Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HAK ASASI MANUSIA DAN GENDER

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pengantar Studi Islam

Dosen Pengampu: Achmad Fauzi,S.H.I.

KELOMPOK 10 :

Moh Samsul Arifin (22382041114)

Khoirotul Ummah (22383204298)

Ratri Diah Parmawaswari (22382042105)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

IAIN MADURA

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah-nya yang
telah dilimpahkan kepada penulis,sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ HAK
ASASI MANUSIA DAN GENDER “. Shalawat serta salam semoga tercurahkan dalam
junjungan Nabi Muhammad SAW.yang telah membawa serta membimbing kita dari zaman
jahiliyah menuju zaman cahaya islam seperti saat ini.

Dalam menyelesaikan makalah ini,penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu,penulis ucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak yang telah memberikan judul makalah ini.


2. Orang tua yang telah memberikan dukungan kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat waktu.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Kami
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari batas sempurna untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran guna menyempurnakan makalah ini. Atas perhatianya
kami ucapakan terimakasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.


Pamekasan,24 Oktober 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................
KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang............................................................................................................
B. Rumusan Masalah......................................................................................................
C. Tujuan Pembahasan .................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hak Asasi Manusia..................................................................................
B. Pengertian Gender......................................................................................................
C. HAM dan Tanggung Jawab dalam Perspektif Islam.................................................
D. Sejarah Peran Gender.................................................................................................

BAB III PENNUTUP


Kesimpulan dan Saran................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

. Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender merupakan isu global, yang menjadi
sorotan sejumlah aktivis HAM diberbagai bidang. Hal ini dilakukan untuk memberikan
pemahaman tentang pentingnya menjaga hak-hak individu. Sebab penjagaan terhadap hak
individu merupakan bagian terpenting dalam membangun sinergitas dan keseimbangan
ekosistem kehidupan manusia. Untuk melaksanakan penanaman nilai-nilai saling menjaga hak-
hak individu tentunya sikap saling
menghargai, menghormati, dan moral sangatlah penting untuk dibangun dan dijaga dalam
kehidupan sehari-hari.
Jadi dalam makalah ini, penulis merumuskan masalah yang dipaparkan dalam latar
belakang diatas adalah bagaimana kondisi pelaksanaan Pendidikan yang berdasarkan pada Hak
Asasi manusia dan Gender dalam Pendidikan Islam, terutama setelah adanya Pendidikan
multicultural sebagai salah satu konsep pendidikan kritis yang dirancang oleh para akademisi
yang berada dilingkungan perguruan tinggi?

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia?
2. Apa yang dimaksud dengan Gender?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui tentang Hak Asasi Manusia.
2. Untuk mengetahui yang ada didalam Gender.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai bagian dari keilmuan humaniora, hingga saat
ini menjadi perhatian sejumlah peneliti, baik dalam skala nasional regional maupun
internasional, untuk terus dikaji, diteliti dan dikembangkan sebagai bagian keilmuan yang
mampu memanusiakan manusia secara holistic, tanpa cela. Bahkan jika diperhatikan secara
seksama dalam konsepsi penelitian terkait Hak Asasi Manusia (HAM) cukup beragam
pendekatan keilmuan yang digunakan, seperti; hukum, pendidikan, social, agama, ekonomi
dan budaya. Dari proses dan pendekatan yang digunakan, seharusnya hasil penelitian yang
dilakukan juga mampu menawarkan konsepsi ideal dalam rancangan proses
penyelanggaraan pendidikan yang berlangsung, agar benar-benar mampu mencetak out
come pendidikan yang lebih humanis.
Mengingat potensi yang dimiliki bangsa ini yang multi-kutur, multi-ras, multi-
agama dan multi-bahasa bagi penulis memang merupakan sebuah karunia, bahkan menjadi
sebuah harta yang tak ternilai dari Tuhan untuk dijaga dan dibangun dengan nilai-nilai
kemanusiaan dengan mengacu pada nilai-nilai bhineka tunggal ika. Potensi budaya dan
kearifan local yang sangat tak terhingga bisa jadi menjadi hal yang positif atau negatif,
tergantung bagaiman potensi tersebut dikembangkan dan dikemas saat ini.Setiap potensi
yang tak terhingga tersebut, seharusnya menjadi bahan perhatian dunia pendidikan, agar
terus mengkaji dan menawarkan sejumlah model pendidikan yang mampu menjaga,
melindungi dan membangun setiap individu-individu dari masyarakat, sehingga mampu
mengantarkan bangsa ini sebagai Negara yang sesuai dengan yang dicitacitakan secara
konstitusional.
Perancangan sistem pendidikan yang direalisasikan dalam Pendidikan Indonesia,
cukup banyak menghasilkan sejumlah tindakan kekerasan dalam pendidikan (violance in
education) serta berujung pada kriminalitas, intimidasi dan bullying; dalam proses
pendidikan. Jika diperhatikan masalah ini muncul bukanlah disebabkan oleh system
rancangan yuridis yang berlaku, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh pengaruh
kurikulum, kesadaran dan kemampuan tenaga pendidikan, kurangnya pembinaan
pemerintah, dan ketidaktahuan masyarakat dalam memahami hak-hak mendasar yang
melekat pada setiap manusia.
Sebagaimana diungkapkan oleh M Nafiah Ibnor dalam laporan di jurnal
kopertis pada tahun 2009 yang menyebutkan bahwa:
Namun demikian, proses dan tata kehidupan politik yang telah berjalan
dalam usia relatif dini nampaknya belum memberikan dampak yang mengembirakan dan
menunjukkan tanda-tanda yang meyakinkan (convincing signs). Karena masih ditemukan
beberapa tindakan kontraproduktif dan destruktif seperti tindakan pelanggaran HAM,
kecenderungan tindakan yang mengarah pada "destabilisasi", kecenderungan Tindakan
mobokrasi, tindak kekerasan, rendahnya penegakan hukum bagi para pelaku pelanggaran
HAM, penyalahgunaan kekerasan, masih maraknya tindak korupsi, tingginya pertentangan
antara legislatif dengan yudikatif dalam kerangka otonomi daerah dan sebagainya.1
Hal ini tentunya memerlukan sejumlah grand desain, terkait tawaran
konsepsi dalam membangun rancangan sistem pendidikan yang dilakukan agar
mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai sebuah jawaban dan bentuk
kebutuhan yang mendasar (Need Assesment). Mengapa bisa demikian? Hal ini
tentunya dikarenakan selama ini terdapat masalah penting, serta perlu di garis
bawahi dan menjadi perhatian bersama terkait pola kehidupan berbangsa dan

1
M Nafiah Ibnor, Nilai-Nilai Demokrasi Dan Ham Dalam Sistem Pendidikan Indonesia, Ittihad
Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009, pp 2.
To speak of “human rights” in the Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN) is no longer a taboo. Looking back at its history over the past 30
years, there have certainly been critical phases in advancing the
“democratic moments,” that contributed to a long-awaited human rights
mainstreaming in ASEAN.3 They first took place in the 1986 EDSA
“people’s revolution” in the Philippines; thenwere triggered by the Asian
financial crisis swept over ASEAN countries in the late 1990s that resulted
in the ending of the 32-year Suharto regime and the mushrooming of
various proactive civil society organization (CSOs) in Indonesia.The latest
phase saw the adoption and ratification of the ASEAN Charter. Few doubt
that following the ratification of the ASEAN Charter, an ASEAN human
rights body, stipulated in article 14 of the Charter, that subsequently
materialized in the ASEAN Intergovernmental Commission on Human
Rights (AICHR) in 2009 is exemplary of these moments
bernegara dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Jika dirumuskan lagi terhadap pendidikan hak asasi manusia yang lebih
mengarah pada persepsi penyelenggaran pendidikan yang sesuai dengan amat dari
undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003, maka akan
didapatkan bahwa sebenarnya proses pendidikan dilakukan memerlukan kualitas
tertentu atau dengan kata lain perlu pendidikan yang bermutu. Adapun untuk
konsepsi pendidikan bermutu, penulis mengadopsi pada konsepsi sebagi berikut:

Pendidikan bermutu adalah investasi bukan hanya bagi individu tetapi juga bagi
masyarakat. Pendidikan bermutu merupakan investasi masa depan bangsa dalam
membentuk warga negara seutuhnya yang terdidik, cerdas, dan merupakan aset yang
menentukan eksistensi serta kemajuan bangsa dalam berbagai dimensi kehidupan.
Sehingga disimpulkan bahwa kualitas pendidikan baik di sekolah umum maupun di
madrasah dapat dicapai melalui adanya program sertifikasi termasuk perbedaan yang
berarti antar hasil belajar yang dicapai sekolah umum maupun sekolah unggulan.2

Jika kualitas pendidikan telah bermutu maka peran pemerintah untuk menjalankan
pendidikan berbasis karakter dapat dilaksanakan. Terutama yang berkaitan dengan
program pendidikan hak asasi manusia sebagai bagian yang integral dalam merancang
system pendidikan humanis, demokratis, dan religious.

Dengan demikian, maka perancangan system pendidikan berbasis hak asasi


manusia sanga diperlukan, guna lebih meningkatkan dan menjaga harkat martabat
manusia itu sendiri yang dilaksanakan melalui lingkungan buatan atau lembaga
pendidikan sebagai pelaku program untuk mengedepankan nilai-nilai hak asasi
manusia sebagai ruh dalam sistem pendidikan yang dilaksanakannya.

Jika kualitas pendidikan telah bermutu maka peran pemerintah untuk menjalankan
pendidikan berbasis karakter dapat dilaksanakan. Terutama yang berkaitan dengan
program pendidikan hak asasi manusia sebagai bagian yang integral dalam merancang
system pendidikan humanis, demokratis, dan religious. Dengan demikian, maka

2
Ibid, pp 28.
perancangan system pendidikan berbasis hak asasi manusia sanga diperlukan, guna lebih
meningkatkan dan menjaga harkat martabat manusia itu sendiri yang dilaksanakan
melalui lingkungan buatan atau Lembaga pendidikan sebagai pelaku program untuk
mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai ruh dalam sistem pendidikan yang
dilaksanakannya.

B. Pengertian Gender

Istilah gender seringkali dimaknai sebagai sex atau jenis kelamin laki-laki
dan perempuan yang bersifat biologis. Gender berbeda dengan jenis kelamin. Walaupun
jenis kelamin laki-laki sering berkaitan erat dengan gender maskulin dan jenis kelamin
perempuan berhubungan dengan gender feminin, kaitan antara jenis kelamin ini bukanlah
merupakan korelasi yang absolut.
Dalam Women’s Studies Encyclopedia gender didefinisikan sebagai the
distinction in roles, behaviors, and mental and emotional characteristics between females
and males developed by a society. 3

Mansour Fakih juga menyatakan hal yang serupa, bahwa gender adalah perbedaan
perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. 4

Sedangkan Badriyah Fayumi, dkk mendefinisikan gender dengan lebih detail yaitu
seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada
diri laki-laki dan perempuan (feminitas dan maskulinitas) akibat bentukan budaya atau
lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. 5

Sikap dan perilaku perempuan dan laki-laki atau feminitas dan maskulinitas
merupakan hasil belajar seseorang melalui proses sosialisasi yang panjang di lingkungan
masyarakat, tempat ia tumbuh dan dibesarkan.
Feminitas dan maskulinitas bukanlah hal yang kodrati dan dapat berubah dari waktu ke

3
Helen Tierney (ed), Woman’s Studies Encyclopedia, (New York: Peter Bedrick Book, 1991),
hlaman 153.
4 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997,
halaman 71—72.
4

5
Lihat dalam Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam),
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), halaman xii.
waktu dan tempat ke tempat lain.
Dengan demikian, berdasarkan definisi-definisi dan pengertian tersebut dapat
dikatakan bahwa gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peranperan dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat
diubah sesuai dengan perubahan zaman.
Karena gender dibangun berdasarkan konstruksi sosial, gender bukanlah sesuatu ya
dan telah ada secara alamiah, melainkan dibentuk oleh masyarakat.
Secara umum, alasan perkembangan upaya penyetaraan gender antara lain
dilatarbelakangi oleh: Berkembangnya iptek; Rasionalisasi; Demokratisasi yang
dimaknai sebagai sebuah kebebasan.
Pada awalnya, secara konservatif masalah ketimpangan peran sosial berdasarkan
gender (gender inequality) dianggap sebagai divine creation, segalanya bersumber dari
Tuhan.6
Beberapa peneliti Muslim (sering disebut sebagai feminis, misalnya dari Nahdlatul
Ulama) melakukan pengkajian ulang dengan mendekonstruksi penafsiran produk masa
lalu atau melakukan telaah kritis (takhrij). Misalnya, telaah kritis feminis Muslim
NU atas Hadits-Hadits yang terdapat dalam kitab Uqud al-Lujjayn yang menghasilkan
temuan sejumlah hadis yang dinilai lemah serta palsu.7
Menyikapi hasil temuan tersebut mereka melakukan ta’liq atau metode berpikir dan
berkomentar secara kritis-argumentatif terhadap pemikiran penafsir hadits masa lalu
dengan menghadirkan hadits lain yang lebih shahih, lebih adil terhadap gender, dengan
menyertakan pula ayat-ayat Al Quran, analisis kebahasaan, dan fakta sejarahnya. Bila
kemudian dinilai palsu/mawdlu, tafsiran hadits tersebut dianggap tidak shahih dan
diabaikan.

6
Lihat dalam Nasaruddin Umar, ―Perspektif Jender dalam Islam‖, dalam
http://paramadina.wordpress. com/2007/03/16/pengertian-gender/. Diunduh 7 Desember 2011.
7
Selengkapnya lihat dalam Jamhari, Citra... halaman 54.
C. HAM dan Tanggung Jawab dalam Perspektif Islam

1. Macam-Macam Hak-Hak Asasi Manusia

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa sosok manusia dalam
perspektif Islam, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial,
mempunyai hak asasi pokok, semata-mata diistimewakan memang karena dirinya sebagai
hamba Allah SWT. Di antara

hak-hak asasi tersebut adalah:

1 Hak Untuk Hidup

Hak asasi yang paling utama yang diusung oleh Islam adalah hak untuk hidup dan
menghargai hidup manusia. Hal tersebut secara tegas telah dikemukakan oleh Allah SWT
pada QS. 5 (al-Ma’idah):32, yang artinya:

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia
seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas,
kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan di muka bumi.”

2 Hak untuk Memperoleh Kebutuhan Hidup atau Hak Ekonomi


Berbicara tentang hak ekonomi, Islam telah mengajarkan kepada setiap individu untuk
dapat memenuhi kebutuhan pribadinya dan keluarganya sesuai dengan prestasi hidup skill
yang dimiliki. Namun, di balik harta yang dimilikinya itu, di dalamnya terkandung hak
orang lain, khususnya kalangan dhua`fa dari golongan fakir miskin, yang dikeluarkan
melalui zakat, infak, dana sedekah (ZIS). Selain itu, Islam memberikan jaminan
perlindungan dan keamanan terhadap eksistensi harta kekayaan masing-masing individu,
khususnya terhadap harta benda yang diperoleh secara legal dan sah menurut hukum.
Termasuk di dalamnya hak-hak untuk dapat menikmati dan mengkonsumsi harta, hak
untuk investasi dalam berbagai usaha, hak untuk mentransfer, serta hak perlindungan
individu lain tinggal di atas tanah miliknya.8

3. Hak untuk Mendapatkan Kemerdekaan dan Kebebasan

Islam secara tegas melarang praktek perbudakan, dalam bentuk orang yang merdeka
menjadi hamba sahaya, kemudian diperjualbelikannya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh
Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibn
Majah yang bersumber dari `Amr bin `Ash, yaitu: “Ada tiga kategori manusia yang aku
sendiri akan menggugatnya pada hari kiamat. Di antaranya adalah mereka yang
menyebabkan seorang yang merdeka menjadi hamba sahaya, lalu menjualnya dan
memakan uang hasil penjualannya.”

Menurut Abu al-`A’ala al- Maududi, pernyataan hadits Rasululah SAW tersebut tidak
hanya terbatas dan hanya berlaku bagi satu bangsa tertentu,atau ras tertentu, atau hanya
berlaku bagi penganut agama tertentu saja. Akan tetapi, berlaku secara umum dan
universal mencakup kepada seluruh lapisan manusia. Sehingga, Islam, menurut al-
Maududi, berusaha secara maksimal untuk memecahkan persoalan perbudakan yang telah
berlangsung di Arabia dan di seluruh dunia, denga mendesak para tuan (pemilik hamba
sahaya) untuk membebaskan para budak. Membebaskan para hamba sahaya untuk
kemudian menjadi seorang yang merdeka dikatakan sebagai sebuah perbuatan mulia, yaitu
bahwa setiap organ tubuh orang yang membebaskan hamba sahaya akan dilindungi dari
acaman siksa api neraka. Sebagai hasil dari kebijakan ini, masalah perbudakan di Arabia
dapat dituntaskan dalam kurun waktu 40 tahun. Dimulai oleh Rasulullah SAW telah
membebaskan sebanyak 63 hamba sahaya, `Aisyah RA telah membebaskan 67 orang,
Abadullah bin Abbas membebaskan 70 orang , Abdullah bin `Umar telah memerdekakan
sebanya 1000 orang, dan Abdurrahman ash-Shahra telah memerdekakan 30.000 orang.
Selanjutnya diikuti oleh para sahabat yang lain yang telah membebaskan hamba sahaya
dengan jumlah yang lebih banyak.
8
Syeikh Syaukat Husain, Op. Cit., h. 62.
2. Essensi HAM dan Tanggung Jawab Asasi Manusia

Secara essensial, dari beberapa macam Hak-Hak Asasi Manusia berdasarkan


perspektif Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, semuanya berpulang kepada
lima konsep Hak-Hak Asasi manusia yang dikenal dengan term ”dharuriyyat al-khams”
(lima hak asasi yang paling dominan) yang akan mengayomi dan melindungi kehidupan
manusia, dan sekaligus akan diminta pertanggungjawaban pendayagunaannya. Kelima
prinsip tersebut adalah:
Kesatu, Hak Perlindungan terhadap Jiwa atau Hak Hidup.
Perlindungan terhadap jiwa merupakan hak yang tidak bisa ditawar. Pemaknaan yang
paling elementer dari hak hidup ini dituangkan dalam sistem hukum, yang salah satunya
melalui metode hukum qisas. Sebab, kehidupan(al-hayât) merupakan sesuatu hal yang
sangat niscaya dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Oleh sebab itu, barang siapa yang
dengan sengaja
melanggar kehidupan orang lain, maka yang bersangkutan mesti dihukum dengan
hukuman yang sepadan dan setimpal, agar orang tesebut tidak mengulanginya kembali
perbuatan yang sama pada waktu dan kesempatan yang akan datang.

Kedua, Perlindungan terhadap keyakinan.

Perlindungan terhadap agama dan keyakinan yang dianut oleh masing-masing individu
mendapatkan posisi dan perhatian yang sangat tinggi dari ajaran Islam. Secara universal,
Islam memberikan kepada setiap individu untuk memilih dan memilah agama yang akan
dianutnya. Walaupun, Islam memang menawarkan ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW untuk dipahami, dikaji, dan dianalisa. Sehingga pemahaman dan
kesadaran dari masing-masing individulah yang sangat diutamakan dengan melihat konsep
untuk memeluk agama Islam dengan penuh ketulusan, dan nilai-nilai positif yang akan
didapatkan.

Ketiga, Hak Perlindungan Terhadap Akal Pikiran.

Hak perlindungan terhadap eksistensi akal pikiran ini diterjemahkan dalam perangkat
hukum yang sangat elementer yakni tentang haramnya makan dan minum, serta
mengkonsumsi sesuatu yang bisa merusak akal pikiran. Barang siapa yang melanggar hal
itu (merusak sistem kesadaran akal) hukumnya cukup keras. Hukuman yang keras dan
tegas ini dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap akal pikiran. Sesungguhnya, dari
penjelasan yang bersifat elementer ini bisa dipahami lebih dalam lagi, yaitu dengan akal
pikiran yang sehat akan dimasukkan juga hak pendidikan, dan hak kebebasan berpendapat.

Keempat, Perlindungan Terhadap Hak Milik.

Perlindungan ini diimplementasikan dalam bentuk diharamkannya mencuri,


merampok, dan yang sejenis yang akan mengancam eksistensi hak milik. Selain itu,
memang disertai dengan ancaman yang keras bagi pelaku pencurian. Jika diterjemahkan
lebih jauh hak ini lebih dipahami sebagai hak bekerja atau memperoleh pendapatan yang
lebih layak.
Kelima, Hak Berkeluarga atau Hak Memperoleh Keturunan.

Hak Berkeluarga atau hak memperoleh keturunan ini merupakan hak untuk
mempertahankan eksistensi nama baik. Hal tersebut diimplementasikan dalam benuk
diharamkannya tindakan perbuatan zina. Namun, dalam membuktikan delik perzinaan
tersebut mesti didukung oleh kesaksian yang valid, yaitu empat orang saksi lelaki. Jika
tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan, maka pihak tertuduh zina akan terbebaskan dari
ancaman hukuman. Sebaliknya pihak penuduhlah yang akan terkena ancaman yang berat.

D. Sejarah Peran Gender

Kita dapat melihat dalam sepanjang lintasan sejarah, bahwa peranperan dan
pembagian kerja dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor seksual dan jenis
kelamin, menurut Michelle Rosaldo dan Louse Lamphere, pembagian kerja secara seksual
berdasarkan ciri universal dalam kelompok budaya.

1. Masyarakat berburu dan meramu


Dalam masyarakat yang masih primitif ini, peran sosial ekonomi menempatkan laki-
laki sebagai pemburu dan perempuan sebagai peran. Di sini kaum laki-laki lebih
berkesempatan besar untuk mendapat pengakuan dan prestise, semakin banyak buruan dan
besar hasil buruan yang didapat semakin besar pula kekuasaan yang diperoleh termasuk
atas perempuan.

2. Masyarakat Holtikultura

Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin tidak begitu tampak karena perempuan
dianggap mampu untuk menggarap kerja perkebunan. Kekuasaan perempuan besar kecuali
bidang politik. Pada masa ini ditengarai masyarakat menganut pola matrilineal, perempuan
mempunyai akses yang cukup besar dalam hal produksi dan ekonomi.

3. Masyarakat Agraris

Relasi gender mengalami pergeseran seiring dengan bergesernya masyarakat


holtikultura menjadi masyarakat agraris. Peranan produktifekonomis perempuan
digantikan oleh laki-laki dan menyisihkan perempuan pada pojok kerja ke rumah tangga
yang sama sekali miskin “produksi dan ekonomi”, lambat laun berkembang pola yang
disebut M. Kay Martin dan Barbara Voorhies sebagai “dikotomi luar dalam” (inside-
outside dichotomy) atau “lingkungan publik-domestik” (Domestic public sphere). Menurut
istilah Louise Lamphere relasi gender masyarakat agraris ditandai dengan ciri-ciri
masyarakat patriarkhi yang memberikan peranan lebih besar pada laki-laki. Akibat tragis
dari ini adalah lahirnya ideologi gender yang menjunjung superioritas alamiah laki-laki dan
interioritas alamiah perempuan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia (HAM) dan Gender dalam dunia Pendidikan merupakan wacana baru dan
masih banyak membingungkan bagi para pelaku dunia pendidikan, baik praktisi
akademisi maupun peneliti, dalam mengembangkan projek pendidikan berbasis hak asasi
manusia. Hal ini terjadi karena, dalam konstruksi pemikiran sejumlah kalangan yang
berbasis agama di Indonesia, lebih banyak yang menyatakan bahwa hak asasi manusia
merupakan produk barat bukan produk agama. Konsepsi yang demikian, tentunya
mempersulit bagi para penggiat keilmuan yang akan mengembangkan konsep pendidikan
berbasis hak asasi manusia.
Pendidikan berbasis hak asasi manusia pada dasarnya memiliki perbedaan
dengan konsep pendidikan perdamaian (peace education) yang mengedepankan
persamaan derajat manusia dan pendidikan multi-kultural (multiculturalism education)
yang mengusung tema-tema yang berkaitan dengan perbedaan buaya yang harus dihargai
dan dihormati.

B. Saran
Apabila makalah yang sudah kami susun terdapat banyak kekuranan,baik dari segi
kata,susunan makalah,penulisan ejaan,dan lainnya. Kami sebagai penulis mohon maaf
yang sebesar besarnya atas kekurangan kami. Kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkan, sehingga adanya saran dari pembaca dapat membuat
kami bisa memperbaiki makalah dan bisa lebih baik lagi kedepannya dalam pembuatan
makalah.
DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 1996 dan 1997.
Helen Tierney (ed), Woman’s Studies Encyclopedia, New York: Peter Bedrick
Book, 1991Agung Ariani, I Gusti Ayu. 2002. Mengenal Konsep Gender (Permasalahan
dan Implementasinya dalam Pendidikan). paper presentasi dalam pengayaan
pendidikan gender di denpasar bali. 2002.
Amitav Acharya, ―Southeast Asia’s Democratic Moment‖ Asian Survey, Vol.
XXXIX, No. 3, May/June 1999
Ananda Arfa, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2004.
Andersen dan Cusher, The Southern Lumberman, Volume 125 J. H. Baird
Publishing Company; University of Minnesota, 2007.

Anda mungkin juga menyukai