Anda di halaman 1dari 50

PROPOSAL PENULISAN SKRIPSI

TEMA : HUKUM PIDANA


JUDUL:PENERAPAN ASAS RESTORATIVE JUSTICE DALAM
TINDAK PIDANA TERHADAP ANAK YANG
BERHADAPAN DENGAN HUKUM DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS DI
PENGADILAN NEGERI TANGERANG KELAS 1A
KHUSUS)

Diajukan oleh :

Nama :
Nim :
Program Peminatan Professi :

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA, 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT, karena hanya atas
limpahan Rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Selanjutnya
shalawat beriring salam penulis ucapkan kepada nabi besar Muhammad SAW sebagai
pengemban risalah Islam, dengan mewariskan ilmu kepada umatnya yang telah tersebar di
seluruh pelosok dunia.
Tulisan ini disusun dalam rangka melengkapi proposal penulisanskripsi untuk
mendapatkan gelar Sarjana Hukum dengan judul tulisan “PENERAPAN RESTORATIVE
JUSTICE DALAM TINDAK PIDANA TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN
DENGAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK “studi kasus di
pengadilan negeri tangerang kelas 1a khusus”.
Di dalam penulisan ini mulai dari awal sampai akhir, penulis menyadari banyak
pihak-pihak yang turut memberikan bantuan, motivasi, semangat, saran, ide bahkan fasilitas
moril dan materil, dan rasanya penulis tidak mampu untuk membalas jasa mereka semua,
semoga Allah SWT senantiasa berkenan melimpahkan rahmat dan menjadi amal shaleh
disisi-Nya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih banyak teristimewa untuk kedua
orang tua saya. Tiada kata yang tepat ku ungkapkan atas semua yang telah beliau berikan
kepadaku. Dengan cucuran keringat dan air mata engkau tumpahkan, serta tidak kenal waktu
untuk mendorongku dalam mewujudkan cita-citaku. Berikan aku waktu untuk membalas
semua yang telah diberikan kepadaku, akan aku persembahkan. Selain itu penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

ii
iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1


B. Perumusan Masalah......................................................................................9
C. Tujuan Penelitian..........................................................................................9
D. Manfaat Penelitian........................................................................................9
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual.............................................................11
F. Metode Penelitian....................................................................................... 17

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana................................................... 23


1. Pengertian Tindak Pidana....................................................................23
2. Pengertian Korban dan Pelaku Tindak Pidana.....................................26
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana.................................................................27
B. Tinjauan Umum Tentang Anak..................................................................29
1. Pengertian Anak dan Anak Nakal........................................................29
2. Hak dan Kewajiban Anak....................................................................32
C. Tinjauan Umum Tentang Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak.............35
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak...........................................35
2. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak.................................................37
D. Tinjauan Umum Tentang Konsep Restorative Justice...............................40
1. Pengertian Restorative Justice.............................................................40
2. Prinsip-Prinsip Umum Pendekatan Restorative Justice.......................41

iv
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................42

v
BABI
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa dan

negara. Anak selain sebagai karunia terbesar, juga merupakan sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, yang sejak dalam

kandungan sampai dilahirkan mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta

mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan

negara. Oleh karena itu tidak ada suatu pihak yang dapat merebut hak hidup

dan merdeka tersebut.Hak atas hidup dan hak merdeka tidak dapat dihilangkan

ataupun dilenyapkan begitu saja, tetapi kita harus dilindungi dan diperluas hak

atas hidup dan hak merdeka tersebut.

Hak asasi anak dalam Undang-Undang Dasar dilindungi di dalam pasal

28B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “setiap anak berhak atas perlindungan

hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi.”1 selain itu, negara juga menjamin hak-hak anak terpenuhi

melalui Peraturan Perundang-undangan yang melindungi anak. Indonesia telah

meratifikasi Konfensi Internasional tentang Hak-Hak Anak (Convention on

the Right of the Child) dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36

Tahun 1990, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan

1)
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28B tentang hak asasi anak

1
Anak, Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

Ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak dimata hukum positif

Indonesia (ius constitutum/ius operatum) lazim diartikan sebagai orang yang

belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang di bawah umur

atau keadaan di bawah umur (minderjarigheid/inferiority) atau kerap juga

disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (miderjarig

ondervoordij). Pada umumnya, pembatasan umur anak tersebut relatif identik

dengan batas usia pertanggungjawaban pidana (criminal liability/criminal

responsibility) seorang anak yang dapat diajukan ke depan persidangan

peradilan pidana anak. Artinya, batas umur tersebut sebagai batas usia

minimal dikategorikan sebagai anak. Akan tetapi, hal ini bukan berarti sebagai

batas usiapertanggungjawaban pidana (criminal liability/criminal

responsibility) seorang anak untuk dapat dilakukan proses peradilan dan

penahanan.2

Anak juga merupakan manusia biasa dimana mereka juga dapat

melakukan perbuatan, dan perbuatan tersebut ada kalanya melanggar

ketentuan hukum yang berlaku dalam negara, terutama jika perbuatan yang

dilakukan tersebut melanggar ketertiban umum dimana perbuatan tersebut

diancam dengan ketentuan pidana. Maka, ketentuan hukum akan membawa

mereka ke Sistem Peradilan Pidana.Anak-anak yang begitu polos akan suatu

2)
Lilik Mulyadi. Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia. (Bandung: PT. Alumni,
2014), hlm. 2.

2
hukum yang berlaku dalam suatu negara membuat mereka kadang-kalanya

gampang terseret dan masuk ke dalam Sistem Peradilan Pidana. Selain itu pula

ada banyak dari mereka yang masuk kedalam proses peradilan pidana, karena

mereka merupakan alat yang digunakan para manusia dewasa dalam

memperlancar kejahatan mereka.

Di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berhadapan

dengan hukum (ABH) adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak

sebagai korban, dan anak sebagai saksi. Anak yang berhadapan dengan hukum

yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)

tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan

tindak pidana3.

Anak sebagai korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)

tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, danatau kerugian ekonomi

yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak sebagai saksi adalah anak yang

belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan

guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, danatau

dialaminya sendiri. Hakikatnya, ruang lingkup pengaturan anak, anak saksi,

dan anak korban dalam Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan

proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai

tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani

pidana. Dimensi utama dan substansial disahkannya Undang - Undang Sistem

3)
M. Nasir Jamil. Anak Bukan untuk Dihukum. (Jakarta : Sinar Grafika), 2013 hlm 3.

3
Peradilan Pidana Anak oleh pembentuk Undang-undang adalah untuk menjaga

harkat dan martabat anak, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus,

terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan.Dengan demikian,

diharapkan kepada penegak hukum yang menangani perkara anak, mulai dari

tingkat penyidikan sampai tingkat persidangan, untuk mendalami masalah

Anak.Agar nantinya anak, setelah perkaranya diputus, anak tersebut baik

secara fisik dan mental siap menghadapi masa depannya secara lebih baik.4

Seiring dengan perkembangan zaman dan dengan mendasarkan pada

kovenan Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia

melalui Keputusan Presiden R.I Nomor 36 tahun 1990 tentang Konvensi

Anak. Berdasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak kemudian muncullah

istilah “Restorative Justice” (RJ) yang merupakan hal baru dan akhir-akhir ini

dikenal dalam sistem peradilan pidana Indonesia khususnya dalam

penanganan anak yang berkonflik dengan hukum atau yang biasa diistilahkan

dengan ABH.

Restorative Justice merupakan salah satu cara (alternatif) penyelesaian

perkara pidana anak di luar jalur konvensional (peradilan). Dengan adanya

Restorative Justice, maka penyelesaian perkara pidana anak yang berkonflik

dengan hukum tidak harus melalui jalur peradilan. Dalam perkembangannya

kemudian disusun RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, yang didalamnya

menyebutkan mengenai istilah keadilan restoratif yang diartikan sebagai suatu

penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka

dan pihak lain yang terkait secara bersama sama mencari penyelesaian

terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan

pemulihan

4
4)
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm 23.

5
kembali pada keadaan semula bukan pembalasan. Kasus tindak pidana yang

dilakukan oleh anak yang terjadi di Indonesia terdiri dari berbagai macam

tindak pidana, diantaranya yaitu; kasus pencurian, penganiayaan, kekerasan,

pemerasan disertai dengan pengancaman, penggelapan, narkoba dan yang

paling memprihatinkan adalah kasus dimana seorang anak dapat melakukan

tindakan pencabulan dan pembunuhan. Semua anak yang berkonflik dengan

hukum tersebut bernasib sama yaitu di penjara.

Kasus-kasus tersebut dapat memberikan gambaran masih banyaknya

jumlah anak bermasalah dengan hukum yang harus menjalani proses peradilan

pidana. Pada usia yang masih sangat muda, anak-anak tersebut harus

mengalami proses hukum atas perkara pidana yang demikian panjang dan

melelahkan, mulai dari tahap penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa,

persidangan yang dilakukan di pengadilan oleh hakim dan pelaksanaan

putusan hakim. Mulai dari tahap penyidikan, aparat hukum telah diberi

kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penahanan. Situasi

penahanan memberikan beban mental, ditambah lagi tekanan psikologis yang

harus dihadapi mereka yang duduk dipersidangan sebagai pesakitan. Proses

penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana

formal dengan memasukkan anak dalam penjara ternyata tidak berhasil

menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang

proses tumbuh kembang anak tersebut, penjara justru sering kali membuat

anak semakin pintar dalam melakukan tindak kejahatan.

6
Dewasa ini, jumlah kasus tindak pidana di tengah masyarakat semakin

meningkat. Perbuatan tindak pidana tersebut tidak hanya dilakukan oleh pelaku

dewasa, tapi juga terdapat beberapa kasus dimana perbuatan tersebut dilakukan

oleh anak yang menurut Undang-undang masih tergolong dibawah

umur.Begitu banyaknya anak-anak yang berhadapan dengan hukum menurut

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait aparat hukum itu sendiri.

Saat ini, menjadi perhatian KPAI adalah jumlah anak yang berhadapan dengan

hukum dalam lima tahun terakhir mencapai 6.000 orang setiap tahunnya.

Setiap tahun ada 6.000 anak dengan 3.800 anak berakhir di Lembaga

Permasyarakatan (LAPAS) anak. Sisanya ada di Lapas orang dewasa, di

tahanan Kepolisian, dan tempat-tempat lain yang tidak layak untuk anak.5 Hal

ini diakibatkan banyaknya putusan pidana terhadap terpidana anak bermuara

kepada putusan pidana penjara. Salah satu contoh kasusnya yaitu kasus tindak

pidana penganiayaan oleh anak dibawah umur atas nama Muhammad Yoga

Fadillah yang diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Tangerang, nomor

perkara 54/Pid.Sus.Anak/2020/PN Tng dengan dijatuhi hukuman pidana

penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan, hal lain juga dengan nomor

perkara 53/Pid.Sus.Anak/2020/PN Tng dengan dijatuhi hukuman pidana

penjara selama 1 (satu) tahun 2 (enam) bulan. Hal ini dapat membuktikan

bahwa masih terdapat pemidanaan anak yang dilakukan oleh peradilan yang

Pendapat Hadi Sopeno seperti dikutip Jaleswari Pramodhawardani dalam artikelnya, 2009,
5)

“Perlindungan Hukum Anak”, Jakarta, edisi 706

7
menjatuhkan hukuman kepada anak tidak melalui proses restorative justice,

dan dengan menjatuhi hukuman terhadap anak akan membawa dampak

negatif yang berkepanjangan. Kecenderungan hakim dalam menjatuhkan

pidana penjara kepada anak juga mengindikasikan bahwa hakim mengabaikan

realita bahwa anak bukan saja sebagai pelaku tindak pidana tetapi juga

korban.

Hal ini juga berlaku tentang pertanggungjawaban pidana bagi anak, tidak

hanya mempertimbangkan keadaan kejiwaan, namun juga keadaan fisiknya.

Anak belum mempunyai cukup kematangan psikis untuk mempertimbangkan

keadaan dan konsekuensi dari perbuatannya sehingga segi fisik anak belum

kuat melakukan pekerjaaan karena fisiknya masih lemah sehingga tidak tepat

bila harus dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya.

Kriteria kesalahan tersebut harus menjadi dasar pertimbangan hakim dalam

menyelesaikan perkara pidana khususnya dalam perkara tindak pidana anak.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji

dan meneliti lebih lanjut mengenai bagaimanakah pelaksanaan restorative

justice dalam Sistem Peradilan Anak, maka timbullah keinginan untuk

mencoba menguraikan permasalahan ini dalam skripsi yang berjudul

“penerapan Asas Restorative Justice dalam Tindak Pidana terhadap Anak

yang Berhadapan dengan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Tanggerang Kelas 1A Khusus)”.

8
B. Rumusan Masalah

Dari uraian yang telah diuraikan diatas maka timbullah permasalahan yakni

sebagai berikut:

A. Bagaimanakah penerapan asas restorative justice dalam tindak pidana

terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan

pidana anak di Pengadilan Negeri Tangerang Kelas 1A Khusus ?

B. Apasaja kendala-kendala penerapan asas restorative justice dalam tindak

pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem

peradilan pidana anak di Pengadilan Negeri Tangerang Kelas 1A Khusus ?

C. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui penerapan asas restorative justice terhadap anak yang

berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana di Pengadilan

Negeri Tangerang Kelas 1A Khusus.

b. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam proses penerapan asas

restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak tahun 2015 di

Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

D. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis

Untuk memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi

perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta menambah kontribusi

9
pemikiran tentang pelaksanaan asas restorative justice pada proses

peradilan terhadap anak.

b. Secara praktis

1) Sebagai pedoman dan masukan bagi aparat penegak hukum dalam

menentukan langkah-langkah dan kebijakan dalam melaksanakan asas

restorative justice pada Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.

2) Sebagai informasi bagi masyarakat terhadap jalannya proses

Diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak.

E. Kerangka Konseptual
1. Anak, Anak Korban Dan Anak Saksi
Anak adalah telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18

(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Kemudian,

Anak Korban diartikan sebagai anak yang belum berumur 18 (delapan

belas) tahun yang mengalami kekerasan fisik, mental, dan atau kerugian

ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Berikutnya, Anak Saksi

adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat

member keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang

didengar, dilihat, dan atau dialaminya sendiri.6

2. Penyidik Anak
Penyidik anak adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau

pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia in casu adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil.7

6)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat (1)
7)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 Ke-5.

10
3. Jaksa atau Penuntut Umum Anak

Jaksa/Penuntut Umum Anak adalah yang ditetapkan berdasarkan

Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.8

4. Advokat atau Pemberi Bantuan Hukum Lainnya

Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya adalah orang berprofesi

memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan, yang

memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan (Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana

Anak, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang

Advokat).9

5. Hakim Anak

Dari perspektif Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, hakim

Anak memeriksa dan memutus perkara Anak dengan hakim tunggal,

namun Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara

anak yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau

sulit pembuktiannya dilakukan dengan hakim majelis.10

6. Petugas Kemasyarakatan

1. Pembimbing Kemasyarakatan

Pembimbing kemasyarakatan adalah fungsional penegak hukum yang

melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan,

dan pendampingan terhadap Anak didalam dan diluar proses peradilan

pidana.

8)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Ibid, Pasal 1 Ke-6.
9)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Ibid, Pasal 1 Ke-13.
10)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Ibid, Pasal 1 Ke-7.
11
2. Pekerja Sosial Profesional
Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di

lembaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan

profesi pekerja sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang

diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan atau pengalaman praktik

pekerja sosial untuk melaksanak tugas pelayanan dan penanganan

masalah sosial Anak.

3. Tenaga Kesejahteraan Sosial


Tenaga kesejahteraan Sosial adalah seseorang dididik dan dilatih secara

professional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan

masalah sosial dan atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga

pemerintah maupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya dibidang

kesejahteraan sosial Anak.11

7. Organisasi Sosial Kemasyarakatan

1. Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)


Lembaga Pembinaan Khusus Anak adalah lembaga atau tempat Anak

menjalani masa pidana penjara hingga usia anak mencapai umur 18

(delapan belas) tahun.

2. Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS)


Lembaga Penempatan Anak Sementara adalah tempat sementara bagi

Anak selama proses peradilan berlangsung, selama Anak ditahan,

kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi.

12
11
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Ibid, Pasal 1 Ke-11.

13
3. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS)
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah lembaga atau

tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan

kesejahteraan sosial bagi Anak baik Anak pelaku, Anak korban, dan

Anak saksi.

4. Balai Pemasyarakatan (Bapas)


Balai Pemasyarakatan adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang

melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan,

pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan.12

F. Kerangka Teoritis

a) Teori Asosiasi Diferensial / Differential Association

Menurut Edwin H. Sutherland mengartikan Differential Association

sebagai ”the contents of patterns presented in association”. Ini tidak

berarti bahwa hanya pergaulan dengan penjahat yang akan

menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting adalah isi

dari proses komunikasi dari orang lain. Kemudian, pada tahun 1947

Edwin H. Sutherland menyajikan versi kedua dari teori Differential

Association yang menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari,

tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya,

pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui sesuatu

pergaulan yang akrab.

12
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Ibid, Pasal 1 Ke-12.

14
b) Teori Kontrol Sosial

Menurut Albert J. Reiss, Jr. ada tiga komponen kontrol sosial

dalam menjelaskan kenakalan remaja, yaitu:

1. A lack of proper internal controls developed during childhood

(kurangnya control internal yang memadai selama masa Anak-

anak).

2. A breakdown of those internal controls (hilangnya control internal).

3. An absence of or conflict in social rules provided by important

social group (the family, close other, the school) (tidak adanya

norma-norma dimaksud dikeluarga, lingkungan dekat, sekolah).

Selanjutnya, Albert J. Reiss, Jr. membedakan dua macam control, yaitu

personal control dan social control. Personal control adalah

kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak mencapai

kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di

masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok

sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma-norma

atau peraturan menjadi efektif.

c) Teori Labeling

Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori label menekankan

kepada kedua aspek, yaitu menjelaskan tentang mengapa

15
dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label dan

pengaruh/efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan

tingkah laku.

d) Teori Sub Culture


Menurut Robert K. Merton dan Solomon Kobrin yang

melakukan pengujian terhadap hubungan antara gang jalanan dengan

laki-laki yang berasal dari komunitas kelas bawah (lower class). Hasil

pengujiannya menunjukkan bahwa ada ikatan antara hierarki politis

dan kejahatan terorganisir.Karena ikatan tersebut begitu kuat sehingga

Kobrin mengacu kepada “Kelompok Pengontrol Tunggal” (single

controlling group) yang melahirkan konsep komunitas integrasi.

G. Metode Penelitian
Agar penelitian lebih terarah dan mencapai tujuan dengan jelas maka

diperlukan metode penelitian untuk memecahkan suatu permasalahan. Dalam

hal ini, metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

(1) Pendekatan Masalah

Dalam melakukan penelitian ini, pendekatan masalah yang

dilakukan melalui pendekatan yuridis sosiologis disebabkan penelitian

berusaha melihat bagaimana suatu ketentuan hukum diterapkan,

sedangkan penelitian hukum sosiologis adalah merupakan penelitian

lapangan yaitu penelitian yang didasarkan pada data primer atau data

dasar.Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat

sebagai sumber pertama.13

13
Soejono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.21.
16
17
(2) Jenis Data

Untuk melaksanakan metode tersebut, data diperoleh melalui data

primer dan data sekunder. Jenis data ini dibedakan antara lain:

a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan

guna memperoleh data yang berhubungan dengan permasalahan

yang di teliti, dilakukan melalui wawancara dengan Hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari atau berasal dari bahan

kepustakaan, dan digunakan untuk melengkapi data primer..Dalam

penelitian ini data akan diperoleh melalui penelitian kepustakaan

terhadap:

1) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai

otoritas (autoritatif), seperti:

1. Undang-Undang Dasar 1945.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.

5. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti berbagai literatur, buku-

buku, makalah, seminar, penelitian sebelumnya yang berkaitan

dengan permasalahan yang diangkat, artikel atau tulisan yang

terdapat dalam media massa atau internet.


18
3) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder yang terdiri atas:

1. Kamus Hukum.

2. Kamus Bahasa Indonesia.14

(3) Sumber Data

a. Data Lapangan

Data lapangan ini diperoleh melalui penelitian lapangan di

Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jl. Laksamana R. E. Martadinata

No. 4, Ancol Selatan.

b. Data Sekunder

Sekunder tersebut merupakan bahan-bahan yang didapatkan melalui

penelusuran kepustakaan:

1. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang.

2. Perpustakaan Universitas Andalas.

3. Perpustakaan Daerah Sumatara Barat.

4. Perpustakaan milik pribadi..

Di samping itu juga bahan-bahan yang terdapat dalam multimedia lainnya,

seperti internet.

14)
Zainudin Ali. Metode Penelitian Hukum. ( JakartaL Sinar Grafika),2009. hlm 47.

19
4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan di

peroleh dengan cara berikut:

a. Wawancara yaitu metode pengumpulan data dengan melakukan

tanya jawab secara lisan antara pewawanacara dengan responden

atau narasumber. Tipe wawancara yang dilakukan adalah wawancara

semi terstruktur, artinya membuat daftar pertanyaan, digunakan pula

pertanyaan-pertanyaan yang mungkin berkembang dari induk


15
pertanyaan, namun masih berhubungan dengan objek penelitian.

Wawancara yang akan dilakukan kepada pihak-pihak yang terkait

dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu pihak Pengadilan

Negeri Jakarta Utara.

b. Studi dokumen yaitu merupakan langkah awal dari setiap penelitian

hukum dilakukan terhadap undang-undang yang terkait, yaitu Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak.

15)
Soejono Soekanto, Op.Cit, hlm 21

18
5. Pengolahan dan Analis Data

a. Pengolahan Data

Dari data yang diperoleh, kemudian dilakukan pengolahan data

dengan cara: Editing, menyeleksi dan mengedit data yang erat

kaitannya dengan pemecahan masalah yang telah dirumuskan.16

b. Analisis Data

Setelah semua data yang telah diperoleh dari penelitian terkumpul,

baik dari penelitian pustaka maupun penelitian lapangan, maka data

tersebut akan diolah dengan menggunakan analisa kualitatif, yaitu

dengan menguraikan data dalam bentuk kalimat-kalimat yang

teratur, logis dan efektif dalam bentuk skripsi.17

16)
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 73.
17)
Bambang Waluyo, Ibid, hlm 78.

19
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari bahasa belanda yaitu straafbaar feit.

Straafbaar feit berasal dari 2 bentuk kata yaitu straafbarr dan feit. Straaf berarti

dapat dihukum dan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari

kenyataan, sehingga secara harfiah perkataan straafbaar feit berarti sebagian

dari kenyataan yang dapat dihukum.18

a. Simons

Simons berpendapat bahwa straafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar

hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja

oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan dan oleh undang-undang

telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

Kemudian menurut Evi Hartanti alasan Simons mengapa straafbaarfeit harus

dirumuskan seperti di atas karena:

1. Untuk adanya suatu straafbaarfeit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu

tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang

dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah

dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;

18
Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi, Ed kedua, Sinar Grafika, Semarang,2005 hlm 5.

20
2. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus

memenuhi semua unsure dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-

undang;

3. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau

kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan

melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.

b. Pompe

Pompe mengatakan bahwa straafbaarfeith secara teoritis dapat

dirumuskan sebagai pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum

yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,

dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi

terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

c. E. Utrecht

Menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang

sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu Handelen atau doen-positif

atau suatu melalaikan nalaten-negatif maupun akibatnya (keadaan yang

ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan

suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang

membawa akibat yang diatur oleh hukum. Tindakan semua unsur yang

disingung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari suatu

peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak

suatu tindak pidana. Yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum

21
(unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan

adanya seorang pembuat dalam arti kata bartanggung jawab.

d. Prof. Moeljatno S.H

Menurut Prof. Moeljatno, SH perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau

sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana

disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa

melanggar larangan tersebut. Istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan

sebagai berikut :19

1. Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu

suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),

artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman

pidananya itu ditujukan pada orangnya.

2. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman

pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh

karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang

ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang

menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula. Untuk menyatakan

adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah

perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua

keadaan konkret, yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan); dan

kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.

2. Pengertian Korban dan Pelaku Tindak Pidana

Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. (JakartaRajaGrafindo Persada). 2010


19

Hlm. 71

22
Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli Abdussalam,

bahwa korban tindak pidana adalah “orang yang telah mendapat penderitaan

fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati

atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak

pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat

penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak

pidana.

Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan oleh para ahli maupun

sumber sumber lain antara lain sebagai berikut:

a) Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai

akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri

sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi

pihak yang dirugikan.

b) Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara

Perlindungan terhadap Korban dan saksi dalam pelanggaran Hak Asasi

Manusia yang Berat, korban adalah orang perseorangan atau kelompok

orang yang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak

asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental

dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan pihak manapun.

c) Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban, korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan

fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu

tindak pidana.

23
Pelaku tindak pidana adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang

memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggungjawab atas

kejahatan. Kedudukan pelaku (pleger) dalam Pasal 55 KUHP, janggal karena

pelaku bertangggungjawab atas perbuatannya (pelaku tunggal) dapat dipahami:

a. Pasal 55 menyebut siapa-siapa yang disebut sebagai pembuat, jadi pleger

masuk didalamnya.

b. Mereka yang bertanggung jawab adalah yang berkedudukan sebagai

pembuat.

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

a. Unsur Subjektif

1. Kesengajaan atau kealpaan (dolus atau Culpa)

Kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari

kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat

terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa).

Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila adanya

kesenggajaan daripada dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan

tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana,

yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan

seperti misalnya penggelapan (Pasal 372 KUHP). Merusak barang-barang (Pasal

406 KUHP) dan lain sebagainya. Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah

salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah

derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan

itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan,

24
sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat

memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah satu kesukaran untuk

membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan

berat (culpa lata).

2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti

yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya

di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan

lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak

pidana menurut Pasal 308 KUHP.

b. Unsur Objektif

1. Sifat melawan hukum

2. Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil melakukan

kejahatan yang diatur dalam pasal 415 KUHP

3. Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab

dengan kenyataan sebagai akibat.20

B. Tinjauan Umum Tentang Anak

1. Pengertian Anak dan Anak Nakal

20
Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi Edisi Ke Dua, Jakarta, sinar grafika. 2008. Hlm .7

25
Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga karena

dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus

dijunjung tinggi. Anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita

bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan

berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan

dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan21.

Pengertian anak secara khusus dapat diartikan menurut Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak Pasal 1 ayat (1), bahwa

dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak sebagai generasi

penerus dan pengelola masa depan bangsa perlu dipersiapkan sejak dini melalui

pemenuhan hak-haknya yakni hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan

berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pengertian anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan adalah

sebagai berikut :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pengertian kedudukan anak dalam hukum pidana diletakkan dalam

pengertian seorang anak yang belum dewasa, sebagai orang yang mempunyai

hak-hak khusus dan perlu mendapatkan perlindungan menurut ketentuan hukum

yang berlaku. Pengertian anak dalam hukum pidana menimbulkan aspek hukum

positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk

21
Poerwadarminta WJS, Op.Cit. hlm.11.

26
membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya anak tersebut

berhak atas kesejahteraan yang layak.

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak terdapat dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ngka 1

menyebutkan bahwa “ Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Anak yang menjadi korban tindak pidana anak yang selanjutnya disebut

sebagai anak korban adalah anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun

yang mengalami penderitaan fisik, mental,dan/atau kerugian ekonomi yang

disebabkan oleh tindak pidana.

d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia, terdapat dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 5

menyebutkan “anak adalah setiap manusia yang berusia 18 (delapan belas) tahun

dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal

tersebut adalah demi kepentingannya”.

e. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

kesejahteraan anak terdapat dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2

menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum mencapat usia 21 (dua puluh

satu) tahun dan belum pernah kawin.

27
Pengertian Anak Nakal menurut Pasal I ayat (2) Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana.

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak

baik menurut Undang-Undang maupun menurut peraturan hakim lain yang

hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

2. Hak dan Kewajiban Anak

Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,

dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan

negara. Setiap anak berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan secara fisik

maupun mental dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Menurut Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, hak-hak anak diatur

dalam Pasal 4 sampai Pasal 18, dan pada Pasal 19 telah diatur tentang kewajiban

anak.

Hak-hak anak dalam proses peradilan pidana merupakan suatu hasil

interaksi yang saling terkait dan mempengaruhi dengan yang lainnya. Aspek

mental,fisik,sosial, dan ekonomi merupakan faktor yang harus ikut diperhatikan

dalam pengembangan hak-hak. Untuk mendapatkan suatu keadilan diperlukan

adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Demikian juga halnya dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban bagi anak yang menjadi korban dari tindak pidana

28
perlu mendapatkan bantuan dan perlindungan hukum agar tercapai suatur keadilan

yang diharapkan.22

Pembahasan hak dan kewajiban anak dalam Undang-undang Perlindungan

Anak Nomor 23 tahun 2002 terdapat pada Bab III, dari pasal 4 sampai pasal 19.

Hak anak dalam UU tersebut meliputi :

1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).
2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan (Pasal 5).
3. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam
bimbingan orang tua (Pasal 6).
4. (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut
berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh
orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku ( Pasal 7 ).
5. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).
6. (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat
dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak
yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,
sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan
pendidikan khusus (Pasal 9).
7. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

22
www.alumniuntag2012.blogspot.com, Hak dan kewajiban korban, diakses pada 25 April 2017,
pukul 15.00 WIB.

29
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan
dan kepatutan (Pasal 10).
8. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri
(Pasal 11).
9. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).
10. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana
pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan :
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya (Pasal 13).
11. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman (Pasal 13).
12. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan
itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir (Pasal 14).
13. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
e. Pelibatan dalam peperangan (Pasal 15).
14. (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.

30
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16).
15. (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa;
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang
objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum (Pasal 17).
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17).
16. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).
17. Setiap anak berkewajiban untuk :
a. Menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. (Pasal 19)

C. Tinjauan Umum Tentang Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak

1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak

Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian

perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyelidikan

sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Hal ini diatur

dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Peradilan pidana anak masih dibawah ruang lingkup

31
peradilan umum. Secara intern dilingkungan peradilan umum dapat ditunjuk

hakim yang khusus yang mengadili perkara-perkara pidana anak.

Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah The

Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan dalam sejumlah

institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut

umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak,

dan fasilitas pembinaan anak. Dalam kata sistem peradilan pidana anak, terdapat

istilah “sistem peradilan pidana” dan istilah anak. Kata “anak” dalam frasa

“peradilan pidana anak” mesti dicantumkan karena untuk membedakan dengan

sistem peradilan pidana dewasa.

Peradilan pidana anak melibatkan anak dalam proses hukum sebagai

subyek tindak pidana dengan tidak mengabaikan masa depan anak tersebut, dan

menegakkan wibawa hukum sebagai pengayom, pelindung serta menciptakan

iklim yang tertib untuk memperoleh keadilan. Perlakuan yang harus diterapkan

oleh aparat penegak hukum harus menempatkan anak pada kedudukan khusus

dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak khususnya secara biologis,

psikologis dan sosial anak.

2. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak

Gordon Bazemore menyatakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana

anak (SPPA) berbeda-beda, tergantung pada paradigma sistem peradilan pidana

anak yang dianut. Terdapat tiga paradigma peradilan anak yang terkanal, yakni

paradigma pembinaan individual, paradigma retributif, dan paradigma restoratif.

32
a. Tujuan SPPA dengan Paradigma Pembinaan Individual

Pada tujuan dengan paradigma pembinaan individual yang

dipentingkan adalah penekanan pada permasalahan yang dihadapi pelaku,

bukan pada perbuatan/kerugian yang diakibatkan. Penjatuhan sanksi dalam

sistem peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan individual,

adalah tidak relevan, insidental dan secara umum tidak layak. Pencapaian

tujuan sanksi ditonjolkan pada indikator hal-hal yang berhubungan dengan

apakah pelaku perlu diidentifikasi. Fokus utama untuk pengidentifikasi

pelaku dan pengembangan pendekatan positif untuk mengoreksi masalah.

Menurut sistem peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan

individual, maka segi perlindungan masyarakat secara langsung bukan

bagian dari fungsi peradilan anak.

b. Tujuan SPPA dengan Paradigma Retributif

Pada tujuan dengan paradigma retributif penjatuhan sanksi tercapai

dilihat dengan kenyataan apakah pelaku telah dijatuhi pidana dan dengan

pemidanaan yang tepat, pasti, setimpal serta adil. Bentuk pemidanaan

berupa penyekapan, pengawasan elektronik, sanksi punitif, denda berupa

uang. Untuk menciptakan perlindungan masyarakat dilakukan dengan

pengawasan sebagai strategi terbaik. Keberhasilan perlindungan

masyarakat dengan dilihat pada keadaan apakah pelaku telah ditahan,

apakah residivis berkurang dengan pencegahan atau penahanan.

33
c. Tujuan SPPA dengan Paradigma Restoratif

Di dalam mencapai tujuan penjatuhan sanksi, maka diikutsertakan

korban untuk berhak aktif terlibat dalam proses peradilan. Indikator

pencapaian tujuan penjatuhan sanksi tercapai dengan dilihat pada apakah

korban telah direstorasi, kepuasan korban, besar ganti rugi, kesadaran

pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan perbaikan yang dibuat,

kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang terjadi. Bentuk-

bentuk sanksi yaitu restitusi, mediasi pelaku korban, pelayanan korban,

restorasi masyarakat, pelayanan langsung pada korban atau denda

restoratif.

Peradilan pidana anak bertujuan memberikan yang paling baik bagi anak,

tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan penegakan keadilan. Peradilan

pidana anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan

perkara anak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Peradilan anak diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik kembali

dan memperbaiki sikap dan perilaku anak, sehingga ia dapat meninggalkan

perilaku buruknya yang selama ini telah dilakukannya. Perlindungan anak yang

diusahakan dengan memberikan bimbingan dan pendidikan dalam rangka

rehabilitas dan resosialisasi menjadi landasan peradilan pidana anak. Mewujudkan

kesejahteraan anak, menegakkan keadilan merupakan tugas pokok badan

peradilan menurut undang-undang.

34
Peradilan tidak hanya mengutamakan penjatuhan pidana saja, melainkan

juga perlindungan bagi masa depan anak, merupakan sasaran yang dicapai oleh

Peradilan Pidana Anak. Filsafat peradilan pidana anak adalah untuk mewujudkan

kesejahteraan anak, sehingga terdapat hubungan yang erat antara Peradilan Pidana

Anak dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Peradilan pidana anak hendaknya memberi pengayoman, bimbingan,

pendidikan melalui putusan yang dijatuhkan. Aspek perlindungan anak dalam

Peradilan Pidana Anak ditinjau dari segi psikologis yang bertujuan agar anak

terhindar dari kekerasan, ketelantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak

senonoh dan kecemasan. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya hukum

yang melandasi, menjadi pedoman dan sarana tercapainya kesejahteraan dan

kepastian hukum guna menjamin perlakuan maupun tindakan yang diambil

terhadap anak.

D. Tinjauan Umum Konsep Restorative Justice

1. Pengertian Restorative Justice

a. Tony Marshall

Menyatakan bahwa restorative justice adalah sebuah proses dimana

semua pihak yang berkepentingan terhadap suatu tindak pidana tertentu

turut terlibat untuk bersama-sama mencari pemecahan dan sekaligus

mencari penyelesaian dalam mengahadapi kejadian setalah timbulnya

tindak pidana tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya dimasa

datang.

35
b. Umbreit

Menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah sebuah tanggapan terhadap

tindak pidana yang berpusatkan pada korban, pelaku tindak pidana,

keluarga-keluarga mereka dan para perwakilan dari masyarakat untuk

menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana.

c. Sarre

Keadilan restoratif adalah berkaitan dengan bagaimana membangun

kembali hubungan setelah terjadi tindak pidana, bukannya membangun

tembok pemisah antara para pelaku tindak pidana dengan masyarakat

mereka yang merupakan hallmark (tanda/karakteristik) dari sistem

peradilan pidana modern.

d. Undang-Undang

Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 6 dijelaskan

bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana

dengan melibatkan, korban, keluarga pelaku/korban, dam pihak lain yang

terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan

menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan

pembalasan.

2. Prinsip-Prinsip Umum Pendekatan Restoratif

Beberapa prinsip-prinsip yang berlaku secara universal yang melekat

dalam konsep pendekatan restoratif dalam menyelesaikan tindak pidana

antara lain :

36
a. Prinsip Penyelesaian yang Adil (Due Process)

Dalam setiap sistem peradilan pidana di seluruh negara, kepada

tersangka selalu diberikan hak untuk mengetahui terlebih dahulu tentang

prosedural-prosedural perlindungan tertentu ketika dihadapkan pada

penuntutan atau penghukuman. Proses peradilan (Due Process) haruslah

dianggap sebagai bentuk perlindungan untuk memberi keseimbangan

bagi kekuasaan negara untuk menahan, menuntut, dan melaksanakan

hukuman dari suatu putusan penghukuman.

Diantara proteksi-proteksi yang diidentifikasi yang telah diterima

secara internasional dan termasuk sebagai gagasan Due Process adalah

hak untuk diduga tak bersalah (presumption of innocence) dan hak untuk

mendapatkan persidangan yang adil (fair) serta hak untuk mendapatkan

bantuan penasihat hukum.

Dalam penyelesaian restoratif batas proses formal selalu diberikan

bagi tersangka setiap saat, baik selama dan setelah restoratif agak hak

tersangka mendapatkan pengadilan yang fair tetap terjaga. Namun

demikian jika tersangka diharuskan untuk melepaskan haknya dan

memilih untuk berpartisipasi dalam sebuah proses restoratif maka kepada

tersangka harus diberi tahu implikasi keputusannya memilih intervensi

restoratif. Sebaliknya bila dalam putusan penyelesaian melalui restoratif

pelaku tidak dapat memenuhi putusan karena dianggap mengurangi hak

atau membebani tersangka terlalu berat maka kepada pelaku diberi

37
perlindungan tambahan, tersangka dapat diperbolehkan untuk melakukan

banding terhadap perjanjian apapun yang dicapai dalam proses restoratif

berdasarkan alasan tidak bersalah.

b. Perlindungan yang setara

Dalam proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan

restoratif keadilan harus timbul dari suatu proses saling memahami akan

makna dan tujuan keadilan itu, tanpa memandang suku, jenis kelamin,

agama, asal bangsa dan kedudukan sosial lainnya.

Terdapat keraguan tentang kemampuan sistem pendekatan restoratif

dalam penyelesaian suatu masalah dan memberikan “rasa keadilan”

diantara para partisipan yang berbeda-beda, karena dapat saja salah satu

pihak mempunyai kelebihan kekuatan ekonomi, intelektual, politik atau

bahkan fisik. Sehingga akan terjadi suatu ketidaksetaraan diantara para

pihak yang berpartisipasi dalam suatu proses restoratif.

Menurut Wright, ada tiga cara untuk mengkompensasi

ketidaksetaraan yang dapat diimplementasikan. Pertama, mediator dapat

mendukung pihak yang lemah dalam proses restoratif. Misalnya,

mediator dapat membantu partisipan yang kurang pandai berbicara

mengungkapkan perasaan, pikiran dan emosi. Kedua, penasihat hukum

dapat memberi nasihat para pihak yang mempunyai daya tawar menawar

lemah untuk tidak menerima suatu perjanjian yang tidak setara atau yang

38
dihasilkan dengan cara yang tidak fair. Ketiga, kasus-kasus tertentu bisa

ditolak.

Maxwell dan Marrison menunjukkan bahwa proses restoratif

mempunyai potensi untuk menjadi lebih responsif terhadap keragaman

kultural dalam memberikan keadilan dibandingkan sistem peradilan

pidana pada umumnya.

c. Hak-Hak Korban

Dalam penyelesaian suatu masalah melalui pendekatan restoratif,

hak-hak korban perlu mendapat perhatian karena korban adalah pihak

yang berkepentingan yang seharusnya mempunyai kedudukan (hukum)

dalam proses penyelesaiannya. Pada sistem peradilan pidana pada

umumnya ditenggarai bahwa korban tidak menerima perlindungan yang

setara dari pemegang wewenang sistem peradilan pidana, sehingga

kepentingan yang hakiki dari korban sering terabaikan dan kalaupun ini

ada hanya sekedar pemenuhan sistem administrasi atau manajemen

peradilan pidana.

Rowland berpendapat bahwa kepentingan-kepentingan korban

sering bersimpangan dengan kepentingan-kepentingan negara. Para

pendukung terhadap konsep perlindungan bagi hak-hak korban juga

berpandangan adalah tidak adil bagi korban bila negara lebih

mengindahkan kebutuhan-kebutuhan material, psikologi, hukum, bagi

pelaku sementara negara tidak memberikan tanggung jawabnya atas

kehidupan yang layak bagi korban.

39
d. Proposionalitas

Gagasan fairness di dalam sistem restoratif didasarkan pada

konsensus persetujuan yang memberikan alternatif dalam menyelesaikan

masalah sedangkan pengertian proporsionalitas adalah berkaitan dengan

lingkup kesamaan sanksi-sanksi penderitaan yang harus dikarenakan pada

pelanggar yang melakukan pelanggaran. Dalam peradilan pidana pada

umumnya, proporsionalitas dianggap telah terpenuhi bila telah memenuhi

suatu perasaan keadilan retributif (keseimbangan timbal balik antara

punish dan reward). Sedangkan dalam pendekatan restoratif dapat

memberlakukan sanksi-sanksi yang tidak sebanding tehadap pelanggar

yang melakukan pelanggaran yang sama. Beberapa korban mungkin hanya

menginnginkan suatu permintaan yang bersahaja, sementara korban

korban lainnya mungkin mengharapkan restorasi penuh dari pelanggar.

e. Praduga Tak Bersalah

Dalam peradilan pidana pada umumnya, negara memiliki beban

pembuktian untuk membuktikan kesalahan tersangka. Sejak dan sampai

beban pembuktian ini dilakukan, tersangka harus dianggap tidak bersalah.

Berbeda halnya dalam proses restoratif, yang mensyaratkan suatu

pengakuan bersalah merupakan syarat dapat dilanjutkannya lingkaran

penyelesaian.

Dalam proses-proses restoratif, hak-hak tersangka mengenai

praduga tak bersalah dapat dikompromikan dengan cara, yaitu tersangka

memiliki hak untuk melakukan terminasi proses restoratif dan menolak

40
proses pengakuan bahwa ia bersalah, dan selanjutnya memilih opsi proses

formal di mana kesalahan harus dibuktikan, atau tersangka dapat

memperoleh hak untuk banding ke pengadilan dan semua perjanjian yang

disepakati dalam proses restoratif dinyatakan tidak mempunyai kekuatan

mengikat.

f. Hak Bantuan Konsultasi atau Penasihat Hukum

Dalam proses restoratif, advokat atau penasihat hukum memiliki

peran yang sangat strategis untuk membangun kemampuan pelanggar

dalam melindungi haknya vis a vis bantuan penasihat hukum. Dalam

semua tahapan proses informal yang restoratif, tersangka dapat diberi

informasi melalui bantuan penasihat hukum mengenai hak dan

kewajibannya yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam

membuat keputusan.

Namun demikian, sekali tersangka memilih untuk berpartisipasi

dalam sebuah proses restoratif, ia seharusnya bertindak dan berbicara atas

namanya sendiri. Posisi-posisi mereka yang mengizinkan pengacara

mewakili partiaipan-partisipan dalam semua titik tahapan selama proses

restoratif, akan menghancurkan banyak manfaat yang diharapkan dari

“perjumpaan”(encounter),seperti komunikasi langsung dan pengungkapan

perasaan dan pembuatan keputusan kolektif proaktif.

41
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adami Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, RajaGrafindo Persada,

Jakarta

Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja


Grafindo, Jakarta
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta

Darwan Prinst, 1997, Hukum Anak Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta

Dwidja Priyatno, 2009, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika


Aditama, Bandung
Emaliana Krisnawati, 2005, Aspek Hukum Perlindungan Anak, CV Utomo, Bandung

Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Ed kedua, Sinar Grafika, Semarang

Irzal Rias, 2009, Bahan Kuliah Delik-Delik Dalam KUHP, Padang: Bagian Pidana
Fakultas Hukum Universitas Andalas
Lilik Mulyadi, 2014, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, PT. Alumni,

Bandung

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak d Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi


dan Restorative Justice, Bandung: PT Refika Aditama
M. Nasir Jamil, 2013, Anak Bukan untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta

Hadi Sopeno , 2009, “Perlindungan Hukum Anak”, Jakarta

42
Soejono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia,

Jakarta,

Sri Widowati Wiratmo Soekito, 1983, Anak dan Wanita dalam Hukum, LP3ES,

Jakarta

Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Sumber Lainnya

www.alumniuntag2012.blogspot.com,

Sofia-psy.staff.ugm.ac.id/files/remaja_dan_permasalahannya.doc

file://PenerapanRestorativeJusticedalamSistemPeradilanPidanaAnakdiIndonesia.html
, Peradilan Pidana Anak di Indonesia

www.kpai.go.id/artikel/menuju-restorative-justice-dalam-sistem-peradilan-anak/

www.hukumonline.com/.../pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-
indonesia

43

Anda mungkin juga menyukai