Anda di halaman 1dari 25

HAK ASASI MANUSIA DAN GENDER DALAM PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM TINJAUAN TERHADAP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL1

Isep Ali Sandi1, Dr. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd.2


1
Dosen dan peneliti Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Mas’udiyah dan Mahasiswa
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
2
Dosen dan Peneliti Sekolah Tinggi Agama Islam Sukabumi
Isepalisandi87@gmail.com / 081646920930

Abstrak
Pengembalian kembali terhadap nilai-nilai kemanusiaan, menjadi bagian terpenting
untuk menyadarkan masyarakat umum tentang pentingnya pendidikan berbasis hak asasi
manusia, harapan tertinggi dari paper yang digagas penulis ini yaitu sebuah proses
pembangunan yang akan mengarah pada proses perbaikan sistem pendidikan sehingga
lebih konsisten dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Untuk
dapat merealisasikan pendidikan berbasis hak asasi manusia maka proses membangun
struktur masyarakat yang arif, santun, bijaksana, toleran, dan saling menghargai atas
dasar-dasar kemanusiaan diperlukan sebuah konsepsi baru dalam pendidikan.
Dan hal inilah yang ditawarkan dalam paper ini. Sebab, pada masa ini proses dalam
membangun moralitas anak bangsa yang sudah mulai terhegemoni atau terpengaruhi
oleh fenomena-fenomena disekitarnya yang banyak memberikan masukan pengalaman
kepada setiap anak baik melalui proses visual, audio, audio-visual atau bahkan kondisi
lingkungannya yang nyata. Kearah yang kurang mengahargai nilai-nilai kemanusiaan,
bahkan tindakan-tindakan pelanggaran terhadap kemanusiaan menjadi hal yang biasa
serta menjadi konsumsi masyarakat diseluruh elemen masyarakat.
Pada dasarnya dalam paper ini, isu terkait hak asasi manusia bukan hanya sekedar
menggelindingkan bola panas saja. Sebenarnya tentang penanaman nilai-nilai hak asasi
manusia perlu mulai ditanamkan, entah itu dengan mata pelajaran pendidikan akhlak,
moral, civic education, kewarganegaraan, dan mata pelajaran lainnya. Akan tetapi,
karena selama ini yang terjadi adalah banyaknya pelanggaran hak asasi manusia terjadi,
maka untuk itu peninjauan kembali terhadap mata pelajaran yang diberikan diperlukan,
agar dapat dianalisa, dikaji, diteliti dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kita
dalam membangun masyarakat Indonesia yang beradab, bermartabat, dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Karena rasa penting tersebut maka setiap hal yang
berkaitan dengan kurangnya kesadaran akan hak asasi manusia, perlu diterjemahkan
menjadi sebuah program yang mengajak seluruh stekholder untuk membangun nilai-nilai
tersebut sesuai dengan harapan tertinggi bangsa ini sesuai dengan konstistusi. Oleh
sebab itu, pendidikan yang mengacu pada pendekatan nilai-nilai kemanusian perlu
dilakukan pada generasi muda, sebab dipundaknyalah setiap konsep-konsep yang
dirancang dapat direalisasikan sehingga terbangun sebuah konsepsi baru, bahwa sikap
saling menjaga hak-hak individu, saling menghargai, saling membantu, saling
mengayomi, dan bersama-sama membangun hal tersebut sangatlah berarti bahkan
tertanam menjadi sebuah karakter yang kuat.

Key word: Hak Azasi Manusia, Multikultur, Gender, Pendidikan Agama Islam

1
Artikel dipresentasikan pada International Conference on Islam in Malay World III, pada 29-31
Oktober 2013 di Bali World Hotel Bandung Jawa Barat.
A. PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender merupakan isu global, yang menjadi
sorotan sejumlah aktivis HAM diberbagai bidang. Hal ini dilakukan untuk
memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga hak-hak individu. Sebab,
penjagaan terhadap hak individu merupakan bagian terpenting dalam membangun
sinergitas dan keseimbangan ekosistem kehidupan manusia. Untuk melaksanakan
penanaman nilai-nilai saling menjaga hak-hak individu tentunya sikap saling
menghargai, menghormati, dan moral sangatlah penting untuk dibangun dan
dijaga dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan yang lebih parah lagi, proses penyelenggaran pendidikan yang
berlangsung di pendidikan tinggi kita, belum pernah mampu menawarkan sebuah
objek pendidikan yang mengarah pada perbaikan pendidikan. Untuk itulah paper
ini ditulis oleh penulis yang kini tengah menempuh pendidikan di Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk memberikan
sumbangsih pemikiran terhadap perbaikan pendidikan yang selama ini dilakukan
di negera yang tercinta ini dengan konsen pada masalah gender dan Hak Asasi
Manusia (HAM) dalam konsepsi pendidikan multikultural.
Di Indonesia terkait hak asasi manusia terdapat dalam konstitusi. Seperti
yang terdapat dalam dalam Dekalarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Tahun 1948, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM (Pasal 4, Pasal
22 Ayat (2), Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination (Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi
Rasial/CERD) dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan tentang Hak-hak
Sipil dan Politik/ICCPR).
Jadi dalam makalah ini, penulis merumuskan masalah yang didipaparkan
dalam later belakang diatas adalah bagaimana kondisi pelaksanaan pendidikan
yang berdasarkan pada Hak Asasi manusia dan Gender dalam Pendidikan Islam,
terutama setelah adanya pendidikan multicultural sebagai salah satu konsep
pendidikan kritis yang dirancang oleh para akademisi yang berada dilingkungan
perguruan tinggi?
Paper pendidikan gender dan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sebuah konsep
pendidikan yang ditawarkan kepada lembaga pendidikan tinggi, akademisi,
mahasiswa, peneliti, dan pengamat pendidikan. Agar mampu berjuang bersama
dalam membangun pendidikan yang menanamkan sebuah humanisasi bukan
hanya menjadikan pendidikan sebagai predikat dari pembangunan. Karena
seharusnya pendidikan sebagai system pembangunan masyarakat menjadi objek
sekaligus subjek yang mampu mengantarkan bangsa ini bersaing dengan dunia
global dalam berbagai bidang.
B. HAK ASASI MANUSIA
Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai bagian dari keilmuan humaniora, hingga
saat ini menjadi perhatian sejumlah peneliti, baik dalam skala nasional regional
maupun internasional, untuk terus dikaji, diteliti dan dikembangkan sebagai
bagian keilmuan yang mampu memanusiakan manusia secara holistic, tanpa cela.
Bahkan jika diperhatikan secara seksama dalam konsepsi penelitian terkait Hak
Asasi Manusia (HAM) cukup beragam pendekatan keilmuan yang digunakan,
seperti; hukum, pendidikan, social, agama, ekonomi dan budaya. Dari proses dan
pendekatan yang digunakan, seharusnya hasil penelitian yang dilakukan juga
mampu menawarkan konsepsi ideal dalam rancangan proses penyelanggaraan
pendidikan yang berlangsung, agar benar-benar mampu mencetak out-come
pendidikan yang lebih humanis.
Mengingat potensi yang dimiliki bangsa ini yang multi-kutur, multi-ras,
multi-agama dan multi-bahasa bagi penulis memang merupakan sebuah karunia,
bahkan menjadi sebuah harta yang tak ternilai dari Tuhan untuk dijaga dan
dibangun dengan nilai-nilai kemanusiaan dengan mengacu pada nilai-nilai
bhineka tunggal ika. Potensi budaya dan kearifan local yang sangat tak terhingga
bisa jadi menjadi hal yang positif atau negatif, tergantung bagaiman potensi
tersebut dikembangkan dan dikemas saat ini. Setiap potensi yang tak terhingga
tersebut, seharusnya menjadi bahan perhatian dunia pendidikan, agar terus
mengkaji dan menawarkan sejumlah model pendidikan yang mampu menjaga,
melindungi dan membangun setiap individu-individu dari masyarakat, sehingga
mampu mengantarkan bangsa ini sebagai Negara yang sesuai dengan yang dicita-
citakan secara konstitusional.
Perancangan sistem pendidikan yang direalisasikan dalam pendidikan
Indonesia, cukup banyak menghasilkan sejumlah tindakan kekerasan dalam
pendidikan (violance in education) serta berujung pada kriminalitas, intimidasi
dan bullying; dalam proses pendidikan. Jika diperhatikan masalah ini muncul
bukanlah disebabkan oleh system rancangan yuridis yang berlaku, akan tetapi
lebih banyak dipengaruhi oleh pengaruh kurikulum, kesadaran dan kemampuan
tenaga pendidikan, kurangnya pembinaan pemerintah, dan ketidaktahuan
masyarakat dalam memahami hak-hak mendasar yang melekat pada setiap
manusia.
Sebagaimana diungkapkan oleh M Nafiah Ibnor dalam laporan di jurnal
kopertis pada tahun 2009 yang menyebutkan bahwa:
Namun demikian, proses dan tata kehidupan politik yang telah berjalan
dalam usia relatif dini nampaknya belum memberikan dampak yang
mengembirakan dan menunjukkan tanda-tanda yang meyakinkan
(convincing signs). Karena masih ditemukan beberapa tindakan kontra-
produktif dan destruktif seperti tindakan pelanggaran HAM, kecenderungan
tindakan yang mengarah pada "destabilisasi", kecenderungan tindakan
mobokrasi, tindak kekerasan, rendahnya penegakan hukum bagi para pelaku
pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekerasan, masih maraknya tindak
korupsi, tingginya pertentangan antara legislatif dengan yudikatif dalam
kerangka otonomi daerah dan sebagainya.2

Hal ini tentunya memerlukan sejumlah grand desain, terkait tawaran


konsepsi dalam membangun rancangan sistem pendidikan yang dilakukan agar
mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai sebuah jawaban dan bentuk
kebutuhan yang mendasar (Need Assesment). Mengapa bisa demikian? Hal ini
tentunya dikarenakan selama ini terdapat masalah penting, serta perlu di garis
bawahi dan menjadi perhatian bersama terkait pola kehidupan berbangsa dan
bernegara dengan nilai-nilai kemanusiaan. Memang benar, masalah tersebut
adalah dikarenakan kurangnya kesadaran akan memahami hakikat manusia secara
utuh, bukan disebabkan oleh system yang salah. Karena seperti dikemukakan oleh
Shigemasa Kimikazu dalam Second International Conference Southeast Asia
Human Right and Network (SEAHRN) di Jakarta;

2
M Nafiah Ibnor, Nilai-Nilai Demokrasi Dan Ham Dalam Sistem Pendidikan Indonesia, Ittihad
Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009, pp 2.
To speak of “human rights” in the Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN) is no longer a taboo. Looking back at its history over the past 30
years, there have certainly been critical phases in advancing the
“democratic moments,” that contributed to a long-awaited human rights
mainstreaming in ASEAN.3 They first took place in the 1986 EDSA
“people’s revolution” in the Philippines; thenwere triggered by the Asian
financial crisis swept over ASEAN countries in the late 1990s that resulted
in the ending of the 32-year Suharto regime and the mushrooming of
various proactive civil society organization (CSOs) in Indonesia.The latest
phase saw the adoption and ratification of the ASEAN Charter. Few doubt
that following the ratification of the ASEAN Charter, an ASEAN human
rights body, stipulated in article 14 of the Charter, that subsequently
materialized in the ASEAN Intergovernmental Commission on Human
Rights (AICHR) in 2009 is exemplary of these moments.4

Untuk itu, perancangan system pendidikan yang berlandaskan pada nilai-


nilai kemanusiaan, menjadi bagian sangat penting untuk dilakukan, guna
meningkatkan kualitas kehidupan manusia sebagai makhluk social dan makhluk
berpendidikan. Sebab, berbicara terkait sejumlah isu mengenai Hak Asasi
Manusia (HAM), akan sangat erat kaitannya dengan perkembangan kehidupan
manusia secara global. Agar dapat dijalankan sebuah konsepsi, perlu dirancang
sistem pendidikan Indonesia yang menjungjung tinggi hak dasar bagi manusia
dengan berlandaskan pada demokrasi pancasila, agar mengarah pada perbaikan
dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM) pendidikan Indonesia, pemikiran dari
James A. Beane dan Micchael W. Apple dapat menjadi rujukan yang cukup tepat,
untuk Indonesia sebab sebagaimana pernyataannya bahwa:
Pendidikan demokratis tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola
demokratis dalam pengelolaan pendidikan, yang secara umum mencakup
dua aspek, yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur
tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan pribadi
Indonesia memiliki berbagai pengalaman tentang prakti-praktik demokrasi.
Dengan kata lain pendidikan demokratis adalah pendidikan yang dikelola
dengan memungkinkannya praktik-praktik demokratis itu terlaksana.5
Agar dapat melaksanakan sebuah sistem pendidikan yang berbasis pada hak
asasi manusia maka diperlukan tenaga pendidik yang professional. Sebab dalam

3
Amitav Acharya, ―Southeast Asia’s Democratic Moment‖ Asian Survey, Vol. XXXIX, No. 3,
May/June 1999, pp. 418 – 32.
4
Shigemasa Kimikazu, Longue Durée of Confidence Building in Southeast Asia: ASEAN, Civil
Society and Human Rights, Paper Second International Conference Southeast Asia Human Right
and Network(SEAHRN), Jakarta, p1
5
Apple, Michael W., and James A. Beane, The Case of Democratic school, ASCD, Alexandria,
Virginia, 1995, p 9.
proses penyelenggaraan pendidikan akan berhubungan erat kaitannya dengan
pendidik, peserta didik, lembaga pendidikan, kebijakan pemerintah dan dukungan
masyarakat. Bahkan lebih tegasnya lagi kebutuhan terhadap kualitas pendidik
menjadi hal yang krusial untuk bisa menjalankan pendidikan berbasis hak asasi
manusia, sebagimana diungkapkan oleh Zein sebagai berikut:
Pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak
usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan
peraturan perundangundangan. Pengakuan kedudukan Guru sebagai tenaga
profesional adalah terkait mengenai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan
oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang
memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar
mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Hal ini
dilakukan pemerintah agar para guru di berbagai daerah di tanah air dapat
bekerja secara profesional dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai
berkas portofolio yang terdiri bukti-bukti prestasi, hasil kinerja dan berbagai
hal yang terkait dengan kiprah guru tersebut.6

Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Budi seorang peneliti dari Pusat
Penelitian dan pengembangan hak-hak ekonomi social dan budaya.7
Mengemukakan sebagai berikut:
Guru profesional yang dibentuk adalah untuk : (1) menentukan kelayakan
guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) meningkatkan proses dan mutu
hasil pendidikan, (3) meningkatkan martabat guru, (4) meningkatkan
profesionalitas guru. Dengan model kebijakan, salah satunya adalah model
implementasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh George C. Edward
III (1) komunikasi (2) sumber daya (3) disposisi (4) stuktur birokrasi.8

Jika dirumuskan lagi terhadap pendidikan hak asasi manusia yang lebih
mengarah pada persepsi penyelenggaran pendidikan yang sesuai dengan amat dari
undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003, maka akan
didapatkan bahwa sebenarnya proses pendidikan dilakukan memerlukan kualitas
tertentu atau dengan kata lain perlu pendidikan yang bermutu. Adapun untuk
konsepsi pendidikan bermutu, penulis mengadopsi pada konsepsi sebagi berikut:

6
Zein, HM, 2010, Kiat Sukses Mengikuti Sertifikasi Guru, (Malang: Cakrawala Media Publisher),
pp 27.
7
Budi, Evaluasi Pelaksanan Sertifikasi Guru Sekolah Umum Dan Guru Sekolah Madrasah, Jurnal
Hak Asasi Manusia, Juli 2012, pp 17-24.
8
Ibid, pp 21.
Pendidikan bermutu adalah investasi bukan hanya bagi individu tetapi juga
bagi masyarakat. Pendidikan bermutu merupakan investasi masa depan
bangsa dalam membentuk warga negara seutuhnya yang terdidik, cerdas,
dan merupakan aset yang menentukan eksistensi serta kemajuan bangsa
dalam berbagai dimensi kehidupan. Sehingga disimpulkan bahwa kualitas
pendidikan baik di sekolah umum maupun di madrasah dapat dicapai
melalui adanya program sertifikasi termasuk perbedaan yang berarti antar
hasil belajar yang dicapai sekolah umum maupun sekolah unggulan.9

Jika kualitas pendidikan telah bermutu maka peran pemerintah untuk


menjalankan pendidikan berbasis karakter dapat dilaksanakan. Terutama yang
berkaitan dengan program pendidikan hak asasi manusia sebagai bagian yang
integral dalam merancang system pendidikan humanis, demokratis, dan religious.
Dengan demikian, maka perancangan system pendidikan berbasis hak asasi
manusia sanga diperlukan, guna lebih meningkatkan dan menjaga harkat martabat
manusia itu sendiri yang dilaksanakan melalui lingkungan buatan atau lembaga
pendidikan sebagai pelaku program untuk mengedepankan nilai-nilai hak asasi
manusia sebagai ruh dalam sistem pendidikan yang dilaksanakannya.
C. GENDER DAN KESETARAAN GENDER
Istilah gender seringkali dimaknai sebagai sex atau jenis kelamin laki-laki
dan perempuan yang bersifat biologis. Gender berbeda dengan jenis kelamin.
Walaupun jenis kelamin laki-laki sering berkaitan erat dengan gender maskulin
dan jenis kelamin perempuan berhubungan dengan gender feminin, kaitan antara
jenis kelamin ini bukanlah merupakan korelasi yang absolut.
Dalam Women’s Studies Encyclopedia gender didefinisikan sebagai ―the
distinction in roles, behaviors, and mental and emotional characteristics between
females and males developed by a society.10 Mansour Fakih juga menyatakan hal
yang serupa, bahwa gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.11 Sedangkan
Badriyah Fayumi, dkk mendefinisikan gender dengan lebih detail yaitu
seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat

9
Ibid, pp 28.
10
Helen Tierney (ed), Woman’s Studies Encyclopedia, (New York: Peter Bedrick Book, 1991),
hlaman 153.
11
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997,
halaman 71—72.
pada diri laki-laki dan perempuan (feminitas dan maskulinitas) akibat bentukan
budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan.12
Sikap dan perilaku perempuan dan laki-laki atau feminitas dan
maskulinitas merupakan hasil belajar seseorang melalui proses sosialisasi yang
panjang di lingkungan masyarakat, tempat ia tumbuh dan dibesarkan. Feminitas
dan maskulinitas bukanlah hal yang kodrati dan dapat berubah dari waktu ke
waktu dan tempat ke tempat lain. 13
Dengan demikian, berdasarkan definisi-definisi dan pengertian tersebut
dapat dikatakan bahwa gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peran-
peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial
yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman. Karena gender dibangun
berdasarkan konstruksi sosial, gender bukanlah sesuatu yang tetap dan telah ada
secara alamiah, melainkan dibentuk oleh masyarakat.
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu
berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial
budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan, serta kesamaan dalam
menikmati hasil pembangunan tersebut. Dengan kata lain, penyetaraan gender
tersebut dijalankan secara proporsional.
Kesetaraan gender juga termasuk penghapusan dikriminasi dan
ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.14 Jadi,
kesetaraan gender basisnya adalah keadilan yang sifatnya universal. Adil
maknanya adalah memberkan keoada seseorang sesuatu yang menjadi haknya.
Gerakan penyetaraan gender sudah ada sejak zaman Islam muncul karena
pada zaman pra-Islam terjadi pelecehan terhadap wanita. Bahkan, ada suatu masa
yang secara sadis berupaya untuk melenyapkan setiap bayi yang dilahirkan
dengan jenis kelamin perempuan. Perbedaan gender sesungguhnya merupakan hal
yang biasa atau suatu kewajaran sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan
gender. Namun, konstruksi sosial suatu masyarakat tidak selamanya sesuai dengan

12
Lihat dalam Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam),
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), halaman xii.
13
Ibid. Halaman xiii.
14
Lihat dalam http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/gender/gender2.htm
nilai rasa salah satu pemangku gender. Isu-isu gender kemudian memunculkan
berbagai pemikiran tentang adanya bias gender. Di Indonesia, wacana bias gender
tersebut bahkan bergulir menjadi konsumsi publik dan menyangkut upaya
perubahan-perubahan sosial politik dan budaya masyarakat.
Tuntutan dan wacana kesetaraan gender menjadi agenda yang kerap
dimunculkan. Secara umum yang sering menjadi wacana publik akibat
ketidaksetaraan gender antara lain kekerasan (violence), marginalisasi, dan
subordinasi. Kekerasan terhadap perempuan meliputi kekerasan di ranah domestik
dan publik, baik secara fisik maupun psikis. Marginalisasi perempuan dalam
bidang perekonomian misalnya penghargaan taraf upah yang berbeda antara laki-
laki dan perempuan. Subordinasi berkaitan dengan kekuasaan dan menganggap
perempuan kalah penting dan berkompeten daripada laki-laki.
Secara umum, alasan perkembangan upaya penyetaraan gender antara lain
dilatarbelakangi oleh: Berkembangnya iptek; Rasionalisasi; Demokratisasi yang
dimaknai sebagai sebuah kebebasan. Pada awalnya, secara konservatif masalah
ketimpangan peran sosial berdasarkan gender (gender inequality) dianggap
15
sebagai divine creation, segalanya bersumber dari Tuhan. Beberapa peneliti
Muslim (sering disebut sebagai feminis, misalnya dari Nahdlatul Ulama)
melakukan pengkajian ulang dengan mendekonstruksi penafsiran produk masa
lalu atau melakukan telaah kritis (takhrij). Misalnya, telaah kritis feminis Muslim
NU atas Hadits-Hadits yang terdapat dalam kitab Uqud al-Lujjayn yang
menghasilkan temuan sejumlah hadis yang dinilai lemah serta palsu.16 Menyikapi
hasil temuan tersebut mereka melakukan ta’liq atau metode berpikir dan
berkomentar secara kritis-argumentatif terhadap pemikiran penafsir hadits masa
lalu dengan menghadirkan hadits lain yang lebih shahih, lebih adil terhadap
gender, dengan menyertakan pula ayat-ayat Al Quran, analisis kebahasaan, dan
fakta sejarahnya. Bila kemudian dinilai palsu/mawdlu, tafsiran hadits tersebut
dianggap tidak shahih dan diabaikan.

15
Lihat dalam Nasaruddin Umar, ―Perspektif Jender dalam Islam‖, dalam
http://paramadina.wordpress. com/2007/03/16/pengertian-gender/. Diunduh 7 Desember 2011.
16
Selengkapnya lihat dalam Jamhari, Citra... halaman 54.
D. PENDIDIKAN AGAMA
Dalam Peraturan Pemerintah Rebublik Indonesia Nomor 55 tahun 2007
tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dalam pasal 1 pendidikan
agama disebutkan sebagai berikut:
Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan
membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam
mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya
melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan.17
Adapun tujuan dari penyelenggaraan pendidikan agama dijelaskan bahwa
―Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik
dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang
menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.‖18
Sebab, dewasa ini perkembangan moral dan perilaku itu ditentukan oleh
lingkungan seumur hidupnya dan hal tersebut akan sangat dipengaruhi oleh proses
pendidikan yang dialami oleh seseorang. Berkaitan dengan masalah tersebut,
menurut Koentjaraningrat serba berpranata, serba bersistem atau mengandung
norma-norma sosial yang terorganisir dan mengatur setiap perilaku warga
masyarakat. Salah satu dari antara sekian banyak pranata sosial itu adalah pranata
agama. Agama sebagai pranata sosial berperan sangat penting dalam
mempengaruhi perilaku para penganutnya dalam kehidupan sehari-hari.19
Oleh karena itu, Risnawaty menjelaskan dan menegaskan saat pengukuhan
guru besar yang disandangnya bahwa telah terjadi kemerosotan moral ini terjadi di
tingkat atas, menengah, sampai ke strata yang paling bawah dari masyarakat.
Kemerosotan yang dapat diamati dari laporan media masa antara lain:
a. kesewenang-wenangan manusia (misalnya melalui pemakaian mesin-
mesin industri besar) terhadap lingkungan hidupnya,20
b. angka perceraian yang semakin meninggi,

17
Peraturan pemerintah republic Indonesia Nomor 55 tahun 2007.
18
Ibid.
19
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1979; bnd.
Herwanto Aryo Manggolo, ―Pranata Sosial‖, dalam J. Dwi Narwoko-Bagong Suyanto (ed.),
Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal.215-
226.
20
N.Daldjoeni, Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan, Bandung, Penerbit Alumni, 1989, hal.3-
38.
c. daya juang orangmuda yang semakin hilang dan kecenderunganuntuk gaya
hidup ikut-ikutan dan kepada kesenangan tanpa harus memikirkan hari
kemarin dan hari esok,
d. tingkat kriminalitas anak remaja meningkat,
e. kecenderungan kepada keisengan dan kebebasan bahkan perdagangan seks
yang berjalan bersama-sama pemakaian obat obat bius dan kejangkitan
HIV,
f. korupsi yang melumpuhkan masyarakat semakin mewabah bahkan
menjadi sebuah gaya hidup,
g. Kemerosotan moral juga mengakibatkan masalah-masalah politikhukum-
ekonomi (di satu pihak krisis ekonomi dan monetermengakibatkan krisis
moral, tetapi di lain pihak krisis moral merupakan salah satu faktor
penyebab krisis ekonomi dan moneter)21

Sehingga untuk itu pendidikan agama memang perlu untuk dilaksanakan


sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam keberagamaan setip kelompok serta
program pembangunan yang selama ini terus dirancang dan dibangun baik dalam
skala mikro (desa) maupun skala makro (internasional).
Secara normatif Islam tidak membedakan kedudukan perempuan dan laki-
laki di hadapan Allah. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sesuai
dengan kodratnya. Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama yang
menebarkan rahmat bagi alam semesta. Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah
pengakuan Islam terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-
laki. Islam mengakui adanya perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki.
Akan tetapi, secara tegas Islam melarang menjadikan perbedaan itu sebagai alasan
untuk mengutamakan salah satu pihak (laki-laki atau perempuan) dan
merendahkan pihak lainnya.
Dengan kata lain, Islam mengakui adanya perbedaan tetapi mengutuk
perilaku yang membedakan atau diskriminatif karena bertentangan dengan prinsip
tauhid, sebagai inti ajaran Islam. Dalam surat al Hujurat 49:13 disebutkan bahwa
ukuran kemuliaan manusia di hadapan Allah adalah prestasi dan kualitas
takwanya tanpa membedakan jenis kelaminnya. Perempuan dan laki-laki sama-
sama berpotensi untuk menjadi manusia yang paling bertakwa.
―Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
21
Risnawaty Sinnulingga, Pendidikan Agama Pada Perguruan Tinggi Dalam Menghadapi Masalah
Etis dan Moral di Era Global dan Teknik Informasi, USU, 2008, p 10. Dapat di download pada
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2008/ppgb_2008_Risnawati.pdf.
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.‖ (Al Hujuraat, 49:13)
Demikian juga dalam Al Quran surat an Nisa 4:124 dan an Nahl 16: 97,
disebutkan bahwa Islam tidak menganut faham the second sex yang memberikan
keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau the first ethnic, yang
mengistimewakan suku tertentu. Setiap orang, tanpa dibedakan jenis kelaminnya
dan suku bangsanya mempunya potensi yang sama untuk menjadi khalifah.
―Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun
wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam
surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.‖ (An Nisa, 4:124)
―Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan. ‖ ( An Nahl, 16:97)
Di satu sisi, beragamnya penafsiran dalam memahami teks-teks
keagamaan merupakan keniscayaan. Bahkan, justru itulah agaknya yang
diisyaratkan dalam hadist tentang perbedaan di antara umat justru merupakan
rahmat.
Perubahan zaman telah melahirkan berbagai persoalan yang komplek dan
saling berkaitan. Untuk itu, sebagai upaya adaptasi dengan perubahan zaman,
beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam rangka penyetaraan gender
menurut perspektif Isalam (modern) antara lain: terbukanya pintu ijtihad,
melepaskan diri dari keterikatan masa lalu (taklid), kesadaran bahwa perubahan
zaman dapat melahirkan perubahan ajaran, superiorias akal atas wahyu, maslahat
sebagai tujuan syariat Islam, dan prinsip keadilan sebagai dasar kemaslahatan.22
E. MULITIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN
Multikultural sebenarnya merupakan kata dasar yang mendapat awalan.
Kata dasar itu adalah kultur yang berarti kebudayaan, kesopanan, atau
pemeliharaan sedang awalannya adalah multi yang berarti banyak, ragam, aneka.
Dengan demikian multikultural berarti keragaman budaya, aneka, kesopanan, atau

22
Lihat dalam FaisarAnanda Arfa, Wanita dalam Konsep Islam Modernis (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2004), halaman 137—157.
banyak pemeliharaan. Namun dalam tulisan ini lebih diartikan sebagai keragaman
budaya sebagai aplikasi dari keragaman latarbelakang seseorang.23
Pada dasarnya terkait pendidikan multicultural belum terdapat pendapat
yang jelas terkait definisi yang pasti pendidikan multicultural, namun dalam hal
ini penulis berusaha mengutip pendapat pada Andersen dan Cusher mengartikan
pendidikan multikultural sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan24.
Kemudian, Carol Korn dan Alberto Bursztyn yang mengutip pada James Banks
mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of
color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai
keniscayaan (anugerah Tuhan)25.
Oleh sebab itu, maka perguruan tinggi sebagai institusi yang
mengedepankan sains dalam membangun masyarakat perlu melakukan pengkajian
terkait pendidikan multi kultural yang ada. Sekalipun hingga saat ini, pendidikan
multikultural masih dianggap sebagai bagian dari pendidikan kritis untuk
menjawab solusi dari kondisi geografis, demografis, sosiologis, dan antropologis
dari keberagaman yang berlangsung di Indonesia.
Sebab, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
juga Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen disebutkan
bahwa dosen adalah pendidik professional dan ilmuwan dengan tugas utama
menstransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
Sebagai ilmuwan, dosen harus memiliki motivasi berkarya, memiliki kemampuan
academic writing skills, memiliki kemampuan memasukkan artikelnya ke dalam
jurnal ilmiah dan tahu cara melakukan hal itu, dan bisa memberi contoh yang baik
bagaimana seharusnya seorang bekerja dengan baik. Pada sisi lain, dosen adalah
juga sebagai pendidik profesional, yang harus memiliki seperangkat kompetensi,
antara lain, akademik, pedagogis, profesional, sosial, dan institusional. Pada
kompetensi sebagai disebut terakhir ini dosen memiliki jaringan kerjasama dan

23
Referensi Makalah, http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-pendidikan-
multikultural.html diakses pada 25 September 2013.
24
Andersen dan Cusher, The Southern Lumberman, Volume 125 J. H. Baird Publishing Company;
University of Minnesota, 1994, hlm 320.
25
Carol Korn, Alberto Bursztyn, Rethinking Multicultural Education: Case Studies in Cultural
Transition, British Library ; Green wood Publishing Group, Inc, 2002, hlm 3.
mampu menjalin hubungan kerjasama dengan instansi manapun demi
mengembangkan konsep pengabdian kepada masyarakat dengan berbasis pada
kompetensi keilmuannya.
F. PELAKSANAAN PENDIDIKAN HAK ASASI MANUSIA DAN
GENDER DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Menurut Siswanto dalam laporannya menyatakan bahwa ―Isu gender di era
global adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak
dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah
perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari
berbagai faktor yang saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses
urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya
tingkat pendidikan.‖26
Masyarakat memberikan status dan peran yang berbeda kepada laki-laki
dan perempuan. Gross, Mason, dan McEachern dalam Suyanto, mendefinisikan
peran sebagai seperangkat harapan yang dikenakan pada individu yang menempati
kedudukan sosial tertentu.27 Pendefinisian laki-laki dan perempuan mengacu
kepada serangkaian kepercayaan dan pendapat yang menjadi "pola baku" laki-laki
dan perempuan, dan kualitas maskulinitas dan femininitas yang kemudian
dikukuhkan sebagai hegemoni sebab disosialisasikan secara terus-menerus
melalui keluarga, sekolah, agama, dan Negara.28 Hal inilah yang disebut gender.
Fakih mengartikan gender sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.29 Sifat-sifat ini
merupakan hasil dari intepretasi mental dan kultural terhadap jenis kelamin,
karena itu eksistensinya tergantung pada masyarakat yang mendefinisikan itu
sendiri30.

26
Siswanto Q, Tugas Mata Kuliah sosiologi Pendidikan, Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Zainudin
Maliki, M.Si. dapat diunduh di http://google.com/search/plugin-gender-dan-pendidikan.pdf.
27
Suyanto. Prof. Ph.D, Urgensi Pendidikan Karakter (makalah), Ditjen Mandikdasmen,
Kemenpendiknas, 2009, p 492.
28
Susilastuti, Dewi H. 1993. „Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi.― Dalam Fauzie Ridjal,
Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein (Eds.). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. (hlm.
29-36). Yogyakarta: Tiara Wacana. P 31.
29
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, p
8.
30
Budiman, Arif. 1985. Pembagian Kerja secara Seksual. Jakarta: Gramedia, 1985, p 3.
Dalam suatu masyarakat dengan "citra baku" perempuan dan laki-laki
yang didominasi oleh pola-pola man's world atau patriarkhi, laki-laki diletakkan
pada posisi superordinat dan perempuan pada posisi subordinat. Perempuan ialah
orang kedua, kedudukannya tidak sejajar atau tidak sama pentingnya dengan laki-
laki, makhluk sekunder atau the second sex.31
Karena stereotipenya, perempuan dianggap cocok beraktivitas pada urusan
domestik dan laki-laki pada urusan publik. Dikotomi ini bersatu dan menjadi
elemen penting dalam sebagian besar budaya masyarakat, serta timbul dan
dilestarikan melalui proses sejarah yang kompleks dan melingkupi segenap
kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya.32 Bahkan dianggap sebagai
ketentuan "kodrat" yang tidak bisa diingkari.
Pada dasarnya stuktur tersebut hanya akan berubah bila konteks sosial
memberikan informasi yang bertentangan dengan skema sosial yang ada. Karena
itu seseorang akan terus mempercayai peran gender tradisional sampai ia
memperoleh kecakapan kognitif untuk membayangkan peran-peran yang berbeda
dan kesempatan untuk mengobservasi contoh-contoh transendensi peran gender.
Memang banyak faktor yang mempengaruhi proses pendekonstruksian
gender pada individu dewasa. Selain proses sosialisasi sebelumnya, proses belajar
aktif, kemampuan berpikir, dan analisis kritis memiliki peran yang besar dalam
proses tersebut. Berkaitan dengan itu, pengalaman pribadi, pengamatan sosial,
serta pengetahuan seseorang tentang gender dan peran gender menjadi sumber
pelajaran gender.
Stimulus yang realistis dan menggugah kesadaran individu tentang suatu
fakta ketidakadilan, termasuk di dalamnya ketidakadilan gender, akan dapat
menjadi kekuatan yang dapat menumbuhkan pemahaman dan kesadaran baru
dalam kerangka nilai seseorang. Individu "harus" dibuat menyadari adanya
ketimpangan gender sehingga ia merasa tidak puas terhadap suatu keadaan dan
merasa perlu untuk menghadirkan dalam dirinya nilai-nilai gender yang non-
tradisional. Berangkat dari ketidakpuasan inilah seorang individu dewasa diajak

31
Kusujiarti, Siti. 1997. "Antara Ideologi dan Transkrip Tersembunyi: Dinamika Hubungan
Gender dalam Masyarakat Jawa." Dalam Irwan Abdullah (Editor). Sangkan Paran Gender (p. 82-
100). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, p 90.
32
Ibid, 91.
untuk membangun kerangka nilai yang baru atau penataan ulang sistem nilai yang
lama agar lebih relevan dengan harapan.
Menurut Risnawaty Sinnulingga dalam pengukuhan jabatan guru besarnya
dia menyatakan bahwa Secara khusus, mata kuliah agama merupakan hal yang
penting dalam era global dan teknik informasi yang penuh dengan masalah-
masalah etis dan moral. Peranan penting tersebutlah yang akan dipaparkandalam
beberapa kajian diantaranya:
1. Hubungan pendidikan agama dan perkembangan moral serta perilaku
mahasiswa.
2. Era global dan teknik informasi serta masalah-masalah etis dan moral.
3. Paradigma baru Pendidikan Agama sebagai mata kuliah pengembangan
kepribadian.
4. Kesimpulan dan saran.33

Telah dinyatakan secara tegas dalam dalam Deklarasai Hak-hak Asasi


Manusia pasal 26 dinyatakan bahwa :
‖Setiap orang berhak mendapatkan pengajaran … pengajaran harus dengan cuma-
cuma, setidaknya untuk sekolah rendah dan tingkat dasar. Pengajaran harus
mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima serta rasa persahabatan antar
semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan, serta harus memajukkan kegiatan
PBB dalam memelihara perdamaian dunia … ―.34

Kebijakan untuk menjalankan program pendidikan agama berbasis


karakter gender dan kearifan local itu dilaksanakan melalui lima strategi utama,
yaitu: penyediaan akses pendidikan yang bermutu, terutama pendidikan dasar
secara merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan
persekolahan maupun pendidikan luar sekolah; penyediaan akses pendidikan
kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat mengikuti pendidikan
sekolah; peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan baca tulis untuk
meningkatkan derajat melek huruf, terutama penduduk perempuan; peningkatan
koordinasi, informasi, dan edukasi dalam rangka mengarusutamakan pendidikan
berwawasan gender; dan pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di
tingkat pusat maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan gender.
Statement di atas mengemuka dikarenakan telah terjadi banyak
ketimpangan gender di masyarakat yang diasumsikan muncul karena terdapat bias

33
Op.cit., Risnawaty Sinnulingga, p 2.
34
Konvenan international hak asasi manusia dan warga sipil.
gender dalam pendidikan. Diantara aspek yang menunjukkan adanya bias gender
dalam pendidikan dapat dilihat pada perumusan kurikulum dan juga rendahnya
kualitas pendidikan. Implementasi kurikulum pendidikan sendiri terdapat dalam
buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. Realitas yang ada, dalam kurikulum
pendidikan (agama ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang menonjolkan
laki-laki berada pada sektor publik sementara perempuan berada pada sektor
domestik. Dengan kata lain, kurikulum yang memuat bahan ajar bagi siswa belum
bernuansa neutral gender baik dalam gambar ataupun ilustrasi kalimat yang
dipakai dalam penjelasan materi.35
Mengikutsertakan laki-laki dan perempuan dalam pembangunan, berarti
memanfaatkan sumber daya manusia yang potensial dalam pembangunan dan
merupakan tindakan yang logis bahkan sangat efisien dan efektif. Apalagi
didukung dengan kualitas sumber daya manusia yang tinggi di bawah latar
belakang pendidikan yang tinggi pula. Sumber daya manusia yang berkualitas
rendah akan merupakan beban bagi pembangunan. Oleh karena itu, pendidikan
mempunyai arti yang sangat penting. Di dalam UUD 1945 dan GBHN di
antaranya diamanatkan, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dalam pembangunan, termasuk pembangunan di bidang
pendidikan (kondisi normatif). Menurut Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan, Meutia Hatta menyatakan bahwa:
Sampai tahun 2002, rata-rata lama sekolah anak perempuan sekitar 6,5
tahun dibandingkan anak laki-laki sekitar 7,6 tahun. Hingga tahun 2003,
penduduk perempuan buta aksara usia 15 tahun ke atas mencapai 13,84
persen. Sedangkan penduduk laki-laki usia 15 tahun ke atas yang buta huruf
sebesar 6,52 persen. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin tinggi
kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Namun yang tak boleh
dilupakan adalah, bahwa walaupun perempuan hanya bergerak di arena
domestik dan tugasnya adalah mendidik anak dan menjaga kesejahteraan
keluarga, ia tetap harus berilmu untuk tugas itu.36
Dengan fakta yang menunjukkan, seperti yang dikemukakan oleh Menteri
Negara Peranan Wanita (2002), perempuan mengalami ketertinggalan yang lebih
banyak daripada laki-laki dalam berbagai bidang pembangunan, baik sebagai
pelaku maupun sebagai penikmat hasil pembangunan, termasuk pembangunan di

35
http://idb1.wikispaces.com/file/view/jj1001.pdf
36
http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=menegpp&dat=92, diakses 29
Desember 2006
bidang pendidikan. Ini artinya, masih terdapat ketimpangan gender di bidang
pendidikan. Bagaimana ketimpangan gender di bidang pendidikan dan apa faktor-
faktor penentu ketimpangan gender di bidang pendidikan itu, kiranya menarik
untuk ditelaah. Kedua pertanyaan tersebut akan terjawab melalui uraian atau
penelaahan berikut ini.
Sebagaimana dikemukakan oleh Bemmelen ketimpangan gender di bidang
pendidikan dapat dilihat dari indikator kuantitatif: (1) angka buta huruf, (2) angka
partisipasi sekolah, (3) pilihan bidang studi dan (4) komposisi staf pengajar dan
kepala sekolah.37 Ketimpangan gender dari masing-masing indikator tersebut
dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.
(1) Angka Buta Huruf ; Melek huruf merupakan syarat utama untuk
berpartisipasi dalam kehidupan modern dan pengembangan kualitas sumber
daya manusia. Pada berbagai belahan dunia, di antaranya di negara Timur
Tengah, Asia Tenggara dan Afrika Sub Sahara, masih dijumpai fakta yang
mencengangkan mengenai kondisi perempuan. Anak perempuan atau wanita
yang bersekolah (mengenyam pendidikan formal) lebih rendah 75 juta orang
daripada anak laki-laki atau pria dan dari jumlah yang buta huruf ternyata
dua pertiga adalah perempuan. Di Indonesia, jenjang pendidikan formal juga
menunjukkan perbedaan gender yang signifikan. Tingkat pendidikan formal
perempuan secara umum lebih rendah daripada laki-laki.38
(2) Angka Partisipasi Sekolah (APS) ; Di Indonesia, semakin tinggi tingkat
pendidikan formal, semakin sedikit proporsi anak perempuan bersekolah.
Sekadar sebagai suatu ilustrasi, dikemukakan oleh Rajab data tahun 1990
ratio gender (perbandingan antara laki-laki dengan perempuan) sebagai
berikut; Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) 100 : 95; untuk Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 100 : 89; untuk Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas (SLTA) 100 : 84 dan untuk Perguruan Tinggi 100 : 69.39 umumnya
terkonsentrasi di kota, baik laki-laki maupun perempuan harus pergi keluar
desa atau meninggalkan desa dengan jarak yang relatif jauh. Hal ini
memberatkan orang tua terhadap anak perempuan yang bersekolah jauh,
karena akan merasa kehilangan tenaga kerja yang membantu di rumah. (1)
Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi biaya yang diperlukan.
Bagi keluarga atau rumah tangga yang berlatar belakang ekonomi lemah
(miskin), umumnya lebih mengutamakan anak laki-laki untuk mengikuti
pendidikan formal yang lebih tinggi, karena tenaga kerja perempuan
dibutuhkan di rumah. (2) Investasi pendidikan formal bagi perempuan kerap

37
Bemmelen, Sita Van. 2003b. Isu Gender di Bidang Pendidikan. Semiloka Gender untuk Para
Guru Kabupaten/Kota se Bali.
38
Agung Ariani, I Gusti Ayu. 2002. Mengenal Konsep Gender (Permasalahan dan
Implementasinya dalam Pendidikan).
39
Rajab, Budi. 2002. Pendidikan Sekolah dan Perubahan Kedudukan Perempuan. Jurnal
Perempuan No. 23. Yayasan Jurnal Perempuan.
kali tidak banyak dirasakan oleh orang tua, karena anak perempuan setelah
menikah akan menjadi anggota keluarga suaminya.40
(3) Pilihan Bidang Studi ; Ketimpangan gender terlihat juga dalam pilihan
bidang studi. Hal ini dapat dibuktikan pada sekolah kejuruan, seperti
misalnya Sekolah Kepandaian Puteri (SKP), yakni suatu sekolah khusus
untuk anak perempuan, Sekolah Teknik Menengah (STM) umumnya untuk
anak laki-laki dan sebagainya. Dalam penjurusan di tingkat SLTA,
umumnya anak perempuan lebih banyak mengisi jurusan Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS), sedangkan anak laki-laki lebih banyak mengisi jurusan Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA). Hal ini rupanya tidak terlepas dari stereotipe
gender, anak perempuan lebih banyak membantu di rumah dengan waktu
belajar yang lebih sedikit daripada anak laki-laki. Sedangkan anak laki-laki
lebih banyak dipacu belajar dan dibebaskan dari tugas yang berkaitan
dengan pekerjaan urusan rumah tangga. Berkaitan dengan pilihan fakultas
dan jurusan di Perguruan Tinggi, dinyatakan oleh Agung Ariani umumnya
perempuan memilih sekolah yang penyelesaian pendidikannya memerlukan
waktu pendek dan cepat bisa bekerja. Sebagai alasannya di antaranya, untuk
menunjang ekonomi rumah tangga dan untuk biaya melanjutkan studi
saudara laki-lakinya.41
(4) Komposisi Staf Pengajar dan Kepala Sekolah ; Ketimpangan gender dapat
pula diketahui di kalangan staf pengajar dan kepala sekolah. Walaupun
dalam tulisan ini tidak ada data kuantitatif, secara kualitatif kenyataan
menunjukkan bahwa untuk Sekolah Taman Kanak-kanak didominasi oleh
tenaga pengajar perempuan. Sedangkan untuk SD sampai dengan jenjang
pendidikan di Perguruan Tinggi, tenaga pengajar laki-laki lebih dominan
daripada tenaga pengajar perempuan. Kecendrungan yang serupa juga
terlihat di kalangan kepala sekolah dan pimpinan universitas.
Jadi, terkait feminism di Indonesia jika ditinjau dari sudut pandang agama
Islam, penulis berasumsi bahwa masih banyak yang perlu dikaji, ditelaah, diteliti
dan dikembangkan. Untuk menahbiskan statemen bahwa laki-laki merupakan
superior yang tidak dapat dibantahkan, walaupun hal ini, nantinya akan
bersebrangan dengan kondisi budaya yang telah ada. Namun, untuk
melakukannya tentunya diperlukan sebuah strategi agar tidak terjadi konflik di
masyarakat. Sebab, isu-isu terkait gender, feminism, maskulinisme, dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan isu seksualitas lebih mirip dengan isu sara.
Oleh karena itu, Pendidikan Agama Islam, sebagai salah satu elemen
dalam mengkonstruksi paradigma masyarakat perlu melakukan pengkajian ulang
terhadap pemikiran-pemikiran yang berkembang di masyarakat Indonesia, agar

40
Ihromi, T.O. 1995. "Otonomi Wanita." Dalam T.O. Ihromi (Ed). Kajian Wanita dalam
Pembangunan (p. 430-462). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
41
Agung Ariani, I Gusti Ayu. 2002. Mengenal Konsep Gender (Permasalahan dan
Implementasinya dalam Pendidikan).
pembangunan, pemberdayaan dan peningkatan mutu sumber daya manusia
dilakukan tidak berdasarkan oligarki atau bahkan teosentris yang tumpul. Karena,
Indonesia merupakan sebuah Negara yang mayoritas beragama Islam, maka
perwujudan dari agama Islam yang berkembang di Indonesia dapat dilihat dari
sudut pandang para penganutnya.
G. PENUTUP
Mengkaji Hak Asasi Manusia (HAM) dan Gender dalam dunia pendidikan
merupakan wacana baru dan masih banyak membingungkan bagi para pelaku
dunia pendidikan, baik praktisi, akademisi maupun peneliti, dalam
mengembangkan projek pendidikan berbasis hak asasi manusia. Hal ini terjadi
karena, dalam konstruksi pemikiran sejumlah kalangan yang berbasis agama di
Indonesia, lebih banyak yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan
produk barat bukan produk agama. Konsepsi yang demikian, tentunya
mempersulit bagi para penggiat keilmuan yang akan mengembangkan konsep
pendidikan berbasis hak asasi manusia.
Pendidikan berbasis hak asasi manusia pada dasarnya memiliki perbedaan
dengan konsep pendidikan perdamaian (peace education) yang mengedepankan
persamaan derajat manusia dan pendidikan multi-kultural (multiculturalism
education) yang mengusung tema-tema yang berkaitan dengan perbedaan buaya
yang harus dihargai dan dihormati.
Adapun untuk pembelajaran berbasis hak asasi dan gender lebih
mengedepankan nilai-nilai karakter individu yang dibangun melalui proses
pembelajaran tentang pemahaman jati diri manusia sehingga lebih menghargai
hak-hak individu, bertanggungjawab, memiliki kesadaran untuk saling menjaga,
menolong, menghargai, dan menjunjung tinggi hukum legal formal sehingga tidak
terjadi pelanggaran terhadap hak-hak yang melakat dari setiap individu itu
dikarenakan terjadinya bullying, intimidasi, pemaksaan yang mencerabut hak
asasi individu baik secara sistemik maupun cultural, dalam ruang lingkup
pendidikan. Program penyadaran pendidikan tentang hak asasi manusia inilah
yang ditawarkan dengan nama pendidikan berbasis hak asasi manusia, yang
dilakukan melalui struktur kurikulum maupun kurikulum tersembunyi terkait hak-
hak antar individu yang ada baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat
yang bersumber pada hokum atau norma yang berlaku di wilayah tertentu baik
dari segi legal formal maupun dari segi sosio-kultural.
H. REKOMENDASI
Kebijakan untuk menjalankan program pendidikan agama berbasis gender
itu dilaksanakan melalui lima strategi utama, yaitu: penyediaan akses pendidikan
yang bermutu, terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan
perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar
sekolah; penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa
yang tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah; peningkatan penyediaan
pelayanan pendidikan baca tulis untuk meningkatkan derajat melek huruf,
terutama penduduk perempuan; peningkatan koordinasi, informasi, dan edukasi
dalam rangka mengarusutamakan pendidikan berwawasan gender; dan
pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun
daerah mengenai pendidikan berwawasan gender.
Pada jenjang SLTP/MTs atau kelompok usia 13–15 tahun diketahui bahwa
partisipasinya masih cukup rendah. Karena itu, upaya peningkatan partisipasi
harus diupayakan baik pada penduduk laki-laki dan perempuan. Namun dengan
diketahuinya partisipasi pendidikan penduduk laki-laki kelompok 40 persen
termiskin lebih rendah dibandingkan penduduk perempuan, upaya yang lebih
intensif untuk meningkatkan partisipasi kelompok itu sangat diperlukan. Dengan
asumsi bahwa partisipasi pendidikan yang lebih rendah itu salah satunya karena
bekerja, upaya untuk mengembalikan mereka ke sekolah menjadi sangat penting.
Untuk meningkatkan pendidikan baca tulis, sangat jelas bahwa tingkat melek
huruf penduduk perempuan masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan
penduduk laki-laki baik di pedesaan maupun di perkotaan, di setiap kelompok
usia penduduk dewasa, dan di setiap kelompok pengeluaran keluarga. Namun
prioritas utama diberikan pada upaya peningkatan kemampuan baca tulis
penduduk perempuan yang miskin, yang tinggal di daerah perdesaan dan berusia
lebih dari 25 tahun karena kelompok inilah yang memiliki tingkat melek huruf
paling rendah yang diikuti oleh penduduk laki-laki kelompok usia yang sama,
yang miskin dan tinggal di perdesaan.
1. Langkah Praktis Pelaksanaan Pembelajaran Agama Berbasis
Penanaman Nilai-nilai Gender dan Hak Asasi Manusia.
Apabila terjadi ketimpangan, maka pemerintah yang memiliki komitmen
terhadap peraturan wajib belajar, berkewajiban untuk mengimbanginya dengan
kebijakan yang tepat. Di desa-desa atau daerah-daerah terpencil khususnya,
fasilitas pendidikan masih kurang. Keadaan ini berpengaruh buruk terhadap
akses anak desa untuk mengikuti pendidikan formal. Jika pada suatu desa tidak
ada SD atau SLTP, atau SLTA umpamanya, maka anak-anak terpaksa
mengikuti pendidikan formal di luar desa, yakni di desa lain atau di kota
terdekat yang membutuhkan waktu dan biaya transportasi khusus. Dalam
keadaan seperti itu, orang tua cendrung tidak mengijinkan anak perempuan
bersekolah, apalagi sekolah terdekat berjarak jauh. Hal ini terutama terjadi di
kalangan keluarga yang tidak mampu secara ekonomis.
Kebijakan yang dapat diambil adalah mewujudkan persamaan akses
pendidikan yang bermutu dan berwawasan gender bagi semua anak laki-laki
dan perempuan; menurunkan tingkat buta huruf penduduk dewasa terutama
penduduk perempuan melalui peningkatan kinerja pendidikan pada setiap
jenjang pendidikan, baik melalui sekolah maupun luar sekolah, pendidikan
kesetaraan dan pendidikan baca tulis fungsional bagi penduduk dewasa; dan
meningkatkan kemampuan kelembagaan pendidikan dalam mengelola dan
mempromosikan pendidikan yang berwawasan gender dan hak asasi manusia.
2. Saran Bagi Pemerintah
Sasaran kinerja pendidikan berwawasan gender yang ingin dicapai dalam
akses pendidikan adalah (a) meningkatkan partisipasi pendidikan penduduk
usia sekolah yang diikuti dengan semakin seimbangnya rasio siswa laki-laki
dan perempuan untuk semua jenjang pendidikan; (b) meningkatkan partisipasi
penduduk miskin laki-laki dan perempuan terutama yang tinggal di daerah
pedesaan yang masih rendah sehingga menjadi setara dengan penduduk dari
kelompok kaya, (c) dan meningkatkan derajat melek huruf penduduk baik laki-
laki maupun perempuan dengan rasio yang semakin setara.
Bahkan dalam proses pelaksanaan berbagai analisis kebijakan dan
peraturan perundangan yang masih bias gender diperlukan sebuah instrumen
perumusan dan penetapan kebijakan dan peraturan perundang-undangan
pendidikan yang berwawasan gender; peningkatan kapasitas institusi pengelola
pendidikan sehingga memiliki kemampuan merencanakan, menyusun
kebijakan, strategi dan program pendidikan berwawasan gender secara efektif
dan efisien; serta pengembangan pusat-pusat studi wanita dan penguatan pusat-
pusat studi lainnya sebagai mitra pemerintah pusat dan daerah dalam
pembangunan pendidikan berwawasan gender dan hak asasi manusia.42
3. Saran Bagi Lembaga Pendidikan dan Tenaga Pendidik
Di sekolah, terutama di jenjang pendidikan dasar, guru merupakan model
yang sangat penting dalam proses sosialisasi nilai. "Pengaruh guru terhadap
pembentukan peran seks pada anak bergantung pada jenis hubungan yang ada
antara guru dan siswa dan nilai hubungan tersebut."43 Guru berperan penting
dalam mengembangkan kesadaran hak asasi manusia dan konstruksi gender
anak karena guru merupakan sumber informasi dan model, penentu materi
sekolah dan buku teks, pengembang proses pembelajaran, dan pencipta
lingkungan kelas atau sekolah. "Perilaku dan nilai yang dimiliki anak dapat
dipengaruhi oleh contoh yaitu orang dewasa yang dikagumi dan karena itu ia
ingin menyerupainya."44

42
plugin-gender-dan-pendidikan. Pdf. http://www.religiouseducation.net/
43
Hurlock, Elizabeth B. Child Development, edisi ke-6. London: McGraw-Hill, 1986, p 471.
44
Kagan, Jerome, dan Cynthia Lang. 1984. Psychology and Education: An Introduction. New
York: Harcourt Brace Javanovich, Inc. 1984, p 64.
DAFTAR PUSTAKA
Agung Ariani, I Gusti Ayu. 2002. Mengenal Konsep Gender (Permasalahan dan
Implementasinya dalam Pendidikan). paper presentasi dalam pengayaan
pendidikan gender di denpasar bali. 2002.
Amitav Acharya, ―Southeast Asia’s Democratic Moment‖ Asian Survey, Vol.
XXXIX, No. 3, May/June 1999
Ananda Arfa, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2004.
Andersen dan Cusher, The Southern Lumberman, Volume 125 J. H. Baird
Publishing Company; University of Minnesota, 2007.
Apple, Michael W., and James A. Beane, The Case of Democratic school, ASCD,
Alexandria, Virginia, 1995
Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan Jender Perspektif Islam,
Jakarta: Departemen Agama RI, 2001.
Bagong Suyanto (ed.), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2006
Bemmelen, Sita Van. 2003b. Isu Gender di Bidang Pendidikan. Semiloka Gender
untuk Para Guru Kabupaten/Kota se Bali. paper presentasi dalam
pengayaan pendidikan gender di denpasar bali. 2003.
Budi, Evaluasi Pelaksanan Sertifikasi Guru Sekolah Umum Dan Guru Sekolah
Madrasah, Jurnal Hak Asasi Manusia, Juli 2012.
Budiman, Arif. 1985. Pembagian Kerja secara Seksual. Jakarta: Gramedia, 1985.
Carol Korn, Alberto Bursztyn, Rethinking Multicultural Education: Case Studies
in Cultural Transition, British Library ; Green wood Publishing Group,
Inc, 2002.
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996 dan 1997.
Helen Tierney (ed), Woman’s Studies Encyclopedia, New York: Peter Bedrick
Book, 1991.
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/gender/gender2.htm
http://idb1.wikispaces.com/file/view/jj1001.pdf 29 Desember 2006.
http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=menegpp&dat=92,
diakses 29 Desember 2006.
http://www.religiouseducation.net/ diakses pada 15 oktober 2012.
Hurlock, Elizabeth B. Child Development, edisi ke-6. London: McGraw-Hill,
1986.
Ihromi, T.O. "Otonomi Wanita." Dalam T.O. Ihromi (Ed). Kajian Wanita dalam
Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1995.
Kagan, Jerome, dan Cynthia Lang. 1984. Psychology and Education: An
Introduction. New York: Harcourt Brace Javanovich, Inc. 1984.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta,
1979.
Kusujiarti, Siti. "Antara Ideologi dan Transkrip Tersembunyi: Dinamika
Hubungan Gender dalam Masyarakat Jawa." Dalam Irwan Abdullah
(Editor). Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
M. Nafiah Ibnor, Nilai-Nilai Demokrasi Dan Ham Dalam Sistem Pendidikan
Indonesia, Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7
No.11 April 2009.
N.Daldjoeni, Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan, Bandung, Penerbit
Alumni, 1989.
Nasaruddin Umar, ―Perspektif Jender dalam Islam‖,
http://paramadina.wordpress.com/2007/03/16/pengertian-gender/. Diunduh
7 Desember 2011.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Rajab, Budi, Pendidikan Sekolah dan Perubahan Kedudukan Perempuan. Jurnal
Perempuan No. 23. Yayasan Jurnal Perempuan. 2002.
Risnawaty Sinnulingga, Pendidikan Agama Pada Perguruan Tinggi Dalam
Menghadapi Masalah Etis dan Moral di Era Global dan Teknik Informasi,
USU, 2008. pada http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2008/ppgb-
2008-Risnawati.pdf. diunduh pada 10 oktober 2012.
Shigemasa Kimikazu, Longue Durée of Confidence Building in Southeast Asia:
ASEAN, Civil Society and Human Rights, Paper Second International
Conference Southeast Asia Human Right and Network(SEAHRN),
Jakarta. Oktober. 2012.
Siswanto Q, Tugas Mata Kuliah sosiologi Pendidikan, Dosen Pengampu Prof. Dr.
H. Zainudin Maliki, M.Si. dapat diunduh di
http://google.com/search/plugin-gender-dan-pendidikan.pdf.
Suyanto. Prof. Ph.D, Urgensi Pendidikan Karakter (makalah), Ditjen
Mandikdasmen, Kemenpendiknas, 2009.
Susilastuti, Dewi H. 1993. Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi. Dalam
Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein (Eds.). Dinamika
Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.1993.
Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
(Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial/CERD)
Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant
on Civil and Political Rights (Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan
Politik/ICCPR).
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.
Zein, HM, Kiat Sukses Mengikuti Sertifikasi Guru, (Malang: Cakrawala Media
Publisher, 2010.

Anda mungkin juga menyukai