Di Susun Oleh :
Dosen Pengampu:
TAHUN 2023
1
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ....................................................................................... 41
B. Saran .................................................................................................. 42
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
Santoso, Rahmad Dwi Putra, Tindak pidana inses/incest Menurut peraturan perundang-
undangan Nasional. Dinamika: Jurnal ilmiah ilmu hukum 26(27),(2020): 891-904.hlm.892
2
Jurnal Pembangunan dan Pendidikan : Fondasi dan Aplikasi Volume 2, Nomor 1, 2014
1
cucunya atau diantara saudara sekandung (Penyebab, Dampak, dan Pencegahan
Inses (Murdiyanto dan Tri Gutomo).
Abdul kadir, Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Incest dengan korban anak, skripsi
Universitas Hassanudin, Makassar, hlm 3
2
penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini sangat penting untuk dilakukan dalam
menganalisis mengenai perlindungan hukum terhadap korban inses (hubungan
seksual sedarah) yang dikaji berdasarkan perspektif hukum pidana di indonesia.
3
B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap inses dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap korban inses di Indonesia?
2. Apakah pengaturan hukum terhadap inses di Indonesia sudah
memberikan perlindungan hukum terhadap korban inses kedepannya?
4
D. KERANGKA PEMIKIRAN
4
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,)
5
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 54.
6
Munir Fuady dan Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Suatu
Analisis Dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis, Republika, Jakarta, 2008,
hlm. 86.
5
hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan
dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.7
7
Satjipto Rahardjo, op.cit., hlm. 53 dan 69.
8
Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah 20 Bangsa, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 373.
6
perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada
subjek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat Preventif
(pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang
secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum9.
9
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1997,
hlm. 2.
7
Fungsi Proteksi dan Perlindungan . Fungsi perlindungan atau proteksi
adalah fungsi keluarga dalam melindungi anka dari ketidakmampuannya
bergaul dengan lingkungannya.
Fungsi Afeksi dan Perasaan .Dalam keluarga terjadi hubungan sosial
antara anak dan orang tua-nya yang didasari dengan kemesraan.
Fungsi Religius. Keluarga berkewajiban memperkenalkan dan
mengajarkan anak dan anggota keluarganya kepada kehidupan beragama.
Fungsi Ekonomi. Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga dalam
mencari nafkah, perencanaan, pembelanjaan dan pemanfaatannya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya.
Fungsi Rekreasi. Keluarga memerlukan suasana akrab, rumah yang hangat
diantara anggota-anggota keluarga dimana hubungan antar keluarga
bersifat saling mempercayai bebas tanpa beban dan diwarnai suasana
santai.
Fungsi Bioligis. Fungsi biologis adalah fungsi keluarga dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan biologis anggotanya.
kemudian ada juga fungsi keluarga menurut Silalahi (2010, p.184) bahwa fungsi
keluarga terdiri atas: Fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih,
fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi
ekonomi serta fungsi pemeliharaan10 Maka berdasarkan teori yang telah
dikemukakan di atas tekait dengan fungsi keluarga yang seharusnya ada dalam
tatanan keluarga, nampaknya persoalan inses (hubungan seksual sedarah) yang
terjadi dalam lingkungan keluarga memperlihatkan bahwa adanya kegagalan
dalam terlaksananya fungsi keluarga sebagaimana semestinya, sedangkan
keluarga merupakan salah satu yang bertanggung jawab terhadap perlindungan
anak selain dari negara dan juga masyarakat.
E. KEASLIAN PENELITIAN
10
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Volume 2, Nomor 1, 2014
8
Dalam melakukan suatu penelitian, seorang peneliti diharuskan untuk
melakukan pengamatan dan penelusuran dalam mencari kepastian dan kebenaran
apakah penelitian yang hendak diangkat belum pernah diteliti oleh peneliti lain
sebelumnya. Maka dari itu penelitian yang berjudul PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KORBAN INSES (HUBUNGAN SEKSUAL
SEDARAH) YANG DIKAJI BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM
PIDANA DI INDONESIA. merupakan karya asli peneliti dan bukan merupakan
plagiat atau tiruan, sehingga dapat dikatakan bahwasannya penelitian ini sudah
memenuhi kaidah daripada keaslian penelitian. Berdasarkan penelusuran yang
telah dilakukan sebelumnya, ditemukan judul penelitian yang sejenis dengan judul
penelitian ini, diantaranya adalah :
9
singaperbangsa tentang perlindungan 2.Bagaimanakah
karawang. (Jurnal) anak. perlindungan hukum
terhadap anak korban
inses berdasarkan UU
NO.35 tahun 2014
3. Novi Umu Haniah, Perlindungan Hukum 1.Apakah hukum
Program Sarjana terhadap anak sebagai pidana positif telah
fakultas Hukum, korban tindak pidana menjamin perlindungan
Universitas Jember inses hukum terhadap anak
(Skripsi tahun 2010) sebagai korban tindak
pidana inses
2.Apakah bentuk
perlindungan hukum
yang tepat terhadap
anak sebagai korban
tindak pidana inses?
4. Abdullah Atamimi Tinjauan Kriminologis 1.Apa yang menjadi
Mursyid, Fakultas Tindak Pidana faktor penyebab
Hukum, Universitas Persetubuhan Sedarah terjadinya tindak pidana
Islam Riau (Skripsi (incest) oleh ayah persetubuhan sedarah
tahun 2020) kandung terhadap (incest) oleh ayah
anaknya. kandung terhadap
anaknya
2.Bagaimana modus
operandi tindak pidana
persetubuhan sedarah
(incest) oleh ayah
kandung terhadap
anaknya.
10
Terhadap Korban Inses (Hubungan Seksual Sedarah) Yang Dikaji
Berdasarkan Perspektif Hukum Pidana Di Indonesia, adalah untuk
Mengetahui dan menganalisis bagaimanakah pengaturan hukum terhadap inses
dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban inses di Indonesia serta
mengetahui dan menganalisis apakah pengaturan terhadap inses di Indonesia
sudah memberikan perlindungan hukum terhadap korban inses kedepannya yang
dimana pada penelitian ini juga memberikan beberapa pembahasan yang belum
termuat pada penelitian sebelumnya.
F. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah
jenis penelitian hukum normatif. Dimana penelitian hukum normatif ini
adalah penelitian yang difokuskan untuk mengkaji norma-norma dalam
hukum positif atau juga dapat dikatakan sebagai penelitian yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Dimana dalam
penelitian hukum normatif kegiatan untuk menjelaskan penelitian tidak
diperlukan dukungan data ataupun fakta-fakta sosial melainkan hanya
menggunakan sumber-sumber penelitian berupa bahan-bahan hukum,
yang terdiri atas bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Jadi untuk
menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan
hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah
yang ditempuh adalah langkah normatif.
2. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konseptual
a. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan
menggunakan legislasi dan regulasi dalam menelaah semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
diteliti. Pendekatan ini merupakan penelitian yang mengutamakan
11
bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan sebagai
bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian.
b. Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang digunakan untuk
memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan penormaan dalam
suatu perundang-undangan yang dimana pendekatan ini beranjak dari
pandangan dan doktrin-doktirn yang akan memperjelas ide-ide dengan
memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun
asas hukum yang relevan dengan persoalan yang akan diteliti.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan berup:
a. Bahan hukum primer, menurut Peter Mahmud Marzuki bahan hukum
primer merupahan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.Dalam hal ini yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas yaitu:
Kuhp pasal 294
Pasal 76D dan Pasal 81 ayat (1) dan (3)Undang-undang No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan
dalam rumah tangga
Undang-undang N0. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual
12
Teori-teori hukum;
Jurnal-jurnal
Buku-buku bacaan yang berkaitan dengan judul penelitian.
c. Bahan hukum tersier, merupakan bahan-bahan yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder misalnya
kamus-kamus, ensiklopedia. Dan sebagainya.
B AB II
KAJIAN PUSTAKA
13
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu dalam tahap ini berguna sebagai referensi peneliti
untuk mengetahui kejelasan peneliti dalam permasalahan yang serupa dari
penelitian yang telah terbit lebih dahulu. Serta demi menunjukkan keaslian
skripsi, dan untuk meminimalisir adanya unsur plagiarism. Oleh karena itu
peneliti akan memaparkan secara singkat beberapa penelitian yang terbit lebih
dulu dengan lingkup tema yang serupa akan tetapi juga diikuti beberapa
perbedaan antara satu sama lain. Berikut beberapa penelitian terdahulu:
Pertama, Dahlia Program Magister Ilmu hukum,Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin dengan judul penelitian Kebijakan kriminal dalam
menanggulangi tindak pidana inses dalam rangka pembaharuan hukum
Pidana di Indonesia11. Adapun persamaan penelitian yang dilakukan oleh
Dahlia Dengan peneliti adalah sama-sama membahas objek yang sama yaitu
persoalan Tentang Incest. Perbedaanya terletak pada fokus penelitian,
penelitian yang Dilakukan oleh Dahlia dalam penelitiannya mencoba untuk
meneliti mengenai urgensi kebijakan kriminal untuk
11
Dahlia, Kebijakan kriminal dalam menanggulangi tindak pidana inses dalam rangka
pembaharuan hukum Pidana di Indonesia, VOL. 7 NO 1, MARET 2022
12
Dhea Yurita, Devi siti hamzah marpung. Jurnal, Aspek perlindungan korban tindak pidana
inses berdasarkan UU NO.35 tahun 2014 tentang perlindungan anak
14
persoalan tentang inses, Perbedaanya terletak pada fokus penelitiannya yang
dimana penelitian sebelumnya mencoba membahas faktor-faktor penyebab
terjadinya tindak pidana inses serta membahas perlindungan hukum terhadap
anak korban inses berdasarkan UU NO.35 tahun 2014 sedangkan peneliti
mencoba membahas mengenai aspek perlindungan korban inses dari
perspektif Hukum Pidana di Indonesia.
13
Novi Umu Haniah, Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana inses.
Skripsi tahun 2010
14
Abdullah Atamimi Mursyid, Tinjauan Kriminologis Tindak Pidana Persetubuhan Sedarah
(incest) oleh ayah kandung terhadap anaknya. Skripsi Tahun 2020
15
perspektif Hukum Pidana di Indonesia, apakah dengan adanya peraturan
dalam hukum pidana di Indonesia ini sudah memberikan perlindungan hukum
bagi korban inses.
16
e. Adanya perilaku-perilak seksual yang menyimpang lainnya.
17
besar bahasa indonesia (kbbi) perbuatan incest ini erat kaitannya dengan
perbuatan sumbang. Perbuatan sumbang dapat diartikan sebagai pelanggaran
baik terhadap adat ataupun norma kesopanan yang berlaku di masyarakat21.
Menurut sawitri supardi sadarjoen, inses (incest) adalah “hubungan seksual
yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga yang kuat, seperti
misalnya ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau
antar sesama keluarga kandung’’22 sedangkan menurut kartini kartono, inses
adalah “hubungan seks diantara pria dan wanita di dalam atau diluar ikatan
perkawinan, dimana mereka terkait dalam hubungan kekerabatan atau
keturunan yang yang dekat sekali23. Sofyan s.willis mengemukakan pengertian
inses sebagai berikut: “hubungan kelamin yang terjadi antara dua orang diluar
nikah,sedangkan mereka adalah kerabat dekat sekali 24. Selanjutnya pendapat
incest yang dikemukakan oleh supratik mengatakan bahwa:“taraf koitus antara
anggota keluarga, misalnya antara kakak lelaki dengan adik perempuannya
yang dimaksud adalah hubungan seksual.atau antara ayah dengan anak
perempuannya, yang dilarang oleh adat dan kebudayaan25. Perbuatan incest
merupakan salah satu wujud dari perbuatan seksual secara menyimpang karena
berdasarkan pengertian diartikan sebagai hubungan secara seksual yang
dilakukan oleh dua orang yang masih dalam garis keluarga dekat dan dianggap
sebagai pelanggaran terhadap norma adat, hukum, serta agama26. Dari
pengertian di atas dapat diberikan kesimpulan bahwa sebenarnya inses ini
adalah hubungan seksual terlarang yang terjadi dalam tatanan keluarga sedarah
antara ayah kandung dan anak perempuannya, ibu dan anak laki-lakinya, serta
Polda Bali). Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 4: 1-16. hlm.3
21
Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 12 Tahun 2021, hlm.1101-1112
22
Sawitri Supardi Sadarjoen. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Refika Aditama
Bandung. 2005
23
Kartono Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Mandar Maju.Jakarta. 1989.
Hal.25, Hal 255 dalam jurnal Pengaturan Tindak Pidana Inses Dalam jurnal Perspektif Kebijakan
Hukum Pidana, Inovatif Volume VII Nomor II Mei 2014
24
Sofyan Willis, Problema Remaja dan Pemecahannya. IKAPI, Jakarta, 1994. Hal.27
25
Ibid
26
Wotulo, Fresdy A.. Kedudukan Delik Inses (Incest) dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia.
18
antar saudara kandung lainnya yang biasanya inses ini terjadi karena paksaan
ataupun tekanan dari pelaku. Yang dimana inses ini digolongkan kedalam
perbuatan yang terlarang bagi kehidupan bermasyarakat. Sawitri supardi
sadarjoen berkesimpulan bahwa dasar tabu inses adalah apabila inses
dibenarkan maka akan terjadi persaingan, perebutan pasangan dalam
lingkungan, antara ayah-ibu-saudara- saudara. Jelas bahwa persaingan atau
perbuatan semacam itu akan membawa kehancuran keluarga dan suku bangsa
sendiri27.
Kartini kartono menambahkan bahwa inses banyak terjadi dikalangan rakyat dari
tingkat kalangan sosial-ekonomi yang rendah. Jenis-jenis incest berdasarkan
penyebabnya adalah:29
27
Sawitri Supardi Sadarjoen, Op.Cit., hal.74
28
Ibid
29
Kartono Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Mandar Maju.Jakarta, Loc.cit
19
perempuan remaja yang tidur sekamar, bias tergoda melakukan
eksperimentasi seksual sampai terjadi inses.
2. Incest akibat psikopatologi berat. Jenis ini biasa terjadi antaraayah yang
alkoholik atau psikopatik dengan anak perempuannya. Penyebabnya
adalah kendornya kontrol diri akibat alkohol atau psikopati sang ayah.
3. Incest akibat pedofilia, misalnya seorang lelaki yang haus menggauli
anakanak perempuan dibawah umur, termasuk anaknya sendiri.
4. Incest akibat contoh buruk dari ayah. Seorang lelaki menjadi senang
melakukan incest karena meniru ayahnya melakukan perbuatan yang
sama dengan kakak atau adik perempuannya.
5. Incest akibat patologi keluarga dan hubungan perkawinan yang tidak
harmonis. Seorang suami-ayah yang tertekan akibat sikap memusuhi
serba mendominasi dari istrinya bias terpojok melakukan incest dengan
anak perempuannya.
Menurut kamus crime dictionary yang dikutip seorang ahli yang bernama
abdussalam, bahwa yang dimaksud dengan victim adalah “orang yang telah
mendapatkan penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda
atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan
dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”30.
30
Waluyo, B. (2011). Viktimologi perlindungan korban & saksi. Jakarta: Sinar Grafika
20
2. Menurut J.E. Sahetapy (1987:42) Korban adalah orang perorangan
atau badan hukum yang Menderita luka-luka, kerusakan atau bentuk-
bentuk kerugian Lainnya yang dirasakan, baik secara fisik maupun
secara kejiwaan. Kerugian tersebut tidak hanya dilihat dari sisi hukum
saja, tetapi Juga dilihat dari segi ekonomi, politik maupun sosial
budaya. Mereka yang menjadi korban dalam hal ini dapat dikarenakan
Kesalahan si korban itu sendiri, peranan korban secara langsung Atau
tidak langsung, dan tanpa adanya peranan dari si korban
3. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Korban
adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman Kekerasan
dalam lingkup rumah tangga.
4. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban Korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, Mental dan atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu Tindak pidana.
1. Setiap orang;
21
3. kekurangan ekonomi; dan
Pada dasarnya korban memiliki beberapa tipe, menurut ezzat abdul fatah
(dalam j.e. Sahetapy (ed), 1995:205) korban dapat dikelompokan menjadi
beberapa kelompok sebagai berikut:
31
Gosita, A. (2004). Masalah korban kejahatan. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer
22
Menanggulangi kejahatan.
3. Provocative victims: mereka yang menimbulkan kejahatan atau
Yang merangsang timbulnya kejahatan.
4. False victims: mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
23
Pasal 285 berbunyi :
Diancam: “Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa
dengan sengaja Menyebabkan atau memudahkan dilakukannya
perbuatan cabul oleh anaknya, anak Tirinya, anak angkatnya, atau anak
di bawah pengawasannya yang belum dewasa, Atau oleh orang yang
belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau Penjagaannya
diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya Yang
belum cukup umur, dengan orang lain.”
Inses ditinjau dari uu no. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-
undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dengan diundangkannya
uu no. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang no. 23 tahun 2002
24
tentang perlindungan anak32, maka segala kejahatan yang ditujukan terhadap
anak mendapatkan respon yang lebih baik. Jika dilihat dalam kerangka
merespon kejahatan inses maka undangundang ini merupakan instrumen
hukum pidana yang paling kuat. Undang- undang ini dalam salah satu pasal
pidananya menyatakan bahwa:
“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik, atau tenaga
kependidikan, maka Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana sebagaimana dimaksud Pada ayat (1).”
“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik, atau tenaga
kependidikan, maka Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana sebagaimana dimaksud Pada ayat (1).”
32
UU no. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang- undang no. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak.
25
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Dalam ketentuan pasal 1 angka (1) ditentukan Bahwa
“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap Seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau Penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah Tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau Perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam linngkup rumah Tangga33.
Kemudian mengenai siapa-siapa saja yang termasuk ke dalam lingkup Rumah
tangga telah diatur secara tegas dalam ketentuan pasal 2 ayat (1) yang
Menentukan bahwa “Lingkup rumah tangga dalam Undang- undang ini
meliputi :
a. Setiap orang
33
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
34
Pengaturan Tindak Pidana Inses Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Jurnal Inovatif,
Volume VII Nomor II Mei 2014 hal 96
26
c. Yang dimaksud dalam pasal 8 huruf (a)
Selain itu pengaturan inses juga termuat dalam RUU KUHP yaitu pada Bab
delik kesusilaan yakni dalam Pasal 490, Pasal 497, dan Pasal 498 dengan
uraian sebagai berikut:
Pasal 490 berbunyi
27
b. Dokter, guru, pegawai, pengurus, atau petugas pada lembaga
Pemasyarakatan, lembaga negara tempat latihankarya, rumah
pendidikan, Rumah yatim dan
c. Atau piatu, rumah sakit jiwa, atau panti sosial yang melakukan
Perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke lembaga.
Rumah atau Panti tersebut.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
28
3.1 Pengaturan Hukum Terhadap Inses Dalam Memberikan Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Inses Di Indonesia
Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang seharusnya kita jaga
Karena dalam diri mereka melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia
Yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara anak
adalah bagian integral dari sebuah negara yaitu generasi muda penerus
perwujudan cita-cita sebuah bangsa. Sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal serta
berhak atas perlindungan dari segala macam bentuk tindak kekerasan, ancaman
dan diskriminasi, anak juga memiliki hak kebebasan berekspresi dan dihargai hak-
hak sipilnya (dalam Ketentuan Umum, Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Oleh karena itu sudah sepatutnya
bila hak-hak anak ini juga dihormati sebagaimana hak manusia dewasa. Namun,
kenyataannya pada saat ini kasus kekerasan seksual pada anak terus meningkat,
padahal sudah terdapat peraturan perundang-undangan yang memberikan
perlindungan hukum terhadap anak.
29
Pengaturan perbuatan inses atau yang lebih dikenal dengan hubungan seksual
sedarah Dalam KUHP Indonesia sangatlah penting, karena melihat banyaknya
kejahatan seksual inses Yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pengaturan untuk
kasus-kasus inses dalam KUHP Masih berdasarkan pada Pasal 285, Pasal 287,
Pasal 294 ayat (1), Pasal 295 ayat (1) butir (1).
Dalam pasal 285 KUHP ini belum memberikan perlindungan terhadap korban
inses, yang dimana dalam pasal ini yang di titik beratkan itu adalah tindak pidana
perkosaan, sedangkan inses bukan hanya di kategorikan perkosaan antara seorang
laki-laki maupun perempuan namun lebih mengarah ke dalam perbuatan seksual
dalam ranah privat ( keluarga kandung ).
Dalam pasal 287, juga belum tepat Terkait pengaturan inses, karena dalam pasal
ini hanya mengatur mengenai persetubuhan antara laki-laki dan seorang wanita di
luar perkawinan, yang tidak memuat bahwa pasal tersebut bisa memberikan
perlindungan hukum terhadap korban inses.
“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak
Angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan
30
orang Yang belum Dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau
penjagaannya Diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau
bawahannya yang belum Dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.”
Diancam: “Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa
dengan sengaja Menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan
cabul oleh anaknya, anak Tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah
pengawasannya yang belum dewasa, Atau oleh orang yang belum dewasa
yang pemeliharaannya, pendidikan atau Penjagaannya diserahkan kepadanya,
ataupun oleh bujangnya atau bawahannya Yang belum cukup umur, dengan
orang lain.”
Terhadap kedua pasal tersebut, yaitu pasal 294 ayat (1) dan pasal 295 ayat (1)
masih relevan untuk mengatur perbuatan inses. Pertanggung jawaban pidananya
terhadap pelaku inses, menurut KUHP hanya relevan dengan Pasal 294 ayat (1)
dan Pasal 295 ayat (1) butir (1). Dalam Kedua Pasal ini tidak dikenal pidana
penjara dan denda paling sedikit/minimalnya, hanya Mengenal pidana penjara
paling banyak/maksimal saja, yaitu 7 (tujuh) tahun pada Pasal 294 Ayat (1) dan 5
(lima) tahun untuk Pasal 295 ayat (1) butir (1).Perbuatan pidana pada Pasal 294
ini memiliki karakter khusus yakni terdapat suatu Hubungan tertentu antara subjek
hukum dan sipembuatnya dengan objek (korban). Karena Adanya faktor
hubungan tersebut, dan kemudian hubungan itu ternyata disalahgunakan (si
Pelaku menyalahgunakan kedudukannya). Dalam ayat (1) hubungan tersebut
dapat dibagi Menjadi dua macam yakni pertama, hubungan kekeluargaan dimana
si pelaku yang Seharusnya memiliki kewajiban hukum untuk melidungi,
menghidupi, memelihara, Mendidik, dan kedua, adalah hubungan di luar
kekeluargaan tetapi didalamnya tumbuh Kewajiban hukum untuk memeliharanya,
atau menghidupi.
Terhadap KUHP dalam Pasal 294 ayat (1), ada beberapa catatan penting yang
patut Menjadi perhatian yaitu:
31
1. Bahwa kejahatan inses ini lebih dimasukkan ke Dalam delik pencabulan
ketimbang dengan persetubuhan. Padahal cara-cara perbuatan inses Yang
sering terjadi justru menggunakan cara perpersetubuhan
2. Disamping itu relasi antara pelaku dan korban hanyalah hubungan
orangtua dan anak. Oleh Karena itu, KUHP masih sangat membatasi relasi
hubungan sedarah yang dikategorikan Sebagai inses. Padahal dalam
banyak kasus inses justru terjadi pula hubungan seksual yang Dilakukan
antara kakak dengan adik kandung, paman dengan keponakan.
3. KUHP Terlihat tidak akan memidana para pelaku inses dengan Pasal 294
jika perbuatan inses Dilakukan oleh orang yang telah sama-sama dewasa,
dalam konteks suka sama suka, Walaupun jika dilakukan dengan
persetubuhan atau pencabulan. Untuk konteks inses yang dilakukan orang
dewasa secara sukarela, KUHP tidak Menyatakan hal ini sebagai
perbuatan yang dilarang sebagai inses, tapi mengaturnya sebagai Delik
zina (bila salah satu terikat perkawinan). Ketiga penerapan delik-delik di
atas merupakan delik aduan yang mengakibatkan Delik tersebut tidak
dapat diproses bila pihak yang berkepentingan tidak melaporkan kepihak
Yang berwajib. Padahal dalam banyak kasus, keluarga korban atau pelaku
biasanya menutup-nutupi kasus inses dalam lingkungan keluarganya.
Mereka berpandangan jika kasus inses Diungkap maka akan mencemari
nama baik pelaku maupun keluarga lebih-lebih jika kasus inses sampai di
sidangkan di pengadilan. Sebagai Akibatnya, banyak kasus inses yang
tidak Pernah terungkap dan menyebabkan pelaku bebas dari sanksi hukum.
Akibat lebih lanjut, Orang tidak akan menjadi takut dan malu melakukan
hubungan inses. Masalah ini akan Mengakibatkan kasus inses semakin
banyak terjadi dimasyarakat.
35
Jurnal, Kebijakan Kriminal Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Inses Dalam Rangka
Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. VOL, 7 NO 1, Maret 2022
32
mengenai inses suka sama suka dan juga Dilakukan antara sesama dewasa.
Sedangkan kasus yang ada ditengah- tengah masyarakat Sangat memprihatinkan
yaitu inses yang dilakukan secara sukarela dan sesama dewasa. Inses ditinjau dari
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Dengan diundangkannya UU No. 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, maka segala kejahatan yang ditujukan terhadap anak
mendapatkan Respon yang lebih baik. Jika dilihat dalam kerangka merespon
kejahatan inses maka Undang-undang ini merupakan instrumen hukum pidana
yang paling kuat. Undang-Undang ini dalam Salah satu pasal pidananya
menyatakan bahwa:
“Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap
Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau Membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan oranglain.”
“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud
Pada ayat (1).”
“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
33
Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud
Pada ayat (1).” Pengaturan dalam Undang-Undang tersebut jauh lebih maju dari
konstruksi rumusan Dalam KUHP baik menyangkut ancaman pidananya, dan
rumusannya. Akan tetapi tidak Secara spesifik diarahkan bagi kejahatan inses,
namun Pasal 81 ayat (3) dan Pasal 82 ayat (2) Akhirnya memandang status
hubungan yang khusus antara pelaku dengan korban seperti Dalam Pasal 294 (1)
KUHP yakni apakah berhubungan darah, perkawinan atau persesusuan, Anak
yang berada dibawah penguasaannya atau dalam penjagaan yang diserahkan
padanya. Ketentuan ini jelas dapat digunakan bagi praktek inses yang korbannya
berstatus anak, Yang penting adalah usia korban belum berusia 18 (delapan belas)
tahun. Akan tetapi inses Tidak hanya dilakukan antara ayah dengan anak, bahkan
inses dilakukan antara saudara Kandung yaitu kakak dan adik yang sudah sama-
sama dewasa atau berusia di atas 18 tahun.
34
disukai36. Lingkungan rumah tangga tersebut meliputi: (1) suami, istri, anak dan
(2) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga sebagaimana pada huruf a
karena hubungan sedarah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian
yang menetap dalam rumah tersebut dan atau orang yang membantu rumah
tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.37
Dalam kasus inses yang dilakukan dengan suka sama suka tidak dapat di
kenakan pasal 46 undang-undang no 23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT), karena dalam rumusan pasal 8 huruf (a)
yang mana kekerasan seksual yang dimaksud yaitu pemaksaan untuk melakukan
hubungan seksual dengan orang yang menetap dalam rumah tangga. Kasus inses
yang berkembang sekarang yaitu perbuatan seksual yang dilakukan atas dasar
suka sama suka. Oleh karena itu kejahatan inses belum jelas pengaturannya di
dalam undang-undang no 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga (PKDRT). Di dalam KUHP maupun di luar kuhp mengenai inses
masih belum diatur mengenai perbuatan inses yang dilakukan atas dasar suka
sama suka dan belum diatur mengenai inses yang dilakukan oleh sesama dewasa.
Banyak kelemahan- kelemahan yang ada di dalam KUHP maupun di luar KUHP
mengenai perbuatan inses tersebut. Dilakukannya pembaharuan hukum pidana
bisa dilakukan ditinjau dari berbagai aspek seperti aspek sosiopolitik,
sosiofilosofis, dan sosiokultural atau bisa juga dari berbagai aspek lainnya seperti
kebijakan sosial, kebijakan kriminal serta kebijakan penegakan hukum yang
memiliki arti bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan
perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan
kebijakan yang menjadi landasan pembaharuan38.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
36
Penjelasan Pasal 8 UU No 23 tahun2004
37
pasal 1 uu no 23 tahun 2004)
38
Candra, S. 2013. Pembaharuan Hukum Pidana Konsep Pertanggungjawaban Pidana dalam
Hukum Pidana Nasional yang akan Datang. Jurnal Cita Hukum 1, No.
35
4.1 Pengaturan Hukum Terhadap Inses Dalam Memberikan Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Inses Kedepannya.
36
Dari uraian tersebut di atas terlihat bahwa KUHP masih kurang dalam
memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana inses,
sebab perlindungan dalam kuhp tersebut masih bersifat in abstracto atau
perlindungan tidak langsung. Padahal anak sebagai korban inses sangat
membutuhkan perlindungan secara langsung dan konkret untuk mengatasi
penderitaan yang telah dialaminya.
37
selanjutnya Yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan maupun
pencabulan. Akibatnyaterhadap orang tua yang melakukan tindak pidana
inses baik dengan perkosaan Ataupun pencabulan tidak diberikan
pemberatan, sebab dalam pasal yang terkait Dengan tindak pidana inses
tidak mencantumkan tentang pemberatan.
38
derajat ketiga, Dipidana pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling
lama 12 tahun.
4. “Jika, dilakukan dengan perempuan yang belum berumur 18 tahun dan
belum Kawin maka dipidana pidana penjara paling lama 15 tahun dan
paling singkat 3 Tahun”.
Sehingga dalam Pasal 490 RUU KUHP defenisi inses yang ada mengalami
penyempitan makna sehingga apa yang dimaksud dengan kejahatan inses melalui
Persetubuhan ialah jika hubungan antara korban dan pelaku memiliki hubungan
sedarah dalam garis lurus atau kesamping sampai derajat ketiga.
Kedua, Pasal 490 juga hanya menegaskan bahwa kejahatan inses terjadi jika
ada persetubuhan yang dilakukan terhadap seseorang yang mempunyai
hubungan sedarah dengannya dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat
ketiga. Pengaturan kejahatan inses dalam RUU KUHP masih terlalu sempit.
Pengertian inses yaitu hubungan badan atau hubungan seksual yang terjadi antara
dua Orang yang mempunyai ikatan pertalian darah atau istilah genetiknya in
breeding., maka dalam hal Pasal 490 ini, haruslah dipisahkan besar pertanggung
jawaban pelaku perkosaan harus dibedakan dengan inses yang dilakukan dalam
konteks suka sama suka. Sehingga dalam Pasal 490 RUU KUHP tersebut ada dua
kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yakni pertama adalah kejahatan perkosaan
yang dilakukan kepada orang yang memiliki relasi atau hubungan darah dengan
pelaku. Kedua, adalah perbuatan inses tersebut dilakukan atas dasar suka sama
suka.
Ketiga, rumusan Pasal 490 RUU KUHP menyatakan bahwa jika persetubuhan
dilakukan dengan perempuan yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin
maka dipidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 4 tahun, Rumusan
seperti ini akan memiliki konsekuensi yang penting. Masih tidak jelas apa
pertimbangan dari para perumus.
39
sehingga apa yang dimaksud dengan kejahatan inses melalui pencabulan
hanyalah terbatas dengan anak kandungnya saja atau dengan anak tirinya, anak
angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk
diasuh, dididik atau dijaga, atau dengan pembantu rumah tangganya atau dengan
bawahannya. Berbeda dengan hubungan yang diatur dalam Pasal 490 RUU
KUHP yakni hubungan sedarah dengannya dalam garis lurus atau kesamping
sampai Derajat ketiga. Pasal 497 RUU KUHP juga menyamakan korban yang
berstatus anak dan Orang dewasa, dimana tidak adanya pembedaan pidana bagi
pelaku. Seharusnya bagi korban yang masih berstatus anak perlu pidana
pemberatan bagi pelaku.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
40
A. Kesimpulan
41
b. Dalam hal usia juga tidak harus dibatasi karena melihat banyak nya kasus
yang ada di masyakarat mengenai kejahatan inses yang mana dilakukan
antara orang yang sudah dewasa (di atas 18 tahun) dan sudah kawin.
c. Kejahatan inses yang korbannya berstatus anak dan orang dewasa, harus
adanya pembedaan pidana bagi pelaku. Yang mana bagi korban yang
masih berstatus anak perlu pidana pemberatan bagi pelaku.
B. Saran
1. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap koraban tindak pidana
Inses, diperlukan peran masyarakat khususnya keluarga dalam
memberikan perlindungan terhadap korban, dengan cara tidak menutup-
nutupi jika terjadi tindak pidana Inses, dengan dalih karena merupakan aib
keluarga. Serta dalam hal ini sangat diharapkan aparat penegak hukum
juga turut memberikan perlindungan bukan hanya kepada korban tindak
pidana Inses namun juga kepada keluarga yang mendapat tekanan apabila
pelaku tindak pidana Inses ini di laporkan.
2. Dalam hal ini juga sangat diperlukan peran aparat penegak hukum untuk
melakukan pembaharuan Instrumen peraturan mengenai Inses baik yang
termuat dalam KUHP maupun di luar KUHP. Agar ketika terjadi tindak
pidana Inses kedepannya, dapat memberikan sanksi yang tegas kepada
pelaku serta yang paling penting adalah adanya kepastian hukum yang
jelas terhadap korban tindak pidana Inses kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
42
dengan korban anak, skripsi Universitas Hassanudin, Makassar, hlm 3
Didi Junaedi, Penyimpangan Seksual Yang Dilarang Al-Qur’an:
Menikmati Seks Tidak Harus Menyimpang . Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2016
Dudi Hartono, Psikologi Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan, 2016
43
Wicara: Journal Ilmu Hukum
Sofyan Willis, Problema Remaja dan Pemecahannya. IKAPI, Jakarta,
1994. Hal.27 Waluyo, B. (2011). Viktimologi perlindungan korban &
saksi. Jakarta: Sinar Grafika Wotulo, Fresdy A.. Kedudukan Delik Inses
(Incest) dalam Sistem Hukum PidanaIndonesia.
44