Anda di halaman 1dari 17

HUKUM PIDANA PERLINDUNGAN ANAK

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN DAN

ANAK SAKSI

OLEH

KHAERAN NUR MIFTAHUL JANNA

B11115565

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai banyak arti.

Anak mengandung arti keturunan yang kedua. Pengertian anak tersebut masih

bersifat umum (netral) dan pengertiannya akan berbeda jika ditinjau dari aspek

sosiologis, psikologis maupun yuridis. Secara yuridis misalnya, pada banyak

peraturan perundang-undangan, istilah anak berkonotasi pada usia manusia. Anak

diartikan sebagai kelompok umur tertentu dari manusia.1

Perlindungan terhadap anak merupakan tanggung jawab orang tua,

keluarga, maupun masyarakat sekitarnya. Perlindungan yang diberikan pada anak

merupakan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak anak untuk dapat

hidup, tumbuh, berkembang dan juga dapat bersosialisasi di lingkungan

sekitarnya. Anak merupakan anugerah sekaligus amanah dari Tuhan Yang Maha

Esa yang seharusnya kita jaga dan lindungi. 2 Kejahatan atau tindak pidana pada

dasarnya dapat terjadi pada siapapun dan dapat juga dilakukan oleh siapapun baik

itu pria, wanita maupun anak-anak. Anak sangat rentan atau rawan menjadi

korban tindak pidana kekerasan fisik yang mana anak merupakan manusia yang

sangat lemah dan masih membutuhkan perlindungan dari orang dewasa yang ada

di sekitarnya.Anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan suatu bangsa.3

1
Purwadarminta, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 29.
2
Valeria Rezha Pahlevi, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Tindak
Pidana”, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2016, hlm. 1
3
Abu Huraerah, M.Si, 2012, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung, Penerbit Nuansa Cendekia,
hlm. 21.

1
Kekerasan fisik terhadap anak yang terjadi memang sangat

memperihatinkan. Anak yang mengalami kekerasan fisik perlu perhatian secara

serius, mengingat akibat dari kekerasan fisik terhadap anak akan menyebabkan

anak mengalami trauma yang berkepanjangan. Trauma yang dialami oleh anak

akan membahayakan perkembangan jiwa sehingga anak tidak dapat tumbuh dan

berkembang secara wajar. Anak bukanlah obyek (sasaran) untuk tindakan

kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari siapapun atau

pihak manapun itu.4

Kompleksitas masalah anak bersinggungan dengan struktur dan sistem

yang berkembang, yang berjalan dan ditetapkan dalam suatu institusi, pemerintah

bahkan negara. Dinamika yang berjalan dalam satu institusi, pemerintah atau

negara akan menentukan bentuk dan karakteristik permasalahan anak. Oleh

karena itu, masalah anak mencakup beberapa hal, yaitu:5

a. Visi mengenai pembangunan yang berpihak kepada kepentingan anak dan

yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak yang terintegrasi ke

dalam sistem dan model pembangunan.

b. Sistem hukum perlindungan anak belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam

norma hukum positif dan penegakan hukum anak belum maksimal.

c. Realitas anak-anak yang berada dalam situasi sulit seperti pekerja anak,

anak jalanan, anak korban kekerasan, penyalahgunaan anak, pelacuran

anak, dan sejumlah masalah anak-anak lainnya memerlukan intervensi

4
Abu Huraerah, Op. Cit., hlm. 30.
5
Muhammad Joni dan Tanamas Zulchaina Z, 2004, Konsep Perlindungan Hak Asasi Anak dalam
Tata Hukum Indonesia, Gramedia, Pustaka Utama, hlm. 23.

2
khusus, karena semakin nyata ditemukan dalam masyarakat dan negara

Indonesia.

Pasal 1 ayat (2) Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak berisi ketentuan bahwa: Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk

menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Permasalahan yang dialami oleh anak sangat dramatis dan memilukan, karena

dialami oleh anak yang kemampuan fisik dan mental masih sangat terbatas untuk

melindungi dirinya dari berbagai resiko dan bahaya yang dihadapinya.Anak masih

bergantung pada orang dewasa yang ada disekitarnya untuk melindungi

mereka.Berbagai upaya telah dilakukan, namun disadari sepenuhnya bahwa di

dalam masyarakat masih banyak anak yang memerlukan upaya perlindungan

khusus.6Kenyataan di dalam masyarakat masih banyak anak yang menjadi korban

kekerasan fisik.

Dewasa ini anak bukan hanya sebagai korban maupun pelaku dalam tindak

pidana, namun anak seringkali menjadi saksi dalam perkara pidana. Anak sebagai

saksi kerap mendapatkan tekanan mental dan jiwa atas peristiwa yang dialaminya,

hal ini dikarenakan kondisi anak yang memang masih dalam keadaan tidak stabil.7

6
Sholeh Soeaidy, S.H dan Zulkhair, Drs, 2001, Dasar Hukum Perlindungan Anak, CV. Noviando
Pustaka Mandiri, Jakarta, hlm. 1.
7
Kompas, Saksi Harusnya Dilindungi Hukum, Jakarta, Gramedia, 1996, hlm. 13.

3
Dengan posisi anak sebagai saksi adanya kemungkinan pembalasan oleh pelaku,

sehingga anak sebagai saksi dalam suatu tindak pidana tidak menutup

kemungkinan bahwa anak dapat menjadi korban (viktimisasi struktural).8

Hal inilah yang mendorong terwujudnya perlindungan khusus bagi anak.

Anak sebagai korban dan saksi harus diperhatikan dan diawasi selama dalam

proses peradilan, guna menghindarkan anak dari trauma atas tindak pidana.

Perlindungan khusus bagi anak korban dan anak saksi tidaklah terlepas dari

konsep hukum perlindungan anak. Anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh

dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi.

Selain itu anak korban dan anak aaksi berhak untuk memperoleh perlindungan

dari lembaga yang menangani perlindungan saksi dan korban atau rumah

perlindungan sosial dan mendapatkan jaminan keselamatan, baik fisik mental,

maupun sosial.

Dengan demikian berdasarkan pembahasan di atas penulis memilih

makalah yang berjudul : “PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN

DAN ANAK SAKSI”.

8
Arif Gosita, Pengembangan Aspek Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang Peradilan Anak
Tanggungjawab Bersama, Seminar Hukum Nasional LPPH Golkar, Jakarta, hlm. 13.

4
B. Rumusan Masalah

1. Bagaiamana perlindungan hukum terhadap Anak Korban?

2. Bagiamana perlindungan hukum terhadap Anak Saksi?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap Anak Korban.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap Anak Saksi.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban

Perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana

diberikan oleh pihak Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan

Anak (P2TP2A) yang berkerjasama dengan pihak Perlindungan Perempuan Dan

Anak (PPA). Apabila pihak P2TP2A atau pihak PPA mendapat laporan dari

masyarakat bahwa anak yang menjadi korban tindak pidana dan korban

mengalami trauma, gangguan psikologi dan mentalnya maka para pihak

mengkoordinasi untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban. Bentuk

perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana adalah

pendampingan dalam proses pemeriksaan. Hal ini juga mendampingi psikologi

dan mental anak yang rentan mengalami guncangan. Pendampingan ini

didampingi oleh seorang psikologi karena mental anak korban kekerasan fisik

lebih dikuatkan dan diutamakan. Adanya perlindungan hukum terhadap anak

maka anak yang menjadi korban dapat merasa terlindungi dan merasa aman dari

para pelaku yang mengintai dirinya.

Pasal 1 ayat (2) Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak berisi ketentuan bahwa: Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk

menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

6
Perlindungan terhadap anak sudah seharusnya diberikan yang mana telah disebut,

tetapi dalam faktanya masih banyak anak yang menjadi korban tindak pidana.

Perlindungan hukum seharusnya diberikan agar korban merasa terlindungi dan

merasa aman dari tindakan pelaku. Sanksi atau hukuman yang dijatuhkan kepada

pelaku dapat memberikan rasa jera dari pelaku dan demi tertib hukum.

Perlindungan hukum yang diberikan cenderung diabaikan dan tidak terlaksanakan

dengan maksimal sehingga masih banyak anak yang menjadi korban tindak

pidana kekerasan fisik karena tidak adanya efek jera atau sanksi yang diberikan

sesuai dengan perbuatan pelaku.Untuk diketahui bersama bahwa salah satu

menjadi hal terpenting bagi korban adalah pemulihan dari rasa trauma agar anak

dapat kembali ke keluarga, masyarakat dan dapat kembali bermain dan

berekspresi yang diarahkan pada pendidikan dan bermasyarakat.

Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 28B ayat (2)

berisi ketentuan bahwa, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

kemudian diatur secara khusus pada Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak Anak Pasal 59 ayat (1) menegaskan bahwa Pemerintah,

Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung

jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.

Bentuk lain perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban

tindak pidana ialah adanya shelter atau rumah aman yang disediakan untuk tempat

perlindungan bagi anak yang mengalami tindak pidana. Adanya shelter atau

7
rumah aman bertujuan untuk tempat tinggal sementara bagi korban untuk masa

pemulihan atau rehabilitasi dari rasa trauma atau depresi mengingat apa yang

telah korban alami. Tempat atau alamat shelter atau rumah aman dirahasiakan dari

masyarakat luar demi kepentingan korban dan menghindari hal yang tidak

diinginkan. terhadap korban di shelter yang akan ditempat tinggalkan sementara

bagi korban selama 14 (empat belas)hari atau bisa lebih dengan tujuan agar anak

dapat kembali bermain dan berekspresi dan tidak trauma dengan apa yang telah

korban alami sehingga dapat bersosialisasi dengan orang disekitarnya. Hambatan

yang dialami oleh para pihak P2TP2A dan PPA mengalami hambatan yang sama

dalam mendamping korban tindak pidan kekerasan fisik.

Peran pendamping dalam perlindungan hukum terhadap anak dibutuhkan

kerjasama baik dari pihak aparat penegak hukum, dinas sosial yang khusus bagi

anak sepert P2TP2A, pemerintah maupun bagi orang tua dan masyarakat

sekitarnya. Hambatan dalam pendampingan perlindungan hukum yang dialami

seperti anak yang takut, tidak fokus, trauma dan merasa terancam. Anak yang

takut untuk mengatakan hal yang telah terjadi pada dirinya, anak yang tidak fokus

pada orang yang ada disekelilingnya untuk membantu, anak yang trauma sehingga

tidak terbuka dan sulit untuk berkomunikasi dan anak yang merasa terancam

karena terlebih dahulu sudah diancam oleh pelaku agar tidak melapor pada orang

tua atau orang yang ada disekelilingnya.

Menghadapi anak yang menjadi korban tindak pidana pihak P2TP2A tetap

berusaha dan sabar menghadapi dan mendampingi anak yang menjadi korban

tindak pidana kekerasan fisik. Dalam sesi pemeriksaan dan berdiskusi untuk

8
mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya, siapa pelakunya dan di mana

kejadiannya memerlukan waktu yang tidak sebentar yang diberi waktu selama 2

hari tetapi bisa lebih dari hari yang ditentukan karena korban masih merasa

trauma. Adapun tujuan P2TP2A yaitu tujuan umum dan tujuan utama. Tujuan

umum ialah memberikan kontribusi terhadap terwujudnya kesetaraan dan keadilan

gender melalui pengembangan berbagai kegiatan pelayanan terpadu bagi

peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak. Tujuan khususnya ialah

menyediakan sarana bagi peningkatan kualitas hidup perempuan, kesejahteraan

dan perlindungan anak, memberikan pelayanan dan perlindungan penanganan

korban kekerasan perempuan dan anak, menumbuhkan partisipasi masyarakat

agar mempunyai kepedulian dan kepekaan terhadap perempuan dan anak korban

kekerasan dan meingkatkan peran serta anggota forum penanganan korban

kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam pelaksanaan operasional P2TP2A.

Hal ini bahwa korban kekerasan fisik membutuhkan tempat tinggal dan orang-

orang yang dapat melindungi dirinya.9

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Saksi

Dalam Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memberikan

pengertian bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan

berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

9
Valeria Rezha Pahlevi, Loc.Cit, hlm. 5-8

9
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perangkat hukum

tentang perlindungan dan kesejahteraan anak sudah cukup memamadai, namun

instrumen-instrumen yang mengikutinya belum berjalan sepenuhnya untuk

menjamin perlindungan dan penegakan hak anak.

Dalam pasal 52 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia ditegaskan bahwa :

1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga,

masyarakat, dan negara;

2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak

itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Dalam melakukan penyidikan anak,diusahakan oleh polisi wanita dan

dalam beberapa hal jika perlu dengan bantuan polisi pria. Penyidik anak, juga

harus mempunyai pengetahuan seperti psikologi, psikiatri, sosiologi, pedagogi,

antropologi, juga harus mencintai anak dan berdedikasi, dapat menyelami anak

dan mengerti kemauan anak.

Pasal 18 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, menyebutkan bahwa, “Dalam menangani perkara Anak, Anak

Korban dan/atau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial

Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim,

dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan

kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap

terpelihara.” Ketentuan ini menghendaki bahwa pemeriksaan dilakukan dengan

pendekatan secara efektif dan simpati. Efektif dapat diartikan, bahwa

10
pemeriksaannya tidak memakan waktu lama, dengan menggunakan bahasa yang

mudah dimengerti, dan dapat mengajak tersangka, saksi dan korban memberikan

keterangan yang sejelas-jelasnya. Simpatik maksudnya pada waktu pemeriksaan,

penyidikan bersifat sopan dan ramah serta tidak menakuti tersangka, saksi dan

korban. Tujuannya ialah agar pemeriksaan berjalan dengan lancar, karena seorang

anak yang merasa takut sewaktu menghadapi penyidik, anak mengalami kesulitan

untuk mengungkapkan keterangan yang benar dan sejelas-jelasnya. pada waktu

pemeriksaan tersangka, saksi dan korban, penyidik tidak memakai pekaian

seragam. Jadi melakukan pendekatan secara simpatik, serta tidak melakukan

paksaan, intimidasi, yang dapat menimbulkan ketakutan atau trauma pada anak.

penyidikan merupakan salah satu dari tindakan pemeriksaan pendahuluan

KUHAP, tahap ini tidak saja merupakan dasar bagi pemeriksaan dimuka

pengadilan, tetapi juga cerminan tindakan kepolisian (Penyelidik, penyidik, dan

Penyidik pembantu) terhadap tersangka, saksi dan korban, yang merupakan

ukuran Perlindungan HAM dan penegak Hukum. Ketentuan Pasal 18 ini,

mencerminkan perlindungan hukum terhadap anak.

Berdasarkan Pasal 185 ayat (7) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana, keterangan saksi yang tidak disumpah ini bukan

merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari

saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang

lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Konvensi Hak Anak yang telah

diratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 yang

berbunyi:

11
1. Negara-negara Pihak harus menjamin bagi anak yang mampu membentuk

pendapatnya sendiri, hak untuk mengutarakan pendapat-pendapat tersebut

dengan bebas dalam semua masalah yang mempengaruhi anak itu,

pendapat-pendapat anak itu diberi bobot yang semestinya sesuai dengan

umur dan kematangan si anak.

2. Untuk tujuan ini, maka anak terutama harus diberi kesempatan untuk

didengar pendapatnya dalam persidangan-persidangan pengadilan dan

administratif yang mempengaruhi anak itu, baik secara langsung, atau

melalui suatu perwakilan atau badan yang tepat, dalam suatu cara yang

sesuai dengan peraturan-peraturan prosedur hukum nasional.

Keberadaan komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) sebagai

lembaga independen yang kedudukannya setingkat dengan komisi Negara yang

dibentuk berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 Undang- Undang

Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam rangka untuk meningkatkan

efektivitas penyelenggaaraan perlindungan anak di Indonesia, diharapkan

menjalankan tugasnya secara optimal yakni melakukan sosialisasi seluruh

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan

anak, menumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat,

melakukan penelaahan dan emantauan, evaluasi serta pengawasan terhadap

penyelenggaraan perlindungan anak.

Hak anak sebagai saksi sebelum persidangan meliputi:

12
a) Hak diperhatikan laporan yang disampaikan dengan suatu tindak lanjut

yang dianggap/peka, tanpa mempersulit para pelapor;

b) hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan

pederitan mental, fisik, social, dari siapa saja karena kesaksiannya;

c) hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan

sebagai saksi.

Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi meliputi:

a) Hak untuk dapat fasilitas untuk menghadiri sidang sebagai saksi;

b) Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan;

c) Hak mendapatkan izin dari sekolah untuk menjadi saksi. Sementara hak

anak setelah persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi, fisik, sosial

dari siapa saja.10

10
Nur Afni, Skripsi : “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Saksi Dalam Perkara Pidana
(Studi Kasus Putusan No.327/Pid.B/2008/Pn.Mks)”, (Makassar:UNHAS, 2013, hlm. 55-65

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari rumusan masalah, berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan

diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak

pidana yaitu berupa :

a) Pendampingan terhadap korban, dan

b) Penempatan di shelter atau rumah aman.

Pendampingan korban dapat dilakukan oleh orang tua atau dinas sosial

yaitu Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan Dan Anak yang

berkerjasama dengan pihak Perlindungan Perempuan Dan Anak Polres

Sleman. Hambatan yang dialami oleh pihak Pusat Pelayanan Terpadu

Perempuan Dan Anak (P2TP2A) dan Perlindungan Perempuan Dan Anak

(PPA) seperti korban yang tidak fokus, takut, trauma, dan merasa

terancam sehingga menyulitkan atau menghambat untuk pendampingan

terhadap korban.

A. Dalam Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

memberikan pengertian bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan

untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

14
kekerasan dan diskriminasi. Perangkat hukum tentang perlindungan dan

kesejahteraan anak sudah cukup memamadai, namun instrument -

instrumen yang mengikutinya belum berjalan sepenuhnya untuk menjamin

perlindungan dan penegakan hak anak. Dalam memberikan keterangan

dalam persidangan perlindungan adalah salah satu apabila anak tersebut

ada tekanan atau perasaan tidak enak terhadap terdakwa saksi anak dalam

memberikan keterangan dapat diberikan tanpa adanya terdakwa atau

terdakwa dikeluarkan dari sidang.

B. Saran

1. Hendaknya lembaga sosial dan aparat penegak hukum harus melaksanakan

secara optimal. Hal ini dengan memberikan perlindungan bagi korban

yang memerlukan perlindungan hukum yang dapat menjadi penunjang

bagi korban untuk dapat menikmati hak-haknya hidup, tumbuh, kembang,

dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi. Adanya rumah aman atau shelter hendaknya dibuat dengan

suasana anak-anak agar anak tidak merasa asing pada saat berada di dalam

ruangan begitu juga dengan harusnya memiliki ruang diskusi tersendiri

yang terpisah dengan ruang diskusi orang dewasa.

2. Perlu adanya suatu perangkat yuridis yang tidak lagi terpisah-pisah yang

mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi dan Korban, mengingat

pentingnya jaminan dari Negara terhadap perlindungan dan pelaksanaan

hak-hak Saksi dan Korban.

15
DAFTAR PUSTAKA

Gosita , Ari. Pengembangan Aspek Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang


Peradilan Anak Tanggungjawab Bersama. Jakarta: Seminar Hukum
Nasional LPPH Golkar.

Huraerah, Abu. 2012. Kekerasan Terhadap Anak, Bandung. Penerbit Nuansa


Cendekia.

Joni, Muhammad dan Tanamas Zulchaina Z. 2004. Konsep Perlindungan Hak


Asasi Anak dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Kompas. 1996. Saksi Harusnya Dilindungi Hukum. Jakarta: Gramedia

Nur Afni. 2013. Skripsi : “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Saksi
Dalam Perkara Pidana (Studi Kasus Putusan No.327 /Pid.B/ 2008/ Pn.
Mks)” (Makassar:UNHAS)
Purwadarminta, 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Pahlevi , Valeria Rezha. 2016 “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang


Menjadi Korban Tindak Pidana”. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Soeaidy, Sholeh dan Zulkhair. 2001, Dasar Hukum Perlindungan Anak. Jakarta:
CV. Noviando Pustaka Mandiri.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

16

Anda mungkin juga menyukai