Anda di halaman 1dari 13

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Hak Asasi Anak Sebagai Tenaga Kerja Sektor Pertanian
1. Perlindungan Hukum Hak Asasi Anak

Anak sebagai sebuah pribadi yang sangat unik dan memiliki ciri yang khas.
Perkembangan anak dengan kemampuan dirinya melakukan sesuatu sangatlah
dipengaruhi oleh lingkungan dalam membentuk perilaku anak. Sehingga peran dari
orang tua, guru serta orang dewasa lainnya sangat dibutuhkan dalam membentuk
perilaku anak demi masa depan anak.

Salah satu bentuk perlindungan anak adalah dengan terwujudnya kepastian hukum
bagi anak. Perlindungan adalah pemberian jaminan atas keamanan, ketentraman,
kesejahteraan, dan kedamaian di masa sekarang, nanti dan akan datang, hakikat
perlindungan hukum terhadap anak bukan saja terletak pada instrumen hukumnya,
namun perangkat-perangkat lainnya seperti masyarakat, lingkungan, budaya dan
jaminan masa depan yang cerah.

Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak ke dalam status sosial
anak dalam kehidupan masyarakat,1 sebagai bentuk perlindungan terhadap
kepentingan kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Selama ini anak
hanya dipaksa menuruti kehendak orang tua tanpa diperhatikan kehendak anak. Oleh
karna itu perlindungan mutlak diperlukan. Proses perlindungan anak tersebut sebagai
proses edukasi terhadap ketidakpahaman dan kemampuan anak dalam melakukan
suatu tugas tugas sosial kemasyarakatan. Perlindungan hak asasi anak dapat diberikan
dengan cara sistematis, melalui serangkaian program, stimulasi, latihan, pendidikan,
bimbingan keagamaan, permainan dan dapat juga diberikan melalui bantuan hukum
yang dinamakan advokasi dan hukum perlindungan anak. Orang tua juga mempunyai
peranan yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak, mereka juga harus
mendapatkan pendidikan dan pelatihan bagaimana mendidik anak yang baik dan
menghargai hak hak anak.

Dari berbagai define perlindungan anak, penulis mendefiinisikan bahwa


perlindungan anak merupakan perlindungan anak yang terlepas dari kekerasan fisik
maupun mental, penyalahgunaan tanggungjawab dalam bentuk apapun (abuse), dan
eksploitasi. Dalam bentuknya yang paling sederhana, perlindungan anak
mengupayakan agar setiap hak sang anak tidak dirugikan. Perlindungan anak bersifat
melengkapi hak-hak lainnya yang secara sederhana menjamin bahwa anak- anak akan
menerima apa yang mereka butuhkan agar supaya mereka bertahan hidup,
berkembang dan tumbuh.

Perlindungan anak dilakukan sesuai dengan kebutuhannya sehingga tidak terkesan


berlebihan atau perlindungan terhadap anak dilakukan dengan memperhatikan
1
Maulana Hassan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, H. 36
dampak terhadap lingkungan dan anak itu sendiri, sehingganya perlindungan terhadap
anak dilakukan secara rasional bertanggungjawan dan bermanfaat yang dilakukan
secara efektif dan efisien. Sehingga, makna dari usaha perlindungan anak merupakan
usaha yang kreatif yang menjadikan anak dapat hidup mandiri, yakni anak memiliki
kemampuan dan kemauan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan
kewajibannya sebagai seorang anak.

Hakikat perlindungan anak sendiri dapat dibedakan menjadi dua bagian menurut
penulis, yang dimana kedua bagian tersebut merupakan unsur inti dalam perlindungan
anak. Adapun kedua bagian yang Penulis maksud adalah:

1. Perlindungan Anak Yang Bersifat Yuridis yaitu, perlindungan dalam hukum


publik dan perlindungan dalam hukum keperdataan.
2. Perlindungan anak yang bersifat Non Yuridis yaitu, perlindungan dalam
bidang sosial, kesehatan, dan pendidikan

Perlindungan anak dimaknai pula sebagai usaha untuk pencegahan, rehabilitasi


dan pemberdayaan terhadap anak, sehingga anak terlepas dari perlakuan salah (child
abused), ekspliotasi, dan penelantaran. Berbagai usaha tersebut tidak lain adalah sebagai
jaminan atas kelangsungan anak agar dapat hidup dan berkembang secara normal, baik
fisil, mental dan sosialnya.2 Perlindungan hak-hak anak sangat erat kaitannya dengan
pengaturan perundang-undangan sebagai jaminan kepastian dengan pertimbangan bahwa
anak merupakan golongan usia yang sangat rawan (dependet), dan hal lain pula bahwa
adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dan pertumbuhan
perkembangannya, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta pemerintahnya,
maka koordinasi kerja sama perlindungan anak perlu diadakan dalam rangka mencegah
ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan. Adapun dasar dari
pelaksanaan perlindungan anak adalah:

1. Dasar Filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga,
bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis pelaksanaan
perlindungan anak;
2. Dasar Etis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang
berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan,
kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak;
3. Dasar Yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada Undang-undang
Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu
menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang
berkaitan.

2
Media Advokasi & Penegakan Hak-Hak Anak, Tahun 1998, h.3
Perlindungan anak pada dasarnya dapat dilakukan secara langsung maupun
secara tidak langsung, yang dimaksud secara langsung ialah kegiatannya langsung
ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung.

Kegiatan seperti ini dapat berupa antara lain dengan cara melindungi anak dari
berbagai ancaman dari luar dan dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi
anak dengan berbagai cara, mencegah anak kelaparan dan mengusahakan
kesehatannya dengan berbagai cara, menyediakan sarana pengembangan diri, dan
sebagainya. Perlindungan anak secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak langsung
ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang melakukan atau terlibat dalam usaha
perlindungan anak. Usaha perlindungan demikian misalnya dilakukan oleh orang tua
atau yang terlibat dalam usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman
dari luar ataupun dari dalam diri anak, mereka yang bertugas mengasuh, membina,
mendampingi anak dengan berbagai cara, mereka yang terlibat mencegah anak
kelaparan, mengusahakan kesehatan, dan sebagainya dengan berbagai cara, mereka
yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak dan sebagainya.

Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah maupun negara. Pasal 20 Undang-undang Nomor 35 Tahun
2014 menentukan:
"Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang
Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
Perlindungan Anak."

Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat


sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan
kondisi tertentu. Setiap warga negara ikut bertanggung jawab terhadap
dilaksanakannya perlindungan anak demi kesejahteraan anak itu sendiri.

Koordinasi kerja sama kegiatan perlindungan anak perlu dilakukan dalam


rangka mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan.
Kewajiban dan tanggungjawab Negara dan Pemerintah dalam usaha perlindungan
anak diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 yaitu:
a) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan
bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik budaya
dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau
mental. (Pasal 21);
b) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan
bertanggung jawab memberikan dukungan sarana, prasarana, dan
ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan
Perlindungan Anak (Pasal 22);
c) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin perlindungan,
pemeliharaan kesejahteraan dan mengawasi penyelenggaraan
perlindungan Anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban Orang
Tua, Wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab
terhadap Anak. (Pasal 23);
d) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin Anak untuk
mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan
usia dan tingkat kecerdasan Anak (Pasal 24).
e) Kewajiban dan tanggung jawab Masyarakat terhadap Perlindungan
Anak melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati
Anak, dilaksanakan melalui kegiatan peran Masyarakat dalam
penyelenggaraan Perlindungan Anak. (Pasal 25).

Kewajiban dan tanggung-jawab keluarga dan orang tua dalam usaha


perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014
yaitu:

1. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:


a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;
b) Menumbuh kembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya;
c) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan
d) Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada
Anak.
2. Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu
sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban dan
tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada Keluarga,
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun upaya-upaya untuk melindungi anak tidak hanya mencerminkan


kepedulian dan semangat untuk memberikan pemeliharaan dan jaminan finansial
semata terhadap mereka tetapi juga karena adanya rasa "keadilan" dalam menyikapi
nasib anak-anak. Kepedulian saja tidak memberikan ikatan apapun - tetapi rasa
keadilan memberikan ikatan berupa kewajiban moral (moral obligation) untuk
memenuhi berbagai kebutuhan yang jika tidak diperoleh anak akan mengancam
kesejahteraan lahir-batin dan mengancam jiwa mereka.

2. Perlindungan Hukum Sebagai Tenaga Kerja Sektor Pertanian

Berbagai kebijakan dan peraturan yang diterapkan dan diberlakukan di


Indonesia harus benar-benar mencerminkan kondisi dan karakteristik negara. Pola dan
kondisi ini tentu menjadi dasar bagi setiap peraturan dan kebijakan untuk berlaku.
Inilah dasar yang disepakati bangsa Indonesia dan dituangkan dalam konstitusi NKRI
1945 dan Pancasila. Oleh sebab itu, semua kebijakan dan regulasi yang berlaku di
Indonesia perlu merujuk pada Konstitusi Negara Republik Indonesia 1945 dan nilai-
nilai Pancasila.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 merupakan dasar dan
landasan utama bagi negara untuk merumuskan kebijakan dan penyelenggaraan
pemerintahan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memiliki
peran penting dalam membangun suatu perlindungan hukum agar terciptanya tatanan
masyarakat yang adil, dan damai. Begitu pula dengan perlindungan bagi anak.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengemukakan
bahwa anak memiliki kedudukan yang integral dalam realitas kemanusiaan, serta
memiliki peran krusial dalam aspek kelangsungan pembangunan nasional dan
identitas bangsa. Dalam konstitusi Indonesia, pasal perlindungan anak yang diatur
dalam Pasal 28 B ayat (2), berbunyi :

“Negara menjamin hak setiap anak atas keberlangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Dari ketentuan yang disebutkan, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah


memiliki kewajiban untuk memelihara hak-hak seluruh individu anak yang dianggap
sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Ini meliputi hak atas kelangsungan hidup
dan hak untuk mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan dalam lingkungan
yang bebas dari ancaman kekerasan dan perlakuan yang tidak adil. Kewajiban Negara
terhadap warga yang berada dalam kondisi kurang mampu dan anak-anak yang tidak
mendapatkan perhatian memadai dijaga dan dilaksanakan oleh pemerintah. Prinsip ini
ditegaskan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945.

Keberadaan pekerja anak ini dilematis, satu sisi anak-anak bekerja untuk
memberikan konstribusi pendapatan keluarga, namun mereka rentan dengan
eksploitasi dan perlakuari salah. Pada kenyataannya, sulit untuk memisahkan antara
partisipasi anak, pembelajaran dengan eksploitasi anak. (Irwanto, dkk., 1995:3) Pen
didikan yang rendah dan kepribadian yang belum matang akan membuat mereka tidak
memiliki posisi tawar yang tinggi dalam dunia kerja atau lingkungan sosial.

UU Ketenagakerjaan memberikan perlindungan bagi pekerja anak usia 13 hingga


15 tahun, namun bagi anak usia 16 dan 17 tidak terdapat pengaturan yang jelas,
padahal jelas dikatakan yang dimaksud dengan anak sesuai ketentuan pasa l angka 26
UU ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: "Anak adalah setiap orang yang berumur
dibawa 18 (delapan belas) tahun." Dalam hal ini hak anak usia 16 dan 17 tahun tidak
dilindungi layaknya anak yang berusia 13 hingga 15 tahun."

KEPRES No 59 Tahun 2002 telah mengidentifikasi 13 jenis pekerjaan


terburuk untuk anak yakni Pekerja tani, misalnya di perkebunan sama sekali tidak
mendapatkan hak-hak sebagai pekerja. Mereka bekerja 7 jam sehari tanpa cuti.
Biasanya mereka dibayar berdasarkan banyaknya daun yang berhasil dipetik atau
getah yang disadap. Biasanya anak-anak tersebut dipekerjakan untuk membantu orang
tuanya memenuhi target harian, dan tidak terdaftar sebagai pekerja.

Jarang dilakukan pemeriksaan terhadap pekerja anak di perkebunan karena :


 Anak-anak di tempat kerja tersebut seringkali bersama keluarganya.

 Daerah perkebunan secara geografis cukup tersembunyi.

Pengaturan mengenai perlindungan bagi anak terutama bagi pekerja anak usia
16 dan 17 tahun merupakan kepentingan yang terbaik bagi anak karena banyak pada
usia tersebut anak yang bekerja dengan waktu bekerja yang disamakan dengan orang
dewasa namun mengenai upah lebih rendah dari yang seharusnya diterima maka dari
sini terjadi eksploitasi terhadap pekerja anak secara khusus pekerja anak dengan usia
16 dan 17 tahun tersebut, karena setiap anak memiliki hak untuk hidup, kelangsungan
hidup, dan perkembangan. Sanksi pidana bagi pelanggaran hak pekerja anak adalah
sebagai berikut:

1. Pasal 183 undang undang ketenagakerjaan menyatakan :


(1) barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 74, dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/ atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.

Ketentuan diatas menjelaskan bahwa terdapat sanksi pidana terhadap


pelanggaran pada pekerja anak mengenai larangan memberikan pekerjaan-
pekerjaan yang terburuk bagi semua anak yang akan dipekerjakan.

Tidak terdapat kepastian dan kemanfaatan hukum terhadap pengaturan hak


bagi pekerja anak usia 16 dan 17 tahun ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Jo .Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Ketidakpastian hukum terlihat dari pengertian anak menurut
pasal 1 angka 26 UU Ketenagakerjaan adalah seseorang yang belum berusia 18 t
ahun namun pengaturan mengenai perlindungan hak bagi pekerja anak usia 16 dan
17 tahun tidak ada pengaturan yang jelas karena pasal 69 UU Ketenagakerjaan
hanya melindungi pekerja anak usia 13 hingga 15 tahun , kemanfaatan hukum
dalam peraturan perundang-undangan tidak nampak dalam melindungi pekerja
anak usia 16 dan 17 tahun dari lingkungan eksploitatif. Mengenai keselamatan dan
batasan waktu bekerja bagi anak usia 16 dan 17 tahun tidak ada pengaturan yang
jelas padahal dalam UU Perlindungan Anak terdapat pengaturan bahwa setiap
anak berhak me ndapatkan pendidikan untuk pengembangan dirinya serta
keselamatan dirinya sesuai ketentuan pasal 8 hingga pasal 11 UU Perlindungan
Anak.
B. Status Anak Yang Bekerja Dalam Sektor Pertanian Perspektif Asas
Konstitusionalisme

1. Perlindungan Konstitusi

Kajian tentang hukum konstitusi semakin hari dianggap semakin penting bagi
kebanyakan negara di dunia, khususnya oleh negara-negara yang memiliki sistem
negara demokrasi konstitusional. Hal tersebut menjadi relevan mengingat konstitusi
adalah hukum tertinggi di dalam suatu negara. Oleh karena konstitusi merupakan
landasan fundamental terhadap segala bentuk hukum atau peraturan perundang-
undangan, maka sebagai prinsip yang berlaku secara universal, segala produk hukum
dan peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan
konstitusi.

Konstitusi kini juga dipahami bukan lagi sekedar suatu dokumen mati, tetapi
lebih dari itu, konstitusi telah menjelma dan berfungsi sebagai prinsip- prinsip dasar
dalam penyelenggaraan suatu negara yang harus selalu hidup mengikuti
perkembangan zamannya (the living constitution). Dilihat dari sudut kedudukannya,
konstitusi adalah kesepakatan umum (general consensus) atau persetujuan bersama
(common agreement) dari seluruh rakyat mengenai hal-hal dasar yang terkait dengan
prinsip dasar kehidupan dan penyelenggaraan Negara serta struktur organisasi suatu
negara.

Artinya, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi memiliki


makna penting dan konsekuensi besar untuk dilaksanakan dengan sungguh-sungguh
dan tanpa terkecuali, baik melalui beragam kebijakan maupun produk peraturan
perundangan-undangan. Dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap pekerja
anak, maka dapat ditarik relasi antar keduanya bahwa keberadaan norma atau
ketentuan tentang pekerja anak di dalam konstitusi akan sangat memiliki pengaruh
hukum yang signifikan.

Pertama, ketentuan tersebut akan berpengaruh terhadap pengembangan


kebijakan dalam rangka perlindungan nilai-nilai dan prinsip dasar pekerja anak pada
skala nasional dan regional. Kedua, konstitusionalisasi prinsip-prinsip pekerja anak
akan menciptakan yuridiksi atas hukum nasional yang berlaku di setiap tingkatan
wilayah pemerintahan, baik provinsi, kotamadya, maupun kabupaten. Dalam konteks
ini, peningkatan kapasitas dan komitmen hukum para penyelenggara negara akan
diwajibkan oleh konstitusi dalam upaya untuk mengelola fungsi-fungsi negara dalam
ranah perlindungan terhadap pekerja anak. Ketiga, isi konstitusi juga akan
memengaruhi hubungan yang akan terbentuk antara hukum ketenagakerjaan
substantif dan prosedural, serta sulit-tidaknya hukum ketenegakerjaan di tingkat
nasional diintegrasikan dan diharmonisasikan dengan norma-norma terkait pekerja
anak di tingkat internasional. Lebih dari itu, konstitusi yang memuat ketentuan
tentang pekerja anak juga akan menentukan arah dan batas lingkup mengenai hak atas
anak yang kemudian secara tidak langsung berpengaruh terhadap konsepsi
perlindungan terkait hak atas anak tersebut.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah Negara
yang menganut prinsip demokrasi (democracy) dan nomokrasi (nomocracy).
Keduanya disejajarkan secara seimbang untuk menutupi kelemahannya masing-
masing. Lebih spesifik lagi, Indonesia juga tengah menganut sistem demokrasi
konstitusional (constitutional democracy), di mana proses dan pelaksaaan prinsip-
prinsip demokrasi harus tunduk pada ketentuan norma yang dicantumkan dalam UUD
1945.

Walaupun tidak ada syarat mutlak bahwa sebuah konstitusi negara haruslah
menggunakan sistem demokrasi, akan tetapi menurut teori demokratik, antara
konstitusionalisme dan demokrasi sangatlah berkesesuaian. Sebab, adanya
kewenangan yang limitatif dari cabang-cabang kekuasaan negara akan memberikan
tempat penting terhadap tumbuhnya interaksi sosial dan pengambilan keputusan bagi
individu dan kelompok secara bebas. Oleh karenanya, sistem konstitusi yang
demikian akan sangat memberikan ruang luas bagi anak untuuk mendapatkan hak
haknya.

Dengan demikian, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di


dunia juga memiliki mandat konstitusi (constitutional mandate) untuk melindungi hak
hak anak. Bahkan hal tersebut sudah sepantasnya dijadikan komitmen dan
konsekuensi pokok bagi negara yang menganut gagasan negara kesejahteraan (welfare
state). Akan tetapi, seberapa jauh keberhasilan gerakan tersebut dan seberapa besar
efektivitas penyelesaian masalah pekerja anak akan sangat tergantung salah satunya
dari pengaturan konstitusionalisasi norma dan karakteristik institusionalnya,
sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.

2. Konstitusionalisasi norma perlindungan anak


1. Undang Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Setelah hampir lima belas tahun pasca perubahan terakhir UUD 1945 pada
tahun 1990, banyak pihak yang mulai menaruh perhatian atas kajian konstitusi yang
bersentuhan dengan permasalahan pekerja anak. Ketentuan hasil perubahan telah
membawa makna penting bagi tersedianya jaminan konstitusi terhadap hak hak
pekerja anak di Indonesia. Pasal 68 sampai dengan Pasal 75 Undang Undang No.13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan merupakan ketentuan kunci tentang diaturnya
norma mengenai pekerja anak di dalam Konstitusi Indonesia.

Ketentuan Pasal 68 sampai dengan pasal 75 menentukan bawah pengusaha


dilarang mempekerjakan anak. Perlindungan Anak, secara substansial dan prinsipil
juga mengandung konsep perlindungan hukum terhadap anak secara utuh yang
bertujuan untuk menciptakan atau mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak. Dari
hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya sektoral pemerintah yang
sudah di upayakan, masih terlihat lemah dalam implementasi karena masyarakat
belum sepenuhnya memahami dan menjalankan ketentuan yang berlaku dalam hal
pekerja anak. Perhatian pemerintah terhadap pekerja anak sudah cukup memadai,
meskipun belum adanya payung hukum yang secara khusus mengatur mengenai
masalah pekerja anak dalam sebuah pengaturan perundang-undangan secara
tersendiri, akan tetapi adanya pengaturan dalam Undang-Undang tentang Anak yang
mengacu pada Konvensi Anak Internasional sudah menunjukkan upaya positif dari
pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak.

Dari penjelasan di atas, maka tampak jelas bahwa terdapat pertalian antara
norma “hak anak” dan “pekerja anak”. Segala strategi dan kebijakan yang berkaitan
dengan pekerja anak memerlukan tafsir konstitusi secara khusus ketika aktor-aktor
negara ingin melaksanakan aktivitas perekonomian. Hal tersebut harus dipahami
semata-mata untuk mencegah terjadinya dampak negatif yang lebih besar terhadap
kesehatan dan tumbuh kembang anak.

2. Konvensi ILO

Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang telah meratifikasi Konvensi


pokok ILO, termasuk Konvensi Pekerja Anak: Konvensi Usia Minimum No. 138 dan
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak No. 182.

Dua Konvensi ILO mengenai pekerja anak adalah Konvensi No.138 tentang
Usia Minimum dan Konvensi No. 182 tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak. Konvensi-konvensi ini merupakan Konvensi yang “mendasar”. Artinya,
berdasarkan Deklarasi ILO tentang Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar di Tempat
Kerja , seluruh Negara anggota ILO mempunyai kewajiban untuk menghormati,
mendorong dan mewujudkan penghapusan pekerja anak, meskipun mereka belum
meratifikasi Konvensi tersebut.
Konvensi ILO No. 182 merupakan Konvensi ILO pertama yang mencapai
ratifikasi universal. Konvensi ini juga merupakan Konvensi yang paling cepat
diratifikasi dalam sejarah ILO, dengan mayoritas ratifikasi terjadi dalam 3 tahun
pertama setelah diadopsi pada tahun 1999. Konvensi ILO No. 138 juga telah
diratifikasi secara luas oleh negara-negara anggota ILO.
Mayoritas negara kini telah mengadopsi undang-undang yang melarang atau
menerapkan pembatasan ketat terhadap pekerjaan dan pekerjaan bagi anak-anak, yang
sebagian besar dilakukan setelah ratifikasi Konvensi pekerja anak. Terlepas dari
upaya-upaya ini, pekerja anak masih terus terjadi dalam skala besar, terkadang dalam
kondisi yang memprihatinkan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini
karena pekerja anak merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Ia tidak bisa
dihilangkan hanya dengan goresan pena.
Meskipun demikian, dasar dari tindakan yang tegas dan terpadu ini haruslah
berupa peraturan perundang-undangan yang menetapkan penghapusan total pekerja
anak sebagai tujuan akhir kebijakan, dan menerapkan langkah-langkah untuk
mencapai tujuan tersebut, dan yang secara eksplisit mengidentifikasi dan melarang
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. dihilangkan sebagai prioritas.
3. Undang Undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang tentang perlindungan anak ini di tetapkan pada tahun 2002,
empat belas tahun setelah Indonesia menyatakan meratifikasi konvensi hak anak.
Lamanya rentang waktu ini terlihat kurang seriusnya pemerintah untuk benar-benar
melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak. Pasal 3 menyebutkan bahwa
Perlindungan anak bertujuan anak untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak anak
agar dapat hidup tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,
demi terwujudnya anak Indonesia yang berkulitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan
komprehensif, undang-undang perlindungan anak ini meletakkan kewajiban
memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu :
1. Asas dan prinsip Non diskriminasi;
Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak
Anakharus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip
ini ada dalam pasal 2 ayat (1) :" Negara negara pihak menghormati dan
menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang
berada di wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun,
tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan
politik, atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau
sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik
dari anak itu sendiri atau dari orang tua wali yang sah." Ayat (2)" Negara
negara pihak akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar
anak dilindungi dari semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak
dilindungi dari semua diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status,
kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak,
walinya yang sah atau keluarganya."
2. Asas dan prinsip Kepentingan yang terbaik bagi anak (Best Interst Of The
Child);
Prinsip ini tercantum dalam pasal 3 ayat (1) berbunyi "dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan lembaga-lembaga
kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga, peradilan, lembaga
pemerintah atau badan legislative, maka kepentingan yang terbaik bagi anak
harus menjadi pertimbangan utama." Prinsip ini mengingatkan kepada semua
penyelenggaraan perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam
pengambilan keputusan apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa.
Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran
kepentingan anak. Boleh jadi maksud dan tujuan orang dewasa memberikan
bantuan dan menolong, akan tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah
penghancuran masa depan si anak.
3. Asas dan prinsip Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan (The Right To Life,Survival, And Develpment);
Prinsip ini tercantum dalam pasal 6 KHA ayat (1), berbunyi "negara-
negara pihak mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas
kehidupan" Ayat (2): "Negara-negara pihak akan menjamin sampai batas
maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak ." Pesan dari prinsip
ini sangat jelas bahwa Negara harus memastikan setiap anak akan terjamin
kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam
dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang peroangan. Untuk menjamin
hak hidup tersebut berarti negara harus menyediakan lingkungan yang
kondusif, sarana, dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak
untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar.
4. Asas dan pinsip Penghargaan terhadap pendapat anak (Respect For The
Views Of The Child);
Prinsp ini ada dalam pasal 12 ayat (1) KHA, Berbunyi : "Negara -negara
pihak akan menjamin anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri memperoleh
hak menyatakan pandangan-pandangan secara bebas dalam semua hal yang
mempengaruhi anak, dan pndangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat
usia dan kematangan." Prinsip ini menegaskan bahwa anak memiliki otonomi
kepribadian. Oleh karena itu, dia tidak biasa hanya dipandang dalam posisi yang
lemah, menerima, dan pasif tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang
memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu
sama dengan orang dewasa.
BAB V

PENUTUP
 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak belum mencerminkan memberikan perlindungan hak pekerja anak
dikarenakan belum mengatur ketentuan-ketentuan terkait pekerja anak. Pemerintah
Indonesia perlu segera merevisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak yang mengatur ketentuan-ketentuan pekerja anak seperti
memberikan definisi pekerja anak, menentukan umur minimum atau umur-umur
minimum untuk ijin bekerja, menetapkan peraturan- peraturan yang tepat mengenai
jam-jam kerja bagi pekerja anak dan syarat-syarat bekerja bagi pekerja anak,
menentukan jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan bagi pekerja anak dan jenis-
jenis pekerjaan yang diperbolehkan bagi pekerja anak.
 Tidak ada aturan yang mengatur secara rinci terkait umur pekerja anak rentang 16-17
Tahun

Anda mungkin juga menyukai