Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“PERBANDINGAN HUKUM PIDANA ANAK ANTARA INDONESIA DAN


AFGHANISTAN”

Disusun Oleh:

SITI NUR HALIZAH


D 101 19 003

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
2i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur alhamdulillah kepada ALLAH SWT yang telah
melimpahkan karunia dan hidayahnya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu,
makalah tentang “PERBANDINGAN HUKUM PIDANA ANAK ANTARA INDONESIA DAN
AFGHANISTAN” dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah. Demikian pula makalah ini
kiranya bermanfaat bagi rekan-rekan.

Semakin pesat-nya perkembangan internet sekarang ini menciptakan hal – hal baru yang
mempermudah kegiatan manusia, salah satu nya adalah “PERBANDINGAN HUKUM PIDANA
ANAK ANTARA INDONESIA DAN AFGHANISTAN” Penulis ingin memberikan gambaran
tentang apa dan bagaimana “PERBANDINGAN HUKUM PIDANA ANAK ANTARA
INDONESIA DAN AFGHANISTAN” itu, untuk itulah makalah ini di buat agar pembaca tidak
awam lagi dengan istilah “PERBANDINGAN HUKUM PIDANA ANAK ANTARA
INDONESIA DAN AFGHANISTAN”. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan
kesalahan dalam penulisan makalah ini, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik, dan
saran yang membangun agar penulis bisa memperbaiki kekurangan dan kesalahan dalam
pembuatan dan penulisan makalah. Semoga makalah bisa berguna dan bermanfaatnya bagi para
pembaca pada umumnya.

Akhir kata penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini, semoga makalah ini berguna dan bermanfaat.

Palu, Mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................................i

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Perumusan Masalah...................................................................................................2
C. Tujuan........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Hukum Pidana Anak.....................................................................................................3


B. Perbandingan Hukum Pidana........................................................................................12

BAB III PENUTUP

A. Hasil dan Kesimpulan…............................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah salah satu aset dalam pembangunan bangsa. dengan ini, perlu ada
perlindungan bagi anak-anak dalam masa tumbuh kembangnya. Sesuai dengan amanat The
Beijing Rules, bahwa anak-anak merupakan bagian integral dari proses pembangunan nasional
masing- masing bangsa (Bunadi, 2014).

Anak yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana sangat besar dipengaruhi oleh
faktor diluar anak tersebut seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Dalam
mewujudkan kesejahteraan dan memberikan jaminan perlindungan terhadap anak baik dalam hal
pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa adanya pembeda-bedaan (discrimination),
maka diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perUndang-Undangan yang menjamin
pelaksanaan dan menjamin hak-hak anak secara khusus (Imam, 2013).

Penyimpangan tingkah laku yang dilakukan oleh anak lebih tepatnya disebut dengan
kenakalan anak. Kenakalan anak yang diambil dari istilah juvenile delinquency, yang juvenile
artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat kas pada masa
muda, sifat khas pada masa remaja; sedangkan delinqunecy artinya wrong doing,
terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal,
pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana,
dursusila, dan lain-lain. Kompleksnya permasalahan yang mengacam perkembangan anak-anak
pada saat sekarang, baik itu masalah dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat
mengakibatkan banyak anakyang terseret kedalam proses hukum, dengan beragam tindakan
pidana yang mereka lakukan, harapan masyarakat akan keadilan terhadap kasus anak yang
berhadapan dengan hukum itu sendiri ternyata tidak memberikan jaminan keadilan dan kebaikan
bagi anak, proses hukum formal yang mereka tempuh memberikan dampak buruk terhadap fisik
dan mental, menjadikan mereka sulit kembali ketengah-tengah masyarakat dan bahkan
kelingkungan keluarga mereka masing-masing. Dimana keluargalah yang seharusnya tumpuan

1
seorang anak, dengan kondisi dan stigma negatif yang meraka dapat setelah berhadapan dengan
hukum seolah-olah tidak ada tempat kembali bagi anak (Wigiati, 2010).

B. Perumusan Masalah
Bagaimana Perbandingan Hukum Pidana Anak di Indonesia dan Afghanistan?

C. Tujuan Penulisan
Untuk Mengetahui Perbandingan Hukum Pidana Anak di Indonesia dan Afghanistan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. HUKUM PIDANA ANAK


1. 1 NEGARA INDONESIA
Pengaturan hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP telah melahirkan sistem
hukum pidana baru yang berbeda dengan sistem hukum pidana dalam KUHP yang
kemudian disebut sebagai sistem ganda hukum pidana nasional Indonesia, yaitu sistem
hukum pidana KUHP dan sistem hukum pidana di luar KUHP. Salah satu sistem hukum
pidana di luar KUHP adalah sistem hukum pidana anak, melalui Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 (UU SPPA) telah terdapat pengaturan yang bersifat materil
maupun formil yang mengesampingkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam KUHP
dan KUHAP. Untuk itu diperlukan berbagai peraturan pelaksana yang dapat
mendukung sistem hukum pidana anak, dan hingga saat ini baru terdapat 1 Peraturan
Pemerintah (PP) dan 1 Peraturan Presiden (Perpres) sebagai pelaksanaan UU SPPA
yaitu PP Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan
Anak Yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun, dan masih tersisa 5 (lima) PP lagi
yang harus dibentuk sebagai peraturan pelaksana UU SPPA (Engel, 2014).

Menurut ((Hutahaean, 2013) Anak dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak
manapun yang bertanggung jawab memiliki hak sebagai berikut;
a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan
kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk
tumbuh dan berkembang dengan wajar.
b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga
negara yang baik dan berguna.
c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun sesudah dilahirkan.

3
d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan
wajar.

Dalam melindungi hak anak, anak juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:

a) Menghormati orang tua, wali, dan guru serta yang lebih tua agar anak
mempunyai budaya tertib, sopan, dan berbudi pekerti yang luhur mampu
menghargai dan menghormati orang yang lebih tua.
b) Menyayangi, mampu memberi kasih sayang dan melindungi adik, teman, dengan
mencintai keluarga dan masyarakat.
c) Menunaikan ibadah sesuai ajaran agama yang dianut atau yang sesuai bimbingan
agama orang tua.
d) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Mengenai teori – teori pemidanaan (dalam banyak literatur hukum disebut dengan
teori hukum pidana/strafrecht theorien) berhubungan langsung dengan pengertian
hukum pidana subjektif tersebut. Teori-teori ini mencari dan menerangkan tentang
dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut, sehingga
ada beberapa macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun yang banyak
itu dapat dikelompokan ke dalam tiga golongan besar yaitu:

1. Teori absolut atau teori pembalasan Menurut teori absolut (absolutetheorieen)


atau teori pembalasan (vergeldingstheorien/ retribution theory), penjatuhan pidana
itu dibenarkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan.
Menurut teori absolut atau teori pembalasan, penderitaan itu harus dibalas pula
dengan penderitaan yang berupa pidana kepada orang yang melakukan kejahatan
itu. Ibarat peribahasa yang menyebutkan darah bersabung darah, nyawa
bersabung nyawa, hutang pati nyaur pati, hutang lara nyaur lara (si pembunuh
harus dibunuh, penganiaya harus dianiaya). Jadi pidana disini tidak dimaksudkan
untuk mencapai suatu maksud yang praktis, seperti memperbaiki si penjahat,
melainkan pidana disini semata-mata hanya untuk memberikan penderitaan

4
kepada orang yang melakukan kejahatan. Pada dasarnya tindakan pembalasan itu
mempunyai dua sudut yaitu:
- Sudut subjektif (subjective vergelding), yang pembalasannya ditujukan
kepada orang yang berbuat salah
- Sudut objektif (objective bergelding), yang pembalasannya ditujukan untuk
memenuhi perasaan balas dendam masyarakat.

Teori absolut atau teori pembalasan ini timbul pada akhir abad ke-18 yang
mempunyai beberapa penganut dengan jalan pikiran masingmasing seperti
Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Sthal, dan Leo Polak.

2. Teori relatif atau teori tujuan Menurut teori relatif (relative theorien) atau teori
tujuan (doel theorien/utilitarian theory), pidana itu bukanlah untuk melakukan
pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan
tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran pidana menurut teori ini terletak
pada tujuan pemidanaan itu sendiri. Mengenai tujuan pidana itu ada beberapa
pendapat, yaitu:
- Tujuan pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang gelisah, karena
akibat dari telah terjadinya suatu kejahatan.
- Tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan, yang dapat dibedakan atas
pencegahan umum (generale preventie) dan pencegahan khusus (speciale
preventie).

Pencegahan umum (generale preventie) didasarkan pada pikiran bahwa pidana itu
dimaksudkan untuk mencegah setiap orang yang akan melakukan kejahatan.
Untuk mencapai maksud atau tujuan tersebut terdapat beberapa cara, yaitu:

- Mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut–nakuti orang–


orang agar tidak melakukan kejahatan. Di antara para sarjana yang
mengemukakan hal tersebut adalah Anslem von Feurbach dengan teorinya
yang disebut dengan von psychologischen zwag, menurut ajaran ini ancaman
pidana dapat menimbulkan paksaan psikologis, sehingga dapat menahan
keinginan setiap orang untuk melakukan kejahatan. Namun Feurbach

5
mengakui juga bahwa dengan ancaman pidana sajalah tidak cukup, tetapi
diperlukan juga penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana.
- Menjatuhkan pidana dan melaksanakan pidana yang dilakukan dengan cara
yang kejam sekali dan dipertontonkan kepada umum, sehingga setiap orang
akan merasa takut untuk melakukan kejahatan. Di antara para sarjana yang
mengemukakan hal tersebut adalah Seneca seorang filosof Rumawi.
- Menyingkirkan si penjahat dari pergaulan masyarakat, adapun caranya ialah
kepada penjahat yang sudah kebal atau sudah tidak menghiraukan ancaman–
ancaman pidana yang berupa menakut–nakuti itu, agar dijatuhi pidana yang
bersifat menyingkirkan dari pergaulan masyarakat, dengan menjatuhkan
pidana penjara seumur hidup ataupun dengan cara yang mutlak yaitu pidana
mati.

Pasal 45 KUHP menyatakan bahwa: “Dalam menuntut orang yang belum cukup umur
(minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur 16 (enam belas) tahun,
hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada
orang tua, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun, atau memerintahkan
supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana apa pun, yaitu jika
perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490,
492, 496, 497, 503, 505, 514, 517-519, 526, 532, 536 dan 540 serta belum lewat 2
(dua) tahun sejak dinyatakan salah karena melakukan kejahatan atau salah satu
pelanggaran tersebut diatas, dan putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana”
(Moeljatno, 2003: 22). Dari ketentuan tersebut berarti seseorang yang umurnya telah
lebih dari enam belas tahun, maka ia dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
pidana yang diberlakukan bagi orang dewasa. Sementara dalam Pasal 47 KUHP
ancaman pidana bagi anak yang belum berumur 16 tahun dapat berupa:

1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap


perbuatan pidananya dikurangi sepertiga.
2) Jika perbuatan merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau
pidana seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.

6
3) Pidana tambahan yang tersebut dalam Pasal 10 sub b, nomor 1 dan 3, tidak dapat
dijatuhkan terhadap anak nakal yang berumur 12 (dua belas) tahun dan melakukan
tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang diancam dengan hukuman mati atau
seumur hidup. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
tidak mengikuti ketentuan pidana pada Pasal 10 KUHP, dan membuat sanksinya
secara tersendiri. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal terdapat
dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ialah:
a. pidana penjara
b. pidana kurungan
c. pidana denda
d. pidana pengawasan

Terhadap anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati, maupun pidana seumur
hidup, akan tetapi pidana penjara bagi anak nakal maksimal sepuluh tahun. Jenis
pidana baru dalam undang– undang ini adalah pidana pengawasan yang tidak
terdapat dalam KUHP. Pidana tambahan bagi anak nakal dapat berupa:
a. perampasan barang tertentu; dan/atau
b. pembayaran ganti rugi.

Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal yang melakukan
tindak pidana sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun
1997, paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana mati
atau penjara seumur hidup, maka bagi anak ancaman pidananya menjadi
maksimal sepuluh tahun. Sedangkan yang belum berumur delapan tahun
walaupun melakukan tindak pidana, belum dapat dijatuhkan ke sidang pengadilan
anak. Ini didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis,
bahwa anak yang belum berumur delapan tahun itu belum dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya. Akan tetapi dalam hal anak itu melakukan
tindak pidana dalam batas umur delapan tahun akan tetapi belum berumur 18

7
tahun maka ia dapat diajukan ke depan sidang pengadilan anak. Khusus mengenai
sanksi terhadap anak dalam undang–undang ini ditentukan berdasarkan perbedaan
umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 sampai 12 tahun hanya
dikenakan tindakan, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur 12
sampai 18 tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial. Dalam Pasal 24
Undang–Undang Nomor 3 Tahun 1997 ditentukan bahwa tindakan yang dapat
dijatuhkan kepada anak nakal ialah:
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi kemasyarakatan yang
bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

Di bawah ini akan dikemukakan beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 3


Tahun 1997 yang berkaitan dengan ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada
anak nakal.
1. Pasal 26
- Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama setengah dari
maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
- Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
- Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang
diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap
anak nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.

8
- Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang
diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap
anak nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24.
2. Pasal 27 Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama setengah
dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.
3. Pasal 28
(1). Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling besar
setengah dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa.
(2). Apabila denda sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak
dapat dibayar, maka diganti dengan wajib latihan kerja.
4. Pasal 30 (1). Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3
(tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. (2). Apabila terhadap anak nakal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, dijatuhkan pidana
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka anak tersebut
ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan Bimbingan Pembimbing
Kemasyarakatan. Dalam Pasal 26, 27 dan 28 di atas terdapat istilah ancaman
pidana maksimum. Dalam konteks hukum pidana ada dua macam ancaman
pidana maksimum, yakni ancaman pidana maksimum umum dan ancaman
pidana maksimum khusus. Maksimum umum disebut dalam Pasal 12 ayat (2)
KUHP, yakni pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek 1 (satu) hari
dan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut – turut. Jadi pidana maksimum
umum adalah maksimum lamanya pidana bagi semua perbuatan pidana.
Adapun maksimum lamanya pidana bagi tiap – tiap perbuatan pidana adalah
maksimum khusus. Misalnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Adapun yang dimaksud
dengan maksimum pidana dalam Pasal 26, 27, dan 28 tersebut di atas adalah
pidana maksimum khusus, yaitu apabila hakim menjatuhkan pidana, maka

9
paling lama setengah dari maksimum pokok pidana terhadap perbuatan
pidananya (dalam hal ini maksimum pidana khusus).

Pemidanaan anak merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) Pemidanaan


ialah upaya untuk menyadarkan terpidana agar menyesali perbuatannya, dan
mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat pada hukum,
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai
kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. Mengingat kekhususan yang
dimiliki anak, baik dari segi rohani dan jasmani, maupun dari segi pertanggungan
jawab pidana atas perilaku dan tindakannya, maka haruslah diusahakan agar
pemidanaan terhadap anak terutama pidana perampasan kemerdekaan merupakan
upaya terakhir (ultimum remedium) bilamana upaya lain tidak berhasil. Undang-
undang tentang perlindungan anak dan undang-undang tentang hak asasi manusia
telah mengatur mengenai konsep ini.

1. 2 NEGARA AFGHANISTAN
Menurut KUHP anak-anak di bawah usia 12 tahun tidak dianggap bertanggung jawab
secara pidana. Namun 5 anak di bawah usia 12 tahun ditemukan di pusat rehabilitasi
remaja. Tidak satu pun dari mereka yang dijatuhi hukuman penahanan dan 4 dari
anak-anak ini telah menghabiskan lebih dari 1 bulan di pusat rehabilitasi remaja.
Penting untuk dicatat bahwa tidak satu pun dari anak-anak di bawah usia
pertanggungjawaban pidana ini ditahan untuk perlindungan mereka sendiri tetapi
ditahan sehubungan dengan kasus perkelahian, perampokan/ pencurian, dan
pembunuhan/penculikan. Banyak remaja yang didakwa dengan jenis kelamin lakilaki
atau perzinahan berusia 13 tahun, dan bahkan dalam satu kasus yang terdaftar dalam
data Kementerian Kehakiman berusia 11 tahun dan oleh karena itu di bawah usia
tanggung jawab pidana. Dalam banyak kasus ini, tampak bahwa remaja menjadi
korban pelecehan dan eksploitasi anak daripada melakukan pelanggaran. Mereka
ditangkap dan ditahan sebagai pelanggar bukannya diberikan perlindungan dan
dukungan yang mereka butuhkan. Usia merupakan faktor penentu yang sangat
penting bagi penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. Seorang remaja

10
dipahami sebagai seseorang yang telah mencapai usia tanggung jawab pidana (12
tahun) tetapi belum mencapai usia dewasa penuh (18 tahun). Seorang anak di bawah
usia 12 tahun tidak dianggap bertanggung jawab secara pidana dan oleh karena itu
tidak dapat dianggap bertentangan dengan hukum. Seorang anak di bawah 12 tahun
dianggap membutuhkan perawatan dan perlindungan dan harus didukung sesuai
dengan itu. Menurut Pasal 39 KUHP, ada pertimbangan khusus untuk anak-anak
seperti bahwa seorang anak yang telah mencapai usia 12 tahun tetapi belum mencapai
16 tahun jika dikenai sanksi, diancam dengan hukuman maksimum sepertiga dari
yang diatur dalam KUHP untuk orang dewasa. Demikian pula, seorang anak yang
telah menyelesaikan 16 tahun tetapi tidak menyelesaikan 18 tahun akan dikenakan
hukuman yang tidak melebihi setengah dari hukuman maksimum yang ditetapkan
untuk orang dewasa. Namun, penentuan usia seringkali sulit dilakukan. Banyak anak
yang tidak mengetahui usia atau tanggal lahirnya dan tidak memiliki KTP. Tidak ada
sistem pencatatan kelahiran yang efektif dan diperkirakan kurang dari 10 persen
kelahiran yang tercatat. Ruang untuk kebingungan ini meningkatkan kemungkinan
terjadinya kesalahan sederhana dan lebih signifikan lagi peluang penyalahgunaan
sistem oleh aparat penegak hukum, penggugat dan tergugat baik memproses anak-
anak sebagai orang dewasa (untuk menghindari komplikasi atau mengamankan
hukuman) atau orang dewasa sebagai anak-anak (untuk mendapatkan keuntungan dari
keringanan hukuman dan perbaikan kondisi di pusat rehabilitasi remaja). Bagi
seorang remaja, salah diidentifikasi sebagai orang dewasa dapat memiliki
konsekuensi yang mengubah hidup. Dalam situasi di mana seorang anak harus
diberikan pertimbangan tentang kedewasaan dan kapasitasnya dan oleh karena itu
perlindungan khusus, jaminan proses hukum, dan dukungan untuk reintegrasi (jika
terbukti bersalah) untuk diproses sebagai orang dewasa menempatkan anak pada
peningkatan risiko pelecehan. (dalam tahanan dengan orang dewasa) dalam sistem
yang tidak mempertimbangkan situasi, usia atau kedewasaan anak (prinsip
proporsionalitas) dan yang sebagian besar didasarkan pada keadilan retributif. Untuk
seorang anak di bawah usia dua belas tahun dan oleh karena itu di bawah usia
tanggung jawab pidana dan berhak atas perawatan dan perlindungan khusus, salah
diidentifikasi sebagai remaja berarti masuk ke dalam sistem peradilan formal remaja

11
(kriminal) ketika dia seharusnya dipersatukan kembali dengan keluarganya atau
didukung ke dalam pengaturan alternatif. Oleh karena itu, penentuan usia yang
realistis sangat penting untuk memastikan bahwa anak-anak dan remaja diidentifikasi
dan diperlakukan dengan tepat. Dalam hal ini, Pasal 6 KUHP mengatur bahwa dalam
hal anak tidak memiliki kartu kewarganegaraan atau penampilan fisik anak
menunjukkan usia yang berbeda dari yang tercantum dalam KTP, pendapat dokter
forensik harus dipertimbangkan. dicari. Jika pendapat dokter forensik atau dokter lain
bertentangan dengan latar belakang kasus dan penampilan fisik anak, masalah
penentuan usia anak harus dirujuk ke tim medis tidak kurang dari tiga dokter. Namun,
proses yang didefinisikan oleh Kode ini bermasalah baik secara praktis maupun
teoretis. Dalam praktiknya, jika seorang anak (sebagai lawan dari orang dewasa)
ditetapkan pada usia yang salah dan ingin menggugat ini, itu mengasumsikan fakta
bahwa anak tersebut memiliki perwakilan hukum dan sumber daya untuk
menentangnya. Selain itu, kisaran usia yang ditentukan oleh pemeriksaan medis
(seperti antara 15 dan 17 tahun atau 11 dan 12 tahun) memberikan ruang untuk
perselisihan dalam situasi dengan konsekuensi kritis (hukuman maksimum untuk
anak berusia 15 tahun adalah sepertiga dari maksimum orang dewasa). hukuman
sementara untuk 16 tahun ini adalah setengahnya, 11 tahun tidak bertanggung jawab
secara pidana sementara 12 tahun). Lebih penting lagi mungkin proses mengabaikan
perbedaan antara usia legal yang kronologis sementara identifikasi medis usia
sebagian besar didasarkan pada kematangan fisik. Usia legal tidak ada hubungannya
dengan kedewasaan fisik, meskipun Juvenile Code menggarisbawahi pentingnya
penampilan fisik dalam mengidentifikasi atau menantang usia yang dilaporkan.
Diakui secara luas bahwa tidak ada pemeriksaan medis khusus untuk menentukan
usia dan bahwa penilaian berdasarkan kepadatan tulang atau perkembangan kemaluan
(pementasan Tanner) tidak tepat jika dilakukan secara terpisah dari penilaian lain.x
Prinsip yang mendasari peradilan anak adalah bahwa anak memerlukan dukungan dan
perlindungan khusus yang mengurangi kematangan fisik, kognitif, moral dan
emosionalnya. Dengan tidak adanya informasi untuk mengidentifikasi usia legal (akta
kewarganegaraan, akta kelahiran, akta sekolah, atau kesaksian lokal), setiap proses

12
penentuan usia harus holistik, dengan mempertimbangkan kematangan kognitif,
moral dan emosional serta perkembangan fisik (UNICEF, 2013).

B. PERBANDINGAN INDONESIA DAN AFGHANISTAN


Menurut (Agung et al., 2018) Indonesia dalam sistem peradilan pidana anak
bahwa terhadap anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi
korban dan anak yang menjadi saksi dalam tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan
hukum adalah anak yang yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun
yang diduga melakukan tindak pidana; Anak yang menjadi korban adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang mengalami penderitaan fisik, mental dan
atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana; Anak yang menjadi saksi adalah
anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan proses hukum mulai tingkat penyidikan, penuntutan dan sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan atau dialami;

Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun
dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas umur 18 tahun tetapi
belum mencapai umur 21 tahun anak tetap diajukan ke sidang anak (Pasal 20 Undang-
Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Selanjutnya
dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak
pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, mengambil keputusan untuk
menyerahkanan kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya dalam program
pendidikan, pembinaan pada instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan
kesejahteraan sosial yang menangani bidang kesejateraan sosial (Pasal 21 Undang
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak jo, Pasal 67
Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Diversi dan
Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun). Kalau dalam perkara
dewasa (usia 18 tahun ke atas) setiap tingkatan pemeriksaan tidak perlu didampingi orang
tua/wali namun dalam perkara anak berhadapan hukum perlu didampingi orang tua/wali.
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana anak yakni Penyidik, Penuntut
Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial. Pekerja Sosial adalah

13
seseorang yang bekerja baik pada lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki
kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang
diperoleh melalui pendidikan, dan atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk
melaksanakan masalah sosial

Penyidikan dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan keputusan


kepala kepolisian atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian RI sedangkan
penuntutan dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan
Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Dalam melakukan
penyelidiikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran-
saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan
kemudian Balai Penelitian Kemasyarakatan wajib menyerahkan hasil penelitian
kemasyarakatan paling lama 3 hari sejak permintaan penyidik.

Menurut (UNICEF, 2013) Di Afghanistan jika seorang anak (sebagai lawan dari
orang dewasa) ditetapkan pada usia yang salah dan ingin menggugat ini, itu
mengasumsikan fakta bahwa anak tersebut memiliki perwakilan hukum dan sumber daya
untuk menentangnya. Selain itu, kisaran usia yang ditentukan oleh pemeriksaan medis
(seperti antara 15 dan 17 tahun atau 11 dan 12 tahun) memberikan ruang untuk
perselisihan dalam situasi dengan konsekuensi kritis (hukuman maksimum untuk anak
berusia 15 tahun adalah sepertiga dari maksimum orang dewasa). hukuman sementara
untuk 16 tahun ini adalah setengahnya, 11 tahun tidak bertanggung jawab secara pidana
sementara). Lebih penting lagi mungkin proses mengabaikan perbedaan antara usia legal
yang kronologis sementara identifikasi medis usia sebagian besar didasarkan pada
kematangan fisik. Usia legal tidak ada hubungannya dengan kedewasaan fisik, meskipun
Juvenile Code menggarisbawahi pentingnya penampilan fisik dalam mengidentifikasi
atau menantang usia yang dilaporkan. Diakui secara luas bahwa tidak ada pemeriksaan
medis khusus untuk menentukan usia dan bahwa penilaian berdasarkan kepadatan tulang
atau perkembangan kemaluan (pementasan Tanner) tidak tepat jika dilakukan secara
terpisah dari penilaian lain.

14
Prinsip yang mendasari peradilan anak adalah bahwa anak memerlukan dukungan
dan perlindungan khusus yang mengurangi kematangan fisik, kognitif, moral dan
emosionalnya. Dengan tidak adanya informasi untuk mengidentifikasi usia legal (akta
kewarganegaraan, akta kelahiran, akta sekolah, atau kesaksian lokal), setiap proses
penentuan usia harus holistik, dengan mempertimbangkan kematangan kognitif, moral
dan emosional serta perkembangan fisik. Perampasan kebebasan harus dilakukan dalam
kondisi dan keadaan yang menjamin penghormatan terhadap hak asasi anak Aturan.
Selama dalam tahanan, anak-anak harus menerima perawatan, perlindungan dan semua
bantuan individu yang diperlukan - sosial, pendidikan, kejuruan, psikologis, medis dan
fisik - yang mungkin mereka perlukan mengingat usia, jenis kelamin dan kepribadian
mereka, Peraturan Beijing 13.5. Anak-anak yang ditahan di bawah penangkapan atau
menunggu persidangan dianggap tidak bersalah dan harus diperlakukan seperti itu
Aturan. Semua personel harus memastikan perlindungan penuh atas kesehatan fisik dan
mental remaja, termasuk perlindungan dari pelecehan dan eksploitasi fisik, seksual dan
emosional, dan harus mengambil tindakan segera untuk mendapatkan perhatian medis
bila diperlukan Aturan. Penahanan anak-anak hanya boleh dilakukan dalam kondisi yang
memperhitungkan sepenuhnya kebutuhan khusus mereka, status dan persyaratan khusus
sesuai dengan usia, kepribadian, jenis kelamin dan jenis pelanggaran, serta kesehatan
mental dan fisik, dan yang menjamin perlindungan mereka dari pengaruh berbahaya dan
situasi risiko. Kriteria utama untuk pemisahan berbagai kategori remaja yang dirampas
kebebasannya haruslah penyediaan jenis pengasuhan yang paling sesuai dengan
kebutuhan khusus individu yang bersangkutan dan perlindungan integritas dan
kesejahteraan fisik, mental dan moral mereka.

Di semua fasilitas penahanan, remaja harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali
mereka adalah anggota keluarga yang sama. Setiap anak harus menerima perawatan
medis yang memadai. Anak-anak harus menerima dan menyimpan bahan-bahan untuk
waktu senggang dan rekreasi mereka yang sesuai dengan kepentingan administrasi
peradilan.

15
BAB III

PENUTUP

A. HASIL DAN KESIMPILAN

Berdasarkan uraian tersebut terlihat jelas bahwa di Indonesia penanganan anak


berhadapan hukum berbeda dengan penanganan terhadap orang dewasa yang berhadapan
hukum, dalam sistem peradilan pidana anak sangat mengutamakan penanganan perkara anak
mengedepankan keadilan restoratif hal ini juga terjadi di Afghanistan yang masih
mementingkan hak anak dan peradilan anak untuk hukum pidana anak.

16
DAFTAR PUSTAKA

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (Bandung; PT. Alumni, 2014), hlm. 3

Agung, A., Ari, G., Agung, A., Oka, G., Kekhususan, P., Pidana, H., Hukum, F., & Udayana, U.
(2018). Pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana ditinjau dari restorative
justice. 35, 1–5.

Engel. (2014). Sistem hukum pidana anak. Paper Knowledge . Toward a Media History of
Documents.

Hutahaean, B. (2013). Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak. Jurnal
Yudisial, 6(1), 64–79.

Imam Jauhari, “Perbandingan Sistem Hukum Perlindungan Anak anatara Indonesia dan
Malaysia”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol.47. No. 2, Fakultas Hukum Universitas
Syiah Kuala, 2013. Hlm. 620-621.

UNICEF. (2013). KEADILAN UNTUK ANAK Situasi anak-anak yang berkonflik dengan hukum
di Afghanistan.

Wigiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT. Refika Aditma, 2010), hlm. 11.

17
18

Anda mungkin juga menyukai