Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

PERATURAN DAN PERUNDANGAN UNDANGAN YANG MELANDASI


PELAYANAN KESEHATAN INVINTRO, ABORSI, EUTHANASIA, ADOPSI

NAMA : NUR HASNI

NIM : 19 02 0015

PRODI DIII KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUSADA MANDIRI POSO

TAHUN 2020

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
Rahmat dan Hidayah-nya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada
Rasulullah SAW beserta keluarganya. Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari
sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena pengalaman dan
pengetahuan penulis yang terbatas. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat
kami harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi untuk masa mendatang.

Ampana, 12 juni 2020


penulis

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................iv
A. Latar Belakang...........................................................................................................iv
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................v
C. Tujuan.........................................................................................................................v
BAB 2 PEMBAHASAN........................................................................................................1
A. ABORSI.....................................................................................................................1
1. Pengertian Aborsi..................................................................................................1
2. Macam-macam Aborsi...........................................................................................1
3. Aspek-aspek Aborsi...............................................................................................3
4. Keuntungan Dan Kerugian Aborsi.........................................................................7
B. BAYI TABUNG.........................................................................................................9
1. Pengertian Bayi Tabung........................................................................................9
2. Jenis-jenis Bayi Tabung.........................................................................................9
3. Pandangan Bayi Tabung Dari Segi Agama............................................................9
4. Kedudukan Hukum Anak....................................................................................10
5. Dasar Hukum Bayi Tabung Di Indonesia............................................................10
6. Aspek-aspek Hukum Bayi Tabung......................................................................11
C. ADOPSI...................................................................................................................13
1. Pengertian Adopsi................................................................................................13
2. Aspek-aspek Hukum Adopsi...............................................................................13
D. EUTHANASIA........................................................................................................20
1. Pengertian Euthanasia..........................................................................................20
2. Macam-macam Euthanasia..................................................................................20
3. Aspek-aspek Euthanasia......................................................................................22
4. Tindakan Euthanasia............................................................................................22
BAB 3 PENUTUP................................................................................................................27
Kesimpulan.............................................................................................................27
Saran .......................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................28

BAB 1 PENDAHULUAN

iii
A. Latar Belakang
Dalam kehidupannya manusia hampir selalu terjadi hubungan hukum. Hal ini
disebabkan pada dasarnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup teratur, akan tetapi
keteraturan bagi seseorang belum tentu teratur bagi orang lain. Oleh sebab itu, diperlukan
kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan manusia, agar kepentingannya tidak berbenturan
atau bertentangan dengan individu dan masyarakat yang lain. Salah satu masalah yang di
atur dalam KUHP yang berlaku di Indonesia adalah masalah aborsi, dan saat ini telah
diatur lebih lanjut dalam undang-undang kesehatan nomor 36 tahun 2009. Masalah aborsi
atau lebih dikenal dengan istilah pengguguran kandungan, keberadaannya merupakan
suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri dan bahkan menjadi bahan pembahasan yang
menarik serta dilemma yang saat ini menjadi fenomena social. Aborsi merupakan cara
yang paling sering digunakan mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan, tetapi juga
cara yang paling berbahaya.
Pada dasarnya pembuahan yang alami terjadi dalam Rahim melalui cara yang alami
pula (hubungan seksual), sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk manusia.
Setiap pasangan suami istri pasti mengharapkan hadirnya seorang atau beberapa orang
anak sebagai buah hati perkawinan mereka. Akan tetapi pembuahan alami ini terkadang
sulit terwujud, misalnya karena rusaknya atau tertutupnya saluran indung telur (tuba
fallopi) yang membawa sel telur ke Rahim, atau karena sel sperma suami lemah sehingga
tidak mampu menjangkau Rahim istri. Semua ini aan meniadakan kelahiran dan
menghambat suami istri untuk mendapatkan anak.
Anak merupakan anugrah dan amanah yang diberikan oleh tuhan yang maha esa.
Oleh karena itu anak sebagai amanah dari tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi
oleh keluarga, masyarakat, Negara. Karena di dalam diri anak melekat hak anak yang
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat didalam UUD 1945 dan konvensi
PBB tentang hak-hak anak. UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara untuk memberikan perlindungan terhadap
anak.
Kemudian ada juga masalah dalam bidang kedokteran dan kesehatan yang berkaitan
dengan aspek hukum yang selalu actual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat
digolongkan kedalam masalah klasik dalam bidan kedokteran yaitu tentang abortus
provokatus dan euthanasia. Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates
(460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan sampai kini tetap saja
persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat di atasi atau diselesaikan
dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yang dapat diterima oleh sema pihak.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan aborsi, bayi tabung, adopsi, dam euthanasia?
2. Sebutkan macam-macam dari aborsi dan euthanasia?

iv
3. Apa saja kerugian dan keuntungan dari aborsi?
4. Sebutkan aspek-aspek hukum bayi tabung, adopsi, dan euthanasia?

C. Tujuan
1. Mengerti tentang hukum aborsi menurut pandangan hukum.
2. Mengerti tentang hukum aborsi menurut dari sudut pandang aborsi.
3. Mengerti tentang pengertian bayi tabung dan jenis-jenis bayi tabung.
4. Mampu memahami maksud dari aspek-aspek bayi tabung.
5. Mengerti tentang pengertian adopsi dan aspek-aspek hukum adopsi.
6. Mengerti tentang pengertian, macam-macam, dan aspek euthanasia.

v
BAB II PEMBAHASAN

PERATURAN PEMERINTAH / UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA


TENTANG ABORSI, BAYI TABUNG, DAN ADOPSI
PP/UU TENTANG ABORSI

A. ABORSI
1. Pengertian Aborsi
Aborsi= penggugu ran= abortus provocatus Gugur kandungan atau aborsi (bahasa
Latin: abortus) adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang
mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu
namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur. (Wikipedia, 2009)
Abortus provokatus merupakan jenis abortus yang sengaja dibuat/dilakukan, yaitu dengan
cara menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu.

2. Macam-macam Aborsi
a. abortus spontan (abortus spontaneus).
b. abortus terapeutik/medis (abortus provocatus therapeticum).
Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus .
Merupakan abortus yang dilakukan dengan disertai indikasi medik. Di Indonesia
yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi menyelamatkan nyawa ibu.
Syarat-syaratnya:
1) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan)
sesuai dengan tanggung jawab profesi.
2) Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi).
3) Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.
4) Dilakukan disarana kesehatan yang memiliki tenaga peralatan yang memadai,
yang ditunjuk oleh pemerintah.
5) Prosedur tidak dirahasiakan.
6) Dokumen medic harus lengkap.

1
Alasan-alasan untuk melakukan tindakan abortus meliputi:

1) Abortus yang mengancam (threatened abortion) disertai dengan perdarahan yang


terus menerus, atau jika janin telah meninggal (missed abortion).

2) Mola Hidatidosa atau hidramnion akut.

3) Infeksi uterus akibat tindakan abortus kriminalis.

4) Penyakit keganasan pada saluran jalan lahir, misalnya kanker serviks atau jika
dengan adanya kehamilan akan menghalangi pengobatan untuk penyakit
keganasan lainnya pada tubuh seperti kanker payudara.

5) Prolaps uterus gravid yang tidak bisa diatasi.

6) Telah berulang kali mengalami operasi caesar.

7) Penyakit-penyakit dari ibu yang sedang mengandung, misalnya penyakit jantung


organik dengan kegagalan jantung, hipertensi, nephritis, tuberkulosis paru aktif,
toksemia gravidarum yang berat.
8) Penyakit-penyakit metabolik, misalnya diabetes yang tidak terkontrol yang
disertai komplikasi vaskuler, hipertiroid, dan lain-lain.
9) Epilepsi, sklerosis yang luas dan berat.
10) Hiperemesis gravidarum yang berat, dan chorea gravidarum.
11) Gangguan jiwa, disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Pada kasus
seperti ini, sebelum melakukan tindakan abortus harus dikonsultasikan dengan
psikiater.

                  
c. abortus buatan /sengaja ( abortus provocatus criminalois)    
Abortus Provokatus Kriminalis Merupakan aborsi yang sengaja dilakukan
tanpa adanya indikasi medik (ilegal). Biasanya pengguguran dilakukan dengan
menggunakan alat-alat atau obat-obat tertentu. Aborsi provokatus kriminalis adalah
pengguguran kandungan yang tujuannya selain untuk menyelamatkan/mengobati
ibu, dilakukan oleh tenaga medis/non-medis yang tidak kompeten, serta tidak
memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh peraturan perundangan.
Biasanya di dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan.

2
Alasan-alasan melakukan abortus provokatus kriminalis:

1) Alasan kesehatan, di mana ibu tidak cukup sehat untuk hamil.


2) Alasan psikososial, di mana ibu sendiri sudah enggan/tidak mau untuk punya
anak lagi.
3) Kehamilan di luar nikah.
4) Masalah ekonomi, menambah anak berarti akan menambah beban ekonomi
keluarga.
5) Masalah sosial, misalnya khawatir adanya penyakit turunan, janin cacat.
6) Kehamilan yang terjadi akibat perkosaan atau akibat incest (hubungan antar
keluarga).
7) Selain itu tidak bisa dilupakan juga bahwa kegagalan kontrasepsi juga termasuk
tindakan kehamilan yang tidak diinginkan.

Di samping itu, banyak perempuan merasa mempunyai hak atas mengontrol


tubuhnya sendiri. Di sisi lain, dari segi ajaran agama, agama manapun tidak akan
memperbolehkan manusia melakukan tindakan penghentian kehamilan dengan
alasan apapun. Sedangkan dari segi hukum, masih ada perdebatan-perdebatan dan
pertentangan dari yang pro dan yang kontra soal persepsi atau pemahaman
mengenai undang-undang yang ada sampai saat ini. Baik dari UU kesehatan, UU
praktik kedokteran, kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), UU penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan UU hak azasi manusia (HAM).
Keadaan seperti di atas inilah dengan begitu banyak permasalahan yang kompleks
yang membuat banyak timbul praktik aborsi gelap, yang dilakukan baik oleh tenaga
medis formal maupun tenaga medis informal. Baik yang sesuai dengan standar
operasional medis maupun yang tidak, yang kemudian menimbulkan komplikasi –
komplikasi dari mulai ringan sampai yang menimbulkan kematian.

3. Aspek-aspek aborsi: Etik, Medis, Agama,  Sosial, Hukum, KB, Sumpah dokter/bidan.


a. Aborsi dari sudut pandang Hukum
1) Di Indonesia, baik menurut pandangan agama, Undang-Undang Negara maupun
kode etik kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan melakukan tindakan
aborsi atau pengguguran kandungan.
2) Jika ditinjau dari aspek hukum , pelarangan abortus justru tidak bersifat mutlak.
b. Abortus Provocatus terdiri dari:
1) Abortus buatan legal= abortus provocatus therapeticus yaitu pengguguran
kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh
undang-undang. Cara ini sering disebut sebagai abortus provocatus therapeticus,
karena alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya adalah untuk
menyelamatkan nyawa si ibu.

3
2) Abortus buatan illegal (abortus provocatus kriminalis) yaitu pengguguran
kandungan yang tujuannya selain untuk menyelamatkan atau menyembuhkan si
ibu, yang dilakukan tidak  menurut syarat dan cara yang dibenarkan oleh undang-
undang. Disamping itu aborsi ini juga mengandung unsur criminal.

 Abortus atas indikasi medik  diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia, No 36


Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pasal 75

1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.


2)  larangan pada ayat (1) dpt dikecualikan berdasarkan: Indikasi kedaruratan medis yang
dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin yang
menderita penyakit genetik beratdan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan.
3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dpt dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca
tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
4) Tindakan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat(2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan:

1. Sebelum kehamilan berumur 6 muinggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dlm hal kedaruratan medis.
2. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri.
3. Dengan persetujuan ibu hamil yg bersangkutan.
4. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan, dan
5. Penyedia layanan kesehatan yg memenuhi syarat yg ditetapkan oleh menteri.

Pasal 77

4
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana
dimaksud dalam psl 75 ayat (2) dan ayat (3) yg tdk bermutu, tdk aman, dan tdk bertanggung
jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 194 (ketentuan pidana)

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) depidana dengan pidana penjara paling lama
10 tahun dan denta paling banyak Rp1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah)

Berikut dijelaskan beberapa pasal dalam Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP) yang mengatur abortus Provocatus:

Pasal 229

1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya
diobati dengan diberitahukan atau ditimbulkjan harapan bahwa karena pengobatan itu
hamilnya dapat digugurkan. Maka orang tersebut diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat puluh ribu rupiah.
2) Jika yang bersalah berbuat demikian demi mencari keuntungan , menjadikan
pebuatan tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan atrau jika dia seorang tabib,
bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencaharian,
maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencaharian.

Pasal 346

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan, menghabisi nyawa kandungannya atau


menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

5
Pasal 347

Ayat 1
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuan, diancam dengan pi penjara paling lama dua belas tahun. 2)
Jika perbuatan itu menyebabkan matinya orang tersebut, dikenakan pidana penjara paling
lama lima belas  tahun.

Pasal 348

Ayat 1
Siapa yang dengan sengaja menggugurkan  atau menghabisi nyawa kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun enam bulan. 2) Jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita teersebut,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang
diterangkan dalam Pasal  347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam Pasal itu
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut haki untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan.

Pasal 535

Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatru sarana untuk menggugurkan


kandungan, maupun secara terang-terangan atau diminta menawarkan, ataupun secara terang-
terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat,
sarana atau perantara yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan
atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Aborsi Di Indonesia diatur oleh:

 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum


Pidana (KUHP) – dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum. 
Sampai saat ini masih diterapkan.

6
 Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
 Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992tentang kesehatan – dalam kondisi tertentu,
bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi).  Sampai dengan saat ini masih diterapkan.

4. Keuntungan dan kerugian Aborsi


a. keuntungan
1) Undang-undang (KUHP) dibuat pada jaman Belanda untuk menyelamatkan ibu
dari kematian akibat tindak aborsi tak aman oleh tenaga tak terlatih (dukun).

b. Kerugian:
1) Aborsi masih dianggap sebagai tindakan kriminal, padahal aborsi bisa dilakukan
secara aman (safe abortion).
2) UU Kesehatan dibuat untuk memperbaiki KUHP, tapi memuat definisi aborsi
yang salah sehingga pemberi pelayanan (dokter) merupakan satu-satunya yang
dihukum.  Pada KUHP, baik pemberi pelayanan (dokter), pencari pelayanan (ibu),
dan yang membantu mendapatkan pelayanan, dinyatakan bersalah.
3) Akibat aborsi dilarang, angka kematian dan kesakitan ibu di Indonesia menjadi
tinggi karena ibu mencari pelayanan pada tenaga tak terlatih.

Aborsi seharusnya:
1. Dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan dokter umum yang ditunjuk dan
terlatih (bersertifikat).
Keuntungan: Aborsi bisa dilakukan secara aman (safe abortion).
Kerugian: Profesi lain selain dokter yang ditunjuk dan tersertifikasi, tidak diperkenankan
untuk memberikan pelayanan aborsi.

2. Dilakukan di rumah sakit atau klinik yang ditunjuk.


Keuntungan:
 Aborsi dapat dilakukan secara lebih aman, karena rumah sakit dan klinik yang
ditunjuk akan dimonitor keamanan dan kualitasnya.
Kerugian:
 Fasilitas kesehatan yang tidak ditunjuk pemerintah, dilarang memberikan pelayanan
aborsi
 Rumah sakit dan klinik yang ditunjuk, hanya diijinkan memberikan pelayanan aborsi
pada perempuan dengan usia   kehamilan tidak lebih dari usia kehamilan yang ditentukan.

7
3. Disetujui oleh sekurang-kurangnya seorang konselor dan seorang dokter yang
ditunjuk, atau oleh seorang dokter bila dalam keadaan darurat (emergency).
Keuntungan :
 Kerahasiaan pasien terjamin
 Pasien mendapatkan pertolongan sesegera mungkin
 Pasien diberikan konseling, sebelum mendapatkan pelayanan medis.
Kerugian :
 Keputusan aborsi ditentukan oleh satu konselor dan satu dokter
 Terjadi penundaan bagi perempuan untuk mendapatkan pelayanan aborsi aman
 Dokter merasa lebih berwenang dibandingkan konselor
 Dokter yang ditunjuk harus menjaga kode etik kedokteran
 Dokter dibolehkan untuk tidak menuliskan alasan penolakan memberikan pelayanan
aborsi kepada pasien
 Dokter bisa menolak untuk memberikan pelayanan aborsi kepada pasiennya
 Tantangan dari  kelompok konselor dan dokter anti aborsi.
 

Tindak aborsi dibolehkan dalam kondisi perempuan sebagai berikut:


a) Usia kandungan tidak lebih dari 12 minggu dan hasil diagnosis menunjukkan
munculnya risiko lebih besar pada pasien (perempuan) bila kehamilan dilanjutkan,
seperti gangguan mental, fisik dan psikososial.
b) Ancaman gangguan/cacat mental permanen pasien (perempuan).
c) Membahayakan jiwa pasien (perempuan) jika kehamilan dilanjutkan.
d) Risiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan dilahirkan menderita cacat
fisik/mental yang serius.
Dalam menentukan risiko tindakan seperti yang tersebut di atas, dokter harus
mempertimbangkan keadaan pasien pada saat itu.

PENJELASAN KONDISI
a) Risiko gangguan fisik, mental dan psikososial perempuan: batas toleransi usia
kehamilan 12 minggu.
Keuntungan: Penafsiran konselor dan/atau dokter bahwa dengan melanjutkan
kehamilan pasien  akan mengalami gangguan kesehatan fisik, mental dan psikososial.
Kerugian: Hukum dapat ditafsirkan secara kaku oleh sebagian dokter dan/atau
konselor untuk tidak mengijinkan tindak aborsi tanpa adanya bukti-bukti riwayat
sakit fisik dan mental pasien.
b) Risiko cacat fisik dan mental pasien (perempuan) yang permanen: tidak ada batasan
usia  kehamilan.

8
Keuntungan: Dalam kondisi pasien terancam cacat fisik dan mental secara
permanen, perempuan dengan usia kehamilan di atas 12 minggu dibolehkan
mendapatkan pelayanan aborsi.
Kerugian: Membuka penafsiran yang berbeda antar dokter
c) Mengancam jiwa pasien: tidak ada batasan usia kehamilan.
Keuntungan: Disetujui/didukung oleh banyak orang.
Kerugian: Membuka penafsiran yang berbeda antar dokter.
d) Janin tidak normal:  tidak ada batasan usia kehamilan.
Keuntungan: Dalam kondisi janin tidak normal, perempuan dengan usia kehamilan
di atas 12 minggu dibolehkan melakukan aborsi.

Kerugian:
 Membuka penafsiran yang berbeda antar dokter mengenai definisi/kriteria cacat
serius
 Aborsi dianggap ilegal bila janin ternyata tidak cacat
 Aborsi dianggap ilegal bila keputusan diambil berdasarkan pertimbangan gender.
 

B. PP/UU TENTANG BAYI TABUNG


1. Pengertian Bayi Tabung
Fertilisasi  In Vitro – transfer embrio Proses pembuahan diluar tubuh / pertemuan
antara sperma dan ovum dilakukan di luar tubuh yaitu di dalam tabung (piring petri).
Suatu usaha jalan pintas untuk mempertemukan sel telur (ovum) dengan sel jantan
(sperma) di luar tubuh manusia (in vitro), yaitu dalam tabung gelas dan kemudian
setelah terjadi pembuahan dimasukkan kembali ke dalam rahim wanita sehingga dapat
tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya janin biasa.

2. Jenis-jenis bayi tabung


a. Dengan sperma suami.
b. Dengan sperma donor.
c. Dengan media titipan.

3. Pandangan bayi tabung dari segi agama


Program bayi tabung dari satu sisi memang cukup membantu pasangan suami
isteri (pasutri) yang mengalami gangguan kesuburan dan ingin mendapatkan
keturunan. Namun di sisi yang lain, hukum bayi tabung akhirnya menuai pro dan
kontra dari sejumlah pihak. Khususnya reaksi dari para alim ulama yang
mempertanyakan keabsahan hukum bayi tabung jika dinilai dari sudut agama.

9
Berdasarkan fatwa MUI, hukum bayi tabung sah (diperbolehkan) dengan syarat
sperma dan ovum yang digunakan berasal dari pasutri yang sah. Sebab hal itu termasuk
dalam ranah ikhtiar (usaha) yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.

MUI juga menegaskan, hukum bayi tabung menjadi haram jika hasil pembuahan
sperma dan sel telur pasutri dititipkan di rahim wanita lain. Demikian pula ketika
menggunakan sperma yang telah dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
atau menggunakan sperma dan ovum yang bukan berasal dari pasutri yang sah, maka
hukum bayi tabung dalam hal ini juga haram.

4. Kedudukan Hukum Anak


a. Kedudukan Hukum Anak yang Lahir Melalui FIV dengan Menggunakan
Sperma Suami
1) Pasal 250 KUHPerdata mengatur tentang pengertian anak sah.
2) Pasal 42 UU Perkawinan.
3) Bagaimana kedudukan anak hasil FIV yang sperma dari suami, ovum dari istri
dan embrio ditanam dirahim istri.
4)  Orang tua terikat perkawinan yang sah.
5) Secara biologis anak merupakan anak pasutri.
6)  Istri sendiri yang melahirkan.

b. Kedudukan Hukum Anak yang Lahir Melalui Proses FIV dengan


Menggunakan Sperma Donor
Dilihat dari aspek biologis (Ayah Biologis) dan dari aspek yuridis (Ayah
Yuridis) dapat dianggapn sebagai :
1) Sebagai anak sah dgn  melalui pengakuan(285 KUHPerdata).
2) Sebagai anah zina.

c. Kedudukan  Hukum Anak yang Lahir Melalui Proses FIV dengan


Menggunakan Surrogate Mother/Media titipan
1) Pada proses ini sel telur dan sperma pasangan suami istri yang berupa embrio
dititipkan dalam rahim wanita lain  sewa rahim (lihat Pasal 1548 jo 1320
KUHPerdata)  anak angkat.

5. Dasar Hukum Pelaksanaan Bayi Tabung di Indonesia


Undang-Undang RI No 36/2009
 

Pasal 127

10
Ayat (1) Upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dpt dilakukan oleh pasangan suami istri
yang sah dgn ketentuan:

1. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan
dlm rahim istri darimana ovum berasal.
2. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu; dan
3. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu, Ayat (2) Ketentuan mengenai
persyaratan kehamilan diluar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
 

           Undang-undang bayi tabung berdasarkan hukum perdata dapat ditinjau dari


beberapa kondisi berikut ini:
1    Jika sperma berasal dari pendonor dan setelah terjadi embrio diimplantasikan ke dalam
rahim isteri, maka anak yang terlahir statusnya sah dan memiliki hubungan waris serta
keperdataan selama suami menerimanya (Pasal 250 KUH Perdata).

2    Jika embrio diimplantasikan ke rahim wanita lain yang telah bersuami, maka anak yang
terlahir statusnya sah dari pasangan penghamil, dan bukan dari pasangan yang memiliki
benih (Pasal 42 UU No. 1/1974 dan Pasal 250 KUH Perdata).

3    Jika sperma dan sel telur berasal dari orang yang tidak terikat perkawinan tetapi
embrionya diimplantasikan ke rahim wanita yang terikat perkawinan, anak yang terlahir
statusnya sah bagi pasutri tersebut.

4    Jika embrio diimplantasikan ke rahim gadis, maka status anak yang terlahir adalah anak
di luar nikah.

 
6. Aspek Hukum Bayi Tabung
Inseminasi buatan atau bayi tabung menjadi permasalahan hukum dan etis moral bila
sperma/sel telur datang dari pasangan keluarga yang sah dalam hubungan pernikahan.
Hal ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi bahan pembuahan tersebut
diambil dari orang yang telah meninggal dunia.

11
Tinjauan dari segi hukum perdata terhadap inseminasi buatan (bayi tabung):
1. Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer
embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara
biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari
pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan
lainnya.

2. Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai
dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status
sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari,
maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan
keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum pasal 255 KUH
Perdata.
3. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara
yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang
mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata
15 Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai
anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya
dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai
sah secara perdata barat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata).
4. Jika salah satu benihnya berasal dari donor
1. Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro
transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi
dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan
diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah
dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si
Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA.
Dasar hukum pasal 250 KUH Perdata.
2. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak
yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum
pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.
3. Jika semua benihnya dari donor:
(1) Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada
perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat
dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan
Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam
perkawinan yang sah.

(2). Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki
status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara

12
sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel
telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara
yuridis dan biologis sebagai anaknya.
 

C. PP/UU TENTANG ADOPSI


1. Pengertian Adopsi
Adopsi adalah suatu proses penerimaan seorang anak dari seseorang atau
lembaga organisasi ketangan orang lain secara sah diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Adopsi juga berarti memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak
orang lain  kedalam keluarganya dengan status fungsi sama dengan anak kandung

Adopsi juga diartikan sebagai perbuatan hukum, dimana seseorang yang cakap
mengangkat seorang anak orang lain menjadi anak sah-nya. Pada adopsi tidak berarti
memutus-kan hubungan darah dengan orang tua kandungnya, tetapi secara hukum
terbentuk hubungan hukum sebagai orang tua dan anak.

a. Adopsi dikenal dalam seluruh sistem hukum adat di Indonesia.


b. Pengaturan tentang pengangkatan anak diatur antara lain di KUH Perdata, UU No
2 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, PP no 54 tahun 2007.
c. Pengaturan tehnisnya banyak tersebar di Surat Edaran Mahkamah Agung.

2. Aspek Hukum Adopsi


Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk
tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan
anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak
terikat dalam perkawinan.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan adopsi :


a. Pihak yang mengajukan adopsi
Pasangan Suami Istri Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri
diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor

13
2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/ pengangkatan anak.
Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat
untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada
saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah
kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang
berada dalam asuhan organisasi sosial.

1. Orang tua tunggal:


a) Staatblaad 1917 No. 129
Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang
Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang
terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau
janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami
meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak,
maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak
laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun
Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29
Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan 17.
b) Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang
pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain
menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung
dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang
dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam
perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda
belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin
mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk
melakukannya.

c) Tata cara mengadopsi.


Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara
mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih
dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan
Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu

14
bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan
dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi
materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat.
Isi permohonan
Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:-motivasi mengangkat
anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut.
-penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan
datang. Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus membawa dua
orang saksi yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua
orang saksi itu harus pula orang yang mengetahui betul tentang kondisi
pemohon (baik moril maupun materil) dan memastikan bahwa pemohon akan
betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik. 18Yang dilarang dalam
permohonan.
d) Yang dilarang dalam permohonan
Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam permohonan
pengangkatan anak, yaitu:
1. menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak.
2. pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon.
Hal ini disebabkan karena putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus
bersifat tunggal, tidak ada permohonan lain dan hanya berisi tentang
penetapan anak tersebut sebagai anak angkat dari pemohon, atau berisi
pengesahan saja. Mengingat bahwa Pengadilan akan mempertimbangkan
permohonan, maka pemohon perlu mempersiapkan segala sesuatunya
dengan baik, termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan
dengan kemampuan finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan
memberikan keyakinan kepada majelis hakim tentang kemampuan pemohon
dan kemungkinan masa depan anak tersebut. Bukti tersebut biasanya berupa
slip gaji, Surat Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.

e) Pencatatan di kantor Catatan Sipil


Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan
Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda
peroleh ini harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan
keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa

15
anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama
Anda sebagai orang tua angkatnya.
f) Akibat hukum pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan
waris.
1. Perwalian Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan,
maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu
pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua
angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan
menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua
kandungnya atau saudara sedarahnya 19 .
2. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum
nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki
kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan
dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
2. ASPEK HUKUM ADOPSI MENURUT ADAT, AGAMA, DAN PERUNDANG-
UNDANGAN

1. Hukum Adat
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada
hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, Jawa misalnya, pengangkatan
anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua
kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya,
dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali,
pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari
keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung
dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M.
Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
2. Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal
hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua
angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap
memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau
Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991).

3. Peraturan Per-Undang-undangan
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak

16
tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang
dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat.
Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang
berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak
tersebut.

3) Undang – undang Pengankatan Anak Pengangkatan Anak diatur dalam pasal 39 –


41 UUPA

Pasal 39

(1)   Pengangkatan anak hanya dpt dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan
dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

(2)   Pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan
darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.

(3) Calon orang tua anak harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.

(4) Pengangkatan anak oleh WMA hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama
mayoritas penduduk setempat.

Pasal 40

(1) Orang tua wajib memberitahukan keoada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan
orang tua kandungnya.

(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

Pasal 41

17
(1)   Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP No 54 Tahun 2007).

4. Pihak Yang Dapat Mengajukan Adopsi


 
1. Pasangan suami istri
Hal ini diatur dalam SEMA No 6 tahun 1983 ttg pemeriksaan permohonan
pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Mensos RI No.
41/HUK/KEP/VII/1984 ttg Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

2. Orang tua Tunggal


Janda/duda, kecuali janda yang suaminya pada saat meninggal meninggalkan wasiat
yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak WNI yang belum menikah atau
memutuskan tidak menikah.

 
5. Syarat anak yang akan diangkat (PP no 54 tahun 2007 Pasal 12 ayat (1))

a         belum berusia 18 tahun.

b        merupakan anak terlantar atau ditelantarkan.

c         berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak,dan

d        Memerlukan perlindungan khusus.

6. Syarat usia anak yang akan diangkat (PP no 54 tahun 2007 ayat (2))

a         Anak usia < 6tahun, prioritas utama.

b        Anak usia 6 – < 12 tahun , alasan mendesak.

c         Anak usia 12 – 18 tahun memerlukan perlindungan khusus.

7. Syarat orang tua angkat (PP No 54 tahun 2007 Pasal 13)

18
a        Sehat jasmani dan rohani.

b        Berumur min30 tahun dan maksimal 50 tahun.

c         Beragama sama dengan calon anak angkat.

d        Berkelakuan baik tidak pernah dihukum.

e         Berstatus  menikah paling singkat 5 tahun.

f         Tidak menrupakan pasangan sejenis.

g        Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu anak.

h        Keadaan mampu ekonomi dan social.

i         Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis ortu wali anak.

j          Membuat pernyataan tertulis tentang pengangkatan anak.

k         Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat.

l          Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 bulan sejak ijin pengasuh

diberikan.

m       Memperoleh izin menteri/kepala instansi.

D. EUTHANASIA
1. Pengertian Euthanasia
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani eu (baik) dan thánatos
(kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik

19
(good death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang berdasar pada
gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak,
atau euthanatos (kata sifat) yang berarti “mati dengan mudah“, “mati dengan baik”
atau “kematian yang baik”. (K. Bertens, 2001).
Eutanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara
yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang
minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
(Ensiklopedia bebas, 2012).
Euthanasia adalah berbuat atau tidak berbuat yang dalam perbuatan itu sendiri
atau dalam intensi menyebabkan kematian agar dengan cara ini semua penderitaan
dapat dihilangkan.
Konsepsi Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai
“kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang
penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut
jenis pembunuhan ini adalah mercy killing. Sementara itu menurut Kamus Kedokteran
Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah
atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran
kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat
menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.

2. Macam-macam Euthanasia yaitu sebagai berikut :


a. Dari Sudut Cara/Bentuk
Dari sudut cara atau bentuk, euthanasia dapat dibedakan dalam tiga hal :
1) Euthanasia aktif, artinya mengambil keputusan untuk melaksanakan dengan
tujuan menghentikan kehidupan. Tindakan ini secara sengaja dilakukan oleh
dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk memperpendek atau mengakhiri
hidup si pasien. Misalnya, melakukan injeksi dengan obat tertentu agar pasien
terminal meninggal.
2) Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak mengambil tindakan atau
tidak melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak
(lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup kepada
pasien. Misalnya, terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya,
tidak ada alat ataupun terapi tidak berguna lagi. Pokoknya menghentikan terapi
yang telah dimulai dan sedang berlangsung.

3) Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar


untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat
sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya
adalah euthanasia pasif atas permintaan.

20
b. Dari Sudut Maksud (Voluntarium), euthanasia dapat dibedakan:

1) Euthanasia langsung (direct), artinya tujuan tindakan diarahkan langsung pada


kematian.
2) Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak langsung
untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya meringankan penderitaan.

c. Dari Sudut Otonomi Penderita


Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam tiga jenis:
1) Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan tidak dapat
menyatakan kehendak (incompetent).
2) Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh
orang lain (transmitted judgement).
3) Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain (substituted
judgement).

d. Dari Sudut Motif dan Prakarsa


Dari sudut motif dan prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi dua:
1) Prakarsa dari penderita sendiri, artinya penderita sendiri yang meminta agar
hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau karena
sebab lain.
2) Prakarsa dari pihak luar, artinya orang lain yang meminta agar seorang pasien
dihentikan kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain itu misalnya
keluarganya dengan motivasi untuk menghentikan beban atau belas kasih. Bisa
juga, prakarsa itu datang dari pemerintah karena ideologi tertentu atau
kepentingan yang lain.

3.Tindakan Euthanasia

Tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:

21
a. Langsung dan sukarela : memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih pasien.
Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri.
b. Sukarela tetapi tidak langsung : pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil
sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri
penderitaan dan hidupnya.
c. Langsung tetapi tidak sukarela : dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya
dengan memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat.
d. Tidak langsung dan tidak sukarela : merupakan tindakan euthanasia pasif yang
dianggap paling mendekati moral.

4. Aspek-aspek
a. Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati.
Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal
ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga
medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan
sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati,
apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih
tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
b. Aspek Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan
upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan
pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk
mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang
tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala
upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga
yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

c. Aspek Hukum dan Etika


Undang-undang Hukum pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau
dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena
kurang hati-hati. Ketentuan pelanggaran yang berkaitan langsung dengan
euthanasia aktif di Indonesia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan

22
pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit
diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP : “Barang siapa menghilangkan
jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata
dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata,
antara lain pasal 1313 KUH Perdata : “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih”. Dan pada Pasal 1314 , 1315, dan 1319 KUH Perdata.
Dalam bidang pengobatan, jelas ada hubungan atau persetujuan antara
pasien atau keluarga pasien dan satu orang dokter atau beberapa dokter. Disatu
pihak pasien atau keluarga pasien memerlukan kepandaian dan keterampilan
dokter untuk mengatasi masalah kesehatannya atau keluarganya, sedangkan
dipihak lain para dokter mempunyai kepandaian dan keterampilan yang dapat
diberikan untuk kesembuhan pasien. Dengan demikian terjadi perjanjian terhadap
dua pihak, Didalam undang-undang perikatan adalah hubungan hokum antara dua
orang atau lebih, dengan pihak yang berhak untuk menuntut sesuatu dari pihak
yang lain. Sedangkan pihak lain itu berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia belum memiliki dasar
hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum
terhadap euthanasia yang dilakukan.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa perintah, beberapa pasal
yang berhubungan dengan euthanasia adalah :
1) Pasal 338 KUHP : “ Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum karena maker mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
2) Pasal 340 KUHP : “Barang siapa dengan sengaja den direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan
(moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.
3) Pasal 359 KUHP : “Barang siapa kerena salah menyebabkan matinya orang
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu
tahun.

Selanjutnya dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan


kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia :
1. Pasal 345 KUHP : ”Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk
membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya
itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.

23
2. Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang
dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan
untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan
dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Sementara dalam
ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian,
perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.

3. Pasal 356 (3) dan pasal 306 (2) terakhir tersebut di atas memberikan penegasan,
bahwa dalam konteks hukum aktif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu
ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Ditegaskan pula dalam Surat
Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai berikut: “Di
Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya
adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan
“euthanasia aktif” . Namun demikian di negara kita belum ada hukum yang jelas
mengenai euthanasia ini. Dasar atas tindakan boleh tidaknya dilakukan euthanasia
yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia yang dikeluarkan
oleh Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia. Dalam pandangan hukum, euthanasia
bisa dilakukan jika pengadilan mengijinkan. Dari sudut pandang hukum euthanasia
aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal
9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359.

Bertolak dari ketentuan semua Pasal-pasal tersebut tersimpul, bahwa


pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi
pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum aktif di Indonesia, euthanasia
tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, tidak dimungkinkan dilakukan
“pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri.
Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan
yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa
alasan kuat untuk membantu pasien / keluarga pasien mengakhiri hidup atau
memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Penilaian etika euthanasia telah diperdebatkan tentang kebenarannya dalam
decade sekarang ini. Larangan untuk membunuh merupakan suatu norma moral
yang sangat fundamental untuk umat manusia. Tidak mengherankan, kalau dalam
segala aspek kebudayaan diberi tekanan besar pada norma ini, termasuk dalam
bidang agama. Malah boleh dikatakan, ini norma moral yang paling penting,
sebagaimana pelanggarannya juga merupakan kejahatan paling besar. Namun
demikian norma moral ini pun tidak bersifat absolute. Rasanya dalam etika tidak
ada norma moral yang sama sekali absolute. Karena itu disekitar norma ini pun
selalu masih ada hal-hal yang dipermasalahkan.

24
Dizaman sekarang menyangkut hukuman mati dan euthanasia, tetapi
berlawanan. Apakah pantas Hukuman mati dipertahankan sebagai pengecualian
atas larangan untuk membunuh sedangkan tentang euthanasia dipersoalkan tidak
perlu diakui adanya pengecualian atas larangan untuk membunuh. Di dalam Kode
Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor:
434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.”
Kemudian di dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri
yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah
mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter.
Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani,
berarti bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun menurut
Etika Kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:
a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman
tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia.
Di dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus
mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan
penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk
mengakhirinya.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5
Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau “pembunuhan tanpa
penderitaan” hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia. “Eutanasia hingga saat ini tidak sesuai
dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih
berlaku yakni KUHP (Wikipedia, 2012).
Utomo (2009) mengutarakan bahwa dalam prakteknya, para dokter tidak
mudah melakukan eutanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan
adanya eutanasia dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang
tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi
dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi
keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal,
pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran,
disatu pihak dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien,
akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran
terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain
dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana, yang secara hukum di
negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.

25
Di dalam Wikipedia (2009) dinyatakan bahwa di dunia ini terdapat
beberapa negara yang telah melegalkan tindakan eutanasia dengan beberapa
persyaratan dan pertanyaan yang harus dipenuhi oleh pasien ataupun
keluarganya, diantaranya Belgia, Belanda dan negara bagian Oregon di
Amerika. Di dalamnya juga disebutkan bahwa Senator Philippe Mahoux, dari
partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang
tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan
psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk
memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

26
Berdasarkan hasil pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa aborsi
merupakan tindakan yang dapat menimbulkan dosa besar, karena kita menghilangkan
nyawa seseorang yang layak untuk menikmati kehidupan dan euthanasia tidak boleh
dilakukan didunia kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal tersebut
melanggar kode etik kedokteran dan melanggar KUHP didalam masyarakat.
Disamping fakta bahwa euthanasia itu dapat membantu masyarakat dalam memiliki
hak dan kewajiban untuk mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang
tidak berpengharapan. Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu diperhatikan
juga adalah bahwa tindakan euthanasia itu sama dengan melakukan tindak pembunuhan
dan mencabut hak hidup seseorang karena belum tentu orang-orang yang berada dalam
kesakitan yang hebat dan menginginkan kematian sungguh-sungguh mengetahui apa yang
dikehendakinya.
Inseminasi buatan atau bayi tabung atau athfaalul anaabib itu masih menjadi
perdebatan, meski kita tahu para pakar islam telah mengatakan dalam fatwanya mengenai
bayi tabung itu diperolehkan bila sperma-ovum berasal dari pasangan suami istri yang sah.
namun alangkah baiknya juga bila kita senantiasa memelihara dan menjaga kesehatan
organ vital atau reproduksi kita masing-masing demi kelangsungan generasi kedepan.
Memungut, mengasuh, memelihara, dan mendidik anak-anak yang terlantar demi
kepentingan dan kesalamatan anak dengan tidak memutuskan nasab orang tua
kandungnya adalah perbuatan yang terpuji dan di anjurkan oleh ajaran islam, bahkan
dalam kondisi tertentu dimana tidak ada orang lain yang memeliharanya, maka bagi orang
yang mampu secara ekonomi dan psikis yang menemukan anak terlantar tersebut
hukumanya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus memutuskan
hubungan nasab dengan orang tua kandungnya.

B. Saran
Kita sebagai makhluk yang mulia, sebaiknya menjaga diri demi kelangsungan hidup
yang lebih bermanfaat. Janganlah kita melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri
kita maupun orang lain dan dapat menimbulkan dosa besar. Dan sebaiknya kita juga lebih
harus banyak membantu kepada anak-anak yatim piatu dengan cara merawatnya atau
memberi sedekah kepada mereka.

DAFTAR ISI

Hanafiah, M. Yusuf. 1999. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC
http://abrahamzakky.blogspot.com/2009/02/bunuh-diri-dan-euthanasia-oleh-
abraham.htmlhttp://forum.vivanews.com/pidana-dan-perdata/2843-apakah-euthanasia-

27
salah.htmlhttp://laporanpenelitian.wordpress.com/2008/05/25/euthanasia-antara-legal-dan-
non-
legal/http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasiahttp://www.euthanasia.com/historyeuthanasia.htm
lJames Rachels. “Euthanasia”, dalam Tom Regan (ed.), 1980. Matters of Life and Death:
New Introductory Essays in moral Philosophy. New York: Random House.
(http://www.docstoc.com/docs/55691885/euthanasia-dari-berbagai-segi)K. Bertens. 2001.
Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta: Kanisius.
(http://www.docstoc.com/docs/55691885/euthanasia-dari-berbagai-segi)Shannon, Thomas A.
1995. Pengantar Bioetika. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.https://melakatrin.wordpress.com/2014/11/10/peraturan-pemerintah-undang-undang-
republik-indonesia-tentang-aborsi-bayi-tabung-dan-adopsi/https://hukamnas.com/undang-
undang-yang-mengatur-tentang-aborsi

28

Anda mungkin juga menyukai