Peringatan Hari Ibu yang kita rayakan setiap tahun, merupakan salah satu upaya
untuk mengenang dan menghidupkan kembali semangat para perempuan
Indonesia supaya terus gigih berjuang untuk menciptakan masyarakat, keluarga,
dan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Dan seiring dengan perkembangan
zaman, saat ini kiprah dan peran ibu menghadapi tantangan yang semakin berat.
Karena di era informasi dan modernisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, telah melahirkan generasi yang serba cepat dan
praktis.
Lahirnya berbagai inovasi teknologi informasi dan mesin juga telah menjadikan
manusia lebih individualistis, hanya memikirkan kepentingan sendiri tanpa
memperdulikan kepentingan orang lain, serta lebih mementingkan materi
(kebendaan) daripada emosi (perasaan). Sehingga apabila kita tidak bersikap kritis
dan selektif terhadap informasi dan perkembangan zaman, maka lambat laun
peradaban ini bisa merusak watak putra-putri kita dan akhirnya melemahkan
karakter bangsa.
Menyikapi fenomena tersebut, para ibu saat ini perlu berusaha untuk selalu
meningkatkan kapasitas personal serta kiprahnya supaya bisa menyeimbangkan
perannya sebagai seorang ibu bagi para generasi penerus bangsa, pendamping
suami, serta perannya dalam masyarakat sebagai upaya untuk memajukan
kehidupan bangsa. Sebagai figur yang pertama kali dikenal dan paling dekat
dengan anak-anaknya, seorang ibu memiliki peran yang sangat besar dalam
membangun watak dan karakter anak-anaknya di usia awal perkembangan mental
mereka. Hal ini sangat penting mengingat pendidikan moral yang sudah
ditanamkan sejak usia dini, apabila secara terus menerus dibiasakan dalam
kehidupan sehari-hari maka akan melekat dan menjadi karakter mereka di masa
mendatang. Karakter yang baik ini tidak hanya kita lihat dari kepatuhan anak,
melainkan dari cara berpikir mereka yang independen dan kemampuannya untuk
selalu mengerjakan hal-hal yang benar sesuai dengan prinsip hidup meskipun
dalam keadaan yang serba terbatas dan berada dalam tekanan.
Pendidikan yang berkarakter saat ini sudah menjadi bagian dari kurikulum di
sekolah-sekolah di Indonesia. Namun hal ini tidak akan efektif bila hanya terbatas
dipelajari di sekolah saja, melainkan perlu pembiasaan yang terus menerus dengan
menerapkannya di rumah dan lingkungan sekitar anak. Karena sebagaimana kita
ketahui, secara teori semua orang tentu saja sudah mengetahui bahwa korupsi
merupakan tindakan tidak jujur yang bisa merugikan banyak orang. Namun hingga
kini masih banyak orang yang melakukan korupsi baik yang berskala besar maupun
kecil. Oleh karena itu, seorang ibu yang merupakan panutan pertama bagi putraputrinya dalam keluarga, memiliki tugas yang besar untuk membentuk karakter
positif supaya putra-putrinya menjadi pribadi yang jujur (trustworthiness),
bertanggung jawab (responsibility), toleran terhadap berbagai perbedaan (respect),
peduli (caring), berpikiran terbuka, adil (fairness), dan memiliki keinginan untuk
melibatkan diri dalam urusan masyarakat serta memiliki kepedulian terhadap
lingkungan hidup.
Keluarga pada hakekatnya merupakan satuan terkecil sebagai inti dari suatu
sistem sosial yang ada di masyarakat. Sebagai satuan terkecil, keluarga merupakan
miniatur dan embrio berbagai unsur sistem sosial manusia. Suasana keluarga yang
kondusif akan menghasilkan warga masyarakat yang baik karena di dalam
keluargalah seluruh anggota keluarga belajar berbagai dasar kehidupan
bermasyarakat.
Dalam hal ini, seorang ibu memegang peranan yang sangat penting dan utama
dalam memberikan pembinaan dan bimbingan (baik secara fisik maupun psikologis)
kepada putra-putrinya dalam rangka menyiapkan generasi penerus yang lebih
berkualitas selaku Warga Negara Indonesia (WNI) yang baik dan bertanggung jawab
termasuk tanggung jawab sosial. Untuk membangun generasi yang sadar dan siap
menjalankan fungsi sosialnya, ibu mempunyai peranan yang sangat penting dalam
keluarga karena ibu mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berinteraksi
Seorang ibu harus bisa membina keluarga menjadi sejahtera, sebagai wahana untuk
penanaman nilai agama, etika dan moral serta nilai-nilai luhur bangsa, sehingga
memiliki integritas kepribadian dan etos kemandirian yang tangguh untuk seorang
anak agar ia dapat memahami keadaan di lingkungan masyarakat sekitarnya.
Melaksanakan peran pendamping terhadap anak, baik dalam belajar, bermain dan
bergaul, serta menegakkan disiplin dalam rumah, membina kepatuhan dan
ketaatan pada aturan keluarga agar seorang ibu lebih mengetahui kegiatankegiatan yang di lakukan oleh anaknya.
Memotivasi anak dan mendorong untuk meraih prestasi yang setinggi tingginya.
Semua itu dilaksanakan dengan ketulusan, kesabaran dan konsisten dengan
komitmen semata-mata demi kesuksesan dan kebahagiaan anak. Usia anak dalam
sebuah keluarga sangat bervariasi. Setiap tahap perkembangan individu
mempunyai karateristik tersendiri sehingga membutuhkan pola asuh dan pola didik
yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap
karateristik anak, baik fisik maupun psikologis.
Memahami diri dan lingkungan, apabila kita dapat mengerti keadaan seseorang dan
lingkungan di sekitar kita. Kita akan lebih mudah untuk menyelesaikan suatu
masalah, karena kita dapat memahaminya.
Pengendalian diri disertai sikap yang matang agar setiap permasalahan tidak
menjadi masalah yang besar.
Keterampilan sosial pribadi dengan memiliki pribadi yang mantap disertai dengan
interaksi sosial yang baik di dalam keluarga.
Menciptakan lingkungan yang kondusif (tenang, damai dan adil) agar kebersamaan
tetap terjaga.
Responsif terhadap pertanyaan anak dalam keadaan sesibuk apapun. Apabila kita
sebagai orang tua sibuk, jangan jadikan kesibukan itu sebagai penghambat
komunikasi kita dengan anak karena akan membuat ia merasa tidak memiliki
seseorang yang memberikan segala masukan-masukan sehingga is merasa jenuh
dengan sikap kita sebagai ibu.
Sediakan waktu untuk berceritera /mendongeng untuk anak dengan ceritera yang
edukatif atau kepahlawanan yang bersumber dari dalam negeri. Dalam hal ini dapat
juga ceritera dari pewayangan, cerita hikayat atau kerajaan, sejarah< dan lain-lain.
Dalam hal ini akan membuat seorang anak menjadi terhibur dan mendapatkan ilmu
baru dari bercertteria tersebut.
Adakan pendampingan ketika anak menonton TV, khususnya untuk balita dan
batasi kesempatan nonton TV anak. Apabila kita tidak mengawasi anak kita,
terkadang acara yang berada di televisi itu kurang mendidik sehingga tidak layak
untuk di saksikan oleh seorang anak sehingga dapat menimbulkan sikap yang
kurang baik. Maka dari itu awasilah anak anda apabila akan menyaksikan acara
televisi khususnya untuk balita dan batasi waktunya agar dapat menyesuaika diri
dengan yang lainnya.
Belikan anak buku-buku bacaan yang bermutu/bernilai edukatif dan arahkan anak
agar gemar membaca seperti buku pelajaran yang bergambar atau buku yang
memiliki suatu permainan di dalam belajar agar anak tidak jenuh dan bisa
mengembangkan pola fikiran yang terdapat padanya.
Sekali-kali ajaklah anak ke panti asuhan atau panti jompo guna menumbuhkan rasa
syukur bagi anak, dan rasa kasih-mengasihi untuk seksama. Agar seorang anak
memiliki jiwa pahlawan yang tinggi (rasa saling tolong menolong). Dan
mengajarkan akan bersyukur dengan suatu keadaanya sehingga ia dapat berbagi
dengan yang lain.
Pertanyaannya, bagaimana seorang ibu mendidik anaknya pada era globalisasi ini?
Jawabannya banyak sekali Pembahasan mengenai peran perempuan dalam
masyarakat selalu dikaitkan antara fungsi kodrati perempuan dan fungsi sosial.
Sudah menjadi kodrat perempuan untuk mampu mengandung, melahirkan dan
menyusui. Hal itulah yang menempatkan perempuan sebagai figur pendidikan,
penuh kasih sayang, lambang keindahan dan kedamaian.
Dalam lingkungan rumah tangga peran ibu sebagai pendidik memang tidak
tergantikan, terutama pada masa balita, saat di mana seorang anak menemukan
identitas awal. Pada saat itulah ibu lebih berperan dalam memupukan karakter
seorang anak. Mereka bersentuhan langsung dengan manusia-manusia muda yang
masih sangat haus dengan persentuhan mereka dengan dunia luar. Hal ini kadang
berkelanjutan pada fase perkembangan anak selanjutnya, yaitu terjalin hubungan
emosional yang kuat antara anak dan ibu. Hubungan antara ibu dan anak yang
penuh kasih sayang membangun wawasan anak terhadap nilai-nilai kemanusian
dan pemahamannya terhadap lingkungan sekitarnya.
pertentangan budaya lokal dan global. Kadangkala terjadi suatu tegangan antara
tuntutan untuk berada dalam ranah lokal dan melangkah menuju ranah global.
Seorang ibu di dalam era globalisasi ini dituntut memiliki pengetahuan dan
keterampilan serta kemampuan untuk menjadikan anak-anaknya memiliki (Mega
Skill) (1) Percaya diri; (2) Motivasi disertai dengan keinginan yang kuat; (3) Daya
juang disertai dengan kerja keras; (4) Tanggung jawab; (5) Keuletan; (6) Kepedulian;
(7) Team work; (8) Positive thinking; dan (9) Problem solving. Hal tersebut dapat
dicapai dengan memberikan latihan dan tugas-tugas yang sesuai dengan
kemampuan anak sejalan dengan perkembangan usianya.
Kesimpulan
Banyak dampak yang ditimbulkan konflik keluarga, antara lain: (1) Para anggota
keluarga sulit berkembang dan tidak bahagia; (2) Anak-anak tidak betah di rumah;
(3) Kehilangan tokoh idola; (4) Kehilangan kepercayaan diri; (5) Berkembang sikap
agresif dan permusuhan; (6) Rendah diri; (7) Tidak mempunyai cita-cita; (8)
Mengisolasi diri; dan (9) Tak acuh. Sumber konflik dalam keluarga, antara lain: (1)
Ketidakmatangan dalam kepribadian; (2) Perbedaan sikap dan pandangan (falsafah
hidup dan keyakinan); (3) Keuangan; (4) Tidak ada saling pengertian; (5) Perbedaan
agama; (6) Penyimpangan/penyelewengan seksual (ketidakpuasan seksual, takut
hamil, kelainan seksual, impotensi, homoseksual, sadistis, dan lain-lain) Apabila
konflik yang dialami oleh individu tidak segera dapat diatasi, maka individu yang
bersangkutran akan mengalami suatu kekecewaan yang amat mendalam.
Di era globalisasi ini peranan ibu terhadap anak sangatlah penting karena seorang
anak lebih sering berada di pangkuan ibunya. Dapat lebih sering melaksanakan
peran pendamping terhadap anak, baik dalam belajar, bermain dan bergaul, serta
menegakkan disiplin dalam rumah, membina kepatuhan dan ketaatan pada aturan
keluarga.
seiring dengan berkembangnya zaman, peranan seorang ibu harus bisa mengikuti
gerak-gerik kemajuan globalisasi. Dalam hal ini peranan ibu itu harus tahu dalam
berbagai macam bidang agar bisa membimbing keluarganya kedepan. Faktor-faktor
tersebut bukanlah sesuatu yang instan yang dapat diberikan dalam waktu satu
malam, melainkan suatu proses pemahaman seseorang terhadap dunia yang
dicapai melalui pendidikan. Di sinilah peran ibu dituntut. Gambaran realistis dunia
tidak mungkin kita pahami apabila kita tidak mempunyai akar budaya untuk
memahaminya, gambaran diripun tidak dapat tercapai apabila seseorang tidak tahu
siapa sesungguhnya dirinya dan nilai-nilai apa yang selama ini mengikatnya. Hal
inilah yang merupakan kunci dalam membangun generasi muda untuk menemukan
jati diri, dan mampu duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan individu
lain dari manapun ia berasal dalam suatu ruang bersama dunia.
Dalam banyak hal, teroris belia ini justru jauh lebih berani. Mereka menjadi pelaku dan aktor lapangan. Tak tanggungtanggung, pilihan senjata pamungkas mereka tetap satu: pengeboman, terutama bom bunuh diri. Target mereka juga
satu dan sama, yaitu tempat-tempat strategis, terutama kedutaan besar negara-negara sahabat.
Betapa pun berbahayanya kehadiran mereka, dari sisi regenerasi, kelompok terorisme berhasil menularkan pahampaham radikalisme dalam lingkungannya. Melalui dunia maya dan jaringan kelompoknya, termasuk jaringan-jaringan
internasional, paham-paham radikalisme berhasil mereka tularkan, dengan memasukkan pikiran kepada generasi
muda. Inilah bahaya dan tantangan nyata yang harus dihadapi oleh seluruh komponen bangsa ke depan.
Ini juga sekaligus menunjukkan ada yang salah dalam kehidupan masyarakat bangsa ini. Sejujurnya, kita telah gagal
dalam proses deradikalisasi. Selama ini, kita melihat bahwa hasutan, menyebar kebencian dan permusuhan kepada
kelompok lain belum dianggap sebagai bagian dari kejahatan terorisme. Di sisi lain, tidak banyak yang mau peduli
dengan masalah tersebut. Tak heran bila kasus teroris tak kunjung tuntas dan selalu ada generasi baru teroris.
Merebaknya aksi terorisme dengan munculnya tunas-tunas mudanya sebagai operator lapangan, setidaknya,
menunjukkan ada yang salah dalam dua hal, yakni pendidikan dan kemajuan ekonomi kita. Di saat sebagian anak
muda seusianya senang dengan life style baru, terlibat dalam berbagai aktivitas produktif, dan sibuk dengan upaya
meraih prestasi, sebagian lainnya malah sibuk mempelajari ajaran-ajaran radikal, dan lebih memilih mati bunuh diri.
Dari sisi pendidikan, inilah kegagalan bangsa ini menderadikalisasi pikiran-pikiran serta ideologi kekerasan di
sejumlah kalangan anak muda. Dua anak muda yang menenteng bom bunuh diri itu berani bertindak radikal karena
bagi mereka hanya itu pilihan yang terbaik. Mereka sudah terasuki paham, sekali berarti sesudah itu mati. Mereka
punya keyakinan bahwa dengan menempuh cara itu, yakni membunuh orang yang dianggap musuh, mereka
mendapat kebahagiaan di dunia sana.
Dari sisi kehidupan ekonomi sosial, radikalisme merupakan sebuah protes terhadap keberadaan diri yang miskin dan
melarat, di tengah sekelompok orang yang terus mendapatkan kenikmatan hidup dan kekayaan yang terus
meningkat. Rasanya mereka tak sudi menyaksikan sebagian masyarakat boleh hidup dalam kelimpahan dan
kemewahan, sementara sebagian masyarakat lainnya harus hidup dalam kesulitan yang amat sangat.
Bagi para penganut ideologi radikalisme, menebar bom bunuh diri adalah pilihan terbaik untuk menuntaskan protes
mereka atas kesenjangan sosial-ekonomi ini. Bagi mereka, itulah jalan pintas. Tapi, bagi kita, bagi bangsa penganut
demokrasi dan multikultural ini, itulah jalan sesat yang justru merusak sendi-sendi kehidupan bersama. Praktik
radikalisme mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat, mengancam stabilitas sosial-politik, dan
mengganggu iklim berinvestasi.
Untuk menghilangkan, atau setidaknya meminimalisisi munculnya kelompok-kelompok muda terorisme, sudah
saatnya kita kembali menempatkan dunia pendidikan, baik pendidikan formal, nonformal, maupun pendidikan
keluarga, sebagai taman terbaik dalam menyemai benih-benih deradikalisme. Pendidikan keterampilan dan
penciptaan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi generasi muda adalah salah satu cara untuk mengurangi
kesenjangan sosial-ekonomi.
Juga tak kalah pentingnya, sudah saatnya Indonesia harus memiliki aturan yang ketat untuk mengurangi penyebaran
ideologi radikal dan terorisme, baik melalui dunia maya maupun menebar kebencian dan permusuhan kepada
orang/kelompok lain. Kita perlu belajar dari Singapura dan Malaysia yang memiliki aturan ketat untuk mengurangi
penyebaran ideologi radikal dan terorisme.
Pada akhirnya, kita tetap mengharapkan aparat negara terus bekerja keras untuk menjamin keamanan bangsa ini
dari berbagai gangguan gerakan-gerakan radikal. Jaminan keamanan merupakan hal yang mutlak dibutuhkan oleh
seluruh komponen bangsa ini: masyarakat, pemerintah, dan pelaku usaha.
orang tua untuk mempersiapkan anak agar mampu hidup secara mandiri dan
dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Orang tua memiliki
kepentingan untuk mewariskan nilai dan norma kehidupan.
Lingkungan yang pertama dijumpai anak pada awal kehidupannya adalah
keluarga. Di lingkungan keluargalah anak mengenal sosok ayah sebagai
pemimpin, ibu sebagai seorang yang sabar dan penyayang serta di keluargalah
anak mulai belajar berkomunikasi dan berinteraksi untuk menjalin hubungan
sebagai makhluk sosial. Menimbang hal tersebut, keluarga seharusnya menjadi
kunci utama dalam pendidikan anak yang mengajarkan nilai dan norma
kehidupan yang baik. Akan tetapi, dewasa ini yang terjadi adalah memudarnya
nilai dan norma yang seharusnya dapat dipupuk dalam keluarga. Padahal,
melalui nilai dan norma dalam keluarga, orang tua dapat mengajarkan dan
mendidik anak untuk menjadi generasi penerus bangsa yang mempunyai
karakter dan budi pekerti luhur. Memupuk dan membina generasi khaira ummah
(ummat terbaik) melalui pengamalan fungsi keluarga (BKKBN). Fungsi keluarga
tersebut antara lain; fungsi agama, sosial budaya, cinta dan kasih sayang,
perlindungan, reproduksi, dan fungsi lingkungan. Sedangkan fungsi keluarga itu
sendiri merupakan pengamalan dari nilai-nilai religious, yaitu keimanan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan YME.
Seseorang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, dalam kehidupannya
mempunyai benteng untuk menghindari dan mengendalikan diri dari pengaruh
buruk era globalisasi dan perkembangan teknologi.
Keluarga/ orang tua dalam fungsi agama dapat mendidik dan mengajarkan
kepada anaknya nilai ketuhanan. Nilai ketuhanan ini akan membentuk pribadi
anak yang taat beribadah, sehingga ia dapat menjadi manusia yang patuh
terhadap peraturan yang ada. Saling berbagi dan membantu sesama anggota
keluarga akan memupuk rasa toleransi anak terhadap teman orang lain yang
membutuhkan bantuan. Rasa toleransi ini dapat tumbuh jika dalam kehidupan
anak sejak kecil sudah dibiasakan saling menghargai dan menghormati yang
merupakan perwujudan dari pengimplementasian fungsi sosial dan budaya
dalam keluarga.
Rasa kasih saying dan cinta merupakan anugerah dari Tuhan YME untuk semua
makhluknya. Ini akan terwujud ketika orang tua memberikan kasih saying dan
cinta kasihnya kepada anak-anak dengan penuh keikhlasan. Rasa aman yang
tercipta karena kehangatan dalam keluarga dan doa dari kedua orang tua akan
dapat memupuk sifat anak untuk melindungi lingkungan dan juga orang-orang
disekitarnya dari bahaya dan kerusakan. Keadaan masyarakat yang amanpun
akan tercipta jika semua warga mendambakan rasa aman, damai dan tentram.
Fungsi pendidikan reproduksi dalam keluarga dewasa ini juga sudah memudar.
Ini terbukti dengan maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak, dan
bahkan pelakunya tidak hanya kaum dewasa tapi juga anak-anak di bawah
umur. Seharusnya, sex education (pendidikan reproduksi) harus ditanamkan
sejak dini pada anak dan diberikan sesuai dengan perkembangan seksualitas
anak. Kasus kejahatan seksual yang terjadi adalah karena ketidakseimbangan
antara pendidikan sex dalam keluarga dengan pesatnya perkembangan
teknologi, yaitu adanya internet. Internet yang dapat diakses secara bebas dan
tanpa control dari orang tua menyebabkan anak salah mendapatkan informasi,
yang sebenarnya hanya untuk konsumsi orang dewasa, seperti pornografi.
Untuk itu, menjadi sangat penting agar orang tua dapat mengawasi anakanaknya dalam penggunaan internet agar mereka mendapatkan informasi yang
tepat dan sesuai untuk perkembangan hidup mereka.
Hal lain yang tak kalah pentingnya peran keluarga dalam pendidikan generasi
bangsa yang khaira ummah adalah mamberikan anak keterampilan dalam
ketahanan diri, baik secara ekonomi dan juga dalam hal ketahanan lingkungan.
Pepatah mengatakan rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya. Bila dalam
keluarga, yaitu orang tua mengajarkan rajin menabung, berhemat, membeli
sesuai dengan kebutuhan, serta tidak boros, sehingga akan menjadikan
generasi yang mampu bertahan dalam menghadapi persaingan pasar bebas.
Ketahanan dan konservasi lingkungan dapat terwujud ketika keluarga
menanamkan sifat melindungi, melestarikan, membudidayakan dan memelihara
lingkungan, baik lingkungan biotik maupun abiotik, sehingga keseimbangan
alam dapat terjaga.
Akhirnya, jika setiap keluarga sebagai penyusun lapisan masyarakat
menanamkan dan menjalankan fungsi keluarga, maka akan terwujud generasi
ummat terbaik, yang akan menjadikan bangsa ini bangsa yang bermoral dan
terwujudlah revolusi mental yang dicita-citakan bangsa Indonesia.(red/SH)