidakpuasan
dari kaum intelektual yang mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda sendiri.
Kementrian Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan (PP dan K) pertama ki hajar dewantara
mengeluarkan instruksi umum yang isisnya memerintahkan pada semua kepala-kepala
sekolah dan guru-guru, yaitu :
Seirama dengan perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga sekatrang, maka kebijakan
Pendidikan di Indoensia termasuk di dalamnya tertentu, yang ditandai dengan peristiwa-
peritiwa penting dan tonggak sejarah sebagai pengingat.
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan
dibawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan.
Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan
dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa
mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa
pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial.
Perkembangan politik masa orde lama yang mempengaruhi jalannya kebijakan pendidikan
nasional adalah sejak 1959, Indonesia berada di bawah gelora Manipol (Manifestasi
Politik)USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian
Indonesia). Manipol-Usdek telah menjadi "dewa" dalam kehidupan politik Indonesia dan
juga "dewa" dalam bidang kehidupan lainnya, termasuk bidang pendidikan. Keputusan
Presiden Nomor 145 tahun 1965 merumuskan tujuan pendidikan nasional pendidikan
Indonesia sesuai dengan Manipol-Usdek, yaitu "Tujuan pendidikan nasional, baik yang
diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun pihak swasta, dari pendidikan prasekolah
sampai pendidikan tinggi supaya melahirkan warga negara sosialis Indonesia yang susila,
yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan
makmur spiritual maupun material dan berjiwa Pancasila.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era
pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan
dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres)
Pendidikan Dasar. Namun, yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya
berlangsung dari segi kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang
terpenting pada masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa
memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada masa Orde Baru ternyata banyak menemukan kendala,
karena pendidikan Orde Baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga memampatkan
kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman
intelektualitas peserta didik. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi pelajaran
yang banyak dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi kepentingan dengan faktor-
faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka terhadap lingkungan.
Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini di antaranya, yang pertama,
Produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja, Sehingga berimplikasi pada
hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak memanusiakan
manusia). Yang kedua, lahirnya kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan
banyaknya anak muda yang berpikiran positivistik. Yang ketiga, hilangnya kebebasan
berpendapat.
Siswa sebagai peserta didik, dididik untuk menjadi manusia “pekerja” yang kelak
akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara. Pendidikan
bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk mengeksploitasi
intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa. Yang lebih menyedihkan dari
kebijakan pemerintah Orde baru terhadap pendidikan adalah sistem dotrinisasi. Yaitu sebuah
sistem yang memaksakan paham-paham pemerintahan Orde Baru agar mengakar pada benak
anak-anak. Bahkan dari sejak sekolah dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi, diwajibkan
untuk mengikuti penetaran P4 yang berisi tentang hapalan butirbutir Pancasila.
Proses indoktrinisasi ini tidak hanya menanamkan paham-paham Orde Baru, tetapi juga
sistem pendidikan masa Orde Baru yang menolak segala bentuk budaya asing, baik itu yang
mempunyai nilai baik ataupun mempunyai nilai buruk. Paham Orde Baru yang membuat kita
takut untuk melangkah lebih maju.
Dengan demikian, pendidikan pada masa Orde Baru bukan untuk meningkatkan taraf
kehidupan rakyat, apalagi untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, tetapi malah
mengutamakan orientasi politik agar semua rakyat itu selalu patuh pada setiap kebijakan
pemerintah. Bahwa putusan pemerintah adalah putusan yang adiluhung yang tidak boleh
dilanggar. Itulah doktrin Orde Baru pada sistem pendidikan kita.
Indoktrinisasi pada masa kekuasaan Soeharto ditanamkan dari jenjang sekolah dasar
sampai pada tingkat pendidikan tinggi, pendidikan yang seharusnya mempunyai kebebasan
dalam pemikiran. Pada masa itu, pendidikan diarahkan pada pengembangan militerisme yang
militan sesuai dengan tuntutan kehidupan suasana perang dingin .Semua serba kaku dan
berjalan dalam sistem yang otoriter.
Akhirnya, kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman.
Baik cara berpakaian maupun dalam segi pemikiran. Hal ini menyebabkan generasi bangsa
kita adalah generasi yang mandul. Maksudnya, miskin ide dan takut terkena sanksi dari
pemerintah karena semua tindakan bisa-bisa dianggap subversif. Tindakan dan kebijakan
pemerintah Orde Baru lah yang paling benar.
Reformasi pendidikan merupakan hukum alam yang akan mencari jejaknya sendiri,
khususnya memasuki masa millennium ketiga yang mengglobal dan sangat ketat dengan
persaingan. Agar kita tidak mengalami keterkejutan budaya dan merasa asing dengan dunia
kita sendiri, refleksi pendidikan ini setidaknya merupakan sebuah potret diri agar dikemudian
hari kita tidak lupa dengan wajah diri kita sendiri (Suyanto & Hisyam, 2000: 2) Perubahan
yang sangat menonjol pada era reformasi adalah dilaksanakannya otonomi daerah sebagai
implementasi dari UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah. Lebih lanjut, tantangan
yang berkaitan dengan regulasi adalah kondisi UU No. 2/1989 tentang sistem pendidikan
nasional (UU SPN) yang menganut manajemen pendidikan sentralistis/k dan masih lebih
menitikberatkan penyelenggaraan pendidikan pada pemerintah, yang tidak lagi sesuai dengan
prinsip otonomi daerah.
Dari segi kualifikasi tenaga guru di Indonesia masih jauh dari harapan. Hal ini
ditunjukkan oleh statistik sebagai berikut: dari jumlah guru SD sebanyak 1.141.161 orang, 53%
diantaranya berkualifikasi D-II atau statusnya lebih rendah. Dari jumlah guru SLTP sebanyak
441.174 orang, 36% berkualifikasi D-II atau lebih rendah, 24,9% berijasah D-III kemudian dari
346.783 orang guru sekolah menengah, sebanyak 32% masih berkualifikasi D-III atau lebih
rendah statusnya. Sementara itu pengangkatan tenaga pendidik yang baru setiap tahun hanya
dipenuhi 25% dari usulan kebutuhan akan tenaga pendidik (Soearni, 2003: 396 – 397). Pada
era yang penuh perubahan, program – program yang mengembangkan tenaga pendidikan
terus berjalan. Dengan memperhatikan tantangan – tantangan yang dihadapi serta bertolak
dari misi dan visi Ditentik, maka disusunlah program – program utama sebagai berikut :
a. Ikut terlibat dalam tim perumusan perubahan UU SPN, sehingga kepentingan tenaga
pendidik terakomodasi.
b. Peningkatan kualifikasi guru SLTP melalui program penyetaraan D-III dan S-I serta
pelatihan guru yang terakreditasi bekerjasama dengan Dikti.
c. Merencanakan perencanaan berbasis kepentingan lokal untuk mengakomodasi
aspirasi dan kemajuan BPG dan PPPG dengan melibat kedua lembaga tersebut serta
lembaga yang terkait.
d. Penerapan berbasis kompetensi dengan menyaipkan substansi berupa modul – modul
kompetensi, dari kompetensi dasar sampai kompetensi lanjut.
e. Dalam rangka meningkatkan keluaran diklat yang kreatif dan inovatif telah dilakukan
pelatihan guru dengan pola pembelajaran yang mengacu kepada “Deep Dialogue and
Critical Thinking”.
f. Menambah sarana dan prasarana dana untuk BPG dan PPPG non kejuruan yang
masih kekurangan.
g. Reposisi BPG dan PPPG menuju lembaga penjamin mutu.
Adapun hasil – hasil yang dicapai pada tahun 1998 sampai 2001 dapat diuraikan
sebagai berikut :
Kompetensi yang harus juga dimiliki oleh peserta didik adalah penguasaan teknologi.
Saat inipemanfaatan teknologi dalam dunia pendidikan seperti dalam kegiatan belajar
mengajar sampai administrasi pendidikan, menjadi sebuah momok dalam dunia pendidikan di
Indonesia, bagaimana tidak?. Indonesia beramai-ramai saat ini mengadaptasi pendidikan dari
luar negeri yang sistem pendidikannya dinggap bagus seperti Singapura, Jepang, Amerika
sampai dengan Australia sebagai upaya proses modernisasi. Mulai kurikulumnya, kegiatan
belajar mengajarnya, Manajerialnya sampai dengan metode pengevaluasian peserta didik,
namun pengadaptasian itu tidak diimbangi dengan pemanfaatan teknologi berbasis budaya
lokal sehingga ketimpangan dan ketidakberdayaan Indonesia dalam menyeimbangkan proses
adapatasinya menjadikan tujuan pendidikan menjadi bias dan terkendala mulai dari jarak,
ruang dan waktu dalam pemanfaatan teknologi ini. Selain itu masalah peningkatan
kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan dianggap lepas dari pengawasan dan kontrol
pemerintah, kompetensi pendidik tidak merata keseluruh pelosok negeri ini, penggelontoran
dana bermilyar-milyar habis tanpa ada output yang diharapkan.
Atas dasar pemikiran diatas maka proses “westernisasi” ke arah modernisasi terhadap
seluruh lapisan dunia pendidikan nasional menjadikan sebuah tuntutan pendidikan sekarang
dan masa depan negara ini, mau tidak mau pemerintah harus cepat meresponnya.
Ketidakmerataan informasi dan akses pendidikan di seluruh Indonesia juga akan menggangu
proses modernisasi pendidikan di masa yang akan datang.Banyk sekali para pendidik dengan
alasan kemanusiaan membantu para anak didik mereka di ujjian nasional. Padahal mereka tau
dan mengerti betul tentang hal tersebbut tidak bisa. Padahal mereka tau dan mengerti betul
tentang hal tersebbut tidak bisa dilakukan. mereka menganggap anak didik mereka tdk
diperlakukan secara adil karena mereka mengenyam di bangku sekolah dengan fasilitas yang
sangat minim dan kurangnya informasi.