Anda di halaman 1dari 38

HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM

(TELAAH MENGENAI PENDIDIKAN INFORMAL, NON FORMAL,


DAN FORMAL, SERTA HUBUNGANNYA DENGAN
PENGEMBANGAN MUTU PENDIDIKAN ISLAM)

MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

MUHAMMAD RIFKI
NIM. 2020090010

DOSEN PEMBIMBING:

Prof. Dr. ZULMUQIM, M.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM


PASCASARJANA UIN IMAM BONJOL
PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang telah memberi
kita rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan tepat
pada waktunya.
Makalah ini disusun dengan telaah kritis mengenai “Hakikat Pendidikan
Islam (Telaah Mengenai Pendidikan Informal, Non Formal, dan Formal, serta
Hubungannya dengan Pengembangan Mutu Pendidikan Islam)”. Dalam
penyajiannya penulis berusaha untuk mengkajinya secara sistematis dan terurut
serta dalam kajian pustaka. Hal ini penulis maksudkan agar makalah ini tetap
relevan dengan perkuliahan Filsafat Pendidikan Islam. Pemenuhan tugas ini, sangat
penting artinya mengingat pendidikan merupakan jalan utama bagi pengembangan
pendidikan Islam yang berkualitas.
Namun demikian, penulis sadar bahwa dalam makalah ini mungkin akan
banyak ditemukan kesalahan dan kekurangan di sana-sini setelah dibahas dalam
diskusi. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca sangat penulis nantikan demi
perbaikan makalah penulis pada masa-masa yang akan datang.
Besar harapan penulis, makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian
terutama bagi sendiri penulis. Amin.

Padang, 23 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................4
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................6
A. Pengertian Pendidikan Informal, Nonformal, dan Formal ...................6
B. Jenis-jenis Pendidikan Informal, Nonformal, Dan Formal .................12
C. Pendidikan Informal, Nonformal, Dan Formal Serta Hubungannya
dengan Pengembangan Mutu Pendidikan Islam ..................................27
BAB III PENUTUP ..............................................................................................32
A. Kesimpulan ...............................................................................................32
B. Saran..........................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Mendidik adalah dua hal yang saling berhubungan. Dari segi bahasa,
mendidik ialah kata kerja, Pendidik merupakan kata benda. Mendidik adalah
proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan
emosional ke arah alam dan sesame manusia.1
Sementara itu, pendidikan menurut Mortimer J. Adler, adalah proses
dengan mana semua kemampuan manusia (bakat adan kemampuan yang
diperoleh)yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan
kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan
dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau diri sendiri mencapai
tujuan yang ditetapkan.2 Definisi ini dapat dibuktikan bahwa seluruh aspek
kehidupan manusia dapat dikembangkan namun ia dipengaruhi oleh kebiasaan
yang ada di sekitarnya. Pendidikan adalah karya bersama yang berlangsung
dalam suatu pola kehidupan insani tertentu, sebagai Proses pelatihan dan
pengembangan pengetahuan, keterampilan, pikiran dan karakter manusia.
Pendidikan adalah lembaga atau usaha pembangunan watak bangsa, yang
menacakup ruang lingkup kemampuan mental, fikir dan kepribadian manusia.3
Pendidikan terkait dengan perkembangan manusia, mulai dari
perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan pikiran, perasaan, kemauan,
sosial sampai kepada perkembangan iman, mental, spiritual maka akan
didapatkan hasil secara seimbang. Pendidikan membuat manusia lebih
berkualitas dalam meningkatkan hidupnya, dari taraf kehidupan alamiah ke
taraf kehidupan berbudaya. Budaya adalah segala hasil pikiran, kemauan dan
karya manusi baik secara individual maupun kelompok yang berguna bagi

1
Zahra Idris, Dasar-dasar Kependidkan, I, (Padang: Angkasa Raya, 1987), h. 9.
2
Mortimer J. Adler, In Defense of The Philoospy of Education in Philosophies of
Education, (University of Chicago Press, 1962), h. 209. Dikutip oleh Muzayyin Arifin, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2016), h. 13
3
Tim Dosen IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, (Surabaya, Usaha
Nasional, 1988) h. 125
2

peningkatan kualitas hidup manusia. Semakin tinggi budaya suatu bangsa


berarti semakin tinggi pendidikannya. Semakin tinggi budaya suatu bangsa
berarti semakin tinggi harkat kemanusiaannya. “Kegagalan dunia pendidikan
dalam menyiapkan masa depan umat manusia, merupakan kegagalan bagi
kelangsungan kehidupan bangsa.”4
Kemajuan suatu bangsa berkorelasi positif dengan keberhasilan
masyarakat dalam studi dan mengaplikasikan ilmunya pada dunia kerja.5
Pernyataan ini menunjukan, bahwa Pendidikan merupakan lembaga yang
dikelola masyarakat secara sadar yang bertujuan mengembangkan kepribadian
dan kemampuan sumber daya manusia.
Pendidikan dapat menumbuhkan dan mengembangkan kreatifitas
manusia sebagai makhluk yang terus berfikir dengan akan mengantarkan
sesorang mencapai cita-cita yang diimpikan berdampak positif bagi kemajuan
peradaban manusia. Seseorang dengan kemampuan intelektual dan kecerdasan
yang tinggi, telah mampu meraih tingkat keberhasilan dalam kehidupannya.
Masyarakat yang maju atau modern adalah masyarakat yang ditandai oleh
munculnya berbagai peradaban dan kebudayaan, yang dihasilkan dari proses
pelaksanaan pendidikan, karena pendidikan juga berarti mempersiapkan
manusia menjadi pelaku sejarah.
Pendidikan juga merupakan proses timbal balik antara pribadi manusia
dengan Pencipta, sesama manusia, dan dengan alam. Hubungan ini akan
berlangsung dalam rangka menyempurnakan tugas manusia sebagai khalifah di
muka bumi, khalifatulloh fi al-ardhi. Sebagai seorang muslim, perjalanan hidup
kita tentunya tidak kering dari aturan-aturan Islam, demikian halnya pendidikan
yang ditempuh, selayaknya Islam menjadi tujuan, Alquran dan Hadis sebagai
dasar, maka lahirlah apa yang dikatakan dengan pendidikan Islam. Pendidikan
Islam ini menurut Abdurrahman Nahlawi adalah:

4
Abudin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta, Prenada Media, 2003) h. 159
5
Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Tiara
Kencana, 2006), h. 181
3

‫الرتبية االسالمية هى التنظيم املنفسي و االجتماعي الذي يؤدي اىل اعتناق‬


‫االسالم و تطبيقة كليا ىف احلياة الفرد و اجلماعة‬
Artinya:
Pengaturan pribadi dan masyarakat yang karenanya dapatlah
memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam
kehidupan individu maupun kolektif.6

Pengertian lainnya masih banyak dikemukakan para ahli, namun


mereka berbeda pendapat tentang rumusan pendidikan Islam. Menurut penulis
perbedaan ini berada terlihat pada titik berat teori dan praktek, seperti ada ahli
yang menitikberatkan pada akhlak, ada juga yang menghendaki kepribadian
muslim, dan ada lagi yang menitikberatkan pada teori dan praktek sekaligus.
Dengan demikian pendidikan Islam ini adalah bimbingan yang
dilakukan oleh orang dewasa kepada peserta didik sehingga memiliki
kepribadian muslim. Berkepribadian muslim merupakan sasaran akhir dari
pendidikan Islam. Pembimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa tentunya
melalui proses pendidikan. Proses ini berlangsung di lembaga pendidikan atau
institusi. Lembaga dalam arti luas, yakni tempat berlangsungnya pendidikan
yang dilakukan dengan tujuan mengubah tingkah laku ke arah yang lebih baik.
Institusi pendidikan merupakan instrumen penting dalam kerangka
penyiapan sumber daya manusia di dunia kerja dan masyarakat. Sekolah,
madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi merupakan sebuah lembaga
pelayanan jasa pendidikan yang dalam pelaksanaan kegiatannya harus selalu
berorientasi pada perkembangan zaman dalam rangka memenuhi kebutuhan
pelanggan. Pendidikan nasional telah diatur dalam undang-undang dan
peraturan menteri, baik itu pendidikan umum atau pendidikan agama. Kedua
pendidikan itu telah diatur dalam undang-undang sistem pendidikan nasional
yang telah beberapa kali diamandemen.
Berkaitan dengan itu, dalam undang-undang sistem pendidikan
nasional No 20 Tahun 2003 tertulis bahwa jalur pendidikan terdiri atas

6
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 9
4

pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan
memperkaya.7 Berdasarkan hal ini dapat dimaklumi bahwa tiga jalur
pendidikan yang ada diakui di Indonesia.
Ketiga jalur tersebut secara ril memang telah berjalan sesuai dengan
ketentuannya masing-masing. Kata “jalur” yang dimaksud oleh undang-
undang merupakan wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan
potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan
pendidikan. Berdasarkan hal ini akan dibahas tentang tiga jalur pendidikan,
yaitu informal, nonformal, dan formal dalam pendidikan Islam. Pembahasan
ini menjadi penting untuk dikaji, mengingat amanah undang-undang sisdiknas
yang ada. Selain itu, berdasarkan kalimat dalam undang-undang dipahami
bahwa ketiga jalur ini dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Sejak terbitnya undang-undang sistem pendidikan Nasional ini, maka
muncullah masalah bagaimana hubungan ketiga jalur pendidikan ini, kenapa
mesti ada lembaga pendidikan nonformal jika lembaga pendidikan formal telah
mencukupi, ataukah lembaga formal belum memenuhi jawaban masyarakat,
apakah hubungan ketiga jalur ini sudah sesuai dengan undang-undang, serta
bagaimana kesetaraan antara tiga jalur tersebut dan bagaimana konstribusinya
terhadap pengembangan mutu pendidikan Islam. Permasalahan ini yang akan
penulis coba jawab dalam makalah ini.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah di atas perlu kiranya menelaah secara khusus hal-
hal sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengertian pendidikan informal, nonformal, dan formal?
2. Bagaimanakah jenis-jenis pendidikan informal, nonformal, dan formal?
3. Bagaimanakah pendidikan informal, nonformal, dan formal serta
hubungannya dengan pengembangan mutu pendidikan Islam?

7
Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sidinas, (Bandung: Citra Umbara,
2006), 73
5

D. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah filsafat pendidikan Islam ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan informal, nonformal, dan formal.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis pendidikan informal, nonformal, dan formal.
3. Untuk mengetahui pendidikan informal, nonformal, dan formal serta
hubungannya dengan pengembangan mutu pendidikan Islam.
6

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Informal, Nonformal, dan Formal


1. Pengertian Pendidikan Informal
Pendidikan informal adalah proses pendidikan yang diperoleh
seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar.8
Pendidikan informal menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan
belajar secara mandiri.9 Pada umumnya tidak sadar, tidak teratur dan tidak
sistematis sejak seseorang lahir dan mati seperti dalam keluarga,
tetangga/pekerjaan, hiburan, pasar,atau di dalam pergaulan sehari-hari.
Walaupun demikian, pengaruhnya sangat besar dalam kehidupan seseorang,
karena kebanyakan masyarakat pendidikan informal berperan penting
melalui keluarga,masyarakat, dan penguasa.
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan
diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik
lulus ujian sesuai dengan standar nasional. Sedangkan menurut Coombs
seperti yang diakui oleh Sudjana, pendidikan informal adalah setiap
kegiatan terorganisasi dan sistematis di luar persekolahan yang mapan,
dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang
lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di
dalam mencapai tujuan belajarnya.10
UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Bab VI pasal 27, ayat:11

8
Zahra Idris, Dasar-dasar Kependidkan, I (Padang: Angkasa Raya, 1987), h. 9.
9
Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, h. 73
10
Sudjana S, Pendidikan Nonformal Wawasan Sejarah Perkembangan Filsafat Teori
Pendukung Azas, (Bandung : Falah Production, 2004), h. 22.
11
UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bab
VI pasal 27 ayat 1-3
7

(1) “Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan


lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”.
(2) “Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama
dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus
ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan”.
(3) “Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah”
2. Pengertian Pendidikan Nonformal
Lingkungan pendidikan non formal merupakan lembaga
kemasyarakatan dan/atau kelompok sosial di masyarakat , baik langsung
maupun tak langsung, ikut mempunyai peran dan fungsi edukatif.12 Coombs
dalam Trisnamansyah mendefinisikan nonformal educationsebagai setiap
kegiatan pendidikan yang diorganisasikan di luar sistem persekolahan yang
mapan baik dilakukan secara terpisah atau sebagai bagian penting dari
kegiatan yang lebih besar, dilakukan secara sengaja untuk melayani peserta
didik tertentu guna mencapai tujuan belajarnya. 13
Pendidikan luar sekolah telah hadir di dunia ini sama tuanya dengan
kehadiran manusia yang berinteraksi dengan lingkungan di muka bumi ini
dimana situasi pendidikan ini muncul dalam kehidupan kelompok dan
masyarakat. Kegiatan pendidikan dalam kelompok dan masyarakat telah
dilakukan oleh umat manusia jauh sebelum pendidikan sekolah lahir di
dalam kehidupan masyarakat. Pada waktu permulaan kehadirannya,
pendidikan luar sekolah dipengaruhi oleh pendidikan informal, yaitu
kegiatan yang terutama berlangsung dalam keluarga dimana terjadi interaksi
di dalamnya berupa transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dan

12
Umar Tirtarahardja & La Sula, Pengantar Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h.
179
Sutaryat Trisnamansyah, “Materi Pokok Perkuliahan Filsafat, Teori, dan Konsep Dasar
13

PLS”. (Bandung: Makalah tidak diterbitkan, 2003), h. 19.


8

kebiasaan. Pada dasarnya kegiatan tersebut menjadi akar untuk tumbuhnya


perbuatan mendidik yang dikenal dewasa ini.14
Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok-kelompok yang terdiri
dari keluarga-keluarga mengadopsi pola transmisi tersebut ke dalam
kehidupan kelompok seperti keterampilan bercocok tanam. Kegiatan
belajar-membelajarkan tersebut yang dilakukan untuk melestarikan dan
mewariskan kebudayaan secara turun temurun itulah yang termasuk ke
dalam kategori pendidikan tradisional yang kemudian menjadi akar
pertumbuhan pendidikan luar sekolah.
Sejak awal kehadirannya di dunia ini, pendidikan luar sekolah telah
berakar pada tradisi dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat yang
mendorong penduduk untuk belajar, berusaha, dan bekerjasama atas dasar
nilai-nilai budaya dan moral yang dianut oleh masyarakat tersebut. Hal ini
biasanya terdapat dalam pepatah dan nasehat para orang tua yang intinya
mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan belajar, berusaha, dan
bekerjasama dalam masyarakat.
Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan Nasional yang dimaksud dengan pengertian non formal adalah
jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang.15
Menurut UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan
Nasional Bab I pasal 1 ayat 12 yaitu “Pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dilaksanakan secara terstruktur
dan berjenjang”. Undang-undang ini mensyaratkan pendidikan non formal
harus terstruktur dan berjenjang.
UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab
VI pasal 26 yaitu ayat:16

14
D. Sudjana, Pendidikan Luar Sekolah: Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falasafah,
Teori Pendukung, Asas, (Bandung: Penerbit Falah Production. 2001), h. 63.
15
Ibid.,
16
UU RI No. 20 Tahun 2003, tentang SISDIKNAS Bab Vi Pasal 26 ayat 1-5.
9

(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang


memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat.
(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan
fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan
pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan
ketrampilan dan pelatihan kerja, pendidikan keseteraan, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik.
(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga
pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
(5) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh
lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah Daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan.
Menurut UU No. 20 Th. 2003 Pendidikan non formal
diselenggarakan masyarakat, menekankan penguasaan pengetahuan dan
ketrampilan fungsional, misalnya kursus, lembaga pelatihan dan lain-lain.
Pendidikan non formal diakui setara dengan pendidikan formal setelah
melalui proses penyetaraan yang mengacu pada standar pendidikan
nasional. PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Bab I pasal 1 ayat 3 yaitu “Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan
diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan
berjenjang”.17 PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama

17
PP RI No. 55 Tahun 2007, tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
10

dan Pendidikan Keagamaan, Bab III, pasal 21, yaitu ayat:18


(1) Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian
kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al-Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau
bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berbentuk satuan pendidikan.
(3) Pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota setelah memenuhi ketentuan tentang Persyaratan
Pendirian Satuan Pendidikan.
Menurut PP No. 55 di atas, Pendidikan non formal dapat diakui
setara dengan pendidikan formal setelah disetarakan dan mendapat ijin
operasional yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Hal ini
dilakukan agar kredibilitas lembaga pendidikan tersebut dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Pengertian Pendidikan Formal
Lingkungan pendidikan formal menurut Dinn Wahyudin adalah
suatu satuan (unit) sosial atau lembaga sosial yang secara sengaja dibangun
dengan kekhususan tugasnya untuk melaksanakan proses pendidikan.19
Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, bertingkat/berjenjang,
dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf
dengannya; termasuk dalamnya ialah kegiatan studi yang berorientasi
akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan professional, yang
dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus.20 Menurut Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003, Pendidikan formal yang sebagai didefinisikan
adalah resmi Jalur Pendidikan Yang terstruktur Dan Berjenjang Yang terdiri
differences Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, Dan Pendidikan
Tinggi.21

18
Ibid.,
19
Dinn Wahyudin, Pengantar Pendidikan. (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 39
20
Aida MJ., Ilmu Pendidikan, (Semarang:Putra Sanjaya, 2005), h. 67.
21
Suprijanto,Pendidikan Orang Dewasa Dari Teori Hingga Aplikasi, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2012), h. 5-6.
11

Pendidikan Dasar adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan


dan keterampilan, menumbuhkan sikap dasar yang diperlukan masyarakat,
serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti Pendidikan Menengah.
Pendidikan Menengah adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan
hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial budaya, dan alam sekitar,
serta dapat mengembangkan kemampun lebih lanjut hearts dunia kerja atau
pendidikan tinggi. Sedangkan Pendidikan Tinggi adalah pendidikan yang
mempersiapkan peserta didik untuk review menjadi anggota ‘masyarakat
yang memiliki tingkat kemampuan tinggi yang bersifat akademik dan atau
profesinal sehingga dapat checklists memverifikasi, mengembangkan dan /
atau menciftakan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni hearts rangka
pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahtraan manusia.22
Pendidikan formal atau sekolah mempunyai tujuan pendidikan
sesuai dengan jenjang bentuk dan jenisnya. Tujuan sekolah dapat ditemukan
pada kurikulum sekolah yang bersangkutan. Tujuan sekolah umumnya
adalah memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik dalam
mengembangkan kehidupannya. Adapun karakteristik pendidikan formal
antara lain:23
a. Lebih menekankan pengembangan intelektual;
b. Peserta didik bersifat homogen;
c. Isi pendidikan terprogram secara formal/kurikulumnya tertulis;
d. Terstruktur, berjenjang dan bersinambungan;
e. Waktu pendidikan terjadwal dan relatif lama;
f. Cara pelaksanaan pendidikan bersifat formal dan artificial;
g. Evaluasi pendidikan dilaksanakan secara sistematis;
h. Credential harus ada dan penting.

22
Fuad Ikhsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), h. 22-23.
23
Dinn Wahyudin Op.cit., h. 11.
12

B. Jenis-jenis Pendidikan Informal, Nonformal, dan Formal


1. Jenis-jenis Pendidikan Informal
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. No. 20 Tahun
2003. Bab I pasal 1 ayat 13 bahwa pendidikan informal adalah jalur
pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri. Berdasarkan pengertian tersebut ada dua hal yang menjadi
sentranya pendidikan informal, pertama keluarga, kedua lingkungan.
a. Lingkungan keluarga
Lingkungan pendidikan di keluarga Dalam Islam, keluarga
dikenal dengan istilah usrah, nasl, ‘ali dan nasb. Keluarga dapat
diperoleh melalui keturunan (anak, cucu), perkawinan (suami, istri),
persusuan, dan pemerdekaan. Keluarga (kawula dan warga) dalam
pandangan antropologi adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang
memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerja sama ekonomi,
berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan sebagainya. Inti
keluarga adalah ayah, ibu, dan anak.24
Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak merupakan sistem
sosial terkecil. Namun proses pendidikan akan berlangsung di sini.
Bahkan sejak manusia lahir, maka keluarga lah yang menjadi madrasah
pertama bagi kita. Adapun yang bertanggung jawab melaksanakan
pendidikan dalam keluarga adalah orang tua. Keluarga menyediakan
menu terbaik dalam proses pendidikan, hubungan kekeluargaan yang
erat, kerjasama, kepedulian, disiplin dan lainnya adalah proses
pendidikan yang dicontohkan.
Lebih kuatnya lagi, Baihaqi menyatakan bahwa proses
pendidikan anak itu telah dimulai dari anak berada dalam kandungan.
Penelitian terakhir menjelaskan bahwa bayi yang berada dalam
kandungan yang telah mendapat roh sudah responsif terhadap segala

24
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2010), cet. ke-3, h. 226.
13

stimulus dari lingkungannya. Penemuan ini diterima oleh ilmuwan


karena ajaran Islam telah menjelaskannya. 25
Dengan demikian sesunggunya proses pendidikan telah dimulai
sejak anak berada dalam kandungan. Keteladan ibu melaksanakan ibadah
ditambah dengan selalu berkomunikasi dengan anak yang di dalam
kandungannya akan membantu memberikan contoh yang baik.
Banyak hal yang dikemukakan oleh Baihaqi tentang cara-cara
yang dapat dilakukan ayah dan ibu dalam melaksanakan proses
pendidikan ini yaitu: kasih sayang, beribadah, membaca Alquran,
mengikuti pengajian, penghargaan dan ucapan, pemberian hadiah dari
suami ke istri, bercerita, tazkirah, mengikutsertakan anak dengan ucapan,
dan hal positif lainnya.26
Setelah anak lahir, maka proses pendidikan akan tetap berlanjut.
Anak diazan dan diiqomatkan, hal ini bertujuan agar suara pertama yang
ia dengan ketika terlahir adalah suara azan atau iqomah yang berisi
keagungan dan keesaan Allah, mengajak kepada kebaikan serta doa agar
terhindar dari godaan syetan. Ummi Aghla membagi masa pendidikan itu
dengan berikut:
1) Saat berada dalam kandungan
2) Setelah anak dilahirkan hingga balita
3) Setelah balita
4) Saat usia sekolah
5) Saat anak remaja.27
Bahkan setelah ini bisa ditambahkan dengan saat dewasa. Itulah
yang dikatakan dengan pendidikan andragogi. Pendidikan dan
pembelajaran orang dewasa. Di mana pada masa ini menurut penulis
lebih banyak menentukan keputusan sendiri untuk berbuat dan bertindak.

25
Baihaqi, Mendidik Anak dalam Kandungan, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2000), h. 30
26
Ibid., h. 153-163
27
Ummi Aghla, Mengakrabkan Anak pada Ibadah, (Jakarta: Almahira, 2004), h. 12-55
14

Pada masa balita dan setelah balita yakni sebelum usia sekolah,
pendidikan menjadi tanggung jawab keluarga sepenuhnya. Saat anak
lahir hingga balita, hal-hal yang akan dilakukan adalah
1) Perdengarkan azan dan iqomah
2) Menyebarkan kabar gembira kepada keluarga, sanak dan family
3) Memberi nama yang baik dan indah
4) Mengadakan akikah
5) Mengkhitankan anak
6) Menyusui hingga usia 2 tahun
7) Mendekatkan anak pada puji-pujian kepada Allah dan Rasul-Nya. 28
Pendidikan keluarga akan lebih banyak didapatkan oleh anak
melalui pengalaman langsung melihat, mendengar, dan perlakuan yang
diterimanya. Karena itu, keluarga penting memahami bahwa ini adalah
masa-masa emas bagi anak. Jika orang tua percaya kepada Allah, tekun
beribadah, jujur, sabar, dan mempunyai sifat-sifat positif lainnya, maka
anak akan menyerap langsung, lalu akan tumbuh menjadi pribadi yang
baik.
Aktifitas keluarga bersama fungsi-fungsi lainnya menuntut peran
serta anggota keluarga lainnya dalam rangka pelaksanaan tanggung
jawab masing-masing. Dengan demikian keluarga dapat dikatakan
sebagai lembaga pendidikan.29
Sebagai suatu lembaga pendidikan, keluarga menjalakan proses
pendidikannya untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang diharapkan. Jika
banyak pakar pendidikan Islam menyatakan Allah sebagai Rabb
(pendidik) alam, dan Rasulullah sebagai pendidik terhadap keluarga dan
umatnya, maka keluarga muslim yang dibentuk berdasarkan Alquran
dalam menjalankan proses pendidikannya tidak lepas dari konsep
keluarga yang secara filosofis digali dari teks Alquran maupun perilaku

28
Ibid., h. 14-21
29
Mantep Miharso, Pendidikan Keluarga Qurani, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2009),
h. 87
15

Rasulullah SAW. Berdasarkan peran dan fungsi keluarga ini, maka Islam
sebagai rahmatan lil ‘alamin tidak lepas dari peran serta keluarga.
Menurut Hasbullah, dalam pendidikan yang dilakukan di
keluarga akan memberikan sumbangan sebagai berikut:
1) Cara orang tua melatih anak menguasai cara-cara mengurus diri,
seperti makan, buang air, berbicara, berjalan, berdoa, sungguh-
sungguh, membekas dalam diri anak karena berkaitan erat dengan
perkembangan dirinya sebagai pribadi.
2) Sikap orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sikap
menerima atau menolak, sikap sabar atau tergesa-gesa, sikap
melindungi atau membiarkan secara langsung mempengaruhi
emosional anak.30
Dewasa ini juga berkembang jalur pendidikan yang dikenal
dengan homescholling, sekolah rumah. Ia dilakukan di rumah di bawah
pengarahan orang tua dan tidak dilaksanakan di tempat formal lainnya.
Homescholling sebenarnya bukan lembaga pendidikan, melainkan model
pembelajaran di rumah dengan orang tua sebagai penanggung jawab
utama. Orang tua bisa berperan sebagai guru atau juga mendatangkan
guru pendamping atau tutor ke rumah. Menurut Satmoko Budi Santoso
secara substansi makna homeschooling pada aspek kemandirian dalam
menyelenggarakanpendidikandi lingkungan keluarga.31 Pendidikan
semacam ini sudah ada di dalam sistem pendidik- an Islam, dimana ibu
adalah madrasah utama dan pertama bagi anak-anaknya. Kemunculan
home- schooling mulai marak terjadi di Amerika Serikat pada kurun
1960-an oleh John Caldwell Holt.32
Dasar pemikiran Holt mengandung misi pembebasan cara
berpikir instruktif seperti yang dikembangkan melalui sekolah. Sejak itu
ide untuk merealisasikan homeschooling terus bergulir dari waktu ke

30
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rajagrafindo, 2009), h. 88
31
Satmoko Budi Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa tidak?, (Yogyakarta: Penerbit Diva
Press, 2010), h.71
32
Ibid.,
16

waktu. Dan masyarakatpun mulai ikut mengkritisi pendidikan formal di


sekolah yang cenderung stagnan. Terlebih-lebih setelah terjadi
kapitalisasi pendidikan di mana pendidikan dijadikan sebagai projek.
Demikian pula para pemerhati pendidikan mulai menilai bahwa
homeschooling ternyata jauh lebih efektif dibandingkan dengan lembaga
regular (formal). Maka perkembangan homeschooling terus meluas.
Hingga pada tahun 1996, di Amerika sudah lebih dari 1,2 juta anak
homeshooler dengan pertumbuhan 15% setiap tahunnya. 33
Pertumbuhan homeschooling terus meluas di Eropa dan Asia. Di
Indonesia, homeschooling sudah lama terjadi jauh sebelum Indonesia
merdeka. Hanya saja dahulu belum memakai istilah homeschooling
tetapi lebih terkenal dengan belajar otodidak. Ini dapat diketahui dari
Bapak Pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara yang ternyata
keberhasilannya didapat tanpa menjalani pendidikan formal.
Selain homeschooling, lembaga pendidikan lain yang muncul di
tengah masyarakat adalah kuttab. Lembaga ini adalah salah satu institusi
pendidikan untuk anak-anak usia 5-12 tahun yang terinspirasi dari
peradaban Islam yang gemilang. Kuttab adalah konsep Islam yang
mempunyai sejarah panjang dalam melahirkan orang-orang besar dengan
karya-karyanya. Dengan mengembalikan sistem pendidikan Islam
seutuhnya melalui kuttab, diharapkan akan mampu menghadirkan hasil
yang sama dengan zaman keemasan Islam terdahulu.
b. Lingkungan
Lingkungan sangat erat kaitannya dengan lingkungan alamiah
dan sosial seseorang. John Locke sebagai salah satu tokoh empirisme
menyatakan bahwa salah satu faktor yang membentuk kepribadian
seseorang adalah lingkungan tempat tinggalnya. Sehingga salah satu
teori pendidikan menganut dan meyakini secara mutlak akan pengaruh
lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. 34

33
Ibid., h. 68
34
Ibid.,
17

Corak pendidikan yang diterima oleh seseorang dari masyarakat


meliputi semua bidang, pembentukan kebiasaan, sikap, maupun
kesusilaan dan keagamaan. Dalam Islam, lingkungan ini juga menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang. Suatu ketika rasul
menegaskan kepada sahabat nabi terkait dengan pergaulan seseorang
dengan lingkungannya.

َ َ‫ ق‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫َعن أ َِب ُهَري َرَة أَن النِب‬
‫ال « الر ُج ُل َعلَى‬
.» ‫َح ُد ُكم َمن ُُيَالِ ُل‬
35 ِِ ِ ِ
َ ‫دي ِن َخليله فَليَ نظُر أ‬
Artinya:
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Seorang laki-laki itu bergantung dengan agama
teman gaulnya, maka hendaklah salah seorang melihat siapa
yang menjadi teman gaulnya. (HR: Abu Daud)

Hadis ini memberikan pemahaman bahwa lingkungan


mempengaruhi pola pendidikan seseorang. Pengaruh itu bisa dari teman
sebaya maupun beda usia. Rasul memberikan peringatan dini agar kita
selektif dalam memilih lingkungan bergaul, jangan sampai terjerumus
ke dalam pergaulan yang negatif. Hubungan dengan lingkungan terbagi
atas dua yakni, pertama, kita yang mempengaruhi lingkungan, kedua,
kita yang dipengaruhi oleh lingkungan. Selain hadis di atas, dengan
metode perumpamaan rasul menegaskan pentingnya selektif dalam
lingkungan. Rasul membuat ilustrasi orang baik sebagai penjual
minyak wangi, dan orang buruk sebagai tukang besi.

‫ صلى اهلل‬- ‫ب‬ ‫ َع ِن النِ ى‬- ‫ رضى اهلل عنه‬- ‫وسى‬ َ ‫َعن أ َِب بُرَد َة َعن أ َِب ُم‬
‫ك‬ِ ‫يس الصالِ ِح والسوِء َكَح ِام ِل ال ِمس‬ ِ ِ‫ال « َمثَل اجلَل‬َ َ‫ ق‬- ‫عليه وسلم‬
َ َ ُ
،ُ‫اع ِمنه‬ ِ ِ ‫ فََح ِامل ال ِمس‬، ‫ونَافِ ِخ ال ِك ِي‬
َ َ‫ َوإِما أَن تَبت‬، ‫ك‬ َ َ‫ك إِما أَن ُُيذي‬ ُ َ َ

35
Maktabah Syamilah, Sunan Abu Daud. Bab almisk juz 18 hal. 359
18

ِ
َ َ‫ َونَاف ُخ ال ِك ِي إِما أَن ُُي ِر َق ثِيَاب‬، ً‫َوإِما أَن ََِت َد ِمنهُ ِرُيًا طَيىبَة‬
‫ َوإِما أَن‬،‫ك‬
ِ
. ‫رُيا‬
ً ِ ‫ََت َد‬
36

Artinya:
Dari Abu Burdah dari Abu Musa radliallahu 'anhu berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Perumpamaan orang yang bergaul dengan orang shalih dan
orang yang bergaul dengan orang buruk seperti penjual minyak
wangi dan tukang tempa besi, Pasti kau dapatkan dari
pedagang minyak wangi apakah kamu membeli minyak
wanginya atau sekedar mendapatkan bau wewangiannya,
sedangkan dari tukang tempa besi akan membakar badanmu
atau kainmu atau kamu akan mendapatkan bau yang tidak
sedap.

Sesuai dengan hakikat pendidikan sebagai upaya normatif untuk


mengembangkan kepribadian peserta didik ke arah yang lebih baik,
maka tidak semua pergaulan dalam yang terjadi dalam lingkungan
masyarakat dapat berfungsi sebagai pusat pendidikan. Masyarakat yang
dapat dikategorikan sebagai pusat pendidikan adalah masyarakat
terdidik dan sehat yang menampilkan suasana kehidupan yang
berdampak didik.
Suasana tersebut hanya akan eksis di lingkungan masyarakat
yang memiliki al-qaryah al-hasanah. Al-qaryah al-hasanah adalah
lingkungan masyarakat yang beriman dan bertakwa sehingga
memperoleh rahmat dan keberkahan hidup yang melimpah dari Allah.
Adapun badan pendidikan kemasyarakatan adalah masjid, pesantren,
kepanduan, perkumpulan olah raga, perkumpulan pemuda,
kesempatan-kesempatan berjamaah seperti hari jumat, tablig, arisan,
dan lain sebagainya, perkumpulan perekonomian seperti koperasi,
perkumpulan keagamaan.

36
Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari. Bab man yu’amar an yujalisa juz 14 hal 99
19

2. Jenis-jenis Pendidikan Non Formal


Khusus untuk pendidikan agama dan keagamaan telah diatur dalam
peraturan pemerintah No 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan
keagamaan. Untuk pendidikan keagamaan Islam terdapat dalam pasal 21
ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diniyah nonformal
diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, majelis taklim, pendidikan
Alquran, diniyah takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis. Berdasarkan
pasal tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Pengajian kitab
Pengajian kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami
ajaran Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam. Penyelenggaraan
pengajian kitab dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak
berjenjang. Pengajian kitab dilaksanakan di pondok pesantren, masjid,
mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat. Pengajian kitab di
dalam pesantren diselenggarakan untuk mengkaji kandungan Alquran
dan sunnah dan pemahaman transformatif atas kitab-kitab salaf (kitab
kuning) dan kholaf (modern).37
Pendapat Daulay (2009: 64) bahwa pengajian kitab merupakan
proses pendidikan yang diminati oleh umat Islam. Setiap daerah yang
ada ulamanya, sudah dapat dipastikan mumpuni dalam pengkajian kitab
ini. Bahkan dari dahulu sampai sekarang kemampuan mengkaji kitab
merupakan salah satu syarat seseorang untuk disebut sebagai ulama,
kiyai, atau ustadz. Pendidikan seperti ini dapat dilaksanakan dalam
lembaga atau tempat lainnya. Pesantren misalnya, merupakan lembaga
yang bergelut dengan pengajian kitabnya, biasa disebut dengan kitab
kuning. Bahkan boleh dikatakan ruhnya pendidikan dalam pesantren
adalah pengkajian terhadap kitab kuningnya. 38

37
Ahmad Daris, Hakikat Pendidikan Islam: Telaah Antara Hubungan Pendidikan
Informal, Non Formal dan Formal, (UIN Sumatera Utara: Jurnal Tarbiyah, 2017), h. 91.
38
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 64.
20

Dalam pelaksanaannya pengajian kitab dibagi menjadi dua


sistem yaitu sistem ma’hady yang dilaksanakan disore dan malam hari
dan sistem madrasy yang dilaksanakan pada pagi hari. Sistem madrasy
dilaksanakan sebagai berikut:39
1) Pengajian pelajaran dilakukan oleh guru mata pelajaran yang
bersangkutan.
2) Arah program lebih ditekankan pada pencapaian tujuan secara
sistematis dan terjadwal
3) Metode yang digunakan hendaknya memungkinkan tercapainya
ketentuan belajar, baik secara kelas maupun perorangan.
Sedangkan sistem ma’hady dilaksanakan pada pagi hari adalah
sebagai berikut:40
1) Pengajian dilakukan oleh kiyai atau badal kiyai secara jama’i atau
dalam kelompok besar santri tanpa hirarki
2) Arah pengajian lebih ditekankan kepada pencapaian kemampuan
mebaca dan memahami teks kitab yang menjadi sumber tambahan
dari sistem madarsy
3) Metode yang digunakan sepenuhnya tergantung kepada kiayi atau
badal kiyai.
Oleh Karel A Streenbink, ada tiga karakteristik pengajian kitab
kuning dalam lingkup pesantren, yaitu:41
1) Pertama, para murid pengajian kitab ini pada umumnya masuk
asrama di lingkungan pesantren.
2) Kedua, mata pelajaran yang diberikan meliputi pelajaran yang lebih
banyak dari pada pengajian Alquran. Biasanya tahap awal dimulai
dengan pendidikan bahasa.
3) Ketiga, pendidikan diberikan tidak hanya secara individual, tetapi
juga secara berkelompok. Sedangkan diluar lembaga biasanya

39
Ahmad Daris, Op.cit., h. 92.
40
Ibid., h. 92.
41
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun
Moderen, (Jakarta: LP3ES, cet. 2, 1993), h. 12.
21

melakukan pengajian kitab di rumah seorang ulama. Beberapa orang


membawa kitab tertentu untuk dikaji dan didiskusikan dengan ulama
tersebut yang dianggap memahami betul isi kitab. Biasanya
pengajian ini dilakukan dengan sistem halaqah.
b. Majelis Taklim
Majelis taklim adalah sebagai suatu institusi dakwah yang
menyelenggarakan pendidikan agama yang bercirikan nonformal, tidak
teratur waktu belajarnya, para pesertanya disebut jamaah, dan bertujuan
khusus untuk usaha memasyarakatkan Islam. Majelis taklim atau nama
lain yang sejenis bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah dan akhlak mulia peserta didik serta
mewujudkan rahmat bagi alam semesta. Kurikulum majelis taklim
bersifat terbuka dengan mengacu pada pemahaman terhadap Alquran
dan hadis sebagai dasar untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan
kepada Allah, serta akhlak mulia.42
Majelis taklim dilaksanakan di masjid, mushalla, atau tempat
lain yang memenuhi syarat. Daradjat (1980: 9) bahwa pendidikan jalur
nonformal pembinaan majelis taklim diharapkan dapat menawarkan
sebuah solusi dari problematika yang dihadapi umat di antaranya berupa
tantangan akibat kemajuan teknologi, masalah hubungan sosial.
Masalah pembinaan keluarga dan masalah pendidikan anak. Melihat
posisi strategis majelis taklim yang berdiri sejajar dengan lembaga
pendidikan lainnya seperti sekolah, madrasah atau pesantren
menempatkan dirinya mengakar di masyarakat. Sehingga peranannya
sebagai sarana pembinaan umat sangatlah penting.43
c. Pendidikan Alquran
Pendidikan Alquran bertujuan meningkatkan kemampuan
peserta didik membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan
kandungan Alquran. Pendidikan Al-Qur’an terdiri dari Taman Kanak-

42
Ahmad Daris, Log.cit., h. 92.
43
Zakiyah Daradjat, Pendidikan Orang Dewasa, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 9
22

Kanak Alquran (TKQ), Taman Pendidikan Alquran (TPQ), Ta’limul


Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis. Pendidikan
Alquran dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang.
Penyelenggaraan pendidikan Alquran dipusatkan di masjid, mushalla,
atau ditempat lain yang memenuhi syarat.44
Kurikulum pendidikan Alquran adalah membaca, menulis dan
menghafal ayat-ayat Alquran, tajwid, dan menghafal doa-doa utama.
Pendidik pada pendidikan Alquran minimal lulusan pendidikan diniyah
menengah atas atau yang sederajat, dapat membaca Alquran dengan
tartil dan menguasai teknik pengajaran Alquran. 45
d. Diniyah Taklimiyah
Diniyah takmiliyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan
agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,
SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan
keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah. Penyelenggaraan
diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak
berjenjang. Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dilaksanakan di
masjid, mushalla, atau di tempat lain yang memenuhi syarat. Penamaan
atas diniyah takmiliyah merupakan kewenangan penyelenggara.
Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu
dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan
tinggi. Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi antara lain
Ma’had. Penamaan “diniyah takmiliyah” yang umum dipakai
masyarakat adalah madrasah diniyah. 46
Secara riil penyelenggaraan madrasah diniyah mayoritas pada
tingkat Ula, dan berkurang pada tingkat Wustha dan Ulya. Hal ini
dimungkinkan disebabkan karena peserta didik yang mengikuti
pendidikan di madrasah diniyah biasanya adalah sebagai pendidikan

44
Ahmad Daris, Op.cit., h. 93.
45
Ibid., h. 93.
46
Ibid.,
23

pendamping, disamping pendidikan formal yang diikuti. Pada tingkat


Ula yang biasanya banyak diikuti oleh peserta didik yang mempunyai
pendidikan formal SD/MI masih mempunyai cukup banyak waktu untuk
juga mengikuti pendidikan keagamaan di madrasah diniyah. Namun
makin tingginya tingkat pendidikan formal yang dijalani oleh peserta
didik, maka makin sedikit waktu terluang untuk juga mengikuti
madrasah diniyah. Sehingga makin tinggi tingkat pada madrasah
diniyah makin sedikit peserta didiknya. 47
3. Jenis-jenis Pendidikan Formal
Hadari Nawawi mengelompokkan pendidikan ini kepada lembaga
pendidikan yang kegiatannya dilaksanakan dengan sengaja, berencana,
sistematis dalam rangka membantu peserta didik dalam mengembangkan
potensinya agar mampu menjalankan kekhalifahnnya.48 Pendidikan dasar,
menengah dan pendidikan tinggi dalam pasal tersebut untuk pendidikan
Islam secara yuridis diungkapkan dalam peraturan pemerintah yang
menyebutkan sebagai berikut:49
a. Madrasah Ibtidaiyah, yang selanjutnya disingkat MI, adalah salah satu
bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang
menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam
pada jenjang pendidikan dasar.
b. Madrasah Tsanawiyah, yang selanjutnya disingkat MTs, adalah salah
satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama
yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama
Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau
bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui
sama atau setara SD atau MI.
c. Madrasah Aliyah, yang selanjutnya disingkat MA, adalah salah satu
bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang

47
Ibid., 94.
48
Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 220.\
49
Ahmad Daris, Op.cit., h. 94-95
24

menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam


pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs,
atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang
diakui sama atau setara SMP atau MTs.
d. Madrasah Aliyah Kejuruan, yang selanjutnya disingkat MAK, adalah
salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri
Agama yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan kekhasan
agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari
SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil
belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
Dari peraturan diatas, dapat dilihat pendidikan anak usia dini
termasuk dalam jalur pendidikan formal. Akan tetapi yang termasuk dalam
jalur pendidikan formal hanya usia 4-6 tahun saja, dibawah 4 tahun tidak
dikategorikan formal. Landasan yuridisnya dapat dilihat dalam peraturan
pemerintah sebagai berikut:50
a. Taman Kanak-kanak, yang selanjutnya disingkat TK, adalah salah satu
bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal
yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berusia 4
(empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
b. Sedangkan secara khusus untuk pendidikan Islam tertuang dalam pasal
yang sama pada ayat 5 sebagai berikut: Raudhatul Athfal, yang
selanjutnya disingkat RA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan
anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan
program pendidikan dengan kekhasan agama Islam bagi anak berusia 4
(empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
Bertolak dari landasan yuridis jalur pendidikan formal diatas, maka
secara umum dapat diklasifikasikan kepada dua lembaga berikut ini:51
a. Madrasah Madrasah

50
Ibid., h. 95
51
Ibid., h. 95-96
25

Yang termasuk dalam jalur formal adalah madrasah Ibtidaiyah,


madrasah tsanawiyah, dan madrasah Aliyah baik pemerintah maupun
swasta. Untuk madrasah pemerintah jauh lebih sedikit dibandingkan
madrasah yang dikelola swasta. Hal ini bisa dilihat dalam data statistik
perbandingan madrasah kementerian agama tahun 2016.
Untuk Raudhatul Athfal berjumlah 27.999 unit. Madrasah
Ibtidaiyah Swasta berjumlah 22.874 unit. Madrasah Ibtidaiyah Negeri
berjumlah 1.686 unit. Adapun untuk Madrasah Tsanawiyah Swasta
berjumlah 15.497 unit. Untuk Madrasah Tsanawiyah Negeri berjumlah
1.437 unit. Sedangkan untuk Madrasah Aliyah Swasta berjumlah 7.080
unit. Madrasah Aliyah Negeri berjumlah 763 unit.
Berdasarkan data tersebut jumlah total madrasah yang ada di
Indonesia adalah 77. 336 unit. Menurut Fadjar bahwa dewasa ini
madrasah telah berdampingan dengan sistem persekolah pada umumnya
dan sebagian besar pengorganisasian madrasah disusun serupa dengan
organisai persekolahan.52
Berdasarkan ayat 2 pasal 17 Undang-undang Sisdiknas tahun 2003
bahwa pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah
Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiah (MTs), atau bentuk lain yang
sederajat”.
Pada pasal 18 tentang Pendidikan Menengah Ayat 1
menjelaskan bahwa “pendidikan menengah merupakan lanjutan
pendidikan dasar”. Ayat 2 menjelaskan bahwa “pendidikan menengah
terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah
kejuruan”. Ayat 3 menjelaskan bahwa ”pendidikan menengah
berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA),
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk lain yang sederajat”. Ayat 4 menjelaskan bahwa

52
A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005),
h. 237.
26

“Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintahan”.53
Mengenai perguruan tinggi, dekilas mengingat sejarah, bahwa
umat Islam Indonesia telah lama mencita-citakan untuk mendirikan
perguruan tinggi. Bahkan hasrat ini sudah dirintis sejak zaman kolonial
Belanda. M. Natsir menyebutkan bahwa Dr. Satiman menulis sebuah
artikel dalam Pedoman Masyarakat nomor 15 yang menguraikan cita-
cita akan mendirikan satu sekolah tinggi Islam di tiga daerah yaitu
Jakarta, Solo dan Surabaya. Di Jakarta diadakan sekolah tinggi sebagai
bagian dari Sekolah Menengah Muhammadiyah (AMS) yang bersifat
kebaratan (westerch).
Natsir bahwa di Solo akan diadakan sekolah tinggi untuk
mendidik muballigh. Di Surabaya akan diadakan sekolah tinggi yang
akan menerima orang-orang pesantren. Perguruan tinggi agama Islam
mempunyai peran besar dalam mengantarkan bangsa Indonesia sebagai
warga dunia yang mampu bersaing dengan warga lainnya. Perguruan
tinggi Islam harus mampu melahirkan intektual muslim yang berdaya
saing tinggi dengan perguruan tinggi lain.54
Tuntutan ini merupakan gugatan atas peran Sekolah Tinggi
Agama Islam dan Institut Agama Islam, serta Universitas Islam yang
ada. Jika output perguruan tinggi Islam mampu menjawab daya
kebutuhan masyarakat sesuai dengan daya intelektual yang dikuasai,
maka kehadiran perguruan tinggi Islam telah memberikan saham
konstruktif. Demikian pula sebaliknya, jika output tidak mau berbuat
banyak terhadap kepentingan national building dan orientasi
individunya, maka perlu dipertanyakan peran perguruan tinggi Islam
dalam membangun daya intelektual.55

53
UU Sisdiknas, Ibid., h. 82
54
M. Natsir, Capita Selekta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 90.
55
Ahmad Daris, Op.cit., h. 96.
27

C. Pendidikan Informal, Nonformal, dan Formal serta Hubungannya dengan


Pengembangan Mutu Pendidikan Islam.
Menurut Tilaar bahwa pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai
schooling belaka. Dengan membatasi sebagai schooling maka pendidikan
terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar dari tanggung
jawabnya dalam pendidikan.56 Oleh sebab itu rumusan mengenai pendidikan
yang hanya membedakan antara pendidikan formal dan nonformal perlu
disempurnakan lagi dengan menempatkan pendidikan informal yang justru
akan semakin memegang peranan penting dalam pembentukan tingkah laku
manusia dalam kehidupan global yang terbuka.
Jika dilihat dari rumusan tujuan pendidikan pendidikan nasional, maka
untuk mencapai tujuan tersebut tidaklah mudah dicapai hanya dengan
mengandalkan jalur pendidikan formal saja. Akan tetapi harus dibantu dengan
jalur pendidikan informal dan nonformal secara bersama-sama. Secara
struktural, jalur pendidikan informal, nonformal dan formal telah terlihat secara
ekplisit dalam undang-undang.
Hal tersebut menunjukkan bahwa negara sangat memahami tiga jalur
pendidikan ini harus disinergikan dengan baik untuk mencapai tujuan
pendidikan yang telah dirumuskan. Bahkan untuk dua jalur terakhir ini, telah
dikeluarkan peraturan pemerintah terkait pengelolaan dan penyelenggaraannya.
Akan halnya dengan itu, juga terlihat pemerintah telah memberikan apresiasi
yang baik terhadap pendidikan Islam dalam pengelolaan dan
penyelengaraannya. Sehingga peraturan pemerintah telah memberikan ruang
bagi pendidikan Islam untuk proaktif dalam membangun bangsa ini baik pada
jalur formal maupun jalur nonformal sebagaimana uraian terdahulu.
Pendidikan Islam tidak akan mampu mencapai tujuannya kalau hanya
mengandalkan jalur pendidikan formal semata. Memang secara historis dapat
dilihat sejak awal masuknya Islam ke Indonesia pendidikan Islam pertama kali
dilakukan pada dua jalur yaitu informal dan nonformal. Pendidikan ini mula

56
H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h.
20.
28

dilakukan di rumah-rumah, di langgar, di masjid dan kemudian berkembang


menjadi pondok pesantren.
Materi pelajaran biasanya berkisar pada bacatulis Alquran dan hal-hal
yang berkaitan dengan ibadah praktis sehari-hari, seperti salat, puasa zakat,
termasuk pula didalamnya mempelajari akidah dan akhlak. Kemudian bagi
yang ingin memperdalam dan memperluas keilmuannya, mereka pergi ke
pesantren untuk menjadi santri. Iklim tersebut berjalan apa adanya sesuai
dengan kultur pada saat itu.57
Kaitan dengan itu, pendidikan Islam masuk dalam subsistem pendidikan
nasional ada tiga kategori:58
1. Pendidikan Islam sebagai lembaga. Pengakuan lembaga pendidikan Islam
secara eksplisit. Dalam hal ini negara mengakui pendidikan Islam
diwujudkan dalam bentuk lembaga, sebagaimana yang berkembang sampai
hari ini.
2. Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran. Menjadi mata pelajaran wajib dari
Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Dalam hal ini negara mengakui
mata pelajaran agama Islam harus ada pada setiap sekolah dan perguruan
tinggi umum.
3. Pendidikan Islam sebagai nilai (values). Ditemukan nilai-nilai Islami dalam
sistem pendidikan nasional.
Jika melihat dari arah kebijakan dan strategi kementerian agama melalui
direktorat pendidikan Islamnya maka ada enam yang hal yang menjadi orientasi
utamanya dengan seluruh strategi yang meliputinya yaitu:59
1. Pertama, meningkatkan akses dan mutu pendidikan anak usia dini (PAUD).
2. Kedua, meningkatkan akses dan mutu pendidikan dasar-menengah (wajib
belajar 12 tahun).
3. Ketiga, meningkatkan akses, mutu dan relevansi pendidikan tinggi
keagamaan.

57
Ahmad Daris, Log.cit., h. 96.
58
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 4.
59
Ahmad Daris, Op.cit., h. 98.
29

4. Keempat, meningkatkan layanan pendidikan keagamaan yang berkualitas.


5. Kelima, Meningkatkan kualitas pendidikan agama pada satuan pendidikan
umum untuk memperkuat pemahaman dan pengamalan untuk membina
akhlak mulia dan budi pekerti luhur.
6. Keenam, meningkatkan tata kelola pendidikan agama. Isi dari kebijakan dan
strategi pendidikan Islam yang ada dalam program kementerian agama tidak
seluruhnya dapat dicantumkan.
Namun yang menjadi perhatian adalah bahwa seluruh arah kebijakan
dan strategi pendidikan Islam yang ada sungguh sangat ideal secara konseptual.
Kebijakan dan strategi diatas telah mengakomodir jalur pendidikan Islam secara
menyeluruh. Perjalanan panjang pendidikan Islam melalui jalur formal diatas,
sangat disyukuri. Sebab pemerintah secara resmi telah mengakui bahwa
pendidikan Islam merupakan bagian dari pendidikan nasional, yang secara
otomatis ikut andil secara langsung dalam pembangunan nasional.
Hingga saat ini banyak tokoh nasional bahkan internasional berlatar
belakang pendidikan Islam. Sehingga jadilah dalam sistem pendidikan nasional
diberikan ruang bagi pendidikan Islam tiga jalur pendidikan yang saling
memperkaya dan melengkapi.
Diperlukan sinergi dari semua institusi pemerintah dan masyarakat
dalam menyiapkan generasi mendatang berkualitas. Tanggung jawab pertama
berada di tangan orang tua, yang jangan hanya mengandalkan jasa pengasuh
atau mengandalkan sekolah. Pendidikan pertama anak ada di bawah tanggung
jawab orang tua untuk kemudian dilanjutkan ke institusi pendidikan nonformal
dan formal . Terlebih, tantangan dan tanggung jawab orang tua makin tinggi di
tengah deraan teknologi yang berpeluang membawa pengaruh buruk bagi
perkembangan anak.60 Perlunya sinergi ketiga jalur pendidikan Islam ini adalah
selain untuk menyatukan persepsi terkait proses dan tujuan pendidikan, juga
untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam pendidikan itu sendiri.

60
Ibid., h. 99.
30

Sehingga jangan sampai melempar tanggung jawab kepada salah satu dari jalur
yang ada.
Sebagaimana yang digambarkan Sudarwan Danim dalam bukunya
terkait dengan fenomena dekadensi moral yang saat ini. Para pendidik dan
psikolog cenderung melihat keadaan ini bersumber dari kegagalan sekolah
dalam memanusiawikan anak didik.61 Sebagian lagi mengatakan
kemasyarakatanlah yang memiliki andil besar dalam hal ini termasuk di
dalamnya keluarga dan lembaga nonformal. Bahkan ada pula yang melabelinya
sebagai aksentuasi kekeliruan orientasi sekolah yang lebih mengutamakan
pengajaran intelektual dari pada pendidikan dalam makna luas.
Permasalahan di atas terlihat tampak kuat saling menyalahkan dan
melempar tanggung jawab dari jalur yang ada. Pandangan seperti ini tentunya
terlalu parsial. Seharusnya menelaah fenomena diatas harus dipadang secara
totalitas. Sehingga pandangan kita terhadap pendidikan diarahkan kepada
kesimpulan bahwa pekerjaan ini adalah tanggung jawab kolektif.
Adanya hubungan saling memberikan kontribusi yang digambarkan
Umar Tirtarahardja, patut menjadi perhatian bahwa setiap pusat pendidikan
harus meningkatkan kontribusi terhadap perkembangan peserta didik.
Disamping itu, disyaratkan pula keserasian kontribusi itu, serta kerjasama yang
erat dan harmonis. Pendapat diatas, menekankan perlunya kontribusi yang
serasi antara jalur pendidikan yang ada. 62
Untuk bisa saling berkontribusi, menurut hemat penulis perlu dibina
beberapa pola hubungan yang serasi pula. Paling kurang ada beberapa pola
hubungan yang harus disinergikan antar ketiga jalur pendidikan Islam, yaitu
hubungan interaktif, hubungan koordinatif, dan hubungan konsultatif. Sehingga
oleh Danim disebutkan pendidikan formal, informal dan dan pendidikan
kemasyarakatan merupakan pranata masyarakat bermoral, dengan partisipasi

61
Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), h. 10.
62
Umar Tirtarahardja dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta,
2005), h. 184.
31

total sebagai replika idealnya. Sinergi yang dilakukan akan dapat


menyukseskan pendidikan secara utuh. 63
Sehingga dalam kaitannya dengan ini, Muzayyin Arifin berpendapat
bahwa dalam proses pemberdayaan umat manusia, adanya lembaga pendidikan
dalam masyarakat merupakan syarat mutlak yang mempunyai tanggung jawab
kultural-edukatif.64 Dengan harapan yang lebih besar lagi, beliau mengatakan
kalau ingin menatap masa depan pendidikan Islam Indonesia yang mampu
memainkan peran strategisnya bagi kemajuan umat dan bangsa, perlu ada
keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan masalah-masalahnya
secara mendasar dan menyeluruh.
Hal yang mendasar antara lain jelasnya antara cita-cita dengan
operasionalnya. Kemudian penguatan di bidang kelembagaannya. Lalu
perbaikan/pembaruan dalam sistem pengelolaan atau manajemennya. Tiga
strategi yang dikemukakan oleh Malik Fadjar diatas, hanya akan berpotensi
berhasil jika dilakukan secara bersinergi antara tiga jalur pendidikan Islam yang
ada. Kelembagaan formal saja akan berjalan pincang jika tidak ditopang dan
dikuatkan dengan jalur pendidikan informal dan nonformal.

63
Sudarwan Danim, Op.cit., h. 72.
64
Muzayyin Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat, (Jakarta: Golden
Terayon Press, 1991), h. 38.
32

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan Islam pada jalur pendidikan informal, nonformal dan formal
memiliki peran strategis untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang telah
dirumuskan. Peran tersebut tidak dapat berhasil secara maksimal apabila
berjalan secara sendiri-sendiri. Keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan
Islam hanya akan diperoleh jika ketiga jalur pendidikan Islam diatas dapat
bersinergi dengan baik. Secara umum ada dua hubungan yang dapat dilihat,
yaitu, secara struktural dan secara fungsional.
Pada tataran struktural pendidikan Islam dengan tiga jalur yang ada telah
diakomodir oleh sistem pendidikan Nasional. Jalur tersebut sama-sama diakui
dan diberikan mandat untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan
secara mandiri. Sehingga dalam konteks ini tidak ada lagi permasalahan yuridis
yang menghambat penyelenggaraannya. Jalur tersebut saling terhubung dan
terjalin dibawah undangundang dan peraturan yang berlaku. Sedangkan pada
tataran fungsional, maka tiga jalur pendidikan Islam yang ada memiliki fungsi
yang sama untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
Dalam konteks ini, antara ketiga jalur pendidikan Islam tersebut harus
menguatkan hubungan dengan pola komunikaf-interaktif, komunikatif-
koordinatif, dan komunikatif-konsultatif. Pola-pola tersebut akan menjadikan
pendidikan Islam terintegrasi dengan seluruh programnya yang ada, sehingga
pada akhirnya akan mewujudkan pendidikan Islam yang utuh dan totalitas
(kaffah).
B. Saran
Keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan Islam hanya akan diperoleh
jika ketiga jalur pendidikan Islam diatas dapat bersinergi dengan baik. Oleh
karena itu ketiga jalur pendidikan Islam tersebut harus menguatkan hubungan
dengan pola komunikaf-interaktif, komunikatif-koordinatif, dan komunikatif-
konsultatif.
DAFTAR PUSTAKA

Adler, Mortimer J., In Defense of The Philoospy of Education in Philosophies of


Education, University of Chicago Press, 1962.

Aghla, Ummi, Mengakrabkan Anak pada Ibadah, Jakarta, Almahira, 2004

Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2016

______, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat, Jakarta, Golden


Terayon Press, 1991.

Baihaqi, Mendidik Anak dalam Kandungan, Jakarta, Darul Ulum Press, 2000.

Danim, Sudarwan, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka


Pelajar, 2006

Daradjat, Zakiyah, Pendidikan Orang Dewasa, Jakarta, Bulan Bintang, 1980.

Daris, Ahmad, Hakikat Pendidikan Islam: Telaah Antara Hubungan Pendidikan


Informal, Non Formal dan Formal, UIN Sumatera Utara: Jurnal Tarbiyah,
2017.

Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di


Indonesia, Jakarta, Kencana, 2004.

______, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia,


Jakarta, Kencana, 2009

Fadjar, A. Malik, Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta, Rajagrafindo Persada,


2005.

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta, Rajagrafindo, 2009.

Idi, Abdullah & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta, Tiara
Kencana, 2006.

Idris, Zahra, Dasar-dasar Kependidkan I Padang, Angkasa Raya, 1987.

Ikhsan, Fuad Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2005

Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari. Bab man yu’amar an yujalisa juz 14

Maktabah Syamilah, Sunan Abu Daud. Bab almisk juz 18.


Miharso, Mantep, Pendidikan Keluarga Qurani, Yogyakarta, Safiria Insani Press,
2009.

MJ. Aida, Ilmu Pendidikan, Semarang, Putra Sanjaya, 2005.

Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana
Prenada Media, 2010.

Nata, Abudin, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di


Indonesia, Jakarta, Prenada Media, 2003.

Natsir, M., Capita Selekta, Jakarta Bulan Bintang, 1973.

Nawawi, Hadari, Pendidikan Dalam Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 1993.

PP RI No. 55 Tahun 2007, tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan

S. Sudjana, Pendidikan Nonformal Wawasan Sejarah Perkembangan Filsafat Teori


Pendukung Azas, Bandung, Falah Production, 2004.

Santoso, Satmoko Budi, Sekolah Alternatif, Mengapa tidak?, Yogyakarta, Penerbit


Diva Press, 2010.

Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam


Kurun Moderen, Jakarta, LP3ES, 1993.

Sudjana, D., Pendidikan Luar Sekolah: Wawasan, Sejarah Perkembangan,


Falasafah, Teori Pendukung, Asas, Bandung, Penerbit Falah
Production, 2001

Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa Dari Teori Hingga Aplikasi, Jakarta, PT


Bumi Aksara, 2012.

Tilaar, H.A.R., Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2004

Tim Dosen IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, Surabaya, Usaha


Nasional, 1988.

Tirtarahardja, Umar & La Sula, Pengantar Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta,


2000.

______, Pengantar Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 2005

Trisnamansyah, Sutaryat, Materi Pokok Perkuliahan Filsafat, Teori, dan Konsep


Dasar PLS, Bandung, Makalah tidak diterbitkan, 2003.
Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2005.
Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sisdinas, Bandung, Citra Umbara,
2006

UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


Bab VI pasal 27 ayat 1-3

UU RI No. 20 Tahun 2003, tentang SISDIKNAS Bab Vi Pasal 26 ayat 1-5.

Wahyudin, Dinn, Pengantar Pendidikan, Jakarta, Universitas Terbuka, 2007

Anda mungkin juga menyukai