Anda di halaman 1dari 3

1

Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata kuliah Pengembangan Kepribadian di


Perguruan Tinggi

Belajar Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya belajar tentang ke Indonesiaan, belajar


menjadi manusia yang berkepribadian Indonesia, membangun rasa kebangsaan dan cinta
tanah air, membekali pengetahuan dasar (etika dan berpikir kritis), menumbuhkan rasa
kerjasama, dan memahami bhineka. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education), baik sebagai pendidikan demokrasi maupun sebagai pendidikan HAM mensyaratkan
adanya sistem pendidikan yang bebas dari belenggu otoriterianisme dan feodalisme. Pendidikan
Kewarganegaraan mendorong tumbuhnya situasi pembelajaran yang interaktif, empiris,
kontekstual, humanis,dan demokratis.
Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus sensitif jender dan mengedepankan
prinsip keadilan. Dosen harus memberikan kesempatan yang sama kepada mahasiswa, baik laki-laki
maupun perempuan dalam berbagai aktivitas pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Oleh
karena itu, dalam setiap aktivitas pembelajaran dosen harus proaktif dan menunjukkan apresiasi
yang tinggi kepada kaum perempuan (para mahasiswi) untuk terus menerus mendorong dan
mengaktifkan mereka secara aktif dan partisipatori dalam rangka pengembangan potensi dirinya
secara maksimal.
Dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, kompetensi standar atau yang sering disebut
kompetensi minimal terdiri dari tiga jenis. Pertama, kecakapan dan kemampuan penguasaan
pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) yang terkait dengan materi inti Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education): demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani (civil
society). Kedua, kecakapan dan kemampuan sikap kewarganegaraan (civic dispositions) seperti
pengakuan kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan keragaman. Ketiga, kecakapan dan
kemampuan mengartikulasikan keterampilan kewarganegaraan (civic skills) seperti kemampuan
berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap
pelaksanaan kebijakan publik penyelenggara negara dan pemerintahan.
Ketiga kompetensi tersebut diartikulasikan oleh mahasiswa melalui transfer pembelajaran (transfer
of learning), pengalihan nilai (transfer of values), dan pengalihan prinsip-prinsip (transfer of
principles) demokrasi bagi tumbuhnya masyarakat madani. Kemampuan mengembangkan
masyarakat menjadi demokratis, kemampuan mendapatkan kepercayaan dari rakyat, kemampuan
membangun kearifan diri (self wisdom) dalam menggunakan kepercayaan yang diberikan
masyarakat, merupakan tuntutan dasar Pendidikan Kewarganegaraan. Sehingga kelak mereka
mampu memahami dan memecahkan persoalan aktual kewarganegaraan seperti toleransi,
perbedaan pendapat, bersikap empati, menghargai pluralitas, kesadaran hukum dan tertib sosial,
menjunjung tinggi HAM, mengembangkan demokratisasi dalam berbagai lapangan kehidupan dan
menghargai kearifan lokal (local wisdom).
Paradigma pendidikan dalam konteks suatu bangsa (nation) akan menunjukkan bagaimana proses
pendidikan berlangsung dan pada tahap berikutnya akan dapat meramalkan kualitas dan profil
2

lulusan sebagai hasil dari proses pendidikan. Paradigma pendidikan terkait dengan empat hal yang
menjadi dasar pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik (mahasiswa), dosen, materi dan
manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan (praksis), paling tidak terdapat dua kutub
paradigma pendidikan seperti dikemukakan oleh Rosyada, Dede at.al. yakni paradoksial yaitu
paradigma feodalistik dan paradigma humanistik.
Paradigma feodalistik mempunyai asumsi bahwa lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) merupakan
tempat melatih dan mempersiapkan peserta untuk masa datang. Oleh karena itu peserta didik
(siswa dan mahasiswa), ditempatkan sebagai obyek semata dalam pembelajaran, sedangkan dosen
sebagai satu-satunya sumber ilmu, kebenaran dan informasi, berperilaku otoriter dan birokratis.
Materi pembelajaran disusun secara rigid sehingga memasung kreativitas peserta didik (mahasiswa)
dan dosen. Sementara itu, manajemen pendidikan bersifat sentralistik, birokratis dan monolitik.
Dalam penerapan strategi pembelajarannya, sangat dogmatis, indoktrinatif dan otoriter. Akibat
dari orientasi tersebut lulusan pendidikan menjadi manusia robot dan tidak kreatif serta tidak
demokratis atau otoriter. Paradigma feodalistik dalam praktek pendidikan telah berlangsung cukup
lama dalam dunia pendidikan nasional mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Sementara itu paradigma humanistik mendasarkan pada asumsi bahwa peserta didik adalah manusia
yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Karena itu, dalam pandangan
peserta didik (mahasiswa) ditempatkan sebagai subyek sekaligus obyek pembelajaran, sementara
dosen diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog peserta didik. Materi pembelajaran yang
disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar (basic needs) peserta didik, bersifat fleksibel, dinamis
dan fenomenologis sehingga materi tersebut bersifat kontekstual dan memiliki relevansi dengan
tuntutan dan perubahan sosial. Model materi pembelajaran tersebut mendorong terciptanya kelas
pembelajaran yang hidup (life classroom) yang dalam istilah Dr. Ace Suryadi (Udin S. Winaputra,
2007:1.1) disebut sebagai global classroom. Begitu juga manajemen pendidikan dan
pembelajarannya menekankan pada dimensi sentralistik, tidak birokratis, mengakui pluralitas
dengan penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi dan demokratis. Untuk itu kelas
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, dalam istilah Prof. Dr. Udin S. Winataputra (2007:1.2),
diperlakukan sebagai laboratorium demokrasi di mana semangat kewarganegaraan yang memancar
pada cita-cita dan nilai demokrasi diterapkan secara interaktif.
Dalam situasi itu, dosen dan mahasiswa secara bersama-sama mengembangkan dan memelihara
iklim demokrasi. Implikasi dari paradigma humanistik tersebut, peserta didik (mahasiswa)
dimungkinkan menjadi lulusan yang memiliki kreativitas tinggi, kemandirian dan sikap toleransi
yang tinggi, karena dalam proses pembelajaran telah tumbuh iklim dan kultur yang demokratis.
Karenanya, orientasi Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), mulai dari pendidikan dasar
sampai Pendidikan Tinggi, harus lebih menerapkan paradigma humanistik. Dengan paradigma
humanistik, pengalaman belajar (learning experience) yang diterima peserta didik menjadi lebih
bermakna dan menjadikan pengetahuan yang diperolehnya (learning to know) tersimpan dalam
memori yang sejati dan menjadi pendorong untuk selalu belajar tentang masalah demokrasi, hak
asasi manusia dan masyarakat madani (civil society).
Di samping itu, pengalaman pembelajaran yang berorientasi humanistik membuat peserta didik
3

menemukan jati dirinya (learning to be) sebagai manusia yang sadar akan tanggung jawab individu
dan sosial. Pengetahuan dan kesadaran diri yang tercipta dari hasil pembelajaran tersebut
mendorong peserta didik untuk melakukan sesuatu (learning to do) yang didasari oleh pengetahuan
yang dimilikinya. Apa yang dilakukan oleh peserta didik dimaksudkan dalam rangka pembelajaran
untuk membangun kehidupan bersama (learning to live together). Kehidupan bersama tersebut
dibangun atas dasar kesadaran akan realitas keragaman dan saling memerlukan.
Learning to live together menjadi penting, khususnya menghadapi dunia yang penuh konflik dan
banyaknya pelanggaran HAM. Kehidupan yang damai ini bukan hanya menjadi tanggung jawab
negara, tetapi juga masyarakat, orang tua, siswa/mahasiswa, guru/dosen dan semua pihak. Dalam
lingkup Asia-Pasifik yang ditandai dengan keragaman budaya, bahasa, tatanan geografis, sosio-
politik, agama, dan tingkat ekonomi, kaum muda perlu diajarkan kepada keindahan dari keragaman
kultural ini. Learning to live together dalam konteks globalisasi yang kooperatif berarti juga upaya
pelestarian nilai-nilai budaya dan kemanusiaan sehingga ada usaha bersama untuk saling mengasihi
dalam kehidupan bersama. Dengan demikian, pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan baik
sebagai pendidikan demokrasi maupun sebagai pendidikan HAM mensyaratkan situasi pembelajaran
yang interaktif, empiris, konstektual, kasuistis, demokratis dan humanis.
Keberhasilan transisi Indonesia ke arah tatanan demokrasi keadaban yang lebih genuine dan otentik
merupakan suatu proses yang komplek dan panjang. Sebagai proses komplek dan panjang transisi
Indonesia menuju demokrasi keadaban tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi Azra
(2003:64), mencakup tiga agenda besar yang berjalan secara simultan dan sinergis. Pertama,
reformasi konstitusional (constitutional reforms) yang menyangkut perumusan kembali falsafat,
kerangka dasar dan perangkat legal sistem politik. Kedua, reformasi kelembagaan (institutional
reforms) yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik dan
lembaga kenegaraan seperti MPR, DPR, MA dan DPA dan sebagainya. Ketiga, pengembangan kultur
atau budaya politik (political culture) yang lebih demokratis melalui pendidikan.
Jika poin pertama dan kedua, reformasi dilakukan pada tataran lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, maka pada `poin ketiga yakni pengembangan kultur demokratis harus dilakukan dengan
melibatkan semua segmen masyarakat mulai dari elit politik hingga rakyat awam. Salah satu cara
untuk mengembangkan kultur demokratis berkeadaban adalah melalui Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic Education). Dengan demikian pendidikan (Pendidikan Kewarganegaraan) bisa menjadi pilar
kelima (the fifth estate) bagi tegaknya demokrasi berkeadaban.

Anda mungkin juga menyukai