Anda di halaman 1dari 46

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN INSES (HUBUNGAN

SEKSUAL SEDARAH) YANG DIKAJI BERDASARKAN PERSPEKTIF


HUKUM PIDANA DI INDONESIA.

Di Susun Oleh :

Gita Candrika (B1A021034)

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Herawan Sauni S.H.,M.H.

Randy Pradityo. S.H.,M.H.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU

TAHUN 2023

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. LATAR BELAKANG ............................................................................... 1

B. IDENTIFIKASI MASALAH .................................................................... 4

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................................. 4

D. KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................... 5

E. KEASLIAN PENELITIAN ....................................................................... 9

F. METODE PENELITIAN .......................................................................... 11

1. Jenis Penelitian ................................................................................ 11


2. Pendekatan Penelitian ..................................................................... 12
3. Bahan Hukum ................................................................................. 12
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum ........................................... 13
5. Analisis Bahan Hukum .................................................................. 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 14

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 29

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 36

BAB V PENUTUP ........................................................................................41

A. Kesimpulan ....................................................................................... 41
B. Saran .................................................................................................. 42

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 43

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Keluarga merupakan lingkup terkecil di dalam kehidupan bermasyarakat


yang terdiri dari ayah, ibu serta anak yang ada di dalam satu garis keturunan
(sedarah) dan hidup saling berdampingan antara satu sama lain. 1 Dimana orang
tua memiliki peran yang penting dalam keluarga sejak anak dalam kandungan.
Dalam perkembangan anak, orang tua berperan sebagai pemuas kebutuhan anak,
dan pembentuk konsep diri dalam keluarga, oleh karena itu tugas-tugas keluarga
merupakan tanggung jawab langsung setiap pribadi didalam masyarakat yang
dimana menurut Silalahi (2010, p.184) bahwa keluarga memiliki fungsi
diantaranya adalah fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih,
fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi
ekonomi, serta fungsi pemeliharaan anak. 2

Berdasarkan fungsi keluarga tersebut perlu digaris bawahi bahwa salah


satu fungsi keluarga adalah untuk perlindungan dan pemeliharaan anak sehingga
keluarga berkewajiban untuk memberikan perlindungan serta memelihara anak
bukan hanya fisik nya saja namun juga pemeliharaan psikis. Namun pada
kenyataannya ada beberapa kasus di keluarga, dimana peran dan fungsi keluarga
tidak berjalan sebagaimana semestinya, misalnya timbulnya sebuah fenomena
yang saat ini menuai perdebatan yaitu adanya hubungan seksual sedarah atau yang
dalam bahasa inggris dikenal dengan sebutan insest. Hubungan seksual sedarah
atau yang disebut dengan inses ini merupakan salah satu bentuk penyimpangan
yang sering terjadi dalam kehidupan keluarga, yang dimana perbuatan inses ini
merupakan suatu tindakan hubungan seksual dengan seseorang yang berasal dari
anggota keluarga, anggota keluarga yang dimaksud masih memiliki hubungan
pertalian darah seperti: ayah dan putrinya, ibu dan putranya, kakek dengan

1
Santoso, Rahmad Dwi Putra, Tindak pidana inses/incest Menurut peraturan perundang-
undangan Nasional. Dinamika: Jurnal ilmiah ilmu hukum 26(27),(2020): 891-904.hlm.892
2
Jurnal Pembangunan dan Pendidikan : Fondasi dan Aplikasi Volume 2, Nomor 1, 2014

1
cucunya atau diantara saudara sekandung (Penyebab, Dampak, dan Pencegahan
Inses (Murdiyanto dan Tri Gutomo).

Adanya kasus inses yang dilakukan oleh keluarga kandung, terkhususnya


yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya juga merupakan suatu
indikasi rusaknya kesadaran terhadap peran orang tua dalam lingkungan anggota
keluarga. Padahal keluarga merupakan rumah yang seharusnya menjadi tempat
yang paling aman bagi anggota keluarga untuk berlindung, namun tidak dapat
dipercaya bahwa pelaku kekerasan seksual adalah orang yang dicintai dan
dipercaya untuk menjaganya (Sulistyowati, Perempuan dan Hukum, 2006), yang
dimana anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
pelengkap kebahagiaan bagi sebuah keluarga. Seorang anak yang terlahir kedunia
bagaikan selembar kertas putih yang belum tergores oleh coretan tinta sedikitpun.
Seorang anak kelak yang akan menjadi generasi penerus bangsa yang nantinya
akan melanjutkan cita-cita bangsa dan menjadi calon pemimpin yang akan
menentukan perkembangan bangsa selanjutnya. “pada hakikatnya anak tidak
dapat melindungi dirinya sendiri dari berbagai macam tindakan yang
menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial, dalam berbagai bidang kehidupan dan
penghidupan”.3

Padahal berdasarkan pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun


2002 tentang perlindungan Anak menentukan bahwa “orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk :

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak


b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya, serta
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Serta berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan anak, yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap

Abdul kadir, Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Incest dengan korban anak, skripsi
Universitas Hassanudin, Makassar, hlm 3

2
penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwasanya bukan hanya orang


tua yang memiliki peran dan kewajiban untuk menjaga dan selalu memberikan
perlindungan dalam hal apapun terhadap anak, melainkan negara, pemerintah dan
juga masyarakat juga memiliki peran dan kewajiban yang sama dalam melindungi
anak. Namun hal ini tidak selaras terhadap fakta yang ada di masyarakat. Bukan
hanya itu saja sejumlah peraturan terhadap kekerasaan seksual juga sudah di atur
namun pengaturan yang ada belum secara komprehensif memberikan
perlindungan hukum terhadap korban inses. Komnas perempuan mencatat bahwa
pada tahun 2020 terdapat 215 kasus inses dimana 15 kasusnya menimpa anak
perempuan, yang ternyata ayah kandung merupakan pelaku inses terbesar
sebanyak 165 orang. Dibanyak masyarakat inses biasanya dikategorikan sebagai
tindakan asusila yang ditabukan, terlebih tidak sedikit orang tua ataupun pihak
keluarga yang sengaja membiarkan masalah ini larut begitu saja karena didasari
sejumlah faktor diantaranya karena korban terus dibayang-bayangi ancaman
pelaku dan bisa disebabkan karena tingkat ketergantungan korban dan ibunya
yang tinggi pada pelaku, baik secara sosial maupun ekonomi, yang sering kali
membuat mereka harus berpikir puluhan kali sebelum melaporkan orang yang
menjadi kepala keluarga di dalam keluarga mereka kepada aparat kepolisian,
bahkan seorang ibu yang sudah lama mengetahui bahwa putrinya sudah diperkosa
oleh ayah kandungnya yang merupakan suaminya sendiri memilih bungkam,
karena ketakutan terhadap ancaman dan kepastian kelangsungan hidupnya (Jurnal
pekerjaan sosial vol 2 no 1, 2019). Sehingga menimbulkan stigma bahwa inses
dianggap aib yang memalukan bagi keluarga jika diketahui masyarakat umum.
Akan tetapi di samping itu perbuatan inses ini dapat merusak masa depan korban,
juga menimbulkan trauma yang berkepanjangan serta membawa penderitaan bagi
korban baik penderitaan psikologi, mental, sosial dan lain-lain.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini sangat penting untuk dilakukan dalam
menganalisis mengenai perlindungan hukum terhadap korban inses (hubungan
seksual sedarah) yang dikaji berdasarkan perspektif hukum pidana di indonesia.

3
B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap inses dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap korban inses di Indonesia?
2. Apakah pengaturan hukum terhadap inses di Indonesia sudah
memberikan perlindungan hukum terhadap korban inses kedepannya?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


a. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dan menganalisis bagaimanakah pengaturan hukum
terhadap inses dalam memberikan perlindungan hukum terhadap
korban inses di Indonesia
2. Mengetahui dan menganalisis apakah pengaturan terhadap inses di
Indonesia sudah memberikan perlindungan hukum terhadap korban
inses kedepannya
b. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam
hukum pidana dalam kaitannya dengan pengaturan terhadap
perlindungan korban inses
2. Manfaat praktis
Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat meberikan
rumusan serta masukkan bagi pemerintah, praktisi hukum, serta
masyarakat dalam memahami serta menganalisis terkait pengaturan
inses di Indonesia di dalam memberikan perlindungan hukum
terhadap korban inses kedepannya.

4
D. KERANGKA PEMIKIRAN

Teori Perlindungan Hukum

Menurut Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum dalam Kepustakaan


hukum berbahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming van de
burgers”.4 Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan
Terjemahan dari bahasa Belanda. Kata perlindungan mengandung Pengertian
terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai
dengan kewajiban yang telah dilakukan. Menurut Satjipto Raharjo bahwa
perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia
yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat
agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum 5.
Menurut Munir Fuady bahwa tujuan hukum di samping untuk mencapai keadilan
juga bertujuan menciptakan kepastian hukum bagi manusia pribadi dan
masyarakat luas6. Hukum merupakan sarana untuk mengatur dan melindungi
Kepentingan masyarakat. Setiap anggota masyarakat harus melaksanakan
kewajiban dan mendapatkan haknya masing-masing sehingga tidak ada yang akan
dirugikan. Menurut Fitzgerald bahwa teori perlindungan hukum bertujuan
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam
masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan
kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk
menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan
hukum harus melihat tahapan, yakni perlindungan hukum lahir dari suatu
ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat
yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur

4
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,)
5
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 54.
6
Munir Fuady dan Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Suatu
Analisis Dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis, Republika, Jakarta, 2008,
hlm. 86.

5
hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan
dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.7

Konsep perlindungan hukum memperoleh landasan konstitusional (struktural)


dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pada Alenia Ke-4 yang menyatakan :

… Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan Negara


Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan Seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahtera-an umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan Ketertiban dunia
yang didasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi atau keadilan sosial …

Menurut Satjipto Rahardjo bahwa hukum melindungi kepentingan


seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk
bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasa-an ini
dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan ke-dalamannya.
Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap
kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya
kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak Itu pada seseorang. 8
Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan
menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum,
ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-Kepentingan tertentu, yaitu
dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam
sebuah hak hukum.

Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum pastinya yang diharapkan


oleh setiap manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar hukum,
yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun
pada umumnya di dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun
haruslah diupayakan untuk ketiga nilai dasar tersebut harus beriringan agar
timbulnya keserasian di dalam masyarakat. Menurut Philipus M. Hadjon bahwa

7
Satjipto Rahardjo, op.cit., hlm. 53 dan 69.
8
Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah 20 Bangsa, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 373.

6
perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada
subjek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat Preventif
(pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang
secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum9.

Teori Fungsi Keluarga

Definisi Keluarga, menurut beberapa peneliti tentang keberfungsian


keluarga seperti Epstein, Ryan, Bishop, Miller, & Keitner (2003) menjelaskan
bahwa fungsi keluarga sebagai sejauh mana interaksi dalam keluarga memiliki
dampak terhadap kesehatan fisik dan emosional anggota keluarga. Beberapa
peneliti melakukn penelitian terhadap keberfungsian keluarga memberikan
definisi masing-masing. Walsh (2003) menjelaskan bahwa fungsi keluarga
sabagai konstruk multidimensional yang merefleksikan aktivitas dan interaksi
keluarga dalam menjalankan tugas penting yaitu menjaga pertumbuhan dan
kesejahteraan dari masing-masing anggotanya dan dalam mempertahankan
integrasinya keberadaan keluarga bertujuan memenuhi fungsi keluarga. Sudut
pandang keluarga mempengaruhi fungsi keluarga itu sendiri. Menurut Friedman
fungsi keluarga sering digunakan dalam sudut kesehatan. oleh karena itu dibawah
ini akan di paparkan fungsi keluarga Menurut para ahli : fungsi keluarga menurut
soelaeman (1994:85-115 ) adalah:

 Fungsi Edukasi. Fungsi edukasi adalah fungsi keluarga yang berkaitan


dengan pendidikan anak khususnya dan pendidikan serta pembinaan
anggota keluarga pada umumnya.
 Fungsi Sosialisasi. Fungsi sosialisasi adalah fungsi keluarga dalam
mengembangkan individu anak menjadi yang mantap.

9
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1997,
hlm. 2.

7
 Fungsi Proteksi dan Perlindungan . Fungsi perlindungan atau proteksi
adalah fungsi keluarga dalam melindungi anka dari ketidakmampuannya
bergaul dengan lingkungannya.
 Fungsi Afeksi dan Perasaan .Dalam keluarga terjadi hubungan sosial
antara anak dan orang tua-nya yang didasari dengan kemesraan.
 Fungsi Religius. Keluarga berkewajiban memperkenalkan dan
mengajarkan anak dan anggota keluarganya kepada kehidupan beragama.
 Fungsi Ekonomi. Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga dalam
mencari nafkah, perencanaan, pembelanjaan dan pemanfaatannya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya.
 Fungsi Rekreasi. Keluarga memerlukan suasana akrab, rumah yang hangat
diantara anggota-anggota keluarga dimana hubungan antar keluarga
bersifat saling mempercayai bebas tanpa beban dan diwarnai suasana
santai.
 Fungsi Bioligis. Fungsi biologis adalah fungsi keluarga dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan biologis anggotanya.

kemudian ada juga fungsi keluarga menurut Silalahi (2010, p.184) bahwa fungsi
keluarga terdiri atas: Fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih,
fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi
ekonomi serta fungsi pemeliharaan10 Maka berdasarkan teori yang telah
dikemukakan di atas tekait dengan fungsi keluarga yang seharusnya ada dalam
tatanan keluarga, nampaknya persoalan inses (hubungan seksual sedarah) yang
terjadi dalam lingkungan keluarga memperlihatkan bahwa adanya kegagalan
dalam terlaksananya fungsi keluarga sebagaimana semestinya, sedangkan
keluarga merupakan salah satu yang bertanggung jawab terhadap perlindungan
anak selain dari negara dan juga masyarakat.

E. KEASLIAN PENELITIAN

10
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Volume 2, Nomor 1, 2014

8
Dalam melakukan suatu penelitian, seorang peneliti diharuskan untuk
melakukan pengamatan dan penelusuran dalam mencari kepastian dan kebenaran
apakah penelitian yang hendak diangkat belum pernah diteliti oleh peneliti lain
sebelumnya. Maka dari itu penelitian yang berjudul PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KORBAN INSES (HUBUNGAN SEKSUAL
SEDARAH) YANG DIKAJI BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM
PIDANA DI INDONESIA. merupakan karya asli peneliti dan bukan merupakan
plagiat atau tiruan, sehingga dapat dikatakan bahwasannya penelitian ini sudah
memenuhi kaidah daripada keaslian penelitian. Berdasarkan penelusuran yang
telah dilakukan sebelumnya, ditemukan judul penelitian yang sejenis dengan judul
penelitian ini, diantaranya adalah :

No. Penulis Judul Penelitian Permasalahan


1. Dahlia, Program Kebijakan kriminal 1.Bagaimanakah
Magister Ilmu dalam menanggulangi urgensi kebijakan
hukum,Universitas tindak pidana inses kriminal untuk
LambungMangkurat, dalam rangka menanggulangi tindak
Banjarmasin (Jurnal) pembaharuan hukum pidana inses dalam
pidana di Indonesia perspektif pembaharuan
hukum pidana
2.Bagaimanakah
kebijakan kriminal
terhadap
penanggulangan tindak
pidana inses dimasa
yang akan datang dlm
rangka pembaharuan
hukum pidana di
indonesia.
2. Dhea Yurita, Devi Aspek perlindungan 1.Apakah faktor-faktor
siti hamzah korban tindak pidana penyebab terjadinya
marpung. Fakultas inses berdasarkan UU tindak pidana inses?
Hukum NO.35 tahun 2014

9
singaperbangsa tentang perlindungan 2.Bagaimanakah
karawang. (Jurnal) anak. perlindungan hukum
terhadap anak korban
inses berdasarkan UU
NO.35 tahun 2014
3. Novi Umu Haniah, Perlindungan Hukum 1.Apakah hukum
Program Sarjana terhadap anak sebagai pidana positif telah
fakultas Hukum, korban tindak pidana menjamin perlindungan
Universitas Jember inses hukum terhadap anak
(Skripsi tahun 2010) sebagai korban tindak
pidana inses
2.Apakah bentuk
perlindungan hukum
yang tepat terhadap
anak sebagai korban
tindak pidana inses?
4. Abdullah Atamimi Tinjauan Kriminologis 1.Apa yang menjadi
Mursyid, Fakultas Tindak Pidana faktor penyebab
Hukum, Universitas Persetubuhan Sedarah terjadinya tindak pidana
Islam Riau (Skripsi (incest) oleh ayah persetubuhan sedarah
tahun 2020) kandung terhadap (incest) oleh ayah
anaknya. kandung terhadap
anaknya
2.Bagaimana modus
operandi tindak pidana
persetubuhan sedarah
(incest) oleh ayah
kandung terhadap
anaknya.

Berdasarkan data-data di atas, maka perbedaan dengan penelitian yang dilakukan


sebelumny, pada penelitian kali ini yang berjudul Perlindungan Hukum

10
Terhadap Korban Inses (Hubungan Seksual Sedarah) Yang Dikaji
Berdasarkan Perspektif Hukum Pidana Di Indonesia, adalah untuk
Mengetahui dan menganalisis bagaimanakah pengaturan hukum terhadap inses
dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban inses di Indonesia serta
mengetahui dan menganalisis apakah pengaturan terhadap inses di Indonesia
sudah memberikan perlindungan hukum terhadap korban inses kedepannya yang
dimana pada penelitian ini juga memberikan beberapa pembahasan yang belum
termuat pada penelitian sebelumnya.

F. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah
jenis penelitian hukum normatif. Dimana penelitian hukum normatif ini
adalah penelitian yang difokuskan untuk mengkaji norma-norma dalam
hukum positif atau juga dapat dikatakan sebagai penelitian yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Dimana dalam
penelitian hukum normatif kegiatan untuk menjelaskan penelitian tidak
diperlukan dukungan data ataupun fakta-fakta sosial melainkan hanya
menggunakan sumber-sumber penelitian berupa bahan-bahan hukum,
yang terdiri atas bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Jadi untuk
menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan
hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah
yang ditempuh adalah langkah normatif.

2. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konseptual
a. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan
menggunakan legislasi dan regulasi dalam menelaah semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
diteliti. Pendekatan ini merupakan penelitian yang mengutamakan

11
bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan sebagai
bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian.
b. Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang digunakan untuk
memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan penormaan dalam
suatu perundang-undangan yang dimana pendekatan ini beranjak dari
pandangan dan doktrin-doktirn yang akan memperjelas ide-ide dengan
memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun
asas hukum yang relevan dengan persoalan yang akan diteliti.

3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan berup:
a. Bahan hukum primer, menurut Peter Mahmud Marzuki bahan hukum
primer merupahan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.Dalam hal ini yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas yaitu:
 Kuhp pasal 294
 Pasal 76D dan Pasal 81 ayat (1) dan (3)Undang-undang No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
 Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan
dalam rumah tangga
 Undang-undang N0. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual

b. Bahan Hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan


penjelasan mengenai bahan hukum primer yang memuat publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.
Adanya bahan hukum ini dapat membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer, yakni sebagai berikut:
 Hasil karya dari pakar-pakar hukum yang berkaitan dengan
judul penelitian;

12
 Teori-teori hukum;
 Jurnal-jurnal
 Buku-buku bacaan yang berkaitan dengan judul penelitian.
c. Bahan hukum tersier, merupakan bahan-bahan yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder misalnya
kamus-kamus, ensiklopedia. Dan sebagainya.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum


Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan
identifikasi peraturan perundang-undangan, serta klasifikasi dan
sistematisasi bahan hukum sesuai permasalahan penelitian. Oleh karena itu
pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian adalah
dengan studi kepustakaan, yang dimana studi kepustakaan dilakukan
dengan cara membaca, menelaah, mencatat, serta membuat ulasan bahan-
bahan pustaka, maupun melakukan penelusuran melalui media internet
yang ada kaitannya dengan Judul penelitian.

5. Analisis bahan hukum


Setelah bahan hukum dioleh selanjutnya bahan hukum akan
dianalisi dengan menggunakan teknik analisis kualitatif yaitu melakukan
pembahsan terhadap bahan hukum yang telah didapat dengan mengacu
kepada landasan teoritis.

B AB II
KAJIAN PUSTAKA

13
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu dalam tahap ini berguna sebagai referensi peneliti
untuk mengetahui kejelasan peneliti dalam permasalahan yang serupa dari
penelitian yang telah terbit lebih dahulu. Serta demi menunjukkan keaslian
skripsi, dan untuk meminimalisir adanya unsur plagiarism. Oleh karena itu
peneliti akan memaparkan secara singkat beberapa penelitian yang terbit lebih
dulu dengan lingkup tema yang serupa akan tetapi juga diikuti beberapa
perbedaan antara satu sama lain. Berikut beberapa penelitian terdahulu:
Pertama, Dahlia Program Magister Ilmu hukum,Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin dengan judul penelitian Kebijakan kriminal dalam
menanggulangi tindak pidana inses dalam rangka pembaharuan hukum
Pidana di Indonesia11. Adapun persamaan penelitian yang dilakukan oleh
Dahlia Dengan peneliti adalah sama-sama membahas objek yang sama yaitu
persoalan Tentang Incest. Perbedaanya terletak pada fokus penelitian,
penelitian yang Dilakukan oleh Dahlia dalam penelitiannya mencoba untuk
meneliti mengenai urgensi kebijakan kriminal untuk

Menanggulangi tindak pidana inses dalam perspektif pembaharuan


hukum pidana serta meneliti mengenai kebijakan kriminal terhadap
penanggulangan tindak pidana inses dimasa yang akan datang dalam rangka
pembaharuan hukum pidana di indonesia. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap
korban Incest di Indonesia yang di tinjau berdasarkan perspektif hukum
pidana Indonesia.

Kedua, Dhea Yurita, Devi siti hamzah marpung. Fakultas Hukum


singaperbangsa karawang, dengan judul penelitian Aspek perlindungan
korban tindak pidana inses berdasarkan UU NO.35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak12. Adapun persamaan yang di teliti sebelumnya dengan
penelitian peneliti adalah sama-sama membahas objek yang sama terkait

11
Dahlia, Kebijakan kriminal dalam menanggulangi tindak pidana inses dalam rangka
pembaharuan hukum Pidana di Indonesia, VOL. 7 NO 1, MARET 2022
12
Dhea Yurita, Devi siti hamzah marpung. Jurnal, Aspek perlindungan korban tindak pidana
inses berdasarkan UU NO.35 tahun 2014 tentang perlindungan anak

14
persoalan tentang inses, Perbedaanya terletak pada fokus penelitiannya yang
dimana penelitian sebelumnya mencoba membahas faktor-faktor penyebab
terjadinya tindak pidana inses serta membahas perlindungan hukum terhadap
anak korban inses berdasarkan UU NO.35 tahun 2014 sedangkan peneliti
mencoba membahas mengenai aspek perlindungan korban inses dari
perspektif Hukum Pidana di Indonesia.

Ketiga, Novi Umu Haniah, Program Sarjana fakultas Hukum, Universitas


Jember (Skripsi tahun 2010) dengan judul penelitian Perlindungan Hukum
terhadap anak sebagai korban tindak pidana inses13. Adapun persamaan
penelitian sebelumnya dengan penelitian peneliti adalah objeknya sama-sama
membahasa terkait persoalan inses. Perbedaanya, Novi Umu Haniah mencoba
untuk memaparkan terkait Apakah hukum pidana positif telah menjamin
perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana inses serta
membahas bentuk perlindungan hukum yang tepat bagi korban inses
sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti fokus penelitian nya adalah
untuk membahas perlindungan Hukum terhadap korban inses dari perspektif
hukum pidana di Indonesia.

Keempat, Abdullah Atamimi Mursyid dengan judul penelitian Tinjauan


Kriminologis Tindak Pidana Persetubuhan Sedarah (incest) oleh ayah kandung
terhadap anaknya14. Adapun persamaan penelitian peneliti dengan penelitian
sebelumnya adalah sama-sama membahas mengenai inses, perbedaannya
adalah Penelitian yang dilakukan oleh Abdullah Atamimi untuk mencoba
membahas faktor penyebab terjadinya tindak pidana persetubuhan sedarah
(incest) oleh ayah kandung terhadap anaknya serta membahas mengenai modus
operandi tindak pidana persetubuhan sedarah (incest) oleh ayah kandung
terhadap anaknya. Sedangkan penelitian peneliti mencoba untuk membahas
terkait perlindungan hukum terhadap korban inses yang di tinjau dari

13
Novi Umu Haniah, Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana inses.
Skripsi tahun 2010
14
Abdullah Atamimi Mursyid, Tinjauan Kriminologis Tindak Pidana Persetubuhan Sedarah
(incest) oleh ayah kandung terhadap anaknya. Skripsi Tahun 2020

15
perspektif Hukum Pidana di Indonesia, apakah dengan adanya peraturan
dalam hukum pidana di Indonesia ini sudah memberikan perlindungan hukum
bagi korban inses.

B. Tinjaun Umum Terkait Penyimpangan Seksual

1. Pengertian Penyimpangan Seksual

Istilah penyimpangan seksual (sexual deviation) sering disebut juga


abnormalitas seksual (sexual abnormality), ketidakwajaran seksual (sexual
15
perversion), dan kejahatan seksual (sexual harassment). Menurut kartini
kartono, ketidakwajaran seksual (sexual perversion) mencakup fantasi-fantasi
seksual dengan tujuan pencapaian orgasme melalui relasi seksual di luar
hubungan heteroseksual, dengan hubungan homoseksual, atau partner yang
belum dewasa, dan bertentangan dengan norma tingkah laku seksual yang
berlaku di masyarakat16. Pendapat berbeda diutarakan oleh maramis bahwa
perilaku seksual yang abnormal adalah perilaku seks yang tidak bisa
mengontrol diri, bukan saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga untuk
mencapai Kebahagiaan diri atau peningkatan kemampuan individu untuk dapat
berkembang menjadi pribadi yang lebih baik 17. Terlihatnya Penyimpangan
seksual ini dapat diamati pada18:

a. Struktur kepribadian seseorang dan perkembangan pribadinya.

b. Menetapnya kebiasaan menyimpang.

c. Kuatnya tingkah laku seksual yang menyimpang.

d. Sikap pribadi individu yang bersangkutan terhadap gejala


penyimpangannya.
15
Didi Junaedi, Penyimpangan Seksual Yang Dilarang Al-Qur’an: Menikmati Seks Tidak
Harus Menyimpang (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2016), hlm. 8
16
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual (Bandung: CV. Mandar
Maju, 2009), hlm. 227
17
Dudi Hartono, Psikologi (Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan, 2016), hlm. 79
18
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual, Loc.cit
18

16
e. Adanya perilaku-perilak seksual yang menyimpang lainnya.

2. Jenis-Jenis Penyimpangan Seksual

Dalam buku dodi junaedi terdapat jenis-jenis penyimpangan seksual,


antara lain:19
a. Menyimpang karena partnernya
Lazimnya hubungan seksual dilakukan oleh pasangan yang sah
menurut agama dan negara. Artinya hubungan seksual dikatakan
menyimpang apabila dilakukan dengan dan tanpa ikatan yang sah
seperti, melakukan hubungan seksual dengan suami atau istri orang
lain, melakukan hubungan seksual sebelum terjadi pernikahan,
melakukan hubungan dengan kerabat keluarga (inses) dan melakukan
hubungan seksual dengan sesama jenis.
b. Menyimpang karena caranya
Jenis penyimpangan ini terjadi jika pasangan tersebut melakukan
hubungan seksual dengan cara yang tidak lazim. Contoh kasusnya
seperti, sodomi, seks anal, sadisme, onani/mastrubasi, dan lain
sebagainya.
c. Menyimpang karena partner dan caranya jenis penyimpangan ini
terjadi adanya hubungan seksual bukan dengan pasangan yang sah dan
menggunakan cara yang tidak lazim. Contohnya seperti hubungan
seksual lesbian dengan menggunakan alat bantu sex toys.

d. Menyimpang karena kondisi pasangannya

Jenis penyimpangan ini terjadi jika suami melakukan hubungan


Seksual di waktu yang di larang. Kasus yang terjadi seperti
Melakukan hubungan seksual saat istri sedang haid.
C. Tinjauan Umum Tentang Inses
Incest merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin yaitu kata
incestus yang berarti tidak murni20. Kemudian berdasarkan istilah dalam kamus
19
Didi Junaedi, Op.cit, halaman 9-10
20
Setiawan, I. Putu Agus, dan I Wayan Novy Purwanto. Faktor Penyebab Dan Upaya
Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Lingkup Keluarga (INCEST) (Studi di

17
besar bahasa indonesia (kbbi) perbuatan incest ini erat kaitannya dengan
perbuatan sumbang. Perbuatan sumbang dapat diartikan sebagai pelanggaran
baik terhadap adat ataupun norma kesopanan yang berlaku di masyarakat21.
Menurut sawitri supardi sadarjoen, inses (incest) adalah “hubungan seksual
yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga yang kuat, seperti
misalnya ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau
antar sesama keluarga kandung’’22 sedangkan menurut kartini kartono, inses
adalah “hubungan seks diantara pria dan wanita di dalam atau diluar ikatan
perkawinan, dimana mereka terkait dalam hubungan kekerabatan atau
keturunan yang yang dekat sekali23. Sofyan s.willis mengemukakan pengertian
inses sebagai berikut: “hubungan kelamin yang terjadi antara dua orang diluar
nikah,sedangkan mereka adalah kerabat dekat sekali 24. Selanjutnya pendapat
incest yang dikemukakan oleh supratik mengatakan bahwa:“taraf koitus antara
anggota keluarga, misalnya antara kakak lelaki dengan adik perempuannya
yang dimaksud adalah hubungan seksual.atau antara ayah dengan anak
perempuannya, yang dilarang oleh adat dan kebudayaan25. Perbuatan incest
merupakan salah satu wujud dari perbuatan seksual secara menyimpang karena
berdasarkan pengertian diartikan sebagai hubungan secara seksual yang
dilakukan oleh dua orang yang masih dalam garis keluarga dekat dan dianggap
sebagai pelanggaran terhadap norma adat, hukum, serta agama26. Dari
pengertian di atas dapat diberikan kesimpulan bahwa sebenarnya inses ini
adalah hubungan seksual terlarang yang terjadi dalam tatanan keluarga sedarah
antara ayah kandung dan anak perempuannya, ibu dan anak laki-lakinya, serta
Polda Bali). Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 4: 1-16. hlm.3
21
Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 12 Tahun 2021, hlm.1101-1112
22
Sawitri Supardi Sadarjoen. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Refika Aditama
Bandung. 2005

23
Kartono Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Mandar Maju.Jakarta. 1989.
Hal.25, Hal 255 dalam jurnal Pengaturan Tindak Pidana Inses Dalam jurnal Perspektif Kebijakan
Hukum Pidana, Inovatif Volume VII Nomor II Mei 2014
24
Sofyan Willis, Problema Remaja dan Pemecahannya. IKAPI, Jakarta, 1994. Hal.27
25
Ibid
26
Wotulo, Fresdy A.. Kedudukan Delik Inses (Incest) dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia.

18
antar saudara kandung lainnya yang biasanya inses ini terjadi karena paksaan
ataupun tekanan dari pelaku. Yang dimana inses ini digolongkan kedalam
perbuatan yang terlarang bagi kehidupan bermasyarakat. Sawitri supardi
sadarjoen berkesimpulan bahwa dasar tabu inses adalah apabila inses
dibenarkan maka akan terjadi persaingan, perebutan pasangan dalam
lingkungan, antara ayah-ibu-saudara- saudara. Jelas bahwa persaingan atau
perbuatan semacam itu akan membawa kehancuran keluarga dan suku bangsa
sendiri27.

Sawitri supardi sadarjoen menyatakan terdapat lima kondisi gangguan keluarga


yang memungkinkan terjadinya inses28, yaitu:

1. Keadaan terjepit, dimana anak perempuan menjadi figure perempuan


utama yang mengurus keluarga dan rumah tangga sebagai pengganti ibu.
2. Kesulitan seksual pada orang tua, ayah tidak mampu mengatasi dorongan
seksualnya.
3. Ketidakmampuan ayah untuk mencari pasangan seksual di luar rumah
karena kebutuhan untuk mempertahankan façadekestabilan sifat
patriachat-nya.
4. Ketakutan akan perpecahan keluarga yang memungkinkan beberapa
anggota keluarga untuk lebih memilih desintegrasi struktur daripada pecah
sama sekali.

5. Sanksi yang terselubung terhadap ibu yang tidak berpartisipasi dalam


tuntutan peranan seksual sebagai istri.

Kartini kartono menambahkan bahwa inses banyak terjadi dikalangan rakyat dari
tingkat kalangan sosial-ekonomi yang rendah. Jenis-jenis incest berdasarkan
penyebabnya adalah:29

1. Incest yang terjadi secara tidak sengaja, misalnya kakak-adik lelaki

27
Sawitri Supardi Sadarjoen, Op.Cit., hal.74
28
Ibid
29
Kartono Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Mandar Maju.Jakarta, Loc.cit

19
perempuan remaja yang tidur sekamar, bias tergoda melakukan
eksperimentasi seksual sampai terjadi inses.
2. Incest akibat psikopatologi berat. Jenis ini biasa terjadi antaraayah yang
alkoholik atau psikopatik dengan anak perempuannya. Penyebabnya
adalah kendornya kontrol diri akibat alkohol atau psikopati sang ayah.
3. Incest akibat pedofilia, misalnya seorang lelaki yang haus menggauli
anakanak perempuan dibawah umur, termasuk anaknya sendiri.
4. Incest akibat contoh buruk dari ayah. Seorang lelaki menjadi senang
melakukan incest karena meniru ayahnya melakukan perbuatan yang
sama dengan kakak atau adik perempuannya.
5. Incest akibat patologi keluarga dan hubungan perkawinan yang tidak
harmonis. Seorang suami-ayah yang tertekan akibat sikap memusuhi
serba mendominasi dari istrinya bias terpojok melakukan incest dengan
anak perempuannya.

D. Tinjauan Umum Terkait Korban (Victim)

Menurut kamus crime dictionary yang dikutip seorang ahli yang bernama
abdussalam, bahwa yang dimaksud dengan victim adalah “orang yang telah
mendapatkan penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda
atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan
dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”30.

Berikut ini disampaikan beberapa pengertian tentang korban, yaitu:


1. Menurut Arif Gosita (2004:64)
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah
Sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
Kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
Kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.

30
Waluyo, B. (2011). Viktimologi perlindungan korban & saksi. Jakarta: Sinar Grafika

20
2. Menurut J.E. Sahetapy (1987:42) Korban adalah orang perorangan
atau badan hukum yang Menderita luka-luka, kerusakan atau bentuk-
bentuk kerugian Lainnya yang dirasakan, baik secara fisik maupun
secara kejiwaan. Kerugian tersebut tidak hanya dilihat dari sisi hukum
saja, tetapi Juga dilihat dari segi ekonomi, politik maupun sosial
budaya. Mereka yang menjadi korban dalam hal ini dapat dikarenakan
Kesalahan si korban itu sendiri, peranan korban secara langsung Atau
tidak langsung, dan tanpa adanya peranan dari si korban
3. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Korban
adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman Kekerasan
dalam lingkup rumah tangga.
4. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban Korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, Mental dan atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu Tindak pidana.

Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa korban adalah orang


yang mendapatkan kerugian/penderitaan baik secara fisik ataupun mental
akibat dari perbuatan yang dilakukan pelaku tindak pidana. Secara yuridis
pengertian korban termaktub dalam undang-undang nomor 13 tahun 2006
tentang perlindungan saksi dan korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah
“seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan suatu tindak pidana” (pasal 1, ayat (2) undang-
undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban).

Melihat rumusan tersebut yang disebut korban adalah:

1. Setiap orang;

2. Mengalami penderitaan fisik,


mental,dan/atau;

21
3. kekurangan ekonomi; dan

4. akibat tindak pidana

Menurut peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002 tentang tata cara


perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, korban adalah “orang perorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, teror dan
kekerasan pihak manapun31.

Oleh karena itu dilakukan upaya-upaya untuk memastikan bahwa anak


korban tindak pidana seksual diberikan perlindungan khusus berdasarkan pasal
59 ayat 2 huruf j sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut :

a. Penyuluhan kesehatan reproduksi, keyakinan agama, dan nilai moral;


dan

b. Reintegrasi dan rehabilitasi sosial

c. Dukungan psikologis selama proses pengobatan dan pemulihan

d. Menawarkan keamanan dan dukungan di setiap tahapan proses


pemeriksaan, dari penyidikan ke penuntutan dan akhirnya
pemeriksaan di pengadilan.

Pada dasarnya korban memiliki beberapa tipe, menurut ezzat abdul fatah
(dalam j.e. Sahetapy (ed), 1995:205) korban dapat dikelompokan menjadi
beberapa kelompok sebagai berikut:

1. Latent or predisposed victims: mereka yang mempunyai karakter


Tertentu cenderung menjadi korban dari pelanggaran tertentu.
2. Non Participating victims: mereka yang menyangkal atau menolak
Kejahatan dan penjahat tetapi mereka tidak berpartisipasi dalam

31
Gosita, A. (2004). Masalah korban kejahatan. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer

22
Menanggulangi kejahatan.
3. Provocative victims: mereka yang menimbulkan kejahatan atau
Yang merangsang timbulnya kejahatan.
4. False victims: mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.

Sedangkan tipologi korban menurut Schafer dalam Separovic (dalam J.E.


Sahetapy (ed), 1995:205-206), yaitu:

a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama


Sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat.
b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong
Dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh dimana
Korban juga sebagai pelaku.
c. Participating victim, yaitu seseoang yang tidak berbuat akan tetapi
Dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki
Kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
e. Sosially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan
Sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena
Kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius,
Judi, aborsi, prostitusi.
g. Political victims, yaitu mereka yang menderita karena lawan
Politiknya, secara sosiologis tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dari berbagai tipologi korban di atas, dapat dilihat bahwa anak-anak


yang Menjadi korban tindak pidana inses secara umum dapat
digolongkan ke dalam Tipologi Biologically weak victims, Socially
weak victims dan Latent or Predisposed victims.

E. Peraturan Inses dalam Instrumen Hukum Pidana di Indonesia

Pengaturan untuk kasus-kasus inses dalam KUHP masih berdasarkan


pada Pasal 285, Pasal 287, Pasal 294 ayat (1), Pasal 295 ayat (1) butir (1).

23
Pasal 285 berbunyi :

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa


seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam
karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.”

Pasal 287 ayat (1) berbunyi :

“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,


padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya
belum limas belas tahun, atau kalau umumnya tidak jelas, bahwa belum
waktunya untuk, diancam dengan penjara paling lama 9 tahun.”

Pasal 294 ayat (1) berbunyi :

“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak


tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum
dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya,
pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan
bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

Pasal 295 ayat (1) butir (1) berbunyi :

Diancam: “Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa
dengan sengaja Menyebabkan atau memudahkan dilakukannya
perbuatan cabul oleh anaknya, anak Tirinya, anak angkatnya, atau anak
di bawah pengawasannya yang belum dewasa, Atau oleh orang yang
belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau Penjagaannya
diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya Yang
belum cukup umur, dengan orang lain.”

Inses ditinjau dari uu no. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-
undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dengan diundangkannya
uu no. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang no. 23 tahun 2002

24
tentang perlindungan anak32, maka segala kejahatan yang ditujukan terhadap
anak mendapatkan respon yang lebih baik. Jika dilihat dalam kerangka
merespon kejahatan inses maka undangundang ini merupakan instrumen
hukum pidana yang paling kuat. Undang- undang ini dalam salah satu pasal
pidananya menyatakan bahwa:

Pasal 81 ayat (1), ayat (2), ayat (3) berbunyi :

“Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 76D Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar Rupiah).”

“Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula


bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau Membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan oranglain.”

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik, atau tenaga
kependidikan, maka Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana sebagaimana dimaksud Pada ayat (1).”

Pasal 82 ayat (1), ayat (2) berbunyi :

“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 76E, Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar Rupiah).”

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik, atau tenaga
kependidikan, maka Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana sebagaimana dimaksud Pada ayat (1).”

32
UU no. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang- undang no. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak.

25
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Dalam ketentuan pasal 1 angka (1) ditentukan Bahwa
“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap Seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau Penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah Tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau Perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam linngkup rumah Tangga33.
Kemudian mengenai siapa-siapa saja yang termasuk ke dalam lingkup Rumah
tangga telah diatur secara tegas dalam ketentuan pasal 2 ayat (1) yang
Menentukan bahwa “Lingkup rumah tangga dalam Undang- undang ini
meliputi :

a. Suami, isteri, dan anak;

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang


sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, perrsusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.

Selanjutnya, dalam hal ketentuan pidana bagi pelaku tindak kekerasan


seksual dalam Undang-undang ini ditentukan dalam pasal 46 yang menentukan
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh
enam Juta rupiah).Ketentuan pasal 46 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat dirumuskan 34:

a. Setiap orang

b. Melakukan perbuatan kekerasan seksual

33
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
34
Pengaturan Tindak Pidana Inses Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Jurnal Inovatif,
Volume VII Nomor II Mei 2014 hal 96

26
c. Yang dimaksud dalam pasal 8 huruf (a)

d. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun

e. Atau denda paling banyak Rp.36.000.000,00.

Selain itu pengaturan inses juga termuat dalam RUU KUHP yaitu pada Bab
delik kesusilaan yakni dalam Pasal 490, Pasal 497, dan Pasal 498 dengan
uraian sebagai berikut:
Pasal 490 berbunyi

1. “Persetubuhan yang dilakukan terhadap seseorang yang mempunyai


hubungan Sedarah dengannya dalam garis lurus atau kesamping sampai
derajat ketiga, Dipidana pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling
lama 12 tahun.
2. “Jika, dilakukan dengan perempuan yang belum berumur 18 tahun dan
belum Kawin maka dipidana pidana penjara paling lama 15 tahun dan
paling singkat 3 Tahun”.

Pasal 497 berbunyi:

1. “melakukan perbuatan cabul dengan anak kandungnya dipidana dengan


pidana Penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun”.
2. “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan Dengan
anak tirinya. Anak angkatnya atau anak di bawah pengawasannya yang
Dipercayakan padanya untuk diasuh, dididik atau dijaga, atau dengan
pembantu Rumah tangganya atau dengan bawahannya, dipidana dengan
pidana penjara Paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun”.
3. “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 12 (dua betas) tahun”.
a. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan bawahannya atau
dengan Orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk
dijaga; atau

27
b. Dokter, guru, pegawai, pengurus, atau petugas pada lembaga
Pemasyarakatan, lembaga negara tempat latihankarya, rumah
pendidikan, Rumah yatim dan
c. Atau piatu, rumah sakit jiwa, atau panti sosial yang melakukan
Perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke lembaga.
Rumah atau Panti tersebut.

Pasal 498 ayat (1) berbunyi:

“Setiap orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain


melakukan Perbuatan cabul atau persetubuhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 497 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan Paling lama 10 (sepuluh) tahun”.

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

28
3.1 Pengaturan Hukum Terhadap Inses Dalam Memberikan Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Inses Di Indonesia
Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang seharusnya kita jaga
Karena dalam diri mereka melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia
Yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara anak
adalah bagian integral dari sebuah negara yaitu generasi muda penerus
perwujudan cita-cita sebuah bangsa. Sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal serta
berhak atas perlindungan dari segala macam bentuk tindak kekerasan, ancaman
dan diskriminasi, anak juga memiliki hak kebebasan berekspresi dan dihargai hak-
hak sipilnya (dalam Ketentuan Umum, Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Oleh karena itu sudah sepatutnya
bila hak-hak anak ini juga dihormati sebagaimana hak manusia dewasa. Namun,
kenyataannya pada saat ini kasus kekerasan seksual pada anak terus meningkat,
padahal sudah terdapat peraturan perundang-undangan yang memberikan
perlindungan hukum terhadap anak.

Demikian juga dengan anak sebagai korban inses, meskipun Angkanya


tidak diketahui secara pasti (dark number) kemungkinan besar Korbannya juga
meningkat tiap tahunnya. Hal ini didasarkan Pertama, karena sebagai anak yang
lemah dan masih menumpang Pada orang tuanya, korban mungkin telah diancam
sedemikian rupa oleh ayah kandungnya bukan saja keselamatan dirinya tetapi juga
masa depan dan keselamatan ibu kandungnya sendiri. Kedua, karena Pihak
keluarga terutama ibu dan saudara-saudara kandung korban Sepakat untuk tidak
sampai membeberkan aib yang terjadi Dikeluarganya ke publik dengan alasan
takut nama keluarganya bakal Dapat tercemar, akibatnya perbuatan terkutuk si
ayah itu bukan saja Terus terulang tetapi juga menyebabkan korban menjadi
tertekan secara Psikologis. Oleh karena itu sudah sepatutnya apabila negara selalu
meningkatkan upaya perlindungan terhadap korban kejahatan khususnya terhadap
korban anak-anak, sebab negaralah yang paling dipercaya oleh warganya untuk
melindungi keselamatan dirinya. Korban sebagai pihak yang dirugikan dalam hal
terjadinya suatu kejahatan, Sudah sepatutnya untuk mendapat perhatian dan
pelayanan dalam rangka Memberikan perlindungan terhadap kepentingannya.

29
Pengaturan perbuatan inses atau yang lebih dikenal dengan hubungan seksual
sedarah Dalam KUHP Indonesia sangatlah penting, karena melihat banyaknya
kejahatan seksual inses Yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pengaturan untuk
kasus-kasus inses dalam KUHP Masih berdasarkan pada Pasal 285, Pasal 287,
Pasal 294 ayat (1), Pasal 295 ayat (1) butir (1).

1. Pasal 285 berbunyi :

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang


wanita Bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Dalam pasal 285 KUHP ini belum memberikan perlindungan terhadap korban
inses, yang dimana dalam pasal ini yang di titik beratkan itu adalah tindak pidana
perkosaan, sedangkan inses bukan hanya di kategorikan perkosaan antara seorang
laki-laki maupun perempuan namun lebih mengarah ke dalam perbuatan seksual
dalam ranah privat ( keluarga kandung ).

2. Pasal 287 ayat (1) berbunyi :

“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal


Diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum limas
belas Tahun, atau kalau umumnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk,
diancam Dengan penjara paling lama 9 tahun.”

Dalam pasal 287, juga belum tepat Terkait pengaturan inses, karena dalam pasal
ini hanya mengatur mengenai persetubuhan antara laki-laki dan seorang wanita di
luar perkawinan, yang tidak memuat bahwa pasal tersebut bisa memberikan
perlindungan hukum terhadap korban inses.

3. Pasal 294 ayat (1) berbunyi :

“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak
Angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan

30
orang Yang belum Dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau
penjagaannya Diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau
bawahannya yang belum Dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.”

4. Pasal 295 ayat (1) butir (1) berbunyi :

Diancam: “Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa
dengan sengaja Menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan
cabul oleh anaknya, anak Tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah
pengawasannya yang belum dewasa, Atau oleh orang yang belum dewasa
yang pemeliharaannya, pendidikan atau Penjagaannya diserahkan kepadanya,
ataupun oleh bujangnya atau bawahannya Yang belum cukup umur, dengan
orang lain.”

Terhadap kedua pasal tersebut, yaitu pasal 294 ayat (1) dan pasal 295 ayat (1)
masih relevan untuk mengatur perbuatan inses. Pertanggung jawaban pidananya
terhadap pelaku inses, menurut KUHP hanya relevan dengan Pasal 294 ayat (1)
dan Pasal 295 ayat (1) butir (1). Dalam Kedua Pasal ini tidak dikenal pidana
penjara dan denda paling sedikit/minimalnya, hanya Mengenal pidana penjara
paling banyak/maksimal saja, yaitu 7 (tujuh) tahun pada Pasal 294 Ayat (1) dan 5
(lima) tahun untuk Pasal 295 ayat (1) butir (1).Perbuatan pidana pada Pasal 294
ini memiliki karakter khusus yakni terdapat suatu Hubungan tertentu antara subjek
hukum dan sipembuatnya dengan objek (korban). Karena Adanya faktor
hubungan tersebut, dan kemudian hubungan itu ternyata disalahgunakan (si
Pelaku menyalahgunakan kedudukannya). Dalam ayat (1) hubungan tersebut
dapat dibagi Menjadi dua macam yakni pertama, hubungan kekeluargaan dimana
si pelaku yang Seharusnya memiliki kewajiban hukum untuk melidungi,
menghidupi, memelihara, Mendidik, dan kedua, adalah hubungan di luar
kekeluargaan tetapi didalamnya tumbuh Kewajiban hukum untuk memeliharanya,
atau menghidupi.

Terhadap KUHP dalam Pasal 294 ayat (1), ada beberapa catatan penting yang
patut Menjadi perhatian yaitu:

31
1. Bahwa kejahatan inses ini lebih dimasukkan ke Dalam delik pencabulan
ketimbang dengan persetubuhan. Padahal cara-cara perbuatan inses Yang
sering terjadi justru menggunakan cara perpersetubuhan
2. Disamping itu relasi antara pelaku dan korban hanyalah hubungan
orangtua dan anak. Oleh Karena itu, KUHP masih sangat membatasi relasi
hubungan sedarah yang dikategorikan Sebagai inses. Padahal dalam
banyak kasus inses justru terjadi pula hubungan seksual yang Dilakukan
antara kakak dengan adik kandung, paman dengan keponakan.
3. KUHP Terlihat tidak akan memidana para pelaku inses dengan Pasal 294
jika perbuatan inses Dilakukan oleh orang yang telah sama-sama dewasa,
dalam konteks suka sama suka, Walaupun jika dilakukan dengan
persetubuhan atau pencabulan. Untuk konteks inses yang dilakukan orang
dewasa secara sukarela, KUHP tidak Menyatakan hal ini sebagai
perbuatan yang dilarang sebagai inses, tapi mengaturnya sebagai Delik
zina (bila salah satu terikat perkawinan). Ketiga penerapan delik-delik di
atas merupakan delik aduan yang mengakibatkan Delik tersebut tidak
dapat diproses bila pihak yang berkepentingan tidak melaporkan kepihak
Yang berwajib. Padahal dalam banyak kasus, keluarga korban atau pelaku
biasanya menutup-nutupi kasus inses dalam lingkungan keluarganya.
Mereka berpandangan jika kasus inses Diungkap maka akan mencemari
nama baik pelaku maupun keluarga lebih-lebih jika kasus inses sampai di
sidangkan di pengadilan. Sebagai Akibatnya, banyak kasus inses yang
tidak Pernah terungkap dan menyebabkan pelaku bebas dari sanksi hukum.
Akibat lebih lanjut, Orang tidak akan menjadi takut dan malu melakukan
hubungan inses. Masalah ini akan Mengakibatkan kasus inses semakin
banyak terjadi dimasyarakat.

Apabila dianalisis dan dikaji dari aturan-aturan dalam KUHP mengenai


inses Berdasarkan pola inses. Pola inses tidak hanya dilakukan terhadap anak
dibawah umur tetapi dilakukan juga oleh sesama dewasa dan dilakukan atas dasar
suka sama suka35. Dalam inses seperti ini nampaknya dalam KUHP belum di atur

35
Jurnal, Kebijakan Kriminal Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Inses Dalam Rangka
Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. VOL, 7 NO 1, Maret 2022

32
mengenai inses suka sama suka dan juga Dilakukan antara sesama dewasa.
Sedangkan kasus yang ada ditengah- tengah masyarakat Sangat memprihatinkan
yaitu inses yang dilakukan secara sukarela dan sesama dewasa. Inses ditinjau dari
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Dengan diundangkannya UU No. 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, maka segala kejahatan yang ditujukan terhadap anak
mendapatkan Respon yang lebih baik. Jika dilihat dalam kerangka merespon
kejahatan inses maka Undang-undang ini merupakan instrumen hukum pidana
yang paling kuat. Undang-Undang ini dalam Salah satu pasal pidananya
menyatakan bahwa:

 Pasal 81 ayat (1), ayat (2), ayat (3) berbunyi :

“Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 76D Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar Rupiah).”

“Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap
Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau Membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan oranglain.”
“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud
Pada ayat (1).”

 Pasal 82 ayat (1), ayat (2) berbunyi :


“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76E, Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar Rupiah).”

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik, atau tenaga kependidikan, maka

33
Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud
Pada ayat (1).” Pengaturan dalam Undang-Undang tersebut jauh lebih maju dari
konstruksi rumusan Dalam KUHP baik menyangkut ancaman pidananya, dan
rumusannya. Akan tetapi tidak Secara spesifik diarahkan bagi kejahatan inses,
namun Pasal 81 ayat (3) dan Pasal 82 ayat (2) Akhirnya memandang status
hubungan yang khusus antara pelaku dengan korban seperti Dalam Pasal 294 (1)
KUHP yakni apakah berhubungan darah, perkawinan atau persesusuan, Anak
yang berada dibawah penguasaannya atau dalam penjagaan yang diserahkan
padanya. Ketentuan ini jelas dapat digunakan bagi praktek inses yang korbannya
berstatus anak, Yang penting adalah usia korban belum berusia 18 (delapan belas)
tahun. Akan tetapi inses Tidak hanya dilakukan antara ayah dengan anak, bahkan
inses dilakukan antara saudara Kandung yaitu kakak dan adik yang sudah sama-
sama dewasa atau berusia di atas 18 tahun.

Regulasi lainnya yang dapat merespon kejahatan inses adalah UU No 23


tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Walaupun undangundang ini tidak secara tegas mengatur tindak pidana inses dan
hanya beberapa pasal yang Berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga yang
dapat dijadikan landasan yuridis untuk Merespon kejahatan inses. Pasal- Pasal
tersebut sebagai berikut:

 Pasal 46 berbunyi : “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan


seksual sebagaimana yang Dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun Atau denda paling banyak Rp.
36.000.000 (tigapuluh enam juta rupiah).”

Pasal 8 huruf a , yang berbunyi : Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 5 huruf c meliputi : Pemaksaan Hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan
seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang
lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual dalam
ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual
pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar dan/atau tidak

34
disukai36. Lingkungan rumah tangga tersebut meliputi: (1) suami, istri, anak dan
(2) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga sebagaimana pada huruf a
karena hubungan sedarah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian
yang menetap dalam rumah tersebut dan atau orang yang membantu rumah
tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.37

Dalam kasus inses yang dilakukan dengan suka sama suka tidak dapat di
kenakan pasal 46 undang-undang no 23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT), karena dalam rumusan pasal 8 huruf (a)
yang mana kekerasan seksual yang dimaksud yaitu pemaksaan untuk melakukan
hubungan seksual dengan orang yang menetap dalam rumah tangga. Kasus inses
yang berkembang sekarang yaitu perbuatan seksual yang dilakukan atas dasar
suka sama suka. Oleh karena itu kejahatan inses belum jelas pengaturannya di
dalam undang-undang no 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga (PKDRT). Di dalam KUHP maupun di luar kuhp mengenai inses
masih belum diatur mengenai perbuatan inses yang dilakukan atas dasar suka
sama suka dan belum diatur mengenai inses yang dilakukan oleh sesama dewasa.
Banyak kelemahan- kelemahan yang ada di dalam KUHP maupun di luar KUHP
mengenai perbuatan inses tersebut. Dilakukannya pembaharuan hukum pidana
bisa dilakukan ditinjau dari berbagai aspek seperti aspek sosiopolitik,
sosiofilosofis, dan sosiokultural atau bisa juga dari berbagai aspek lainnya seperti
kebijakan sosial, kebijakan kriminal serta kebijakan penegakan hukum yang
memiliki arti bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan
perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan
kebijakan yang menjadi landasan pembaharuan38.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

36
Penjelasan Pasal 8 UU No 23 tahun2004
37
pasal 1 uu no 23 tahun 2004)
38
Candra, S. 2013. Pembaharuan Hukum Pidana Konsep Pertanggungjawaban Pidana dalam
Hukum Pidana Nasional yang akan Datang. Jurnal Cita Hukum 1, No.

35
4.1 Pengaturan Hukum Terhadap Inses Dalam Memberikan Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Inses Kedepannya.

Perlindungan hukum terhadap korban inses di indonesia baik yang di atur di


dalam pasal 285, pasal 287, pasal 294 ayat (1), pasal 295 ayat (1) butir (1) kuhp,
undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak serta dalam
undang-undang no 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga (PKDRT) masih belum mampu secara komprehensif memberikan
perlindungan terhadap korban inses yang dimana dalam kuhp da beberapa catatan
penting yang patut menjadi perhatian yaitu:

1. Bahwa kejahatan inses ini lebih dimasukkan ke dalam delik pencabulan


(perkosaan untuk berbuat cabul) ketimbang delik perkosaan dengan
persetubuhan. Padahal cara-cara perbuatan inses yang sering terjadi justru
menggunakan cara persetubuhan. Akibatnya pasal yang digunakan
tentunya terlalu menguntungkan bagi pelaku karena inses dengan cara
perkosaan (persetubuhan) tentunya lebih berat ketimbang pencabulan.
2. Adanya hubungan darah antara pelaku dan korban hanyalah hubungan
orangtua dan anak. Oleh karena itu kuhp masih sangat membatasi relasi
hubungan sedarah yang dikategorikan sebagai inses. Padahal dalam
banyak kasus inses dengan kekerasan justru terjadi pula di luar hubungan
darah orang tua-anak. Misalnya inses yang dilakukan antara kakek-cucu,
paman-keponakan dan lain sebagainya.
3. Karena kejahatan inses ini lebih dimasukkan ke dalam delik pencabulan
maka sanksi yang diberikan terhadap pelaku juga relatif lebih ringan.
Dalam perbuatan cabul sebagaimana diatur di dalam pasal 289 kuhp
pelaku dapat dipidana dengan pidana maksimal 9 tahun sedangkan dalam
delik inses pelaku hanya dapat dipidana dengan pidana maksimal 7 tahun.
Tentunya sanksi tersebut tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami
korban, sebab pelaku yang seharusnya menjadi pelindung bagi korban
dijatuhi pidana lebih ringan daripada pelaku perbuatan cabul yang
kemungkinannya orang lain yang tidak mempunyai hubungan apapun
dengan korban .

36
Dari uraian tersebut di atas terlihat bahwa KUHP masih kurang dalam
memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana inses,
sebab perlindungan dalam kuhp tersebut masih bersifat in abstracto atau
perlindungan tidak langsung. Padahal anak sebagai korban inses sangat
membutuhkan perlindungan secara langsung dan konkret untuk mengatasi
penderitaan yang telah dialaminya.

Undang-undang Perlindungan Anak juga masih belum sempurna dalam


memberikan perlindungan hukum terhadap korban inses sebab dalam beberapa
pasalnya masih mengandung beberapa kelemahan yaitu:

1. UU Perlindungan Anak tidak mencantumkan tindak pidana inses Dalam


pasal tersendiri sebagaimana halnya KUHP, tentu saja ini menjadi titik
Lemah dari UUPA itu sendiri sebab dengan tidak ada perincian tentang
tindak Pidana inses secara konkrit berarti tidak ada perlindungan hukum
terhadap Korbannya. Akibatnya pelaku inses terhadap anak tidak bisa
dijerat dengan pasal Inses akan tetapi hanya dengan pasal perkosaan atau
pencabulan saja. Dengan kata Lain perlindungan terhadap anak sebagai
korban tindak pidana inses belum bisa Tercapai.
2. Meskipun UU Perlindungan Anak telah mengatur tentang perlindungan
terhadap anak Korban kejahatan dan hak-haknya, akan tetapi terdapat
ketidaksesuaian diantara UU Perlindungan Anak dengan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK).
3. Mengingat pelaku tindak pidana inses adalah orang yang paling dekat
dengan korban maka dalam hal ini seharusnya ada pemberatan, sebab
orang lain yang menjadi pelaku dari tindak pidana inses dapat dijatuhi
hukuman sedemikian rupa mengapa keluarga sendiri yang nyata-nyata
mempunyai tanggung jawab terhadap korban untuk memberikan
perlindungan juga dijatuhi hukuman yang sama. Padahal dalam Pasal 80
(4) UU Perlindungan Anak disebutkan ”Pidana ditambah sepertiga dari
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya”.
Pemberatan ini sayangnya juga tidak dicantumkan dalam pasal-pasal

37
selanjutnya Yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan maupun
pencabulan. Akibatnyaterhadap orang tua yang melakukan tindak pidana
inses baik dengan perkosaan Ataupun pencabulan tidak diberikan
pemberatan, sebab dalam pasal yang terkait Dengan tindak pidana inses
tidak mencantumkan tentang pemberatan.

Melihat konteks di atas dapat diketahui bahwa UU Perlindungan Anak telah


menjamin Perlindungan hukum terhadap anak bahkan telah memberikan
perlindungan secara khusus. Akan tetapi dalam implementasinya apa yang telah
diamanatkan oleh Undang-undang tersebut sulit sekali diwujudkan.
Ketidaksesuaian tujuan Pemberian bantuan dalam UU Perlindungan Anak dan
UUPSK sebagaimana terlihat dalam tabel di Atas menjadi faktor penghambat
pemberian bantuan terhadap anak sebagai korban Kejahatan, khususnya anak
sebagai korban tindak pidana inses.

Begitupun dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang


Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah mengatur secara jelas
tentang inses, akan tetapi ada catatan penting terhadap undang-undang ini, yaitu,
undang-undang ini hanya menunjuk pada korban yang ada dalam lingkup rumah
tangga, tidak ada perbedaan antara korban anak dan korban yang sudah dewasa
sehinga sanksi yang diterima oleh pelaku juga merujuk dalam pasal 46 itu sendiri,
padahal kebanyakan kasus inses dialami oleh anak-anak yang belum dewasa
(umur dibawah 18 tahun) bahkan ada juga anak yang menjadi korban sejak dia
anak-anak hingga dia dewasa karena kasus inses ini biasanya terjadi secara
berulang-ulang.

Selain itu jika meninjau pengaturan Inses dalam Hukum Pidana


Kedepannya yang sudah di rancang dalam RUU KUHP di bagian Bab delik
kesusilaan yakni dalam Pasal 490, Pasal 497, dan Pasal 498 juga masih terdapat
beberapa kekurangan di antaranya:

Pertama, dalam Pasal 490 RUU KUHP yang berbunyi:


3. “Persetubuhan yang dilakukan terhadap seseorang yang mempunyai
hubungan Sedarah dengannya dalam garis lurus atau kesamping sampai

38
derajat ketiga, Dipidana pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling
lama 12 tahun.
4. “Jika, dilakukan dengan perempuan yang belum berumur 18 tahun dan
belum Kawin maka dipidana pidana penjara paling lama 15 tahun dan
paling singkat 3 Tahun”.

Sehingga dalam Pasal 490 RUU KUHP defenisi inses yang ada mengalami
penyempitan makna sehingga apa yang dimaksud dengan kejahatan inses melalui
Persetubuhan ialah jika hubungan antara korban dan pelaku memiliki hubungan
sedarah dalam garis lurus atau kesamping sampai derajat ketiga.

Kedua, Pasal 490 juga hanya menegaskan bahwa kejahatan inses terjadi jika
ada persetubuhan yang dilakukan terhadap seseorang yang mempunyai
hubungan sedarah dengannya dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat
ketiga. Pengaturan kejahatan inses dalam RUU KUHP masih terlalu sempit.
Pengertian inses yaitu hubungan badan atau hubungan seksual yang terjadi antara
dua Orang yang mempunyai ikatan pertalian darah atau istilah genetiknya in
breeding., maka dalam hal Pasal 490 ini, haruslah dipisahkan besar pertanggung
jawaban pelaku perkosaan harus dibedakan dengan inses yang dilakukan dalam
konteks suka sama suka. Sehingga dalam Pasal 490 RUU KUHP tersebut ada dua
kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yakni pertama adalah kejahatan perkosaan
yang dilakukan kepada orang yang memiliki relasi atau hubungan darah dengan
pelaku. Kedua, adalah perbuatan inses tersebut dilakukan atas dasar suka sama
suka.

Ketiga, rumusan Pasal 490 RUU KUHP menyatakan bahwa jika persetubuhan
dilakukan dengan perempuan yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin
maka dipidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 4 tahun, Rumusan
seperti ini akan memiliki konsekuensi yang penting. Masih tidak jelas apa
pertimbangan dari para perumus.

Keempat, rumusan Pasal 497 menyatakan bahwa melakukan perbuatan cabul


dengan anak kandungnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun
dan paling lama 12 Tahun. Rumusan ini juga mengalami penyempitan makna

39
sehingga apa yang dimaksud dengan kejahatan inses melalui pencabulan
hanyalah terbatas dengan anak kandungnya saja atau dengan anak tirinya, anak
angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk
diasuh, dididik atau dijaga, atau dengan pembantu rumah tangganya atau dengan
bawahannya. Berbeda dengan hubungan yang diatur dalam Pasal 490 RUU
KUHP yakni hubungan sedarah dengannya dalam garis lurus atau kesamping
sampai Derajat ketiga. Pasal 497 RUU KUHP juga menyamakan korban yang
berstatus anak dan Orang dewasa, dimana tidak adanya pembedaan pidana bagi
pelaku. Seharusnya bagi korban yang masih berstatus anak perlu pidana
pemberatan bagi pelaku.

Dari paparan tersebut di atas menunjukkan bahwa pengaturan Inses yang


termuat dalam RUU KUHP telah lebih progresif mengatur mengenai ketentuan
tindak pidana inses namun masih memiliki beberapa kekurangan mengatur tindak
pidana ini secara lebih konsisten. Sehingga diperlukan upaya lebih lanjut
mengenai pembaharuan hukum pidana dalam pembentukan suatu RUU KUHP
mengenai inses , sebagaimana telah diuraikan di atas guna terciptanya penegakan
hukum yang adil. Artinya, adanya usaha penanggulangan Kejahatan melalui
pembuatan undang-undang pidana dengan sanksi pidananya merupakan bagian
yang integral dari usaha perlindungan terhadap masyarakat terutama keluarga
yang menjadi korban kejahatan seksual yang mana berdampak kepada masyarakat
itu sendiri. Berdasarkan kekosongan hukum di dalam KUHP mengenai inses dan
beberapa Kelemahan yang ada di RUU KUHP yang sudah dijelaskan sebelumnya,
perlu segara dilakukan pembaharuan hukum pidana kedepannya dalam
memberikan perlindungan bagi korban Inses.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

40
A. Kesimpulan

Berdasarkan data hasil penelitian serta analisis secara menyeluruh dan


mendetail sebagaimana telah disajikan pada bab sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa Perbuatan inses merupakan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan norma-norma kesusilaan dan moral bangsa Indonesia,
perbuatan inses juga merupakan perbuatan zina yang tabu serta tidak bermoral
yang merusak tatanan keluarga. Sebagian besar masyarakat Indonesia
memandang perbuatan inses sebagai perbuatan yang sangat negatif karena
merupakan perbuatan penyimpangan seksual. Dalam pengaturan mengenai
perlindungan hukum bagi korban Inses baik yang diatur didalam KUHP dan di
luar KUHP, yaitu sebagai berikut yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
terdapat dalam Pasal 285, Pasal 287, Pasal 294 ayat (1), Pasal 295 ayat (1) butir
(1), Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat dalam Pasal 81
ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 82 ayat (1), ayat (2), Undang-Undang No 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
terdapat dalam Pasal 8 huruf a. Di dalam KUHP maupun di luar KUHP
mengenai inses masih belum diatur secara tegas dan jelas mengenai perbuatan
inses dan belum diatur mengenai inses yang dilakukan oleh orang dewasa serta
perlindungan terhadap korban Inses. Selain itu terhadap penanggulangan tindak
pidana Inses dalam memberikan perlindungan hukum bagi korban Inses
kedepannya yang termuat dalam RUU KUHP di bagian Bab delik kesusilaan
yakni dalam Pasal 490, Pasal 497 dan Pasal 498 belum juga memberikan
kepastian hukum bagi perlindungan terhadap korban Inses kedepannya sehingga
diperlukan pembaharuan hukum Pidana terhadap pengaturan tindak Pidana
Inses masa yang akan datang yaitu sebagai berikut:

a. Kejahatan inses harus dibedakan mengenai : pertama, inses yang


dilakukan atas dasar suka sama suka atau saling cinta dan kedua,
perbuatan tersebut justru di tujukan kepada orang yang memiliki relasi
atau hubungan darah dengan pelaku seperti kakak dengan adik kandung,
paman dengan keponakan serta ibu dengan anak kandungnya.

41
b. Dalam hal usia juga tidak harus dibatasi karena melihat banyak nya kasus
yang ada di masyakarat mengenai kejahatan inses yang mana dilakukan
antara orang yang sudah dewasa (di atas 18 tahun) dan sudah kawin.
c. Kejahatan inses yang korbannya berstatus anak dan orang dewasa, harus
adanya pembedaan pidana bagi pelaku. Yang mana bagi korban yang
masih berstatus anak perlu pidana pemberatan bagi pelaku.

Berdasarkan hal mengenai pemidanaan maka dalam hal pembaharuan hukum


terhadap tindak pidana inses yang akan datang maka dalam hal pengaturan
ataupun sanksi tehadap pelaku tindak pidana inses harus dibedakan yang mana
kejahatan Inses seperti korbannya tidak hanya anak tetapi juga orang sudah
dewasa dan inses yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Sehingga korban
Inses mendapatkan kepastian dalam hal pelindungan hukumnya.

B. Saran
1. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap koraban tindak pidana
Inses, diperlukan peran masyarakat khususnya keluarga dalam
memberikan perlindungan terhadap korban, dengan cara tidak menutup-
nutupi jika terjadi tindak pidana Inses, dengan dalih karena merupakan aib
keluarga. Serta dalam hal ini sangat diharapkan aparat penegak hukum
juga turut memberikan perlindungan bukan hanya kepada korban tindak
pidana Inses namun juga kepada keluarga yang mendapat tekanan apabila
pelaku tindak pidana Inses ini di laporkan.
2. Dalam hal ini juga sangat diperlukan peran aparat penegak hukum untuk
melakukan pembaharuan Instrumen peraturan mengenai Inses baik yang
termuat dalam KUHP maupun di luar KUHP. Agar ketika terjadi tindak
pidana Inses kedepannya, dapat memberikan sanksi yang tegas kepada
pelaku serta yang paling penting adalah adanya kepastian hukum yang
jelas terhadap korban tindak pidana Inses kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul kadir, Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Incest

42
dengan korban anak, skripsi Universitas Hassanudin, Makassar, hlm 3
Didi Junaedi, Penyimpangan Seksual Yang Dilarang Al-Qur’an:
Menikmati Seks Tidak Harus Menyimpang . Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2016
Dudi Hartono, Psikologi Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan, 2016

Gosita, A. (2004). Masalah korban kejahatan. Jakarta: PT Bhuana Ilmu


Populer Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah 20
Bangsa, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta,
2008, hlm. 373.
Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 12 Tahun 2021

Jurnal Pembangunan dan Pendidikan : Fondasi dan Aplikasi Volume 2,


Nomor 1, 2014
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual.
Bandung: CV. Mandar Maju, 2009
Munir Fuady dan Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak
Milik Atas Tanah, Suatu Analisis Dengan Pendekatan Terpadu
Secara Normatif dan Sosiologis, Republika, Jakarta, 2008, hlm. 86.

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina


Ilmu, Surabaya, 1997, hlm. 2.

Santoso, Rahmad Dwi Putra, Tindak pidana inses/incest Menurut


peraturan perundang-undangan Nasional. Dinamika: Jurnal ilmiah
ilmu hukum 26(27),(2020): 891-904.hlm.892
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.
54.
Sawitri Supardi Sadarjoen. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual,
Refika Aditama Bandung. 2005

Setiawan, I. Putu Agus, dan I Wayan Novy Purwanto. Faktor Penyebab


Dan Upaya Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Dalam Lingkup Keluarga (INCEST) (Studi di Polda Bali). Kertha

43
Wicara: Journal Ilmu Hukum
Sofyan Willis, Problema Remaja dan Pemecahannya. IKAPI, Jakarta,
1994. Hal.27 Waluyo, B. (2011). Viktimologi perlindungan korban &
saksi. Jakarta: Sinar Grafika Wotulo, Fresdy A.. Kedudukan Delik Inses
(Incest) dalam Sistem Hukum PidanaIndonesia.

44

Anda mungkin juga menyukai