MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perlindungan Anak
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia salah satu masalah besar yang marak diperbincangkan adalah tindak
kriminal terhadap anak. Mulai dari kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan bentuk
tindakan kriminal lainnya yang berpengaruh negatif bagi kejiwaan anak.
Seharusnya seorang anak diberi pendidikan yang tinggi, serta didukung dengan kasih
sayang keluarga agar jiwanya tidak terganggu.hal ini terjadi karena Banyak orangtua
menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan
adalah bagian dari mendisiplinkan anak.
Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam
mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan
mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak
belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Kekerasan terhadap anak dapat diartikan sebagai perilaku yang sengaja maupun tidak
sengaja yang ditujukan untuk mencederai atau merusak anak, baik berupa serangan fisik
maupun mental.
Dalam menyiapkan generasi penerus bangsa anak merupakan asset utama. Tumbuh
kembang anak sejak dini adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara.
Namun dalam proses tumbuh kembang anak banyak dipengaruhi oleh berbagai factor
baik biologis, psikis, sosial, ekonomi maupun kultural yang menyebabkan tidak
terpenuhinya hak – hak anak.
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi anak telah disahkan Undang - Undang
(UU) Perlindungan Anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002 yang bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak – hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas berakhlak mulia dan sejahtera.
Akibat kehilangan hak – haknya, banyak anak – anak menjalani hidup mereka sendiri.
Oleh karena tidak memiliki arah yang tepat, maka banyak pula anak - anak mulai
bersinggungan dengan hukum. Tindakan yang melawan hukum seperti pencurian,
perkelahian dan narkoba sangat sering dilakukan oleh anak. Hal ini terjadi karena mereka
sudah kehilangan hak-hak yang seharusnya mereka miliki.
2
Pasal 13 (1) Undang – undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
disebutkan setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain yang
bertanggung jawab atas pengasuhan.
Selanjutnya dalam Pasal 11 UU No. 23 tahun 2002 disebutkan pula bahwa setiap anak
berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya,
bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri. Anak adalah pemimpin masa depan siapapun yang berbicara tentang
masa yang akan datang, harus berbicara tentang anak-anak.
Menyiapkan Indonesia kedepan tidak cukup kalau hanya berbicara soal income per
kapita, pertumbuhan ekonomi, nilai investasi, atau indikator makro lainnya. Sesuatu yang
paling dasar adalah sejauh mana kondisi anak disiapkan oleh keluarga, masyarakat dan
negara. Anak – anak yang karena ketidakmampuan, ketergantungan dan ketidakmatangan
baik fisik mental maupun intelektualnya perlu mendapat perlindungan, perawatan dan
bimbingan dari orang tua (dewasa).
Perawatan, pengasuhan serta pendidikan anak merupakan kewajiban agama dan
kemanusiaan yang harus dilaksanakan mulai dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara.
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang senantiasa harus kita jaga karena
dalam dirinya melekat pula harkat, martabat dan hak – hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan anak adalah masa depan bangsa dan generasi
penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi.
Orangtua, keluarga dan masyarakat bertanggungjawab untuk menjaga dan
memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.
Demikian pula dalam rangka penyelenggaraaan perlindungan anak, negara dan
pemerintah juga bertanggungjawab untuk menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi
anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin
dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu adanya
peran masyarakat baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media
massa dan lembaga pendidikan.
3
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Sistem Perlindungan Anak Di Indonesia?
2. Apa saja Sistem Pemberian Pelayanan Kesejahteraan Perlindungan Anak di
Indonesia?
3. Apa saja kesejahteraan pengasuhan dan perlindungan anak ?
4. Apa pengertian pengasuhan Anak ?
5. Apa pengertian perlindungan Anak ?
6. Apa saja Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan, Pengasuhan dan
Perlindungan Anak ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Sistem Perlindungan Anak Di Indonesia
2. Mengetahui Kedudukan Anak Di Indonesia
3. Mengetahui Sistem Pemberian Pelayanan Kesejahteraan Perlindungan Anak di
Indonesia
4. Mengetahui kesejahteraan pengasuhan dan perlindungan anak
5. Mengetahui pengertian pengasuhan Anak
6. Mengetahui pengertian perlindungan Anak
7. Apa Standar Lembaga Pelayanan Pengasuhan Anak
8. Mengetahui Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan, Pengasuhan dan
Perlindungan Anak
9. Mengetahui Kebutuhan Balita
10. Mengetahui pengertian Anticipatory Guidence
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Anak
Anak dalam keluarga merupakan pembawa bahagia, karena anak
memberikan arti bagi orang tuanya. Arti di sini mengandung maksud
memberikan isi, nilai, kepuasan, kebanggaan, dan rasa penyempurnaan diri
yang disebabkan oleh keberhasilan orang tuanya yang telah memiliki
keturunan, yang akan melanjutkan semua cita-cita harapan dan eksistensi
hidupnya. Anak dikonotasikan sebagai manusia yang belum mencapai
kematangan fisik, kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan
mental.12
Kemudian dapat dipahami bahwa anak merupakan tunas, potensi, dan
generasi muda penerus cita – cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis
dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi
bangsa dan negara pada masa depan.13 Oleh karna itu melindungi anak
merupakan kewajiban semua orang.
b. Menurut Sugiri sebagai mana yang dikutip dalam buku karya Maidi
Gultom, “bahwa selama di tubuhnya masih berjalan proses
pertumbuhan dan perkembangan, anak itu masih menjadi anak dan
baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu
selesai, jadi batas umur anak-anak adalah sama dengan permulaan
menjadi dewasa, yaitu 18 (delapan belas) tahun untuk wanita dan 21
(dua puluh) tahun untuk laki-laki”.15
c. Menurut Hilman Hadikusuma dalam buku yang sama merumuskannya
dengan "Menarik batas antara sudah dewasa dengan belum dewasa,
tidak perlu di permasalahkan karena pada kenyataannya walaupun
orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan
hukum, misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual beli,
berdagang, dam sebagainya, walaupun ia belum berenang kawin”.16
Sedangkan beberapa para ahli juga memiliki berbagai pengertian
tentang anak, antara lain:
a. Menurut John Locke, anak merupakan pribadi yang masih bersih dan
peka terhadap rangsangan – rangsangan yang berasal dari lingkungan”;
7
Kosnan, “Anak-anak yaitu manusia muda dalam umur muda dalam jiwa dan
perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk keadaan sekitarnya”.17
8
hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi
dan/ atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga
lainya sesuai dengan ketentuan Undang- Undang ini.
9
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.21
c. Menurut Muktie A. Fadjar Perlindungan Hukum adalah penyempitan
dari arti Perlindungan, dalm hal ini hanya perlindungan oleh hukum
saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan
adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia
sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia
serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan
kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.22
d. Menurut Philiphus M. Hadjon, Perlindungan Hukum adalah
perlindungan akan harkat martabat, serta pengakuan terhadap hak asasi
manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan
hukum dari kesewenangan.
10
BAB III
OBJEK PENELITIAN
Baru-baru ini di media massa lagi buming menyorot tentang kasus-kasus yang terjadi
pada anak. Mulai dari kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh keluarganya,
pelecehan seksual, eksploitasi anak, dan lain-lainnya. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) mengakui banyak menerima pengaduan kasus kekerasan dan
pelecehan seksual terhadap anak-anak, hal ini berdasarkan data yang telah
dikumpulkan KPAI pada periode Januari hingga Maret 2014. Selama tiga bulan itu,
terdapat 379 kasus yang dilaporkan ke KPAI, yang salah satunya adalah kekarasan
seksual yang menimpa murid TK di Jakarta International School (JIS).
Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan
semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan melindungi anak
(caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku
kekerasan disini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka umumnya
merupakan orang terdekat disekitar anak. Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri,
kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang
kebun, dan seterusnya.
11
Berdasarkan pemikiran tersebut maka semua bentuk perhatian, pemeliharaan, dan
seluruh aspek yang dapat dikategorikan dan dijangkau oleh kata perlindungan anak
maka dapat dijadikan sebagai landasan yuridis. Sebelumnya perhatian terhadap hak
dan kewajiban anak hanya terfokus kepada para orang tua sebagai orang yang terdekat
dan yang paling bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak. Namun sejalan
dengan banyaknya perlakuan tidak baik dan tidak manusiawi terhadap anak, baik di
luar maupun di tengah-tengah keluarganya sendiri, maka negara dalam hal ini
pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak.
Perlindungan anak yang diberikan oleh negara harus dapat menjamin
terpenuhinya hak-hak anak secara optimal demi terwujudnya keadilan dan
kesejahteraan bagi anak. Namun perlindungan yang diberikan hendaknya sesuai dengan
asas dan prinsip dasar kemanusiaan serta norma-norma yang ada. Sehingga
perlindungan yang diberikan tidaklah melanggar hak-hak orang lain dan juga tidak
melanggar norma agama sebagai norma yang harus dijunjung tinggi kemurnian
ajarannya.
Selain didalam hukum positif, perlindungan anak juga dianjurkan juga dalam
ajaran Islam yang biasanya kita kenal dengan istilah hadlânah. Secara etimologi kata
hadlânah berasal dari bahasa Arab al-hadn, yang berarti "sisi" karena seorang
pengasuh mengambil anaknya kesisinya.4 Sedangkan menurut istilah hadlânah adalah
sebagai hak pengasuhan anak, baik laki- laki maupun perempuan yang masih kecil
maupun yang sudah besar tetapi belum tamyiz.5 Sebagaimana juga yang dikatakan oleh
ulama Mazhab Hanafi, yang dikutip oleh Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan yang
mengatakan bahwa "mengasuh, merawat, dan mendidik anak merupakan hak pengasuh
laki-laki maupun perempuan, akan tetapi lebih diutamakan pada pihak perempuan
Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan
(machtsaats) sebagaimana tertuang dalam bunyi UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) Negara
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka sudah menjadi suatu
kewajiban bahwa setiap penyelenggaraan negara dan pemerintahannya selalu
berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Maka negara hukum yang dimaksud
disini bukan hanya merupakan pengertian umum yang dapat dikaitkan dengan berbagai
konotasi. Bukan hanya rechstaat dan rule of law sebagaimana dipraktekkan di Barat,
namun juga nomokrasi Islam dan negara hukum Pancasila yang dipraktekkan di
Indonesia.
Sistem hukum yang digunakan di Indonesia masih berkiblat pada sistem hukum
12
Belanda yang menganut roman law system atau civil law yang cenderung pada aliran
positivisme.10 Di mana dalam aliran hukum positivisme dalam pengambilan kebijakan
hukum atau putusan hukum para penegak hukum selalu terbelenggu dalam teks bunyi
undang-undang. Sehingga produk hukum dalam aliran positivisme ini harus
dikodifikasikan guna memperoleh legislasi hukum itu sendiri.
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi dan ditaati oleh mayoritas
penduduk dan rakyat Indonesia. Adalah hukum yang telah hidup di dalam masyarakat,
yang sudah ada sejak abad ke-7 M yang ditandai dengan kedikjayaan kerajaan Samudra
Pasai di Aceh. Sehingga nilai-nilai hukum Islam selalu ada di dalam hukum nasional
dan merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangan hukum nasional Untuk
melakukan positivisasi hukum Islam ke dalam hukum nasional, maka norma-norma
hukum Islam harus dibuat oleh otoritas negara. Dimana dalam hal ini hukum diartikan
perintah penguasa, baik dalam bentuk ketetapan parlemen (lembaga legislatif dan
eksekutif) maupun keputusan lembaga yang memegang otoritas kehakiman
(lembaga yudikatif).12 Sebagaimana yang direncanakan Syahrur untuk menjadikan
fiqih bergerak ke arah positivisme, baik analitik maupun pragmatis.13
Sehingga hukum Islam ini (fiqih Islam) menjadi ketetapan-ketetapan hukum yang
diproduksi oleh para pemegang otoritas yang sah dari sebuah negara dengan tetap
mengindahkan hudud Allah. Di mana dalam hal ini juga, proses produksi hukum Islam
menjadi hukum nasional harus dilakukan secara demokratis, dalam arti melalui
mekanisme voting dan polling, atau paling tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
demokratis. Sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat diterima dan dilaksanakan
oleh masyarakat.
Berkembangnya wacana positivisasi hukum Islam, maka dilakukanlah upaya positivisasi
hukum Islam yang dilakukan oleh para pemegang kekuasan legislasi di Indonesia.
Menurut Maskuri Abdullah upaya positivisasi hukum Islam di Indonesia ini ada dua
bentuk, yaitu pertama, sebagai hukum formal yang dilegislasikan sebagai hukum positif
utuk umat Islam di Indonesia dan kedua, sebagai hukum normatif yang
diimplementasikan secara sadar oleh umat Islam. Bentuk yang pertama ini dilakukan
secara struktural dan bentuk yang kedua melalui pendekatan kultural.14 Untuk bentuk
pertama produk hukumnya seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
13
BAB IV
PEMBAHASAN
14
Sistem seperti menggunakan proses standar untuk mengumpulkan data, menggunakan
data tersebut untuk program-program desain, dan alamat keprihatinan perlindungan anak
dalam yang lebih luas sosial, ekonomi, konteks politik dan hukum.
Dalam konteks ini bahwa Columbia University dan Universitas Indonesia, bekerja
sama dengan UNICEF dan Departemen Perencanaan Bahasa Indonesia (BAPPENAS)
mendirikan Universitas berbasis “Center of Excellence”, Pusat tentang Perlindungan
Anak, yang akan berfungsi sebagai model dari akademisi, pemerintah dan keterlibatan
masyarakat sipil yang memberikan kontribusi untuk sistematisasi dan profesionalisasi
perlindungan anak di Indonesia melalui penelitian, analisis dan evaluasi.
15
Upaya untuk mengadopsi pendekatan ”membangun sistem” ini merupakan upaya
untuk mengkerangkakan kembali sebuah pendekatan pada anak yang membutuhkan atau
beresiko, memikirkan kembali bagaimana membangun strategi untuk perlindungan anak,
mendifinisikan apa itu persekutuan/kemitraan, bagaimana peran, tanggungjawab, serta
memprogramkan kembali intervensi dari masing masing stakeholder diperlindungan
anak.
Negara mengakui anak sebagai pemegang hak dan berhak atas perlindungan,
mempromosikan tanggungjawab dan akuntabilitas negara untuk kesejahteraan anak. Fokus
16
pada pencegahan kekerasan disumber masalahnya, pengembangan sistem kesejahteraan
yang dilaksanakan oleh negara yang komprehensif (bukan jejaring kerja/proyek),
menjangkau semua anak dan fokus pada keluarga dan masyarakat.
Kerja kerja berbasis sistem lebih teroganisir dan bersungguh sungguh, dapat
diprediksi, interaktif dan saling terkait satu sama lainnya.
17
Rangkaian dari layanan sosial perlindungan anak ditingkat masyarakat dimulai dari
pelayanan pencegahan primer, sekunder sampai layanan penanganan tersier,
Mediasi Keluarga ; Identifikasi dini; Dukungan keuangan ‘ Asuhan petirahan (Respite
care)
Meliputi kegiatan yang mengubah sikap dan perilaku, memperkuat ketrampilan orangtua
dan menyadarkan masyarakat tentang dampak yang tidak diinginkan dari kekerasan
terhadap anak.
Pencegahan sekunder atau layanan intervensi dini difokuskan pada keluarga dan anak anak
yang beresiko dilakukan dengan mengubah keadaan sebelum perilaku kekerasan
menimbulkan dampak buruk secara nyata terhadap anak anak misalnya melalui konseling
dan mediasi keluarga serta pemberdayaan ekonomi.
Intervensi tersier menangani situasi dimana anak sudah dalam keadaan krisis sebagai
akibat kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, penelantaran, atau tindakan-tindakan buruk
lainnya. Oleh karena itu, intervensi ini bertujuan untuk membebaskan anak-anak dari
dampak buruk atau, jika dianggap layak, melakukan pengawasan terstruktur dan
memberikan layanan dukungan. Mekanisme pencegahan dianggap lebih dibandingkan
tepat dibandingkan intervensi tersier atau reaktif.
Semua rangkaian sistem baik tertier, sekunder dan primer harus saling terhubungkan
dalam sebuah rangkaian kesatuan perlindungan bagi anak-anak.
18
hak anak yaitu “anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus
untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar”, dan tanggung jawab orangtua yaitu
bahwa “orangtua bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak”.
Pada tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA)
melalui Keppres 36/1990 pada tanggal 25 Agustus 1990 dimana substansi inti
dari KHA adalah adanya hak asasi yang dimiliki anak dan ada tanggung jawab
Negara-Pemerintah-Masyarakat-dan Orangtua untuk kepentingan terbaik bagi
anak agar meningkatnya efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak secara
optimal. Kemudian KHA dikuatkan dengan terbitnya Undang Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang Hak dan
Kewajiban Anak, serta kewajiban dan tanggug jawab negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orangtua.
Di samping itu juga diatur tentang kuasa asuh, perwalian, pengasuhan dan
pengangkatan anak, serta penyelenggaraan perlindungan.
19
program prioritas nasional yang meliputi PKSA Balita, PKSA Terlantar, PKS-Anak
Jalanan, PKS-Anak yang Berhadapan dengan Hukum, PKS-Anak Dengan
Kecacatan, dan PKS-Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus.
20
penanganan anak terlantar, anak jalanan, anak berhadapan dengan hukum lebih
banyak diserahkan ke lembaga atau panti sosial dimana di dalam penanganannya
orangtua atau keluarga pengganti kurang dilibatkan. Anak lebih banyak dicabut dari
lingkungan keluarga. Isu ini dipertegas dengan banyaknya jumlah panti asuhan.
Hasil penelitian Save the Children, Depsos RI dan Unicef, 2007,
“memperkirakan terdapat 5.250 hingga 8.610 panti asuhan seluruh Indonesia atau
terdapat 225.750 hingga 315.000 anak jika jumlah panti sebanyak 5.250 dan
370.230 hingga 516.600 anak jika jumlah panti 8.610”. Walaupun orangtua
mereka masih lengkap, karena faktor kemiskinan dan agar anak dapat terpenuhi
kebutuhan dasar serta memperoleh layanan sosial dasar (pendidikan dan
kesehatan) mereka memasukkan anaknya ke panti asuhan.
Pada tahun 2011 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia, dan
Bank Dunia telah melakukan kajian yang berfokus pada PKSA yaitu menganalisis
proses pelaksanaan program serta kontribusinya terhadap pengembangan
pendekatan perlindungan. Hasil kajian tersebut menunjukkan antara lain : “PKSA
memberikan manfaat yang sangat berharga kepada mereka yang membutuhkan,
meskipun pelaksanaan program tersebut masih memiliki banyak kekurangan”. Dari
hasil penelitian ini juga terungkap bahwa pelaksana PKSA belum memiliki data dasar
untuk mengukur keberhasilannya sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan yaitu:
a. Jumlah anak terlantar (termasuk anak balita), anak jalanan, anak- anak berhadapan
dengan hukum, anak-anak penyandang cacat, dan anak-anak yang membutuhkan
perlindungan khusus yang mampu mengakses layanan dasar meningkat.
b. Persentase orangtua atau keluarga yang bertanggung jawab dalam perawatan dan
perlindungan anak meningkat.
c. Jumlah anak yang mengalami masalah sosial menurun.
d. Jumlah lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan jasa perlindungan bagi
anak-anak meningkat.
e. Jumlah pelayanan yang diberikan LKSA (Lembaga Pelaksana PKSA) meningkat.
f. Jumlah pekerja sosial, tenaga kesejahteraan sosial dan relawan sosial di bidang
kesejahteraan sosial meningkat.
g. Jumlah kerangka hukum yang mengatur perawatan dan perlindungan anak
sebagai dasar hukum PKSA bertambah. Hasil penelitian ini mengharapkan
KEMENSOS dan BAPPENAS harus bekerja dengan lebih terstruktur untuk
21
mempromosikan integrasi perlindungan anak dalam kebijakan Negara di bidang sosial
ekonomi. Untuk itu diperlukan suatu pengkajian dan bukti yang dapat membantu
pengembangan sistem kesejahteraan, pengasuhan, dan perlindungan anak.
2.3 Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak
Kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak adalah tiga
konsep yang tidak terpisahkan dimana untuk mencapai
kesejahteraan, anak membutuhkan pengasuhan dan perlindungan.
Bab ini menguraikan tentang ketiga konsep tersebut dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya.
A. Kesejahteraan Anak
Sebagaimana diuraikan dalam Child and Family Services Review process, ada tiga
variabel kesejahteraan. Tiga variabel kesejahteraan dikonseptualisasikan dalam
kerangka berikut yaitu : Pertama, kesejahteraan dalam arti keluarga memiliki
peningkatan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Konsep ini
mencakup pertimbangan kebutuhan dan pelayanan kepada anak- anak, orangtua,
dan orangtua asuh serta keterlibatan anak-anak, remaja, dan keluarga dalam
perencanaan pemecahan masalah. Dalam hal ini kunjungan pekerja sosial dengan
anak-anak dan orangtua merupakan hal yang penting, karena hasil penelitian pada
52 negara bagian dan teritori telah menemukan hubungan yang kuat dan positif
yang signifikan secara statistik antara kunjungan petugas sosial dengan anak-anak
dan hasil keselamatan dan/kesejahteraan anak. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Biro Anak, ada nilai "kekuatan" untuk kunjungan petugas sosial dengan anak
yang berkaitan secara bermakna dengan nilai “pencapaian substansial” untuk
peringkat kelima dari tujuh hasil (www.acf.hhs.gov/program/ cb, diambil
September 28, 2004). Kedua, kesejahteraan dalam arti: anak-anak dan remaja
menerima layanan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka.
Ketiga, kesejahteraan dalam arti: anak-anak dan remaja menerima pelayanan yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kesehatan mental
mereka. (CHILD WELFARE, For The Twenty-First Century, 2005) Dalam
kenyataannya, yang pertama adalah yang paling umum dan paling luas cakupannya.
22
pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani,
maupun sosial.
23
jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Selain memiliki peranan, setiap keluarga juga memiliki sejumlah fungsi yang mesti
dilaksanakan. Menurut Zastrow (1999), beberapa fungsi keluarga, yaitu:
a. Replacement of the population. Replacement yang berarti adanya fungsi
regenerasi.
b. Care of the young, yang berarti pengasuhan dan perawatan, sampai anak
memasuki usia remaja. Dalam posisi seperti ini keluarga merupakan meta
24
institusi di dalam kehidupan anak.
c. Sosialization of new members, fungsi untuk mensosialisasikan nilai-nilai
budaya, norma, bahasa, dan lain-lain kepada anggota keluarga.
d. Regulation of Sosial behavior, fungsi pengaturan perilaku sosial. Kegagalan
pengaturan perilaku sosial akan menghasilkan ketidakcocokan dengan harapan
yang diinginkan.
e. Source of affection. Fungsi untuk memberikan kasih sayang, cinta yang tulus
kepada semua anggota keluarga. Bilamana hal ini mengalami kegagalan, maka
keluarga akan menjadi kurang harmonis.
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia menghadapi masalah serius terkait dengan hak dan kesejahteraan anak-
anak. Hampir setengah dari anak-anak Indonesia berusia antara 13 dan 18 tahun putus
sekolah; hampir tiga juta anak terlibat dalam perburuhan anak berpotensi berbahaya, dan
sekitar 2,5 juta anak Indonesia menjadi korban kekerasan setiap tahun. Lebih dari 80%
anak-anak sedang menjalani proses peradilan berakhir di belakang bar dan jumlah yang
lebih besar adalah tanpa bantuan hukum. Statistik ini menggarisbawahi kebutuhan untuk
mengintensifkan dan memperkuat upaya saat ini untuk meningkatkan perlindungan anak
di Indonesia. 2008 review dari Pemerintah Program Negara Indonesia dan UNICEF
Kerjasama menyoroti hubungan antara kebutuhan untuk meningkatkan perlindungan anak
dan pengembangan ekonomi nasional yang adil dan berkelanjutan.
3.2 Saran
Setelah menulis makalah ini, penulis menyarankan agar sistem perlindungan anak di
Indonesia harus ditingkatkan lagi, mengingat banyaknya resiko yang akan terjadi pada
anak-anak di Indonesia karena kesalahan penggunaan Sistem perlindungan anak di
Indonesia ini.
26
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan:
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS).
Buku-buku:
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI bekerjasama dengan Pusat Kajian
Perlindungan Anak Universitas Indonesia dan Bank Dunia. (2011). Membangun
Sistem Perlindungan Anak di Indonesia, Sebuah Kajian Pelaksanaan PKSA
Kementerian Sosial RI dan Kontribusinya terhadap Sistem Perlindungan Anak.
Hikmat, Hari. (2006). Pedoman Analisis Kebijakan Kesejahteraan Sosial, Pada Tgl 05
Maret 2008 Disampaikan dalam Kegiatan Finalisasi Pedoman Analsis
Kebijakan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.
Kementerian Sosial RI, Badan Pusat Statistik. (2012). Profil PMKS, Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial, INDONESIA 2011. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Sosial RI.
Mallon, Gerald P and Peg McCartt Hess. (2005). Child Welfare For The Twenty-First
Century. A Handbook of Practices, Policies, and Program. Columbia
University Press.
27