Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TENTANG ANAK DALAM KONDISI

RENTAN

DISUSUN OLEH :

NAMA : Rizky Annisa

NIM : 203302080104
DOSEN : Debi Novita Siregar,SST., M.Kes
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyusun Makalah“Tentang Anak Dalam Kondisi Rentan”, sebagai
salah satu tugas dalam Materi Kuliah Asuhan Kebidanan Pada Perempuan Dan Anak Dalam
Kondisi Rentan. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
dan oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari dosen pembimbing sangat diperlukan
guna tersusunnya makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan pembaca pada umumnya .
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Berbagai upaya yang ditujukan bagi perlindungan dan pemajuan Hak Asasi Manusia
(HAM) di Indonesia merupakan hal yang sangat strategis sehingga memerlukan perhatian dari
seluruh elemen bangsa. Dalam Garis Garis Besar Haluan Negara 1999 -2004 ditetapkan, bahwa
salah satu misi dari pembangunan nasional adalah menempatkan HAM dan supremasi hukum
sebagai suatu bidang pembangunan yang mendapatkan perhatian khusus. Untuk maksud itu
diperlukan perwujudan sistem hokum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan
HAM yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.Menurut Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM, perlindungan, pemajuan,penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia
merupakan tanggung jawab pemerintah disamping juga masyarakat.

Berbagai batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundangan yang
berlaku di Indonesia, namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut mempunyai implikasi
yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak. Menurut Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 23
Tahun 2002, "Anak adalah seseorang yang belum berusia18 (delapan belas tahun) termasuk anak
yang masih dalam kandungan". Sedangkan menurut Pasal 1 KHA / Keppres No.36 Tahun 1990
"anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang berlaku
bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal". Disamping itu menurut pasal 1 ayat
5 UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, "anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut
adalah demi kepentingannya". Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak yang masih sering
terjadi, tercermin dari masih adanya anak-anak yang mengalami abuse, kekerasan, eksploitasi
dandiskriminasi.

Hal yang menarik perhatian untuk dibahas di dalam makalah ini adalah pelanggaran Hak
Asasi yang menyangkut masalah Pekerja Anak, Perdagangan Anak untuk tujuan pekerja
seks komersial, dan anak jalanan. Masalah pekerja anak merupakanisu sosial yang sukar
dipecahkan dan cukup memprihatinkan karena terkait dengan aspeksosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat. Jumlah anak umur antara 10 sampai 14 tahunsebanyak 20,86 juta jiwa, termasuk
anak yang sedang bekerja dan yang mencari pekerjaan sebesar 1,69 juta jiwa. Pada dekade
terakhir, anak umur antara 10 sampai 14tahun yang bekerja telah mengalami penurunan, namun
pada tahun 1998-1999 mengalami peningkatan dibandingkan 4 tahun sebelumnya, sebagai
konsekuensi dari krisis multi dimensional yang menimpa Indonesia. Lapangan pekerjaan yang
melibatkan anak, antara lain, dibidang pertanian mencapai 72,01 %, industri manufaktur
sebesar11,62%, dan jasa sebesar 16,37%. Pemetaan masalah anak mengindikasikan jumlah anak
yang dilacurkan diperkirakan mencapai sekitar 30% dari total prostitusi, yakni sekitar 40.000 –
70.000orang atau bahkan lebih (anak adalah berumur dibawah 18 tahun). Farid (1999)
memperkirakan jumlah anak yang dilacurkan dan berada di komplek pelacuran, pantipijat, dan
lain-lain sekitar 21.000 orang. Angka tersebut bisa mencapai 5 sampai 10 kali lebih besar  jika
ditambah pelacur anak yang mangkal di jalan, cafe, plaza, bar, restoran dan hotel. lrwanto et al
(1997) mengindikasikan ketika orang tua memperdagangkan anaknya, biasanya didukung oleh
peran tokoh formal dan informal setempat misalnya untuk mendapat KTP atau memalsukan
umur anak. Fenomena sosial anak jalanan terutama terlihat nyata di kota-kota besar terutama
setelah dipicu krisis ekonomi di Indonesia sejak lima tahun terakhir.

Kuantitas kekerasan terhadap anak itu relatif kecil bukan disebabkan tidak adanya
kekerasan yang terjadi tetapi masyarakat belum tahu mengenai bentuk – bentuk dari kekerasan
terhadap anak “masyarakat di sini kekerasan itu tindakan yang ditujukan kepada anak dan anak
tersebut merasa kesakitan” Kondisi demikian ini tidak bisa dibiarkan mengingat anak merupakan
salah satu bentuk amanah Allah yang harus dirawat, dididik, dan dibina oleh orang tua atau
keluarga agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai manusia. Di sisi lain anak sebagai generasi penerus keluarga dan masyarakat yang
sekaligus pemilik dan pengelola masa depan bangsa dan negara yang harus sehat, cerdas,
terdidik berakhlak, dan berjiwa sosial terhadap sesama manusia. Kedua sisi mengharuskan
kepada masyarakat khususnya orang tua untuk memberikan kasih sayang, pengasuhan yang tepat
dan bermanfaat bagi anak dalam aspek intelektual, mental emosional, spiritual, dan sosial, di
samping juga memberikan perlindungan dari segala tindakan yang secara etis, yuridis, dan
kebiasaan tidak sepantasnya atau bahkan bertentangan.
2. MAKSUD DAN TUJUAN
Menyadari bahwa anak merupakan salah satu yang termasuk dalam kelompok rentan maka perlu
kita pelajari seksama bagaimana perlakuan dan perlindungan hukum terhadap anak yang
merupaka kelompok rentan.

3. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian diatas, sesuai dengan latar belakang dan maksud tujuan pembuatan makalah ini maka
dapat ditarik permasalah sebagai berikut:

1. Bagaimana posisi anak sebagai kelompok rentan


2. Bagaimana anak sebagai korban kejahatan
3. Bagaimana perlindungan terhadap anak sebagai kelompok rentan
Dengan rumusan permasalahan yang akan dijelaskan dalam bab selanjutnya diharapkan dapat
menambah pemahaman kita tentang pentingnya perlindungan anak sebagai kelompok rentan.
BAB II

ISI

1. ANAK SEBAGAI KELOMPOK RENTAN

Anak-anak adalah masa depan bangsa dan Negara, mereka yang memegang peran sangat
penting bagi masyarkat dimasa mendatang. Mereka yang kelak akan menjadi pemimpin-
pemimpin Indonesia. Namun demikian anak-anak juga merupakan salah satu kelompok rentan
dalam setiap masyarakat. Anak-anak dalam konteks pembinaan, juga memegang perannan
penting, dengan membina hubungan baik dengan mereka. Turut serta serta dalam berbagai
proyek olahraga di sekolah adalah contoh pembinaan terhadap mereka. Dalam konvensi PBB
mengenai hak-hak anak (PBB 16 Juni 1995) menjabarkan defenisi seorang anak, yaitu “setiap
manusia berusia dibawah 18 tahun”.

Memperlakukan anak dengan tulus dan sungguh-sungguh adalah salah satu aspek penting
dalam menghormati hak-hak merena sebagai manusia. Untuk itu kita haru bersikap kepada
meraka seperti bersikap sabar, berusaha menimbulkan kepercayaan kepada mereka,
memperhatikan bahwa anak-anak terutama yang masih kecil atau anak-anak yang tidak tahu apa-
apa tidak dapat langsung mengerti bahwa telah menjadi korban kekerasan atau korban
eksploitasi, tanggap terhadap tanda-tanda adanya penyiksaan dan eksploitasi. Sebagai kelompok
rentan anak-anak memerlukan perlakuan khusus, perlindungan  dan perlindungan dari perlakuan
kasar.

Setiap anak berhak diperlakukan dengan wajar dan sesuai martabat mereka sebagai
manusia. Petugas polisi yang menangani anak yang menjadi korban tindakan kejahatan harus
lebih bersikap penu kasih sayang dibandingkan ketika mereka menangani korban yang sudah
dewasa. Anak yang melakukan kejahatan juga harus diperlakukan khusus. Perlaakuan yang tidak
sama dengan yang diberikan terhadaporang dewasa yang melakukan kejahatan. Selain alasan di
atas perlu disadari semua bahwa negara telah memberikan perlindungan hokum kepada anak
dicantumkan dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sebagai tanggungjawab bersama adalah mengupayakan penegakan UU tersebut baik
secara preventif maupun represif. Upaya preventif dari penegakan ini UU ini dapat dilakukan
dengan membangun komunikasi yang interaktif. Bahwa komunikasi (interaksi) merupakan suatu
tindakan yang berperan penting untuk memperoleh pemahaman yang tidak mengejar pada
keberhasilan tujuan individual melainkan pada situasi bersama. Sehubungan dengan itu penulis
beranggapan bahwa tindakan komunikatif kepada masyarakat tentang UU Perlindungan Anak
perlu dilakukan untuk dapat diwujudkan usaha – usaha perlindungan anak oleh orang tua,
masyarakat, dan pemerintah.

2. ANAK SEBAGAI KORBAN KEJAHATAN

Aparat penegak hukum seharusnya memberikan perlindungan da perhatian khusus bagi


anak-anak yang menjadi korban kejahatan. Semua anak harus diperlakukandengan adil dan
dihargai martabatnya tanpa memandang status dan latar belakang sosialnya. Anak miskin yang
menjadi korban kekerasan harus mendapat perlakuan sama dengan yang didapat anak orang
kaya. Secara keseluruhan anak-anak harus dilindungi dari eksploitasi dan
penyalahgunaa/pelecehan seksual.   18 tahun”. di samping juga perlu diingat bahwa dalam suatu
aturan hukum berlaku asas fictie hokum, anggapan bahwa setiap orang tahu hukum, sehingga
tidak ada alasan bagi seseorang jika melanggar ketentuan hukum untuk bebas dari sanksi yang
telah ditetapkan hanya karena tidak mengetahui adanya aturan tentang perlindungan anak (UU
no 23 thn 2002). memaparkan poin – poin penting yang diatur dalam UU Perlindungan Anak,
antara lain: Perlindungan Hukum.

1. Batasan Anak;

2. Kewajiban Orang Tua terhadap Anak;

3. Kewajiban Masyarakat terhadap Anak;

4. Kewajiban Pemerintah terhadap Anak;

5. Hak – hak yang harus diperoleh Anak.


Substansi dari UU. No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak Batasan tentang anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
(Pasal I UU. Perlindungan Anak). Termasuk pula diberikan tujuan dari UU tersebut UU ini
bertujuan untuk mewujudkan dan menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik dari
aspek fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

Tujuan ini berkonsekwensi pada orang tua, keluarga, masyarakat, dan Negara yang dalam
upaya perwujudannya harus mendasarkan pada asas – asas: (UU. Perlindungan Anak).

1. nondiskriminasi;

2. kepentingan yang terbaik bagi anak;

3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan;

4. penghargaan terhadap pendapat anak.

Selain itu diberikan pula pengertian tentang apa yang dimaksud dengan tindak kekerasan
terhadap anak dan bagaimana sanksinya. Tindak kekerasan kepada anak adalah perbuatan yang
bertentangan dengan hukum dan dapat dipidana. Tindak kekerasan adalah perbuatan yang
mengakibatkan kesengsaraan, penderitaan baik secara fisik, psikhis, dan sesual serta ekonomi.
Sanksi terhadap tindakan tersebut berupa pidana penjara yang ketentuan berapa lamanya pidana
penjara tersebut telah ditentukan dalam setiap bentuk tindak bertindak sewenang – wenang
terhadap anak dan tidak memberikan anak kebebasan bermain melanggar hukum”. Masyarakat
pada awalnya tidak mengetahui akan keberadaan UU. No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan
Anak, sehingga mereka tidak sadar bahwa tindakan yang dilakukan terhadap anak sebenarnya
tidak diperbolehkan oleh hukum. Masyarakat setelah mengikuti dialog menjadi tahu dan paham
akan kewajibannya sebagai orang tua, anggota masyarakat terhadap anak, di samping juga
mereka menjadi paham akan perilaku – perilaku yang dianggap sebagai tindak kekerasan
terhadap anak dan dapat dikenai sanksi oleh UU tersebut.

Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak yang masih sering terjadi, tercermin dari
masih adanya anak-anak yang mengalami  abuse, kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Hal
yang menarik perhatian untuk dibahas di dalam makalah ini adalah pelanggaran Hak Asasi yang
menyangkut masalah Pekerja Anak, Perdagangan Anak untuk tujuan pekerja seks komersial, dan
anak jalanan. Masalah pekerja anak merupakan isu sosial yang sukar dipecahkan dan cukup
memprihatinkan karena terkait dengan aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Jumlah
anak umur antara 10 sampai 14 tahun sebanyak 20,86 juta jiwa, termasuk anak yang sedang
bekerja dan yang mencari pekerjaan sebesar 1,69 juta jiwa. Pada dekade terakhir, anak umur
antara 10 sampai 14 tahun yang bekerja telah mengalami penurunan, namun pada tahun 1998-
1999 mengalami peningkatan dibandingkan 4 tahun sebelumnya, sebagai konsekuensi dari krisis
multidimensional yang menimpa Indonesia. Lapangan pekerjaan yang melibatkan anak, antara
lain, dibidang pertanian mencapai 72,01 %, industri manufaktur sebesar 11,62%, dan jasa
sebesar 16,37%. Pemetaan masalah anak mengindikasikan jumlah anak yang dilacurkan
diperkirakan mencapai sekitar 30% dari total prostitusi, yakni sekitar 40.000 – 70.000 orang atau
bahkan lebih (anak adalah berumur dibawah 18 tahun) memperkirakan jumlah anak yang
dilacurkan dan berada di komplek pelacuran, panti pijat, dan lain-lain sekitar 21.000 orang.
Angka tersebut bisa mencapai 5 sampai 10 kali lebih besar jika ditambah pelacur anak yang
mangkal di jalan, cafe, plaza, bar, restoran dan hotel mengindikasikan ketika orang tua
memperdagangkan anaknya, biasanya didukung oleh peran tokoh formal dan informal setempat
misalnya untuk mendapat KTP atau memalsukan umur anak. Fenomena sosial anak jalanan
terutama terlihat nyata di kota-kota besar terutama setelah dipicu krisis ekonomi di Indonesia
sejak lima tahun terakhir.

Hasil kajian Departemen Sosial tahun 1998 di 12 kota besar melaporkan bahwa jumlah
anak jalanan sebanyak 39.861 orang dan sekitar 48% rnerupakan anak-anak yang baru turun ke
jalan sejak tahun 1998. Secara nasional diperkirakan terdapat sebanyak 60.000 sampai 75.000
anak jalanan. Depsos mencatat bahwa 60% anak jalanan telah putus sekolah (drop out) dan 80%
masih ada hubungan dengan keluarganya, serta sebanyak 18% adalah anak jalanan perempuan
yang beresiko tinggi terhadap kekerasan seksual, perkosaan, kehamilan di luar nikah dan
terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) serta HIV/AIDS. Umumnya anak jalanan hampir
tidak mempunyai akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan perlindungan.
Keberadaan mereka cenderung ditolak oleh masyarakat dan sering mengalami penggarukan
(sweeping) oleh pemerintah kota setempat.

3. PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK SEBAGAI KELOMPOK RENTAN


Anak yang karena umumya secara fisik dan mental lemaht polos, dan rentan sering
ditempatkan pada posisi yang kalah dan hanya diperlukan sebagai obyek. Inisiatif, ide, keinginan
dan kemauan anak sering tidak diakui, apa yang baik menurut orang tua adalah terbaik untuk
anak akibatnya kreatifitasnya berkurang. Sebagian masyarakat memandang bahwa anak adalah
aset ekonomi, banyak anak banyak rezeki. Pandangan ini ternyata telah mendorong sikap orang
tua memberlakukan anak-anaknya sebagai aset ekonomi sehingga anak dipekerjakan untuk
menambah penghasilan keluarga.

Sesungguhnya masalah anak akan selesai jika masing-masing orang tua


bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Bangsa Indonesia sudah selayaknya
memberikan perhatian terhadap perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar 1945
pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa ‘Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi’. Disisi lain,
perlindungan terhadap keberadaan anak ditegaskan secara eksplisit dalam 15 pasal yang
mengatur hak-hak anak sesuai Pasal 52 – Pasal 66 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. Dalam
hubungan ini, Pemerintah melalui Keppres No.88 tahun 2000 telah menetapkan Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Trafiking Perempuan dan Anak serta menetapkan Gugusan Tugas untuk
memerangi dan menghapus kejahatan trafiking. Bidang garapan yang diimplementasikan
mencakup perlindungan dengan mewujudkan norma hukum terhadap pelaku traflking,
rehabilitasi din reintegrasi sosial bagi korban trafiking serta kerja sama dan koordinasi dalam
penanggulangan trafiking.

a. Produk hukum yang paling menonjol dalam upaya perlindungan terhadap anak
yang belum tersosialisasi dengan baik adalah adanya 5 (lima) UU yang mengatur
tentang anak, yaitu : UU No.4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak;
b. UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak;
c. UU No.20 tahun 1999 tentang pengesahan Konvensi ILO No.138 mengenai usia
minimum untuk diperbolehkan bekerja;
d. UU No.1 tahun 2000 tentang pengesahan Konvensi ILO No.182 mengenai
Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak;
e. UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; disamping Undang-undang
tersebut terdapat Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang Ratifikasi
Konvensi Hak Anak tahun 1986.

Dari kelima UU tersebut secara umum dapat dikatakan, bahwa secara kuantitatif sudah
cukup banyak Peraturan perundangan yang memberikan Perlindungan kepada anak yang sejalan
dengan UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. Secara kuantitatif keberadaan Undang-undang
yang memberikan Perlindungan kepada anak sudah cukup banyak, tetapi dalam implementasi
Peraturan Perundang-undangan tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.

Hal ini disebabkan antara lain:

 Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang didasarkan pada UU


No.23/2002 tentang Perlindungan Anak masih belum terwujud;
 Upaya penegakan hukum (Law Enforcement) masih mengalami kesulitan;
 Harmonisasi berbagai UU yang memberikan perlindungan kepada anak dihadapkan pada
berbagai hambatan; dan
 Sosialisasi Peraturan perundang-undangan kepada masyarakat belum sepenuhnya dapat
dilakukan dengan baik.
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Melihat berbagai perangkat peraturan perundang-undangan diatas sebenarnya sudah


cukup memadai untuk menyelesaikan persoalan. Pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap
anak, kelompok perempuan rentan, penyandang cacat dan kelompok minoritas belum
sepenuhnya tertangani dengan baik. Hal ini disebabkan anatara lain penegakan hukum dan
implementasi atas perangkat hukum yang masih ada belum maksimal disamping penyebarluasan
informasi (sosialisasi) terhadap perangkat perundangan tersebut belum dilakukan ke seluruh
lapisan masyarakat. Kelemahan penegakan hukum dapat disebabkan karena peraturan
perundangundangan kurang responsif dan aspiratif terhadap kebutuhan perlindungan dan
pemenuhan HAM.

Hal ini merupakan akibat kurangnya penelitian yang seksama sebelum disusun suatu
rancangan peraturan perundang-undangan. Berbagai bukti empiris menunjukan bahwa masih
dijumpai keadaan dari kelompok rentan yang belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
Upaya perlindungan guna mencapai pemenuhan hak kelompok rentan telah banyak dilakukan
Pemerintah bersama masyarakat, namun masih dihadapkan pada beberapa kendala yang antara
lain berupa: kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi
dengan baik, dan kemiskinan yang masih dialami masyarakat.

Anak Anak memiliki posisi dan peran sosial penting sebagai bagian dari anggota
masyarakat. Masalah anak yang berkembang di masyarakat masih dianggap menjadi
tanggungjawab orang tua, karena anak tidak berdaya, lemah, dan polos. Anak hampir selalu
menjadi pihak yang dirugikan. Namun. di lain pihak ada pandangan positif dari masyarakat yang
menunjukkan bahwa anak adalah penerus keturunan yang dapat mengangkat status sosial dan
ekonomi orang tua. Sehingga orang tua berusaha memenuhi kebutuhan anak. Walaupun anak
semula dipandang sebagai beban ekonomi, tetapi karena keberhasilan anak akan mengangkat
derajat orang tua, maka orang tua akan mengusahakan apa saja agar masa depan anak lebih baik
dari mereka. Akibatnya ketergantungan anak terhadap orang tua tinggi yang mengakibatkan
kemandirian anak berkurang. Sedangkan pandangan negatif masyarakat menunjukan bahwa anak
adalah seorang yang dapat dijadikan sarana mencari nafkah. Akibatnya anak dipaksa bekerja dan
tidak dapat sekolah, menjadi anak jalanant, terlantar dan tidak dapat tumbuh wajar.

2. SARAN

Perlu dibangun kesadaran hukum masyarakat terhadap perlindungan anak mengingat anak adalah
aset bangsa yang sangat tinggi nilainya, dengan Perlindungan Hukum instansi pemerintah yang
berwenang dengan meningkatkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan guna
meningkatkan pemenuhan dan perlindungan HAM bagi kelompok rentan. Dipandang mendesak
untuk melakukan harmonisasi peraturan perundangundangan yang menyangkut hak-hak
kelompok rentan dengan mengakomodasikan perspektif HAM dalam peraturan perundang-
undangan. Perlu peningkatan penyuluhan hukum dan HAM kepada aparatur pemerintah yang
menangani masalah kelompok rentan dan kelompok-kelompok strategis lainnya, seperti pemuka
masyarakat, tokoh-tokoh agama dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Disarankan agar
suatu peraturan perundang-undangan lahir dari proses penelitian aspirasi, kondisi dan kebutuhan
yang ada dan berkembang dalam masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai