Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FILSAFAT HUKUM

PANDANGAN FILSAFAT HUKUM TERHADAP PENGATURAN

HUKUM PADA ANAK

Dosen Pengampu : Anto Mutriadi Lubis, SH,M.H

Di Susun Oleh : Kelompok 2

• HAFIZ ANANDA PUTRA SIPAHUTAR ( 0203203090 )


• LARA YBAFIH TANJUNG ( 0203203078 )
• MAKRAHIM SIMAMORA ( 0203203082 )

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

PRODI HUKUM TATANEGARA

UMIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

( UINSU )

2023

1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat Dan karunia-Nya
kepada kita semua berupa ilmu dan amal. Berkat rahmat dan karunia-Nya Pula kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul PELAYANAN PUBLIK ATAU PUBLIK SERVICE PEMERINTAHAN DAERAH.

Terima kasih kami ucapkan kepada dosen mata kuliah Hukum administrasi negara Ibu Putri Eka
Ramadhani Batubara, SH.M.Hum yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada kami dalam
Penyelesaian makalah ini.Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu
Kami mengharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalah untuk Kedepannya, mudah-
mudahan makalah ini bermanfaat bagi kami maupun bagi pembaca.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................................. 2


DAFTAR ISI ......................................................................................................................................................... 3
BAB I .................................................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ....................................................................................................................................... 4
B. Rumus Masalah ......................................................................................................................................... 5
C. Tujuan ........................................................................................................................................................ 5
BAB II ................................................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN.................................................................................................................................................... 6
A. Filsafat hukum Sebagai Landasan Hukum Positif Perlindungan Anak ................................................... 6
B. Peran Filsafat Hukum Dalam Mengawal Perlindungan Anak Sebagai Bagian dari HAM ...................... 6
C. Perkembangan Hukuman Terhadap Anak di Dunia .............................................................................. 7
D. Pelaksanaan Pidana Terhadap Anak antara Indonesia ............................................................................. 7
1. Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia .............................................................................................. 8
E. Pengertian Anak dan Sanksi Hukumannya ................................................................................................ 9
F. Konsep Pemidanaan Bagi Anak Nakal ..................................................................................................... 10
G. Filsafat Pemidanaan ................................................................................................................................ 12
BAB III…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………14

PENUTUP……………………………………………………………………………………………………………………………………………………14

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………………………………………………………………….15

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seorang ilmuwan harus senantiasa menyikapi ilmu sebagai sesuatu yang terus
bergerak dan mengalir, demikian pula ilmu hukum. Garis perbatasan ilmu hukum selalu
bergeser sebagaimana dijelaskan Satjipto Rahardjo bahwa :1
“Maka menjadi tidak mengherankan bahwa garis perbatasan ilmu pengetahuan selalu
berubah, bergeser, lebih maju dan lebih maju” “Apa yang diuraikan oleh Satjipto Rahardjo
tersebut di atas sejalan dengan pendapat Makaminan Makagiansar yang menyatakan bahwa
:”Science education sgould no limit otself to the transmission of estabhilised knowledge only
but the teacher must impart an understanding of connectivity between scientific disciplines
and acquaint the learner with the promise of frontier-science”.2
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 mengatur bahwa anak merupakan bagian dari
generasi muda yang meneruskan cita-cita perjuangan bangsa dan memerlukan pembinaan dan
perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fsik, mental dan sosial
secara utuh sehingga dipandang penting, anak atau khususnya anak Indonesia sebagai
generasi penerus bangsa mendapatkan hak haknya dalam mengembangkan kreativitasnya
sebagai generasi penerus Bangsa Indonesia.3
Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam
peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin
terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa
anak-anak merupakan golongan yang rawan dan independen, disamping karena adanya
golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya,
baik rohani, jasmani, maupun sosial.4

1
Satjipto Rahardjo, Mengajarkan Ketaraturan Menemukan Ketidakaturan (Teaching Order finding disorder), Makalah
pada “Tiga puluh tahun perjalanan intelektual dari Bojong ke Pleburan”, Pidato Emeritus Guru Besar, UNDIP, 15
Desember 2000, hal. 8
2
Lihat pidato Makaminan Makagiansar, “Third Annual Meeting of Asean Academies of Science”. Engineering and
technology and similar national, July 8-9, 1999, Manila Philippines
3
M. Mahmud, “Penerapan Sanksi Pidana Anak Menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak,” Indonesian
Journal of Criminal Law 1, no. 2 (2019): 128– 138.
4
Friwina Magnesia Surbakti & Rizkan Zulyadi, “Penerapan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Pencurian Dengan Kekerasan Application of the Law against Children as a Violent Crime,” Journal of Education,
Humaniora and Social Sciences (JEHSS) 2, no. 1 (2019): 143–162
4
Manusia sebagai salah satu isi alam semesta dijadikan objek filsafat yang
menelaahnya dari berbagai segi. Salah satu di antaranya ialah mengenai tingkah lakunya
(filsafat etika). Sebagian dari tingkah laku ini lalu diselidiki secara mendalam oleh filsafat
hukum. Hubungan antara filsafat dan filsafat hukum menurut Bender O.P bisa dilihat dalam
penjelasan sebagai berikut:
1) filsafat manusia - genusnya filsafatnya,
2) flsafat etika – species filsafat,
3) filsafat hukum – subspecies filsafat.

Berbagai pendapat tentang teori hukum tersurat dalam berbagai literature hukum. Bila
disimak secara seksama, dapat dirumuskan seperti di bawah ini:

a) bahwa teori hukum itu sama pengertianya dengan filsafat hukum,

b) bahwa teori hukum itu berbeda pengertiannya dengan filsafat hukum dan

c) bahwa teori hukum itu sinonim dengan ilmu hukum.5

B. Rumus Masalah
1. Filsafat hukum Sebagai Landasan Hukum Positif Perlindungan Anak
2. Peran Filsafat Hukum Dalam Mengawal Perlindungan Anak Sebagai Bagian dari HAM
3. Perkembangan Hukuman Terhadap Anak di Dunia
4. Pelaksanaan Pidana Terhadap Anak antara Indonesia
5. Pengertian Anak dan Sanksi Hukumannya
6. Konsep Pemidanaan Bagi Anak Nakal
7. Filsafat Pemidanaan

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang filsafat sebagai landasan hukum positif perlindungan anak
2. Untuk mengetahui peran filsafat dalam mengawal perlindungan anak sebagai dari ham
3. Untuk mengetahui perkembangan hukuman terhadap anak di dunia
4. Untuk mengetahui pelaksanaan pidana terhadap anak antara Indonesia
5. Untuk mengetahui pengertian anak dan sanksi hukumannya
6. Untuk mngetahui konsep pemidanaan bagi anak nakal
7. Untuk mengetahui dari filsafat pemidanaan

5
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2010, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 11.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat hukum Sebagai Landasan Hukum Positif Perlindungan Anak
Menurut Margarito Kamis, pemerintahan sentralistik, klasik atau modern, selalu
menghasilkan satu hal, yaitu: rusaknya tatantan sosial, politik, ekonomi dan hukum. Lebih
jauh mernedahkan martabat manusia. Pada pemerintahan sentralistik, tidak semua orang
memiliki status dan martabat yang sama. Pada era modern, masyarakat warga hanya
ditemukan dalam komunitas komunitas otonom.Mereka membebaskan diri dan bertahan
dari kontrol penguasa feudal dan mengorganisasi diri ke dalam enclave-enklave bertembik
yang disebut city atau brough atau cite atau burger dan citiyon atau bourgeoise. Komunitas
ini berbeda dngan para hamba yang berstatus setia pada penguasa lokal.
Untuk menghadirkan keadilan subsatantif apabila penegakan hukum menemui
kebuntuan legalitas formalnya, maka tindakan penegak hukum yang diperlukan adalah berani
melakukan non enforcement of law, yakni mengambil kebijakan untuk tidak menegakan
hukum demi tujuan hukum yang lebih besar, misalnya demi penegakan dan penghormatan
hak asasi manusia serta demokrasi.6
Partisipasi dapat dilaksanakan secara lansung seperti diberbagai polis pada zaman
Yunani Kuno atau borouhgs pada era feudalisme Eropa. Mereka inilah yang disebut citizen
atau civilian berstatus freeman atau orang merdeka.7
B. Peran Filsafat Hukum Dalam Mengawal Perlindungan Anak Sebagai Bagian dari
HAM
Sebagai mahluk sosial yang merdeka, setiap orang mempunyai berbagai macam hak
untuk menjamin dan mempertahankan kehidupan di tengah-tengah masyarakatnya. Hak yang
dipunyai seseorang dalam kelansungan hidupnya tersebut pada dasarnya dapat kita bedakan
atas dua jenis utma bila dipandang menurut sifatnya, yakni:
1) hak yang bersifat asasi, yaitu hak yang harus ada pada setiap orang untuk dapat hidup secara
wajar sebagai indvidu yang sekaligus juga anggota masyarakat selaras dengan harkat dan
martabatnya sebagai pribadi yang terhormat,
2) hak yang tidak bersifat asasi, yaitu hak yang secara wajar boleh dimiliki oleh seorang atau
suatu pihak karena hubungannya yang khusus dengan orang atau pihak lain pada suatu tempat
dan waktu tertentu serta situasi dan kondisi yang dianggap tepat.
Yang dimaksud dengan hak yang bersifat asasi ialah hak yang dipunyai oleh setiap
orang dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun dengan alasan apa pun, selama orang

6
Suteki, 2015, Masa Depan Hukum Progresif, Yogyakarta, Thafa Media, hlm. 36-37.
7
Margarito Kamis, 2004, Gagasan Negara Hukum Yang Demokratis Di Indonesia
6
tersebut tidak menyalahgunakan haknya itu atau berbuat sesuatu yang memabahayakan atau
merugikan orang lain. Dengan perkataan lain hak asasi itu adalah hak tidak dapat tidak, harus
menyertai kehidupan setiap orang dalam arti yang sewajarnya dan seharusnya.
Sedangkan hak yang tidak bersifat asasi ialah hak yang masih dapat sikesampingkan
dari kehidupan seseorang karena adanya suatu atau beberapa kepentingan yang lebih
memaksa. Kalau dalam hal itu tidak adanya suatu hak asasi harkat dan martabat seseorang
sebagai manusia itu berkurang, maka tidaklah denikian haknya dengan hak yang tidak asasi
ini.8
C. Perkembangan Hukuman Terhadap Anak di Dunia
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pada tahun 1948 Majelis Umum PBB kemudian
mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember. Peristiwa ini
yang kemudian pada setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia se-dunia
ini menandai perkembangan penting dalam sejarah HAM dan beberapa hal menyangkut hak
khusus bagi anak-anak tercakup dalam deklarasi ini. Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB
mengadopsi Deklarasi kedua dari Hak Anak. Sementara itu Komisi Hak Asasi Manusia
kelompok PBB mulai bekerja pada draft Konvensi Hak Anak (CRC). Kemudian pada tahun
1989 yang bekerja pada CRC selesai dan Konvensi diadopsi oleh Majelis Umum PBB.9
Terdiri dari 54 pasal, Konvensi hingga saat ini dikenal sebagai satu-satunya konvensi
di bidang Hak Asasi Manusia yang mencakup baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya sekaligus. Berdasarkan strukturnya, Konvensi ini dibagi menjadi
4 bagian yakni: Preambule (mukadimah) yang berisi konteks Konvensi Hak Anak, Bagian
Satu (Pasal 1-4) yang mengatur hak bagi semua anak, yang di dalamnya dikemukakan bahwa
anak harus mendapat perhatian dan pendampingan khusus serta pertanggungjawaban
orangtua terhadap anak.10

D. Pelaksanaan Pidana Terhadap Anak antara Indonesia


Anak yang melakukan tindak pidana akan diproses menurut hukum agar tercapainya
tegaknya hukum. Salah satu penyelesaiannya adalah melalui suatu sistem peradilan pidana
anak sebagai salah satu usaha perlindungan anak untuk mendidik anak dengan tanpa
mengabaikan tegaknya keadilan.11

8
Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, 1986, Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran Tinjauan Filsafah Hukum,
Cetakan Kedua, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 7-8.
9
“Https://Www.Childrensrights.Org.”
10
Wildan. H, “Penyelesaian Hukum Terhadap Dugaan Pelanggaran Hak Anak Suku Uighur Oleh Pemerintah China
Menurut Konvensi Hak Anak 1989” (Universitas Andalas, 2021).
11
Syaiful Asmi Hasibuan, “Kebijakan Pertanggungjawaban Pidana Dalam Rangka Perlindungan Hukum Bagi Anak,”
Jurnal Hukum Responsif 7, no. 7 (2019): 169–175
7
1. Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia
Indonesia menjadi negara yang telah meratifkasi Konvensi Hak Anak ini dengan
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1996. Presiden Republik Indonesia bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
tentang Perlindungan Anak (UUPA). Undang-Undang inilah secara keseluruhan menjamin,
menghargai, dan melindungi hak anak.12
Indonesia telah memiliki dasar hukum untuk memberikan perlindungan terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, namun Undang-Undang tentang Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan
perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Sehingga pada 2012 telah
ditetapkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang mulai berlaku sejak 31 Juli 2014.13
Undang-Undang baru ini bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar
menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
dengan mewujudkan keadilan restoratif. Prinsip-prinsip terkait perlindungan anak di dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)
ada beberapa prinsip/asas diantaranya adalah sebagai berikut;
1. Pelindungan;
2. Keadilan;
3. Nondiskriminasi;
4. Kepentingan terbaik bagi Anak;
5. Penghargaan terhadap pendapat Anak;
6. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
7. Pembinaan dan pembimbingan Anak;
8. Proporsional;
9. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
10. Penghindaran pembalasan.

Perlindungan anak ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: pertama,
perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan dalam bidang hukum

12
Y Lestari, R., & Fachri, “Implementasi Konvensi Internasional Tentang Hak Anak (Convention On The RightsOf The
Child) Di Indonesia Studi Kasus: Pelanggaran Terhadap Hak Anak Di Provinsi Kepulauan Riau” (Riau University, 2015).
13
Ardi Alvianto Prihandoyo, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Dan Pelaku Tindak Pidana
Kejahatan Seksual Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia” (UNS, 2014)
8
publik daN dalam bidang hukum keperdataan; kedua, perlindungan anak yang bersifat non
yuridis meliputi perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan, bidang Pendidikan.14

E. Pengertian Anak dan Sanksi Hukumannya


Pengertian anak dalam kaitan dengan perilaku anak nakal (juvenile delinquency),
biasanya dilakukan dengan mendasarkan pada tingkatan usia, dalam arti tingkat usia
berapakah seseorang dikatagorikan sebagai anak. Selain itu adapula yang melakukan
pendekatan psikhososial dalam usahanya merumuskan tentang anak. Pada hakekatnya,
batasan anak dalam kaitan hukum pidana – yang berarti melingkupi pengertian anak nakal –
menurut Maulana Hasan Wadong15 meliputi dimensi pengertian sebagai berikut :

a. ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana;

b. pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang timbul dari
lapangan hukum keperdataan, tata negara, dengan maksud untuk mensejahterakan anak;

c. rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapatkan perbaikan mental spiritual akibat dari
tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri;

d. hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan;

e. hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.

Berbagai negara di dunia tidak ada keseragaman tentang batasan umur seseorang
dikatagorikan sebagai anak dalam kaitan dengan pertanggungjawaban pidana, seperti :

1. Di Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batas umur antara 8 – 18 tahun,


sementara 6 negara bagian lain menentukan batas umur antara 8 – 17 tahun, sementara
ada pula negara bagian yang lain menentukan batas umur antara 8 – 16 tahun;
2. Di Inggris, ditentukan batas umur antara 12 – 16 tahun;
3. Di Australia, kebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8 – 16 tahun;
4. Di Belanda, menentukan batas umur antara 12 – 18 tahun;
5. Di Srilangka, menentukan batas umur antara 8 – 16 tahun,
6. Di Iran, menentukan batas umur antara 6 – 18 tahun;
7. Di Jepang dan Korea, menentukan batas umur antara 14 – 20 tahun;
8. Di Taiwan, menentukan batas umur antara 14 – 18 tahun;
9. Di Kamboja, menentukan batas umur antara 15 – 18 tahun

14
Pujiyono Ikhsan, Hari Sutra Disemadi, Syukri Kurniawan, “Upaya Perlindungan Anak Dalam Peradilan Pidana Di Era
Pemberlakuan ‘New Normal’ Selama Pandemi Covid-19 Di Indonesia,” Jurnal Ilmu Hukum 9, no. 2 (2020): 225–242.
15
Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, PT. Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 22
9
10. Di Negara-negara ASEAN lain, antara lain : Filipina (antara 7 – 16 tahun); Malaysia
(antara 7 – 18 tahun); Singapura (antara 7 – 18 tahun)16

F. Konsep Pemidanaan Bagi Anak Nakal


Pada bagian terdahulu telah diuraikan tentang sanksi yang dapat diajtuhkan bagi anak
nakal. Apabila dibandingkan dengan ancaman yang tertuang dalam Pasal 10 KUHP, yang
memuat pidana pokok berupa : SANKSI PIDANA PIDANA POKOK PIDANA
TAMBAHAN KURUNGAN DENDA PENGAWASAN PERAMPASAN BARANG
BARANG TERTENTU PEMBAYARAN GANTI KERUGIAN DAPAT DISERTAI
DENGAN : TEGURAN DAN SYARAT TAMBAHAN TINDAKAN
Pengembalian kepada orangtua, wali atau orangtua asuh Menyerahkan kepada Negara
untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja Menyerahkan kepada Dep.Sosial
atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja PENJARA
- pidana mati
- pidana penjara
- pidana kurungan
- pidana denda
- pidana tutupan,
Maka khusus untuk pidana mati, undang-undang Pengadilan Anak tidak menghendaki
apabila anak yang telah melakukan kenakalan diancam dan dijatuhi pidana pokok berupa
pidana mati. Sebagaimana diketahui bahwa pemeriksaan anak nakal dilatarbelakangi oleh
filosofi bahwa semata-mata demi kepentingan anak. Artinya, terhadap anak – yang notabene
sebagai generasi penerus bangsa – tidak diinginkan untuk dijatuhi pidana mati, karena anak
sangat memerlukan pembinaann dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan
yang menunjang perkembangan fisik, mental, dan sosialnya. Karena itu, apabila diancamkan
pidana mati, maka upaya pembinaan dan perlindungan tidak akan pernah dapat diberikan
sementara usia yang akan dijalani oleh seorang anak masih sangat Panjang.

Dalam UU Pengadilan Anak, pola pemidanaannya dapat dilihat sebagai berikut :

• Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2 huruf a, hakim
dapat menjatuhkan Pidana atau Tindakan (Pasal 25 ayat (1)
• Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2 huruf b, hakim
dapat menjatuhkan Tindakan (Pasal 25 ayat (2))

16
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak Dan wanita Dalam Hukum, LP3ES, Jakarta, 1989, hal.10-11
10
• Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2 huruf a,
ancaman Pidana Penjara yang dapat dijatuhkan terhadapnya ½ dari ancaman pidana
penjara orang dewasa (Pasal 26 ayat (1))
• Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2 huruf a,
melakukan perbuatan yang diancam dengan hukuman mati atau seumur hidup, ancaman
pidana penjaranya paling lama 10 tahun (Pasal 26 ayat (2))
• Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2 huruf a belum
mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana
mati atau pidana seumur hidup, maka dapat dijatuhkan Tindakan Penyerahan kepada
negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja (Pasal 26 ayat (3)
• Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2 huruf a belum
mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan perbuatan yang tidak diancam dengan
pidana mati atau pidana seumur hidup, maka dapat dijatuhkan salah satu Tindakan
berdasarkan Pasal 24 (Pasal 26 ayat (4))
• Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2 huruf a,
ancaman Pidana Kurungan yang dapat dijatuhkan ½ dari ancaman Kurungan orang
dewasa (Pasal 27)
• Pidana denda yang dapat dijatuhkan bagi anak nakal maksimal ½ dari maksimum ancaman
orang dewasa ( Pasal 28 ayat (1)), yang apabila tidak dapat dibayar maka diganti dengan
wajib latihan kerja ( Pasal 28 ayat (2)), dimana wajib latihan kerja tersebut dilakukan
paling lama 90 hari kerja dan lama latihannya tidak lebih dari 4 jam sehari serta tidak
dilakukan pada malam hari ( Pasal 28 ayat (3)). Wajib latihan kerja yang diberikan
terhadap anak dimaksudkan selain sebagai pengganti pidana denda juga sekaligus untuk
mendidik anak agar memiliki keterampilan yang bemanfaat baginya.17
• Terkait pidana bersyarat, dapat diberikan hakim apabila pidana penjara yang akan
dijatuhkan paling lama 1 (satu) tahun dengan ditentukannya syarat umum dan syarat
khusus, yang lamanya Pidana bersyarat tersebut paling lama 3 (tiga) tahun. Syarat umum
adalah bahwa anak nakal tidak akan melakukan kenakalan selama menjalani masa pidana
bersyarat, sementara syarat khusus adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu yag ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan
anak. Bahwa selama menjalani pidana bersyarat, bagi anak dilakukan pengawas oleh
Jaksa dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan. (Pasal 29 ayat (1) sampai (9))

17
Bandingkan dengan hukum umum (KUHP) mengenal pidana kurungan pengganti denda
11
• Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2 huruf a , pidana
Pengawasan dijatuhkan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun, yang
ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan dibimbing oleh Pembimbing
Kemasyarakatan. (Pasal 30 ayat (1) dan (2))  Terhadap anak nakal yang diputus oleh
hakim untuk diserahkan kepada negara, ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
sebagai anak negara (Pasal 31 ayat (1)).

G. Filsafat Pemidanaan
Filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat umum, karena ia menawarkan refleksi
filosofis mengenai landasan hukum umum.18Kita mengetahui bahwa hukum berkaitan erat
dengan norma-norma untuk mengatur perilaku manusia. Dengan demikian, kita dapat
menyimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat, yang disebut etika atau
filsafat tingkah laku. Jadi tepatlah apabila dikatakan bahwa filsafat manusia berkedudukan
sebagai genus, etika sebagai species dan filsafat hukum sebagai subspecies.19
Penanganan perkara pidana terhadap anak memiliki perbedaan dengan penanganan
perkara pidana terhadap orang dewasa.Perlindungan terhadap anak telah diatur di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 yang berbunyi bahwa negara memberikan perlindungan
kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar. Di dalam deklarasi hak-hak anak disebutkan pula
bahwa anak karena ketidakmatangan fisik dan mentalnya, membutuhkan perlindungan dan
perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah dilahirkan.
Kehidupan yang semakin kompleks dan beraneka ragam dari arus globalisasi
menyebabkan pengaruh positif dan negatif terhadap kemajuan zaman yang diikuti oleh
perubahan perilaku manusia. Perilaku negatif yang tidak sesuai dengan norma sosial dianggap
sebagai masalah sosial oleh masyarakat.

Perilaku yang melanggar norma ini tidak hanya bisa dilihat pada masyarakat dewasa,
namun anak-anak pun tidak luput dari perilaku yang menyimpang dan tidak jarang melanggar
hukum. Ada banyak faktor mengapa anak-anak melakukan tindakan kriminal sehingga
melanggar hukum, bahkan tak sedikit anak-anak di bawah umur yang di penjara.

Kasus anak berhadapan dengan hukum hampir terjadi di setiap daerah. Komisi
Perlindungan Perempuan dan Anak Daerah (KPPAD) Kalimantan Barat (Kalbar), misalnya,

18
Joachim Friedrich, Filsafat Hukum : Perspektif Historis. Terjemahan Raisul Muttaqien, PT Nuansa dan PT Nuansa
Media, Bandung, 2004, hal. 3
19
Muhammad Erwin dan Amrullah Arpan, Filsafat Hukum. Mencari Hakikat Hukum. Edisi Revisi. Penerbit UNSRI,
Palembang, 2008, hal. 7
12
mencatat ada 294 kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) sepanjang 2021. Kota
Pontianak mencatat kasus ABH tertinggi yakni 147 kasus.

"Untuk Kota Pontianak ada sebanyak 147 kasus yang kami terima dan ditangani, dari
jumlah itu sebanyak 59 merupakan kasus ABH," kata Ketua KPPAD Kalbar, Eka Nurhayati
Ishak, seperti dilansir Antara di Pontianak, Jumat 17 Desember 2021 lalu.

Kasus ABH di Pontianak di antaranya adalah pornografi, cybercrime, human


trafficking, eksploitasi hak anak, dan pengasuhan keluarga. Selanjutnya adalah Kubu Raya
dengan 74 kasus, Sambas 29 kasus, Bengkayang 11 kasus, Singkawang 9 kasus, Mempawah
6 kasus. Berikutnya, Sanggau dan Sintang masing-masing empat kasus, Landak tiga kasus,
Ketapang dua kasus, Kapuas Hulu dan Kayong Utara masing-masing satu kasus.
Perlu diketahui, penanganan perkara pidana terhadap anak memiliki perbedaan dengan
penanganan perkara pidana terhadap orang dewasa. Penanganan perkara pidana terhadap anak
diatur sendiri di dalam peraturan yang mengaturnya. Ada beberapa ketentuan yang mengatur
terkait dengan penaganan anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu Undang-Undang No.11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang No.3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak.
Kemudian Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua
atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah (PP) No.65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi
dan Penanganan Anak yang belum berumur 12 tahun, Peraturan Mahkamah Agung No.4
Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan
Jaksa Agung No.06/A J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Divers

13
BAB III
PENUTUP
Dalam lapisan ilmu hukum pidana , filsafat hukum memang sangat berperanan. Filsafat
hukum merupakan refleksi filosofis mengenai landasan hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum
sebagai jiwa yang kemudian terefleksi ke dalam teori-teori hukum, dogmatika hukum dan kemudian
sampai pada praktik hukum. Menyangkut ilmu hukum pidana anak, ternyata jiwa yang ada dalam
filsafat pemidanaan yaitu filsafat determinisme – sebagai ujud dari filsafat hukum – telah secara benar
direfleksikan ke dalam pengembangan teori-teori pertanggung-jawaban pidana anak yang melakukan
kenakalan. Bahwa terhadap anak yang melakukan kenakalan tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara penuh seperti halnya orang dewasa yang melakukan kejahatan. Pemahaman demikian
kemudian secara eksplisit dirumuskan dalam UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang
mengatur bahwa terhadap anak tersebut dapat dijatuhkan sanksi berupa sanksi Pidana atau sanksi
Tindakan.

Asas yang paling mendasar bahwa pemberian sanksi terhadap anak, harus memperhatikan
keberadaan anak sebagai manusia yang mempunyai “ciri dan sifat khusus”. Walaupun telah diatur
demikian, namun dalam praktiknya dijumpai terhadap anak yang melakukan kenakalan, pemberian
sanksi oleh penegak hukum lebih 41 dilandasi oleh alam fikiran normative-legalistik, karena
kenyataannya sanksi yang paling banyak dijatuhkan adalah sanksi Pidana berupa pidana Penjara,
yang sebenarnya bentuk sanksi yang paling dihindari terhadap anak. Artinya, filsafat determinisme
yang menjiwai teori dan dogmatika hukum dalam kasus anak, tidak
diimplementasikan/dioperasionalkan secara baik oleh aparat pemutus perkara (hakim).

Setiap anak memiliki hak asasi sebagaimana hak yang dimiliki oleh orang dewasa, sehingga
menghormati hak asasi anak sama hal-nya dengan menghormati hak asasi manusia. Hak-hak anak
yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak dikelompokkan ke dalam empat kategori hak-hak anak,
yaitu: 1). Hak untuk kelangsungan hidup; 2). Hak untuk tumbuh kembang; 3). Hak untuk
mendapatkan perlindungan; dan 4). Hak untuk berpartisipasi, Pengaturan penjatuhan pidana terhadap
anak di Iran diatur dalam Pasal 91 KUHP Islam Iran Tahun 2013 dan di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Perlindungana anak merupakan suatu topik hangat yang selalu bagus untuk diperbincangkan,
hal ini terjadi karean anak adalah sebagai generasi penerus bangsa kedepannya. Melalui filsafat
hukum sebagai landasan dasar ilmu hukum bisa menjelaskan bahwa filsafat hukum sangat melindungi
peran HAM yang menjamin perlindungan anak.

14
DAFTAR PUSTAKA
Margarito Kamis, 2004, Gagasan Negara Hukum Yang Demokratis Di Indonesia, Studi Sosio Legal
Atas Pembatasan Kekuasaan Presiden Oleh MPR 1999-2002, Depok, Disertasi, Fakultas Hukum
Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Muhammad Hasim Kamali, 2009, Islamic Law In Malaysia, Issues And Developments, Chapter
Six, Issues Over Custody And Guardianship, Kuala Lumpur, Ilmiah Publisher

Satjipto Rahardjo, (Ilmu Hukum) Dari Abad Ke Abad, di dalam kumpulan karangan Butir-Butir
Pemikiran Dalam Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Bandung, Refika
Aditama.

Astim Riyanto, Filsafat Hukum, Yapemdo, Bandung, 2003

Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, PT. Grasindo,
Jakarta, 2000

15

Anda mungkin juga menyukai