Anda di halaman 1dari 17

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN PSIKIS DALAM


RUMAH TANGGA

Makalah

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa


Indonesia Program Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Syariah dan Hukum Islam

Oleh :

Mauldi Putra Hardiansyah


NIM 7423520223123

Dosen Pemandu : Dr.Hj. Fatimah,s.s.,m.hum.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)


BONE
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah Swt. Atas limpahan rahmatnya sehingga kita masih

di beri kesempatan, kesehatan dan waktu hingga mampu menyelesaikan tugas

makalah Mata Kuliah Bahasa Indonesia yang telah di berikan oleh dosen yang

bersangkutan. Shalawat serta salam tak lupa kita kirimkan kepada Nabi

Muahammad Saw. Yang telah mengeluarkan kita dari alam kebodohan menuju

alam tang terang benderang seperti saat ini.

Adapun tujuan kami membuat makalah ini untuk memenuhi tugas Mata

Kuliah Bahasa Indonesia dengan judul atau Tema “Implementasi Perlindungan

Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Kekerasan Psikis dalam Rumah Tangga”

yang telah diberikan oleh dosen yang bersangkutan. Kami mengucapkan banyak

terimah kasih untuk pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan keritik sangat

kami butuhkan untuk membangun pembuatan makalah kedepannya bisah lebih

baik.

Watampone, 18 Desember 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................4
C. Tujuan...................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Implementasi yang Mendukung Perlindungan Hukum terhadap Anak
sebagai Korban Kekerasan Psikis dalam Rumah Tangga.....................5
B. Kendala Yang Didapatkan Dalam Mengimplementasikan Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Psikis Dalam Rumah
Tangga..................................................................................................8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpul...............................................................................................12
B. Saran.....................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum. Di dalam negara hukum negara membuat

beberapa peraturan yang ada terutama peraturan perundang-undangan yang

terhubung pada bidang-bidang tertentu. Didalam penulisan ini membahas tentang

anak sebagai korban kekerasan psikis dalam rumah tangga terutama mengenai

implementasi UU No. 23 Tahun 2004 tentang (UU PKDRT) Penghapusan

kekerasan dalam rumah tangga, karena peraturan ini masih belum di

implementasikan terhadap anak sebagai korban kekerasan psikis dalam rumah

tangga secara maksimal.

Banyaknya pemberitaan tentang KDRT yang semakin meningkat maka

mendorong penulis untuk meneliti permasalahan KDRT terhadap anak yang

masih banyak dilakukan dikalagan masyarakat. Membahas mengenai hal-hal yang

menjadi sebab sehingga terjadi kekerasan ataupun tindak pidana dalam lingkup

rumah tangga maupun pemerintah dan pihak yang terkait dalam perlindungan

hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan psikis dalamrumah tangga,

dengan mengangkat penelitian yang berjudul “Implementasi Perlindungan Hukum

Terhadap Anak sebagai Korban Kekerasan psikis dalam rumah tangga”.

Dalam terminologi Negara, anak merupakan wadah terhadap generasi

muda yang mencakup beberapa sumber daya manusia yang berpotensi untuk

meneruskan cita-cita perjuangan bangsa, yang mempunyai peran penting maupun

strategi yang dimiliki serta, ciri dan sifat khusus namun, sangat memerlukan

pembinaan maupun perlindungan dan perkembangan fisik,mental yang selaras dan

seimbang. Dan ada beberapa pandangan luas yang mencakup sebuah titik temu
1
2

bahwa anak merupakan peradaban baru dalam ilmu sejarah manusia

keberadaannya menjadi sesuatu yang niscaya bagi keberlangsungan peradaban.

Bagian-bagian penting yang mencakup negara, elemen-elemen masyarakat

dan bagian keluarga anak yang vital seharusnya menjamin terpenuhinya semua

kebutuhaan dan hak dasar bagi anak. Hal ini dikarenakan anak adalah kelompok

manusia yang belum mampu secara mandiri membela hak-haknya. Kedudukan

anak dalam hukum juga dibedakan dengan kelompok manusia yang lain. Dengan

kedudukan yang berdasar pada hukum anak layak mendapatkan perhatian penuh

terhadap orang tuanya.

Pada pernyataannya, kekerasan yang terjadi terhadap anak kian meningkat,

bahkan yang lebi memprihatinkan kekerasan tersebut berasal dari lingkungannya

sendiri. Maka dari itu, beberapa anak yang terpaksa dan terlibat pada situasi

tertentu yang tidak diperbolehkan atau bahkan anak menjadi korban dari suatu

perlakuan yang tidak menyenangkan maupun tidak mendapatkan perlakuan baik.

Ada beberapa jenis kekerasan terhadap anak seperti preman, pemerkosaan,

perampok dan sebagainya,maupun oleh saudara sekalipun atau bahkan orang tua

kandung mereka sendiri. Tetapi, kasus dan pemasalahan tindak kekerasan yang

dialami oleh anak-anak di bawah umur umumnya masih belum mendapat

perhatian sungguh-sungguh dari berbagai pihak. Kasus tindak kekerasan dan

pelanggaran terhadap hak anak, acap kali kurang mendapat perhatian publik,

karena selain data dan laporan tentang kasus child abuse memang nyaris tidak ada,

juga karena kasus ini seringkali masih terbungkus oleh kebiasaan masyarakat

yang meletakkan masalah ini sebagai persoalan internal keluarga, dan tidak layak

atau tabu untuk diekspos keluar secara terbuka. Seperti dikatakan Harkristuti

Harkrisnowo (1998), bahwa rendahnya kasus tindak kekerasan terhadap anak

yang diketahui publik salah satunya sebab sering terjadinya penyelesaian kasus
3

semacam ini dilakukan secara kekeluargaan dalam tingkat penyidikan, sehingga

kasus tindak kekerasan, eksploitasi, dan bahkan tindak pelecehan seksual terhadap

anak tidak hanya terjadi di kehidupan jalanan di kota besar yang memang keras, di

sektor industri atau dunia ekonomi yang konon sering disebut bersifat eksploitatif,

melainkan juga dapat ditemui di dunia pendidikan, di kehidupan seharihari

masyarakat, dan bahkan di lingkungan keluarga yang secara normatif sering

dikatakan sebagai tempat paling aman bagi anak.

Kasus kekerasan terhadap anak, dewasa ini tidak hanya terjadi di kota-kota

besar saja tetapi juga sudah banyak dijumpai di berbagai pelosok daerah di

Indonesia, namun belum banyak yang terpublikasi. Demikian halnya dengan

Kabupaten Bone, yang kemudian oleh penulis dipilih sebagai lokasi penelitian,

dimana daerah ini merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang

sedang berkembang perekonomian dan pembangunannya sehingga sangat rawan

terjadi kejahatan khususnya kejahatan kekerasan terhadap anak, namun karena

kurangnya pemahaman masyarakat sehingga kasus kekerasan terhadap anak ini

sering dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Legitimasi sosial yang memberi justifikasi penuh bagi keluarga menjadi

sesuatu yang biasa dan benar dalam pandangan masyarakat, padahal Hak asasi

anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan

Undang –Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Secara Khusus hal-hal mengenai anak termaksud hak dan kewajibannya tercantum

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang ini merupakan hasil ratifikasi dari Konfensi Hak Anak tahun

1989. Artinya anak harus dipandang sebagai subjek hukum dengan segala hak dan

kewajiban yang melekat pada dirinya.


4

Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagi upaya perlindungan

hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and

freedoms for children), serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan

kesejahteraan anak. Dengan demikian, masalah perlindungan hukum bagi anak

mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Perlindungan anak juga dapat diartikan

sebagai segala bentuk kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan

hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimana Implementasi yang mendukung perlindungan hukum terhadap

anak sebagai korban kekerasan psikis dalam rumah tangga?

2. Apa saja kendala yang didapatkan dalam mengimplementasikan

perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan psikis dalam

rumah tangga?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi yang mendukung

perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan psikis dalam

rumah tangga.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala-kendala yang dialami para

penegak hukum dalam melaksanakan implementasi perlindungan hukum

terhadap anak sebagai korban kekerasan psikis dalam rumah tangga.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Implementasi yang Mendukung Perlindungan Hukum Terhadap

Anak Sebagai Korban Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga

1. Perlindungan dengan Pendekatan Hukum

Perlindungan hukum sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib

dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk

memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan sanksi dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.

Perlindungan hukum tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan

atau tindakan hukum, atau sanksi pidana. Aturan hukum tidak hanya untuk

kepentingan jangka pendek saja, akan tetapi harus berdasarkan kepentingan

jangka panjang. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan

terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat

preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum

yaitu konsep di mana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban,

kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.1

Salah satu bentuk perlindungan hukum adalah perlindungan dengan

pendekatan hukum yang merupakan cara memanfaatkan sarana pidana atau sanksi

pidana. Kasus kekerasan terhadap anak seharusnya penanganannya tidak hanya

bertumpu pada Undang-undang tentang Perlindungan anak saja, tetapi juga

dikaitkan dan saling singkron dengan undang-undang lainnya seperti salah

satunya Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang

1
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : UI Press, 2008),h. 51-52.

5
6

tentang Sistem Pendidikan Nasional hanya menekankan pada mutu pendidikan

dan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis

pendidikan. Seharusnya dalam Undangundang tentang Sistem Pendidikan

Nasional, pihak sekolah wajib memberikan pengawasan tidak hanya berkaitan

dengan mutu pendidikan tetapi juga melakukan pengawasan terhadap segala hal

perilaku anak didik dan lingkungan sekolah sehingga aman untuk anak didik.

Upaya penanggulangan hukum pidana melalui sarana dalam mengatur

masyarakat lewat perundang-undangan pada hakikatnya merupakan wujud suatu

langkah kebijakan (policy). Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum

pidana lebih menitik beratkan pada sifat “Represive” (Penindasan/

pemberantasan/ penumpasan), setelah kejahatan atau tindak pidana terjadi. Oleh

karena itu, kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak

hukum (Law Enforcement). Hukuman atau sanksi pidana yang dijatuhkan kepada

pelaku diharapkan dapat memberikan efek jerah kepada pelaku sesuai dengan

tujuan pemidanaan. Dasar hukum dalam menanggulangi permasalahan berkaitan

dengan kekerasan yang berdampak psikis pada anak perlu di atur dalam Peraturan

Perundang – undangan Indonesia.

Sedangkan perlindungan hukum bagi korban kekerasan fisik yang

berdampak psikis terhadap keberlangsungan pendidikan formal anak yakni

dengan memuat pengaturan mengenai hak-hak korban kekerasan baik itu korban

kekerasan fisik atau psikis didalam undang-undang, sehingga apabila ada korban

kekerasan fisik yang berdampak pada psikis anak, maka korban dapat segera

diberikan hak-haknya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam undang-

undang.2

2
Tania Suci Maharani,dkk. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban
Kekerasan Rumah Tangga Di Indonesia. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 10 Tahun 2021, h.
1851-1864.
7

2. Perlindungan dengan Pendekatan Non Hukum

Upaya perlindungan dan penanggulangan kejahatan perlu ditempuh

dengan pendekatan kebijakan yang meliputi adanya keterpaduan (integritas)

antara politik kriminal dan politik sosial dan keterpaduan antara upaya

penanggulangan kejahatan dan dampaknya bagi korban dengan hukum dan non

hukum. Dalam persoalan perlindungan bagi anak korban kekerasan yang

berdampak psikis terhadap pendidikan anak, penggunaan sarana hukum tidak

cukup efektif dilihat dari masih tingginya kekerasan pada anak.

Upaya perlindungan hukum kepada anak korban kekerasan yang

berdampak psikis terhadap pendidikan anak dengan menerapkan sistem non

hukum yaitu memberikan rehabilitasi kepada anak baik dari pemerintah maupun

dari pihak pelaku kekerasan. Rehabilitasi adalah sebuah kegiatan ataupun proses

untuk membantu para penderita yang mempunyai penyakit serius seperti trauma

atau cacat yang memerlukan pengobatan medis untuk mencapai kemampuan fisik,

psikologis, dan sosial yang maksimal. Untuk pencegahan di lingkungan sekolah,

sekolah diharuskan memiliki guru bimbingan konseling (BK) yang memiliki

sertifikat penanganan kekerasan kepada anak, di setiap sekolah penting untuk

merekrut guru bimbingan konseling yang memahami psikologi anak korban

kekerasan, karena psikologi sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak.

Oleh karena itu penting bagi pemerintah meninjau kembali sistem perekrutan guru

bimbingan konseling dilingkungan sekolah dan lebih memperhatikan tingkah laku

anak didiknya.

Pembenahan terhadap faktor yang mempengaruhi lingkungan/eksternal

anak yakni pergaulan yang perlu dibatasi dan terkontrol serta norma yang sopan

dan santun yang ada di masyarakat ditanamkan dalam diri anak. Pembenahan

terhadap teknologi yang mana teknologi saat ini berisi konten-konten yang kurang
8

baik untuk di tiru oleh anak-anak. Segala komunikasi anak lebih mudah lewat

media sosial, namun seringkali media sosial dijadikan alat untuk melakukan

kekerasan dengan cara menghina, menghujat, menyindir temannya sendiri

(cybercrime).

B. Kendala Yang Didapatkan Dalam Mengimplementasikan

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan

Psikis Dalam Rumah Tangga

Dalam hal kaitannya anak sebagai korban dari eksploitasi seksual terhadap

anak, maka ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang berbuat jahat

termasuk penyebab mengapa anak melakukan perbuatan eksploitasi seksual,

kekerasan seksual merupakan kejahatan yang cukup kompleks penyebabnya dan

tidak berdiri sendiri, dapat disebabkan oleh kondisi yang mendukung, keberadaan

korban yang secara tidak langsung dapat mrendorong pelaku, atau ada unsur-

unsur lain yang mempengaruhinya yaitu: faktor dari dalam (Faktor Internal) dan

faktor dari luar (Faktor Eksternal).3

Faktor dari dalam (Faktor Internal) yaitu:

1. Kemiskinan Rendahnya ekonomi, penyediaan lapangan pekerja yang

terbatas dan minimnya jaminan sosial yang merupakan faktor dominan

sehingga menyebabkan anak tersebut bekerja membutuhkan penghasilan

yang lebih untuk memenuhi kebutuhannya sendiri maupun kebutuhan

hidup keluragnya.

2. Kurangnya Pengawasan Orang Tua Kurangnya pengawasan orang tua

yang membuat anak merasa kurang diperhatikan membuat anak mencari

3
Fakih M, Buku Panduan Pelatihan Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Korban Child
Abuse and Neglect (Jakarta: IPB Press 2003), h. 77.
9

ketenangan diluar dan kurang bimbingan moral dari orang tua menjadikan

anak kurang paham akan moral-moral religius

3. Keluarga terpecah (broken home) Keluarga terpecah (broken home)

merupakan salah satu faktor yang juga membuat anak yang menjadi

depresi karena belum memahami apa itu perceraian sehingga membuat

anak menjadi malu, takut dan tidak tahu untuk menghadapi kehidupan

kedepannya.

4. Keluarga Keluarga dipandang sebagai sebuah lembaga yang paling

berperan penting dalam kehidupan sosial yang sehat terutama terkait

pembentukan pribadi anak. Sebagai lingkungan pertama dan utama

tumbuh kembang anak, sebuah keluarga khususnya orang tua diharapkan

mampu mengoptimalkan perannya terutama dalam bersosialisasi dan

berinteraksi dengan anak-anak. Pola asuh yang sesuai serta pengajaran

yang berorientasi pada kebutuhan dasar anak, selayaknya diupayakan

tanpa melanggar hak-hak anak. Dalam hal ini, orang tua dihrapkan bisa

menjadi model dan teladan bagi anak serta bijaksana dalam memberikan

sanksi bagi anak yang melakukan kesalahan dengan mempertimbangkan

tindakan-tindakan yang sifatnya ramah anak serta upaya revitalisasi

khususnya orang tua dalam mengurangi eksploitasi terhadap anak

5. Lingkungan Lingkungan yang buruk membuat anak mudah mengikuti dan

mencotohi hal-hal buruk.

6. Pendidikan Pendidikan adalah salah satu faktor dari dalam yang membuat

anak terjerumus sebagai korban eksploitasi seksual selain itu juga

kalangan fasilitas pendidikan, rendahnya kualitas pendidikan dasar,

rendahnya kesadaran masyarakat khususnya orang tua terhadap pentingnya

pendidikan, kurikulum pendidikan yang kurang akomodatif terhadap


10

tantangan kerja masa depan dan mahalnya biaya pendidikan. Tetapi

pendidikan juga bukan menjadi faktor penjamin bukan saja dasar

pendidikan yang rendah tetapi kurangnya pendidikan moral anak yang

menyebabkan anak itu sendiri terjerumus sebagai korban eksploitasi

seksual.4

Faktor dari luar (Faktor Eksternal) yaitu:

1. Jumlah Penduduk Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai

prospek karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya

ketimpangan-ketimpangan sosial.

2. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga.

3. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang

berimigrasi ke kota-kota atau negara-negara lain.

4. Budaya Dalam konteks sosial budaya masyarakat Indonesia, anak yang

bekerja dianggap sebagai wahana positif untuk memperkenalkan disiplin

serta menanamkan etos kerja pada anak. Sehingga rusaknya atau

hancurnya identitas budaya asli yang bersamaan dengan adanya rasisme

dan diskriminasi menyebabkan kerugian atau kelemahan di bidang sosial,

kesejahteraan, dan lingkungan kerja. Hal ini sudah menjadi bagian dari

budaya dan tata kehidupan keluarga Indonesia.

5. Lingkungan Perkotaan Menurun atau mundurnya lingkungan perkotaan

yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi

tempat-tempat fasilitas lingkungan atau bertetangga. Kesulitan bagi orang-

orang dalam masyarakat modern untuk integrasi sebagaimana mestinya di

4
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan (Jakarta: Media Cahaya, 2010), h. 97-98
11

dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga familinya,

tempat pekerjaannya atau lingkungan sekolahnya.

6. Penyalahgunaan Obat-obat terlarang Penyalahgunaan alkohol, obat bius,

maupun obat-obat terlarang dan lain-lain yang pemakaiannya juga

diperluas karena faktor-faktor yang disebut diatas.

7. Aktivitas kejahatan Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi,

khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian.

Serta dorongan mengenai ide dan sikap-sikap yang mengarah pada

tindakan kekerasan, ketidaksamaan atau sikap-sikap tidak toleransi.

8. Lemahnya perlindungan terhadap anak Lemahnya perlindungan anak,

perlindungan belum tertata dengan baik, penegakan hukum, dan dorongan

dari seseorang.

Faktor-faktor ini bisa saja saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Berdasarkan

data yang ada, kriteria-kriteria anak yang menjadi korban dapat dilihat dari

tingkah laku dan sikap dalam menjalankan kehidupan, ada perubahan-perubahan

yang terjadi pada anak yang menjadi korban eksploitasi seksual bukan hanya

anak-anak dari keluarga miskin tetapi banyak faktor pendukungnya. 5

5
Bagong Suyanto, Krisis dan Child Abuse (Surabaya: Bahagia Abadi, 2002), h. 114-115.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Implementasi yang mendukung perlindungan hukum terhadap anak

sebagai korban kekerasan psikis dalam rumah tangga mencakup berbagai langkah.

Pertama, diperlukan peraturan hukum yang jelas dan tegas yang mengidentifikasi

dan melarang kekerasan psikis, serta menetapkan sanksi yang tegas bagi pelaku.

Selanjutnya, perlu adanya sistem penegakan hukum yang efektif untuk


memastikan bahwa pelaku kekerasan psikis dihukum sesuai dengan ketentuan

hukum yang berlaku. Penguatan lembaga penegak hukum, seperti kepolisian dan

lembaga perlindungan anak, juga penting untuk memberikan respons yang cepat

dan menyeluruh terhadap kasus-kasus kekerasan psikis. Selain itu, upaya

pendidikan dan sosialisasi di masyarakat tentang hak anak dan konsekuensi

kekerasan psikis perlu ditingkatkan, agar masyarakat lebih peka terhadap isu ini.

Kolaborasi antara pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan sektor swasta juga

sangat diperlukan untuk menyediakan dukungan, konseling, dan perlindungan

bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan psikis dalam rumah tangga.

Kendala dalam mengimplementasikan perlindungan hukum terhadap anak

sebagai korban kekerasan psikis dalam rumah tangga melibatkan sejumlah faktor.

Pertama, stigma sosial terkait isu kekerasan psikis dapat membuat beberapa kasus

sulit dilaporkan karena ketakutan atau rasa malu yang dialami oleh korban atau

keluarganya. Keterbatasan sumber daya, baik finansial maupun infrastruktur,

dalam sistem hukum dan lembaga perlindungan anak juga dapat menjadi

hambatan. Kurangnya pemahaman atau pelatihan yang memadai di kalangan

aparat penegak hukum dan penyedia layanan sosial juga dapat menghambat

12
13

deteksi dan penanganan kasus. Selain itu, koordinasi antara berbagai lembaga

terkait sering kali kurang optimal, menyebabkan kurangnya sinergi dalam

memberikan perlindungan komprehensif bagi anak-anak yang menjadi korban.

Diperlukan upaya serius dan terkoordinasi untuk mengatasi kendala-kendala ini

agar implementasi perlindungan hukum terhadap anak dapat berjalan lebih efektif

dan menyeluruh.

B. Saran

Anak selalu menjadi korban dalam kekerasan dan keretakan hubungan

rumah tangga. Orang tua terkadang melampiaskan kekesalan dari tempat kerja

kepada anak di rumah. Tanpa memikirkan dampak yang di deritta oleh si anak.

Semoga materi ini bermanfaat dan menjadi pelajaran yang bisa di terapkan.

Adapun kekurangan kami mohon maaf. Saran dan kritik kami terimah.
DAFTAR PUSTAKA

Fakih. M, Buku Panduan Pelatihan Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Korban

Child Abuse and Neglect. Jakarta: IPB Press 2003.

Maharani,Tania Suci. dkk. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi

Korban Kekerasan Rumah Tangga Di Indonesia. Jurnal Kertha Semaya,

Vol. 9 No. 10 Tahun 2021.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 2008).

Supeno, Hadi. Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Peradilan Anak Tanpa

Pemidanaan. Jakarta: Media Cahaya, 2010.

Suyanto, Bagong. Krisis dan Child Abuse. Surabaya: Bahagia Abadi, 2002.

14

Anda mungkin juga menyukai