Anda di halaman 1dari 17

SISTEM PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA

Dosen: Ns. Cici Pratiwi, M.Kes

OLEH :

KELOMPOK 4

1. Asrullah Amil (2020007)


2. Desri Natalia Arrang (2020060)
3. Nurhayati Pasole (2020065)
4. Andi Septiana (202004)

AKADEMI KEPERAWATAN SAWERIGADING

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. karena dengan rahmat dan
hidayahnya sehingga penyusunan Makalah Sistem Perlindungan Anak di Indonesia dapat
diselesaikan dengan tepat waktu, dimana tugas tersebut bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Keperawatan Anak.

Kami sadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang telah membaca
makalah ini, demi perbaikan dimasa yang akan datang.

Palopo, 30 Maret 2022

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................... i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................... 1
B. Masalah Rumusan...................................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Perlindungan Anak.................................................................................................... 3
B. Pengertian Dari Sistem Perlindungan Anak Di Indonesia ........................................ 5
C. Kedudukan Anak Di Indonesia ................................................................................. 7
D. Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat Sebagai Pendekatan Berbasis Sistem.......8
E. Sistem Pemberian Pelayanan Kesejahteraan Perlindungan Anak di Indonesia.........9
F. Standar Pelayanan Lembaga Pengasuhan Anak.........................................................11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................................13
B. Saran...........................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia salah satu masalah besar yang marak diperbincangkan adalah
tindak kriminal terhadap anak. Mulai dari kekerasan, pembunuhan, penganiayaan
dan bentuk tindakan kriminal lainnya yang berpengaruh negatif bagi kejiwaan
anak.  Seharusnya seorang anak diberi pendidikan yang tinggi, serta didukung
dengan kasih sayang keluarga agar jiwanya tidak terganggu.hal ini terjadi karena 
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar.
Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. 
Dalam menyiapkan generasi penerus bangsa anak merupakan asset utama.
Tumbuh kembang anak sejak dini adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat
dan negara. Namun dalam proses tumbuh kembang anak banyak dipengaruhi oleh
berbagai factor baik biologis, psikis, sosial, ekonomi maupun kultural yang
menyebabkan tidak terpenuhinya hak – hak anak.
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi anak telah disahkan Undang
- Undang (UU) Perlindungan Anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002 yang bertujuan
untuk menjamin terpenuhinya hak – hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas berakhlak mulia dan sejahtera.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian perlindungan Anak
2. Apa pengertian dari Sistem Perlindungan Anak Di Indonesia?
3. Apa Kedudukan Anak Di Indonesia?
4. Apa saja Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat Sebagai Pendekatan
Berbasis Sistem ?
5. Apa saja Sistem Pemberian Pelayanan Kesejahteraan Perlindungan Anak di
Indonesia?
6. Apa Standar Lembaga Pelayanan Pengasuhan Anak ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian perlindungan Anak.
2. Untuk mengetahui pengertian dari Sistem Perlindungan Anak Di Indonesia.

1
3. Untuk mengetahui kedudukan Anak Di Indonesia.
4. Untuk mengetahui Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat Sebagai
Pendekatan Berbasis Sistem
5. Untuk mengetahui Sistem Pemberian Pelayanan Kesejahteraan Perlindungan
Anak di Indonesia.
6. Untuk mengetahui Standar Lembaga Pelayanan Pengasuhan Anak.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perlindungan Anak
Di Indonesia, Perlindungan Anak diatur dalam Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2002 yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 13 (1) Undang – undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak disebutkan setiap anak selama dalam pengasuhan
orangtua, wali atau pihak lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan.
Selanjutnya dalam Pasal 11 UU No. 23 tahun 2002 disebutkan pula
bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu
luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan
minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Anak
adalah pemimpin masa depan siapapun yang berbicara tentang masa yang
akan datang, harus berbicara tentang anak-anak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Keppres Nomor 87 Tahun 2002 tentang rencana Aksi Nasional
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Keppres Nomor 88
tahun 2002 tentang rencana aksi nasional penghapusan perdagangan
perempuan dan anak, dan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Sedangkan Perlindungan khusus adalah perlindungan yang
diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan
dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang
dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,
anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,
anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran.

3
a. Asas dan Tujuan Perlindungan Anak
Penyelenggaraan perlindungan anak berazaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: non
diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap
pendapat anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Sejalan
dengan tujuan tersebut, maka hakekat perlindungan anak Indonesia adalah
perlindungan keberlanjutan, karena merekalah yang akan mengambil alih
peran dan perjuangan mewujudkan cita- cita dan tujuan bangsa Indonesia.
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
b. Penelantaran Dan Penyalahgunaan Anak
Penelantaran anak dapat didefinisikan sebagai kelalaian dalam
pengasuhan oleh orang yang bertanggung jawab (misalnya, orangtua atau
pengasuh lainnya), yang mengakibatkan kerugians ignifikan atau risiko
bahaya yang signifikan terhadap anak dan remaja (Dubowitz, 2000).
Penelantaran lebih lanjut dapat didefinisikan sebagai kegagalan untuk
memenuhi kebutuhan dasar anak-anak dalam perawatan fisik, pengawasan,
dan perlindungan, pemeliharaan, pendidikan, dan kesehatan.
Kekerasan fisik dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
ditimbulkan oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak atau
remaja itu, yang mengakibatkan cedera fisik yang signifikan atau risiko
cedera tersebut (Dubowitz, 2000). Contoh tindakan yang ditimbulkan
termasuk meninju, memukul, menendang, menggigit, mengguncangkan,
melempar, menusuk, mencekik, membakar, atau memukul dengan tangan,
tongkat, tali, atau benda lain (Goldman & Salus, 2003).
Pelecehan seksual dapat didefinisikan sebagai tindakan seksual
tanpa kesepakatan, motivasi perilaku seksual yang melibatkan anak dan
remaja, atau eksploitasi seksual terhadap anak (Berliner, 2000) oleh orang
yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Pelecehan seksual anak

4
termasuk perilaku yang lebih luas, seperti oral, anal penetrasi penis, atau
alat kelamin, digital anal atau genital atau penetrasi lain, kontak kelamin
dengan non intrusi, cumbuan payudara anak atau pantat, penampilan
senonoh, supervisi yang tidak memadai atau tidak dari kegiatan sukarela
seksual anak, dan penggunaan anak atau remaja dalam prostitusi,
pornografi, kejahatan internet, atau kegiatan seksual eksploitatif lainnya
(Goldman & Salus, 2003).
Penganiayaan psikologis dapat didefinisikan sebagai pola berulang
dari perilaku atau kejadian ekstrim oleh orang yang bertanggung jawab atas
pengasuhan anak yang menyampaikan kepada anak bahwa ia tidak
berharga, cacat, tidak dicintai, tidak diinginkan, terancam, atau hanya
bernilai jika menemukan orang lain yang membutuhkan, oleh orang yang
bertanggung jawab atas pengasuhan anak (Masyarakat profesional
Amerika tentang Penyalahgunaan Anak, 1995). Penganiayaan psikologis
meliputi baik tindakan pelecehan terhadap anak atau remaja dan kelalaian
dalam pengasuhan. Bentuk penganiayaan psikologis termasuk penolakan
secara angkuh (misalnya, perilaku bermusuhan menolak dan
merendahkan); teror (misalnya, ancaman untuk menyakiti anak atau
seseorang yang penting untuk anak), mengeksploitasi atau merusak
(misalnya, mendorong anak atau remaja untuk berpartisipasi dalam
merusak diri sendiri atau perilaku kriminal); menyangkal respon emosional
(misalnya, mengabaikan atau gagal untuk mengekspresikan kasih sayang),
dan mengisolasi (misalnya, membatasi anak mendapatkan pengalaman
sesuai dengan tahapan perkembangan) (Brassard & Hart, 2000).

B. Pengertian Dari Sistem Perlindungan Anak Di Indonesia

Indonesia menghadapi masalah serius terkait dengan hak dan


kesejahteraan anak-anak. Hampir setengah dari anak-anak Indonesia berusia
antara 13 dan 18 tahun putus sekolah; hampir tiga juta anak terlibat dalam
perburuhan anak berpotensi berbahaya, dan sekitar 2,5 juta anak Indonesia
menjadi korban kekerasan setiap tahun. Lebih dari 80% anak-anak sedang
menjalani proses peradilan berakhir di belakang bar dan jumlah yang lebih besar
adalah tanpa bantuan hukum. Statistik ini menggaris bawahi kebutuhan untuk
mengintensifkan dan memperkuat upaya saat ini untuk meningkatkan

5
perlindungan anak di Indonesia. 2008 review dari Pemerintah Program Negara
Indonesia dan UNICEF Kerjasama menyoroti hubungan antara kebutuhan untuk
meningkatkan perlindungan anak dan pengembangan ekonomi nasional yang adil
dan berkelanjutan.
Negara Indonesia, saat ini sedang mengembangkan kesejahteraan anak dan
keluarga yang fokus pada sistem untuk pencegahan dan merespon semua bentuk –
bentuk kekerasan pada anak. Hal ini merupakan refleski pada pendekatan baru
pada upaya perlindungan anak secara internasional. Kendati negara Indonesia
telah mengembangkan sebuah kerangka kerja progresif untuk hak-hak anak,
hanya saja dalam pelaksanaannya kurang mampu berkembang untuk perlindungan
anak. Disisi lain, belum ada mandat secara jelas bagi sebuah lembaga untuk
mengelola pelayanan pencegahan dan merespon masalah-masalah anak terkait
dengan kewenangan dan akuntabilitas untuk melindungi secara legal dan efektif.
Pendekatan dalam penyediaan layanan perlindungan anak berbasis sistem
mulai dikembangkan berbeda dengan pendekatan tradisional yang dijalankan saat
ini. Dimana, dalam pendekatan tradisional dilakukan berdasarkan respon yang
berbasis kesejahteraan, lebih dipimpin oleh NGOs, berorientasi pada kedaruratan,
berbasis pada issu (seperti perdagangan anak; peradilan anak), bekerja
berdasarkan jaringan dan bukan sistem; dan hanya terfokus pada kelompok anak
yang termarjinalkan dan rentan, serta layanan perlindungan anak lebih
mengedepankan pada respon atau gejala saja.
Upaya untuk mengadopsi pendekatan ”membangun sistem” ini merupakan
upaya untuk mengkerangkakan kembali sebuah pendekatan pada anak yang
membutuhkan atau beresiko, memikirkan kembali bagaimana membangun strategi
untuk perlindungan anak, mendifinisikan apa itu persekutuan/kemitraan,
bagaimana peran, tanggung jawab, serta memprogramkan kembali intervensi dari
masing masing stakeholder diperlindungan anak.
Orangtua, keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan
memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh
hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraaan perlindungan anak,
negara dan pemerintah juga bertanggungjawab untuk menyediakan fasilitas dan
aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya secara optimal. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan
sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18
tahun. 

6
Komponen yang saling terkait antara lain adalah kerangka hukum dan
kebijakan yang kuat untuk PA, tersedianya anggaran yang memadai, koordinasi
multi sektoral, sistem layanan pencegahan yang ramah anak dan responsif, tenaga
kerja PA yang profesional, pengawasan dan regulasi, serta data dan informasi
yang kuat tentang isu isu PA.
Dalam sistem perlindungan anak meliputi:
a. Pencegahan terhadap kekerasan, penelantaran, perlakukan salah dan eksploitasi
yang direspon secara efektif ketika hal tersebut muncul serta menyediakan
layanan yang dibutuhkan, rehabilitasi dan kompensasi terhadap para korban
b. Memperoleh pengetahuan tentang akar penyebab kegagalan pada perlindungan
anak dan sejauh mana mengetahui tentang kekerasan, penelantaran, eksploitasi
dan perlakukan salah terhadap anak disemua kondisi.
c. Mengembangkan kebijakan dan regulasi, yang mempengaruhi untuk tindakan
pencegahan dan penanganan, dan bagiamana memastikan perkembangannya.
d. Mendorong partisipasi anak baik laki dan perempuan, orang tua, wali dan
masyarakat, international dan nasional NGO serta masyarakat sipil.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mencantumkan anak dalam
konstitusinya. Hal ini merupakan tongak sejarah perjuangan untuk memajukan
penyelenggaraan perlindungan anak.

C. Kedudukan Anak Di Indonesia


Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Anak
mengatakan bahwa, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam/sebagai
akibat perkawinan yang sah. Masuk kepada substansi tentang nilai anak, ada
beberapa substansi mengenai nilai anak di Indonesia, antara lain: 
a. Nilai anak dalam hubungannya dengan kebudayaan; 
Sangat menentukan dan terkait dengan apakah anak itu semata-mata sebagai
pewaris, penerus nama keluarga, tenaga kerja murah, membantu ekonomi
keluarga, jaminan di hari tua, atau dikehendaki untuk dikasihi orang tuanya
sehingga dapat berkembang menjadi pribadi yang mandiri. 
b. Arti atau nilai anak bagi orang tua; 
Menurut majalah dharma Wanita 1993 No. 92 halaman 65 menyebutkan bahwa
anak adalah rahmat Allah, amanah Allah, barang gadaian, penguji
iman, media beramal, bekal di akhirat, unsur kebahagiaan, tempat bergantung
di hari tua, penyambung cita-cita, makhluk yang harus dididik.

7
c. Arti lain tentang anak;
Nilai jenis kelamin, bahwa anak itu terdiri dari dua jenis kelamin, yaitu laki-
laki dan perempuan dimana anak laki-laki cenderung mempunyai nilai yang
lebih menguntungkan daripada anak perempuan. 
b. Anak mempunyai nilai positif dan negatif 
Suatu contoh nilai positif anak: melanjutkan garis keturunan, pengikat suami
istri, membina kebahagiaan. Suatu contoh nilai negatif anak: kenakalan anak,
biaya menyekolahkan anak dan lain sebagainya. 
Kedudukan Anak Menurut KUHPer data
a. Pengertian Anak sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah
b. Ketentuan Pasal 250 KUHPerdata : Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau
ditumbuhkan sepanjang perkawinan yang sah memperoleh suami ibu dari
anak tersebut sebagai anaknya.
c. Ada kemungkinan anak tersebut bukan dibenihkan oleh suami ibu dari anak
tersebut.
d. Dengan demikian suami ibu tersebut dapat menyangkal keabsahan status
anak.

D. Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat Sebagai Pendekatan Berbasis


Sistem
Pada pendekatan berbasis sistem lebih mengedepankan porsi terbesar pada
layanan primer (kampanye kesadaran, pendidikan, media, dll). Dimana, hal ini
lebih banyak dilakukan diranah masyarakat hingga menyentuh wilayah keluarga
dan anak secara langsung. Anak dan keluargalah menjadi sasaran utama dalam
layanan berbasis sistem ini.
Dalam menyediakan layanan primer, KPAD/KPAD sudah memposisikan
diri sebagai institusi yang dekat dengan masyarakat khususnya di Desa/Kelurahan.
KPAD/KPAK merupakan inisiatif masyarakat sebagai ujung tombak untuk
melakukan upaya upaya pencegahan dengan membangun kesadaran masyarakat
dengan tujuan terjadinya perubahan sikap dan perilaku tentang dampak yang tidak
diinginkan dari kekerasan terhadap anak.
Selain itu, KPAD juga mengupayakan adanya kebijakan dan kertersediaan
anggaran di tingkat desa, membangun peran serta aktif dari anak, masyarakat dan
pemerintah secara bersama sama, serta membangun sistem rujukan ke tingkat
kecamatan dan kabupaten.

8
KPAD/KPAK pun bekerja pada layanan sekunder, seperti melakukan
mediasi dan konsultasi bagi masalah masalah anak yang terjadi dlingkungan
mereka tinggal. Kepercayaan penuh masyarakat kepada KPAD, membuat KPAD
harus bertindak demi kepentingan terbaik anak. Membangun jejaring untuk proses
penanganan anak lebih lanjut kesistem rujukan baik di Tk Kecamatan/ kabupaten.
Sebagian KPAD/KPAK yang terbentuk saat ini sudah menjadi bagian dalam
struktur layanan perlindungan anak di Kecamatan/Kabupaten, yang merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam layanan perlindungan anak dari
Desa/Kelurahan – Kecamatan dan Kabupaten.Menilik peran dan fungsi KPAD
dengan lebih mengedepankan pada pencegahan, sangatlah bersinergi pada
pendekatan perlindungan anak masa kini dan merupakan bentuk nyata dari sebuah
pendekatan yang berbasis sistem yang langsung menyentuh ranah anak dan
keluarga.

E. Sistem Pemberian Pelayanan Kesejahteraan Perlindungan Anak di


Indonesia
Kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia telah diatur oleh
berbagai kebijakan dan program, antara lain mulai dari Undang Undang Dasar
1945, dimana anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh Negara. Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak telah mengatur tentang hak anak yaitu “anak berhak atas kesejahteraan,
perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam
keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang
dengan wajar”, dan tanggung jawab orangtua yaitu bahwa “orangtua
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak”.
Pada tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak
(KHA) melalui Keppres 36/1990 pada tanggal 25 Agustus 1990 dimana
substansi inti dari KHA adalah adanya hak asasi yang dimiliki anak dan ada
tanggung jawab Negara-Pemerintah-Masyarakat-dan Orangtua untuk
kepentingan terbaik bagi anak agar meningkatnya efektivitas penyelenggaraan
perlindungan anak secara optimal. Kemudian KHA dikuatkan dengan
terbitnya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
yang mengatur tentang Hak dan Kewajiban Anak, serta kewajiban dan
tanggug jawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

9
Di samping itu juga diatur tentang kuasa asuh, perwalian, pengasuhan
dan pengangkatan anak, serta penyelenggaraan perlindungan. Permasalahan
anak telah direspon oleh berbagai Kementerian/ Lembaga terkait, antara lain
Kementerian Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Kesehatan, Pendidikan, Agama, Dalam Negeri, Tenaga Kerja, Hukum dan
HAM, Kepolisian, Pengadilan Negeri, Lembaga donor dan lembaga
kesejahteraan social di tingkat nasional maupun wilayah. Di lingkup
Kementerian Sosial (selanjutnya disebut Kemensos) untuk mempercepat
penanganan masalah sosial anak, pada tahun 2009 Direktorat Kesejahteraan
Sosial Anak mulai mengembangkan Program Kesejahteraan Sosial Anak
(PKSA) melalui kegiatan uji coba penanganan anak jalanan di lima wilayah
yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta.
PKSA dikuatkan lagi dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010
Tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan, yang menetapkan PKSA
sebagai program prioritas nasional yang meliputi PKSA Balita, PKSA
Terlantar, PKS-Anak Jalanan, PKS-Anak yang Berhadapan dengan Hukum,
PKS-Anak Dengan Kecacatan, dan PKS-Anak yang Membutuhkan
Perlindungan Khusus.
Sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden, telah ditetapkan
Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 15A/HUK/2010 Tentang Panduan
Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), dan untuk
operasionalisasi PKSA telah diterbitkan Pedoman Operasional Program
Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) melalui Keputusan Direktur Jenderal
Rehabilitasi Sosial Nomor: 29/RS-KSA/2011 Tentang Pedoman Operasional
PKSA. Mulai tahun 2010, layanan PKSA telah diperluas jangkauan target
sasaran maupun wilayahnya.
PKSA dikembangkan dengan perspektif jangka panjang sekaligus
untuk menegaskan komitmen Kementerian Sosial untuk merespon tantangan
dan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial anak yang berbasis hak.
Perwujudan dari kesungguhan Kementerian Sosial mendorong perubahan
paradigma dalam pengasuhan, peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan
tanggung jawab orangtua/ keluarga, dan perlindungan anak yang bertumpu
pada keluarga dan masyarakat, serta mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar
anak yang dapat merespon keberagaman kebutuhan melalui tabungan.

10
PKSA merupakan respon sistemik dalam perlindungan anak, termasuk
memberikan penekanan pada upaya pencegahan melalui lima komponen
program yaitu: 1) pemenuhan kebutuhan dasar, 2) aksesibilitas terhadap
pelayanan sosial dasar, 3) pengembangan potensi dan kreativitas anak, 4)
penguatan tanggung jawab orangtua, dan 5) penguatan lembaga kesejahteraan
sosial anak. Secara konseptual PKSA lebih komprehensif dan berkelanjutan
dibandingkan program pelayanan sosial anak pada tahun-tahun sebelumnya
karena sudah berdasarkan pendekatan kepada anak, orangtua atau keluarga
(family base care), dan kepada masyarakat yaitu lembaga kesejahteraan sosial
yang khusus menangani anak (LKSA).
Sebelumnya, pengasuhan anak dan masalah-masalah perlindungan
anak hanya difokuskan pada anak. Keluarga dan masyarakat belum banyak
disentuh. Misalnya penanganan anak terlantar, anak jalanan, anak berhadapan
dengan hukum lebih banyak diserahkan ke lembaga atau panti sosial dimana
di dalam penanganannya orangtua atau keluarga pengganti kurang dilibatkan.
Anak lebih banyak dicabut dari lingkungan keluarga. Isu ini dipertegas
dengan banyaknya jumlah panti asuhan.

F. Standar Pelayanan Lembaga Pengasuhan Anak


Layanan Perlindungan Anak (Child Protective Services/ CPS)
Program layanan perlindungan anak ( CPS) merupakan program inti di
semua lembaga kesejahteraan anak yang mengupayakan keselamatan anak
bekerjasama dengan lembaga masyarakat. Lebih luas, CPS “mengacu pada
perangkat hukum yang sangat khusus, mekanisme pendanaan, respon
lembaga bersama pemerintah untuk melaporkan penyalahgunaan dan
penelantaran anak” (Waldfogel, 1999). Dasar program CPS berasal dari
hukum yang dibentuk di setiap negara yang mendefinisikan kekerasan dan
penelantaran anak serta menentukan bagaimana lembaga CPS harus
menanggapi laporan penganiayaan anak. Pekerja sosial di lembaga-lembaga
CPS memiliki tanggung jawab untuk mengatasi efek dari penganiayaan,
menerapkan respon layanan yang akan menjaga anak-anak dan remaja
aman dari penyalahgunaan dan penelantaran, serta bekerjasama dengan
keluarga untuk mencegah kemungkinan terjadinya penganiayaan di masa
yang akan datang (Depanfilis & Salus 2003, Departemen Kesehatan dan
Layanan Manusia US, 1988).

11
Dalam mendukung kesejahteraan anak dan remaja para penulis
(Altman; Cohen, Hornsby, and Priester; Kemp, Allen- Eckard, Ackroyd,
Becker, and Burke; and Chahine and Higgins) dalam tulisannya Systemic
Issues in Child Welfare, fokus pada beberapa faktor kunci dalam bekerja
dengan keluarga yaitu melibatkan anak dan remaja, keluarga dan
masyarakat dalam proses asesmen melalui konfrensi tim. Filosofi layanan
perlindungan anak menurut De Panfilis dan Salus 2003, Lembaga Layanan
Perlindungan Anak bekerja berdasarkan keyakinan filosofis bahwa setiap
anak memiliki hak untuk pengasuhan dan pengawasan yang memadai dan
bebas dasssssssssssri penyalahgunaan, penelantaran, dan eksploitasi. Hukum
melindungi anak-anak dan remaja, menganggap bahwa itu adalah tanggung
jawab orangtua untuk memperhatikan kebutuhan fisik, mental, emosional, dan
kesehatan anak-anak mereka terpenuhi secara memadai.
Asumsi lainnya adalah bahwa Layanan Perlindungan Anak harus
campur tangan ketika orang tua meminta bantuan atau gagal, atau lalai dalam
memenuhi kebutuhan dasar anak-anak mereka dan menjaga mereka agar aman
dari penyalahgunaan atau penelantaran, seperti yang didefinisikan oleh
undang-undang negara sipil (Gerald P. Mallon and Peg Mc Cartt Hess, 2005).

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Indonesia menghadapi masalah serius terkait dengan hak dan
kesejahteraan anak-anak. Hampir setengah dari anak-anak Indonesia berusia
antara 13 dan 18 tahun putus sekolah; hampir tiga juta anak terlibat dalam
perburuhan anak berpotensi berbahaya, dan sekitar 2,5 juta anak Indonesia
menjadi korban kekerasan setiap tahun. Lebih dari 80% anak-anak sedang
menjalani proses peradilan berakhir di belakang bar dan jumlah yang lebih besar
adalah tanpa bantuan hukum. Statistik ini menggaris bawahi kebutuhan untuk
mengintensifkan dan memperkuat upaya saat ini untuk meningkatkan
perlindungan anak di Indonesia. 2008 review dari Pemerintah Program Negara
Indonesia dan UNICEF Kerjasama menyoroti hubungan antara kebutuhan untuk
meningkatkan perlindungan anak dan pengembangan ekonomi nasional yang adil
dan berkelanjutan.
B. Saran
Setelah menulis makalah ini, penulis menyarankan agar sistem
perlindungan anak di Indonesia harus ditingkatkan lagi, mengingat banyaknya
resiko yang akan terjadi pada anak-anak di Indonesia karena kesalahan
penggunaan Sistem perlindungan anak di Indonesia ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Konvensi Mengenai Hak


asasi manusia
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI bekerjasama dengan Pusat
Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia dan Bank Dunia.
(2011). Membangun Sistem Perlindungan Anak di Indonesia, Sebuah
Kajian Pelaksanaan PKSA Kementerian Sosial RI dan Kontribusinya
terhadap Sistem Perlindungan Anak.
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia.
Hikmat, Hari. (2006). Pedoman Analisis Kebijakan Kesejahteraan Sosial, Pada
Tgl 05 Maret 2008 Disampaikan dalam Kegiatan Finalisasi Pedoman
Analsis Kebijakan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.
Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Kementerian Sosial RI, Badan Pusat Statistik. (2012). Profil PMKS,
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, INDONESIA 2011. Pusat
Data dan Informasi Kementerian Sosial RI.

14

Anda mungkin juga menyukai