Disusun Oleh:
NADYA APRILIANI TAUFAN (202074201074)
ALFIAN ARESIL (202074201022)
VIKA DWI ARISMA (202074201024)
RAHMAT PAYAPO (2020742010
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan
dan mencurahkan rahmat, taufik, serta hidayah- Nya, sehingga kelompok kami dapat
menyusun makalah ini hingga selesai yang mana merupakan tugas dari mata kuliah
“Hukum dan HAM” dengan baik serta tepat waktu.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun dari pembaca kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 2
C. Tujuan.................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................
4
A. Tinjauan Umum tentang Childfree................................................... 4
B. Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia.................................. 6
C. Hak Asasi Manusia memandang Childfree di Indonesia................. 8
D. Fenomena Childfree ditinjau berdasarkan Hukum Islam...............
10
E. Perbedaan dan Persamaan dalam Perbandingan Pandangan Hak
Asasi Manusia dan Hukum Islam mengenai Childfree
di Indonesia..........................................................................................
11
BAB III PENUTUP............................................................................................ 12
A. Kesimpulan.......................................................................................... 12
B. Saran.....................................................................................................
12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era perkembangan zaman serta modernisasi seperti sekarang ini, pemikiran
manusia juga turut berkembang pesat. Baik dari segi teknologi, industri, lingkungan
hidup, agama, dan sosial. Dilihat dari bidang humaniora, belakangan ini sempat viral di
jagat media sosial sebuah pemikirandan gerakan yang mengatakan bahwa menikah tidak
harus mempunyai anak, memiliki anak atau tidak adalah hak pasangan tersebut, yang
disebut dengan “childfree”. Hal ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat
Indonesia, karena bertolak belakang dengan kultur, norma dan agama yang berlaku di
masyarakat Indonesia.
Di dalam Oxford Dictionary, pengertian Childfree adalah kondisi dimana sebuah
pasangan suami istri tidak memiliki anak.1 Hal ini merupakan keputusan, pilihan, atau
prinsip masing-masing perorangan atau pasangan untuk tidak memiliki anak setelah
menikah. Pasangan yang memutuskan untuk Childfree tidak berusaha untuk hamil secara
alami ataupun berencana mengadopsi anak, banyak yang masih terkejut dengan
munculnya paham ini. Fenomena Childfree sudah lama mencuat sejak lahir tahun 2000-
an. Bahkan di negara-negara maju pilihan hidup ini semakin populer.
Latar belakang pasangan suami dan istri memilih untuk memutuskan melakukan
Childfree diantaranya yaitu karena kekhawatiran tumbuh kembang anak, masalah
personal, masalah finansial dan bahkan karena isu permasalahan lingkungan. Keputusan
yang diambil dari sebuah pasangan tersebut tentu merupakan keputusan personal kedua
belah pihak, akan tetapi keputusan untuk tidak mempunyai anak tentu memunculkan
stigma negatif di masyarakat. Hal tersebut dikarenakan budaya di masyarakat khususnya
di Indonesia, yang menyatakan bahwa seseorang yang sudah memasuki usia dewasa
dituntut untuk segera menikah dan tujuan menikah tersebut adalah memiliki anak. Tak
heran jika banyak pasangan yang mengalami tekanan baik personal, dari lingkup
keluarga, maupun lingkup masyarakat disekitarnya jika belum dikaruniai anak jika sudah
1
Ananda, “Memahami Istilah Childfree & Penyebab Pasangan Tak Ingin Memiliki Anak", dikuti dari
https://www.gramedia.com/best-seller/istilah-Childfree/. Diakses pada hari Kamis, tanggal 6 April 2023 pukul 19.23
WIT.
menikah cukup lama. Dengan adanya trend Childfree ini masih menjadi pro dan kontra
terutama dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia dan pandangan Hukum Islam
terhadapnya.
Hak Asasi Manusia merupakan kodrat yang melekat dalam diri setiap manusia
sejak ia dilahirkan kedunia. Secara kodrati antara lain manusia mempunyai hak
kebebasan. Rosevelt mengemukakan, bahwa dalam hidup bermasyarakat dan bernegara
manusia memiliki empat kebebasan (The Four Freedoms), yaitu :
Islam sebagai pedoman hidup bagi umat muslim diseluruh alam yang mengatur
segala aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya keberlangsungan umat manusia,
salah satunya melalui jalan pernikahan. Berdasarkan Al Qur'an secara umum tujuan dari
adanya sebuah pernikahan ialah untuk memiliki keturunan Keturunan adalah sebuah
fitrah dalam berumah tangga. Karena itu termasuk ke dalam bagian dari kehidupan
berumah tangga. Banyak ditemukan ayat-ayat Al-Qur’an bahkan Hadits Rasulullah SAW
yang memberikan arahan-arahan untuk menghadirkan tujuan dalam berumah tangga yaitu
guna melahirkan keturunan-keturunan yang terbaik.
Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
menjadi pasangan suami istri yang bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan
membentuk suatu gambaran keluarga ideal yang berisi ayah, ibu, dan anak ketika semua
anggota keluarga dapat berperan dengan baik sebagaimana mestinya. Kehidupan rumah
tangga menjadi keluarga yang harmonis dapat tercapai jika antara suami dan isteri
melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik. Lingkungan dan budaya Indonesia
yang menganggap anak sebagai simbol harmonis suatu keluarga menjadikan kehadiran
anak sangat berarti bagi pasangan suami istri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hak Asasi Manusia memandang Childfree di Indonesia?
2. Bagaimana pandangan mengenai Childfree jika ditinjau berdasarkan perspektif
Hukum Islam di Indonesia?
3. Apa saja perbedaan dan persamaan dalam perbandingan pandangan Hak Asasi
Manusia dan Hukum Islam mengenai Childfree di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Hak Asasi Manusia memandang Childfree di Indonesia
2. Untuk mengetahui pandangan mengenai Childfree jika ditinjau berdasarkan
perspektif Hukum Islam di Indonesia
3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dalam perbandingan pandangan Hak
Asasi Manusia dan Hukum Islam mengenai Childfree di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Cambridge Dictionary, adj. “‘Childfree,’” diakses 2 Juni 2022,
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/child-free.
3
Agrillo dan Nelini, “Childfree by choice: A review”.
Childfree adalah suatu keadaan dimana antara suami dan istri tidak
memiliki keinginan untuk memiliki anak dalam jangka waktu yang belum bisa
ditentukan. Childfree berbeda dengan childless. Veevers mengatakan bahwa
involuntary childless merupakan suatu keinginan untuk mempunyai anak tetapi
tidak mampu untuk mendapatkannya hal ini dipengaruhi oleh faktor biologis yaitu
infertilitas, keguguran, dan gangguan lainnya. Keputusan memilih childfree ini
dilatarbelakangi oleh beberapa motif diantaranya, seperti ekonomi, feminisme,
karir, dan pengalaman hidup.
Pilihan untuk Childfree memberi perempuan dan laki-laki kebebasan
untuk bekerja dan juga membebaskan keduanya dari tanggung jawab ekonomi
dan mengasuh anak. Hird dan Abshoff mengatakan bahwa bagi beberapa
pasangan yang tidak memiliki anak, kehamilan dan persalinan dianggap sebagai
trauma dan sulit dilakukan, persepsi inilah yang menjadi dasar keputusan mereka.
4
Abdul Rochim, 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta. Hlm. 54.
beragama, dan pentingnya solidaritas antar manusia merupakan konsep utama Al-
Quran yang membuktikan bahwa Islam sangat menghargai hak asasi manusia itu
sendiri.
Adanya perbedaan pendapat antara ajaran Islam dan HAM menghasilkan titik
temu dimana HAM dan Islam bersama-sama mengajarkan kebaikan kepada
seluruh umat manusia tanpa bertentangan dengan nilai-nilai universal lainnya.
Sehingga akan tercapailah agama Islam sebagai agama rohmātal lil’ alamīn
5
Joanna Szymańska, “The Childless by Choice in the Perception of Young Adults,” in Family Forum Vol. 3,
Redakcja Wydawnictw Wydziału Teologicznego Uniwersytetu Opolskiego, 2013, 79–95.
a) Setiap manusia dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia
yang sama dan sederajat serta dikarunia akal dan hati Nurani untuk hidup
bermasyarakat, berbangsan dan bernegara dalam semangat persaudaraan
b) Setiap orang berhak atas pengakuan dan jaminan perlindungan dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama didepan hukum
c) Setiap orang berhak atas perlindungan asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia tanpa diskriminasi.
6
Al Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, (Beirut, Darul Ma’rifah) Juz II, 51.
Menurut Syafiiyah dan Hanabilah, azl boleh dilakukan tanpa izin dari istri apabila
zaman telah rusak dan bisa memberikan pengaruh yang buruk kepada anak yang
dilahirkan nantinya. Hukum Islam menggunakan metode istihsan dalam menentukan
hukum Childfree. Istihsan sendiri adalah perpindahan kaidah yang berlaku ke umum
ke kaidah yang sifatnya pengecualian karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
Menurut mujtahid karena ada dalil yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan
tersebut.
Hukum Islam (fiqh) sebagai sebuah ketentuan, pada umumnya bersandar pada
dua kategorisasi hukum Islam, yakni ibadah dan muamalah Dalam Islam, terdapat
hadits yang berisi tentang anjuran untuk memperbanyak keturunan, hadits riwayat
Imam an-Nasa’i No. 3175 Kitab Sunan an-Nasa’i Bab Pernikahan (an-Nasa’i No.
3175), dalam hadits tersebut bukan berarti tidak boleh menikahi wanita yang mandul
karena semua yang terjadi itu atas kehendak Allah swt. Akan tetapi, hadits di atas
menunjukkan bahwa anjuran memiliki keturunan itu besar. Namun sekali lagi, untuk
bisa punya anak atau tidak itu tergantung kehendak Allah SWT.
Apabila motif yang melatarbelakangi childfree karena adanya alasan finansial
yang akan merepotkan hidupnya, untuk menjaga keselamatan istrinya agar tetap
hidup dan tidak meninggal saat melahirkan atau khawatir akan menyengsarakan
hidup anak di masa depan adanya masalah kesehatan pada suami atau istri serta
adanya alasan sosial lainnya. Maka hukum childfree diperbolehkan karena Islam juga
mengatur tentang hak reproduksi perempuan seperti, hak hubungan seksual, hak
menolak kehamilan, dan hak menggugurkan kandungan.
Childfree sendiri adalah bentuk aplikasi dari hak menolak kehamilan. Perempuan
diberikan hak menolak kehamilan disebabkan perempuanlah yang menanggung
tanggung jawab serta segala resiko dalam mengandung, melahirkan, dan menyusui.
Oleh karena itu tergolong ke dalam ‘istihsan bil maslahah mursalah’ yakni boleh
dilakukan apabila ada ketentuan untuk memenuhi kemaslahatan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Childfree merupakan fenomena masyarakat yang berasal dari Barat yang
menyuarakan untuk tidak memiliki anak keturunan. Childfree atau dalam hal ini
merupakan voluntary childless adalah mereka yang secara sadar dan sukarela memilih
untuk tidak memiliki keturunan ataupun berusaha memilikinya dengan jalan adopsi
maupun yang lainnya. Banyak faktor yang mendorong seseorang memilih untuk
childfree, di antaranya adalah faktor personal, medis dan psikologis, filosofis,
ekonomi dan kultur serta lingkungan.
Hukum Islam menganjurkan dalam hubungan pernikahan untuk melestarikan
keturunan dan selalu beribadah kepada Allah SWT. Dan hal tersebut berkegantungan
kembali kepada keputusan perempuan karena pemberdayaan perempuan yang
ditetapkan dalam HAM merupakan hak individu yang dimiliki oleh masing-masing
orang.
Keputusan childfree sendiri merupakan hak dan pilihan dari masing-masing
pasangan. Namun dalam sudut pandang Islam, anak yang diberikan oleh Allah adalah
amanah dan pahalanya akan besar jika sebuah pasangan berhasil mendidiknya. Oleh
karena itu memiliki anak sangat dianjurkan dalam Islam, namun kembali lagi, tidak
dijelaskan secara tegas bahwa memiliki anak adalah kewajiban. Menurut penulis, jika
ada udzur syar’i, maka keputusan childfree sangat boleh untuk diambil, tapi kembali
lagi kepada pasangan masing-masing.
B. Saran
Saran ini ditujukan kepada:
1. Masyarakat umum, bahwa childfree mempunyai banyak sisi negatif. Selain
karena tidak sesuainya dengan prinsip Islam untuk memperbanyak keturunan, ia
juga dapat menimbulkan cemooh baik dari keluarga maupun masyarakat dalam
lingkungan pro-natalis. Selain itu, memiliki anak akan melengkapi kebahagiaan
antara suami dan istri. Maka, bagi ia yang dalam keadaan normal tanpa adanya
darurat maupun masalah kesehatan, lebih baik baginya untuk mengharapkan anak
dalam pernikahannya. Menikah dan memiliki anak juga merupakan sunah
Rasulullah SAW dan rasul-rasul terdahulu sejak nabi Adam
2. Pemerintahan, sebaiknya memberikan pendidikan dan kesehatan yang baik bagi
warga masyarakatnya. Karena hal tersebut dapat membuat warga masyarakat
menjadi lebih aman ketika memiliki momongan. Karena masalah-masalah
kehidupan yang demikian pelik menyebabkan para orang tua enggan memiliki
anak. Dengan kesejahteraan yang meningkat, tentunya kekhawatiran tersebut
dapat hilang. Dan tujuan pernikahan dapat tercapai.
3. Kementerian Agama Republik Indonesia, hendaknya memberikan pelatihan-
pelatihan maupun seminar yang berkaitan dengan pernikahan. Pelatihan tersebut
diharapkan dapat memberikan edukasi kepada warga masyarakat agar memahami
konsep dan tujuan pernikahan supaya menjadikan keluarganya menjadi keluarga
yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
DAFTAR PUSTAKA
Agrillo, Christian, dan Cristian Nelini. 2008. “Childfree by choice: A review.” Journal of
Cultural Geography 25, no. 3 https://doi.org/10.1080/08873630802476292.
Al-’Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Diedit oleh Abd al-Aziz bin Baz
dan Muhibuddin Al-Khatib. Vol. 9. Madinah: Dar al Ma’rifah, t.t. Al-Bayanuni,
Muhammad Abu al-Fath. “Memahami Hakikat Hukum Islam terj. Ali Mustafa Yaqub”. 2
ed. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. Sahih Al-Bukhari. Vol. 7. Mesir: Dar al-Thuq al-Najah,
1422. Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulum al-Din. Vol. 2. Beirut: Dar al Ma’rifah, t.t.
Al-Hakim, Muhammad bin Abdillah.
Mustadrak ’Ala Al-Shahihain. Diedit oleh Musthafa Abdul Qadir ’Atha. 1 ed. Vol. 2. Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1990. Al-Ibad, Abd Al-Muhsin bin Hamd. Syarh Sunan Abi Dawud.
Vol. 236. Maktabah Syamilah.
Al-Jazairi, Abdurrahman. Al-Fiqh ’ala al-Mazahib al-Arba’ah. 2 ed. Kairo: AlDar al-’Alamiyyah
li al-Nasyr wa al-Tajlid, 2016.