Anda di halaman 1dari 10

TUGAS ILMU KESEHATAN ANAK

NAMA: HESTIVA DJEO

NIM: 19020007

ILMU PRODI DIII KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


HUSADA MANDIRI POSO

TAHUN 2021
 10 Imunisasi Tambahan

1. Hib (Haemophilus Influenzae)


Imunisasi tambahan yang pertama adalah Hib atau Haemophilus Infuenzae.
Ini bisa diberikan pada usia 2, 4, 6, dan 15-18 bulan.
Vaksin Hib punya manfaat untuk melindungi tubuh Si Kecil dari
virus haemophilus influenza tipe B yang bisa mengakibatkan meningitis atau
radang selaput otak,  pneumonia atau infeksi paru , dan epiglotitis atau
infeksi pada katup pita suara. Bahkan, vaksin tambahan Hib juga dapat
mencegah risiko kematian pada balita akibat infeksi yang disebabkan bakteri
Hib. Oleh karena itu, penting bagi siapa pun, terutama anak-anak dan orang
dewasa yang memiliki daya tahan tubuh lemah, untuk segera melakukan
imunisasi tambahan.
2. PCV (Pneumokokus)
Vaksin yang satu ini merupakan imunisasi tambahan untuk melindungi Si
Kecil dari infeksi bakteri pneumokokus, penyebab penyakit pneumonia,
meningitis, dan infeksi telinga dilansir dari ikatan dokter indonesia (IDAI),
bila diberikan pada bayi 7-12 bulan, vaksin PCV diberikan 2 kali dengan
interval 2 bulan; pada usia lebih dari 1 tahun, diberikan 1 kali. Keduanya
butuh booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah
dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun, PVC cukup diberikan 1 kali.
3. Rotavirus
Vaksin rotavirus, untuk melindungi anak dari gastroenteritis penyebab diare.
Vaksin rotavirus punya manfaat untuk mencegah diare kronis pada bayi
akibat rotavirus, yakni penyebab peradangan lambung dan usus halus dari
bakteri atau infeksi virus. Vaksin rotavirus ada 2 jenis, yakni monovalent
dan pentavalent. Dua-duanya diberikan secara oral dengan jadwal yang
berbeda. Untuk vaksin monovalent, diberikan sebanyak 2 kali saat usia 6-12
minggu, sedangkan pentavalent diberikan sebanyak 3 kali, mulai saat usia 2
bulan dengan jarak waktu pemberian 4-10 minggu (maksimal diberikan saat
usia 8 bulan).
4. Influenza
Imunisasi tambahan ini diberikan setahun sekali sejak si kecil berusia 6
bulan. Meski tidak sepenuhnya mencegah penyakit flu, tapi vaksin ini bisa
melindungi si kecil dari beberapa jenis virus influenza. Vaksin influenza
tidak perlu diberikan sesuai jadwal, karena boleh diberikan kapan saja.
Untuk hasil optimal, sebaiknya vaksin influenza diulang setahun sekali agar
anak terhindar dari flu.
5. MMR (Measles, Mumps, Rubella)
Imunisasi tambahan yang satu ini umumnya diberikan pada anak berusia 12-
18 bulan dan diulang saat usia 6 tahun. Vaksin ini berfungsi untuk mencegah
penyakit campak , gondongan, dan rubella (campak jerman). Tak hanya
untuk mencegah beberapa penyakit di atas, vaksin ini juga
direkomendasikan untuk anak yang punya penyakit kronis seperti kelainan
jantung bawaan, kelainan ginjal bawaan, down syndrom, atau kistik fibrosis.
6. Tifoid
Vaksin tifoid akan membantu tubuh Si Kecil terhindar dari bakteri
salmonella typhii  yang menjadi penyebab penyakit tifus atau demam tifoid.
Imunisasi tambahan ini diberikan ketika Si Kecil berusia 24 bulan dan
diulang setiap 3 tahun. Ada 2 jenis vaksin tifoid, yakni oral dan suntik.
Anak berusia di atas 6 tahun akan diberikan tifoid oral. Kemampuan vaksin
tifoid untuk melindungi anak dari tifus hanya sekitar 50-80 persen saja,
maka jangan ragu untuk tetap mengulangnya setiap 3 tahun..
7. Hepatitis A
Virus hepatitis A merupakan penyebab penyakit hati yang bisa menyebar
lewat makanan atau feses penderita. Penyakit hepatitis A  tidak hanya
menyerang orang dewasa saja, tapi anak-anak juga. Pemberian vaksin
tambahan hepatitis A sebaiknya diberikan sedini mungkin, yakni saat Si
Kecil sudah berusia 2 tahun. Vaksin ini diberikan 2 kali dengan jarak 6-12
bulan.
8. Varicella
Imunisasi tambahan varicella diberikan untuk melindungi Si Kecil dari
penyakit cacar air, diberikan sebanyak 2 kali, pada usia 12-15 bulan dan
sebelum masuk sekolah dasar atau usia 4-6 tahun. Perlu diingat, vaksin
tambahan ini tidak sepenuhnya menjamin Si Kecil untuk kebal dari cacar
air. Tapi, pemberian imunisasi tambahan akan menurunkan tingkat
keparahan komplikasi penyakitnya.
9. HPV (Human Papiloma Virus)
Imunisasi tambahan selanjutnya yang tak kalah penting yakni vaksin HPV.
Ini diberikan sebanyak 3 kali, dalam rentang usia 10-18 tahun. Imunisasi
bayi tambahan ini melindungi tubuh dari virus HPV yang menyebabkan
kanker mulut rahim (kanker serviks), penyakit seks menular, hingga kanker
anus dan penis.
10. Japanese Encephalitis (JE)
Vaksin japanese encephalitis (JE) adalah rangkaian imunisasi tambahan
lainnya Imunisasi ini untuk mencegah infeksi virus japanese encephalitis,
yang menyebabkan penyakit radang otak akibat gigitan nyamuk. imunisasi
tambahan ini sebaiknya diberikan saat ingin pergi ke kawasan endemis.
Misalnya, kasus tertinggi yang diakibatkan virus ini pernah terjadi di benua
Asia dan Australia. Imunisasi tambahan ini dilakukan saat anak berusia 9
bulan, dan vaksin booster saat usia 2 dan 3 tahun. Lalu ulangi kembali jika
anak ingin pergi ke daerah endemis.
Standar Penyimpanan Vaksin Menurut Depkes RI dan WHO

Vaksin adalah senyawa antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan


aktif danmeningkatkan imunitas tubuh terhadap suatu penyakit sehingga tubuh
dapat segera membuat antibodi yang di kemudian hari dapat mencegah atau kebal
dari penyakit tersebut. Pada tahun 1877 Louis Pasteur membuat suatu vaksin,
menggunakan kuman hidup yang telah dilemahkan. Vaksin ini dimaksudkan untuk
vaksinasi cowpok dan smallpox. Pada tahun 1881 mulai dibuat vaksin anthrax,
menyusul pembuatan vaksin rabies tahun 1885. Terkait dengan penyimpanan
vaksin, aturan umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus
didinginkan pada temperature 2-8° C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT,
Hib, Hepatitis B dan Hepatitis A) akan tidak aktif bila beku. Vaksin yang disimpan
dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya. Instruksi pada lembar
penyuluhan (brosur) informasi produk harus disertakan. Penyimpanan vaksin
membutuhkan suatu perhatian khusus karena vaksin merupakan sediaan biologis
yang rentan terhadap perubahan temperatur lingkungan. Pada setiap tahapan rantai
dingin maka transportasi vaksin dilakukan pada temperature 0°C sampai 8°C.
Vaksin polio boleh mencair dan membeku tanpa membahayakan potensi vaksin.
Vaksin DPT, DT, dT, hepatitis-B dan Hib akan rusak bila membeku pada
temperature 0° (vaksin hepatitis-B akan membeku sekitar -0,5°C). Menurut
Petunjuk Pelaksanaan Program Imunisasi, Depkes RI, 1992, sarana penyimpanan
vaksin di setiap tingkat administrasi berbeda. Di tingkat pusat, sarana penyimpan
vaksin adalah kamar dingin/cold room. Ruangan ini seluruh dindingnya diisolasi
untuk menghindarkan panas masuk ke dalam ruangan. Ada 2 kamar dingin yaitu
dengan suhu +2o C sampai +8o C dan suhu -20o C sampai -25o C. Sarana ini
dilengkapi dengan generator cadangan untuk mengatasi putusnya aliran listrik. Di
tingkat provinsi vaksin disimpan pada kamar dingin dengan suhu -20o C sampai
-25o C, di tingkat kabupaten sarana penyimpanan vaksin menggunakan lemari es
dan freezer. Dasar yang menjadi pertimbangan dalam memilih cold chain antara
lain meliputi jumlah sasaran, volume vaksin yang akan dimuat, sumber energi
yang ada, sifat, fungsi serta stabilitas suhu sarana penyimpanan, suku cadang dan
anjuran WHO atau hasil penelitian atau uji coba yang pernah dilakukan. Sarana
sscold chain di tingkat Puskesmas merupakan sarana penyimpanan vaksin terakhir
sebelum mencapai sasaran. Tingginya frekuensi pengeluaran dan pengambilan
vaksin dapat menyebabkan potensi vaksin cepat menurun.
Standar Penempatan Vaksin

Untuk melakukan pemantauan suhu rantai dingin (cold chain) vaksin maka
digunakan pemantau suhu. Pada kamar dingin (cold room) alat pemantau suhu berupa
lampu alarm yang akan menyala bila suhu di dalamnya melampaui suhu yang
ditetapkan. Untuk memantau suhu lemari es selain menggunakan termometer yang
terletak pada dinding luar lemari es juga menggunakan termometer yang diletakkan
dalam lemari es.Sementara standar WHO (User’s handbook for vaccine, 2002),
menjelaskan detail susunan vaksin dalam lemari es Agar vaksin tetap mempunyai
potensi yang baik sewaktu diberikan kepada sasaran maka vaksin harus disimpan
pada suhu tertentu dengan lama penyimpanan yang telah ditentukan di masing¬-
masing tingkatan administrasi. Untuk menjaga rantai dingin vaksin yang disimpan
pada lemari es di Puskesmas, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

 Pengaturan dan penataan vaksin di dalam lemari es


 Pengontrolan suhu lemari es dengan penempatan termometer di dalam lemari
di tempat yang benar dan pencatatan suhu pada kartu suhu atau grafik suhu
sebanyak dua kali sehari pada pagi dan siang hari
 Pencatatan data vaksin di buku catatan vaksin meliputi tanggal diterima atau
dikeluarkan, nomor batch, tanggal kadaluarsa, jumlah diterima atau
dikeluarkan dan jumlah sisa yang ada.
 Cara penyimpanan untuk vaksin sangat penting karena menyangkut potensi
dan daya antigennya. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyimpanan
vaksin adalah antara lain suhu, sinar matahari dan kelembaban. Sedangkan
standard waktu penyimpanan vaksin disetiap tingkatan, menurut user’s
handbook for vaccine cold room or freezer room, WHO (2002) Standar
Tempat dan Suhu Vaksin

Pada awalnya vaksin yang berasal dari virus hidup seperti polio dan campak, harus
disimpan pada suhu di bawah 0oC. Namun berdasarkan penelitian berikutnya,
ternyata hanya vaksin polio yang masih memerlukan suhu dibawah 0oC. Sementara
vaksin campak dapat disimpan di refrigerator pada suhu 2oC-8oC. Sedangkan vaksin
lainnya harus disimpan pada suhu 2oC-8oC.

Sesuai Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, Depkes RI, 2005, vaksin
hepatitis B, DPT, TT, dan DT tidak boleh terpapar pada suhu beku karena vaksin
akan rusak akibat meningkatnya konsentrasi zat pengawet yang merusak antigen.
Sementara terkait penyimpanan vaksin, susunannya harus diperhatikan. Karena suhu
dingin dari lemari es/freezer diterima vaksin secara konduksi, maka ketentuan jarak
antar kemasan vaksin harus dipenuhi. Demikian pula letak vaksin menurut jenis
antigennya mempunyai urutan tertentu untuk menghindari penurunan potensi vaksin
yang terlalu cepat. Pada pelaksanaan program imunisasi, salah satu kebijakan yang
dipersyaratkan adalah tetap membuka vial atau ampul baru meskipun sasaran sedikit.
Jika pada awalnya indeks pemakaian vaksin menjadi sangat kecil dibandingkan
dengan jumlah dosis per vial/ampul, namun tingkat efisiensi dari pemakaian vaksin
ini harus semakin tinggi. Sementara menurut WHO, prinsip yang dipakai dalam
mengambil vaksin untuk pelayanan imunisasi, adalah, Earliest Expired First Out
(EEFO) (dikeluarkan berdasarkan tanggal kadaluarsa yang lebih dulu). Dengan
adanya Vaccine Vial Monitor (VVM) ketentuan EEFO tersebut menjadi
pertimbangan kedua. Vaccine Vial Monitor sangat membantu petugas dalam
manajemen vaksin secara cepat dengan melihat perubahan warna pada indikator yang
ada.

Refferensi Petunjuk Pelaksanaan Program Imunisasi, Departemen Kesehatan


RI. 1992. Evaluasi Potensi Vaksin dan Pengelolaan Rantai Dingin Program
Imunisasi tahun 1997/1998 dan tahun 1998/1999, Departemen Kesehatan RI,
1999 Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, Departemen Kesehatan
RI, 2005

Apa itu KIPI?

KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) adalah sebuah istilah yang digunakan di
bidang kedokteran untuk suatu kondisi yang terjadi berhubungan dengan imunisasi.

Apakah KIPI pasti terjadi?

KIPI belum tentu terjadi. Terdapat faktor-faktor yang bisa meningkatkan


kemungkinan terjadinya KIPI, seperti contohnya riwayat alergi. Agar KIPI tidak
terjadi, maka tenaga medis akan memastikan bahwa tidak ada faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap kejadian KIPI, sehingga kemungkinan terjadinya KIPI bisa
diminimalisir. Berdasarkan WHO Western Pacific 1999, penyebab KIPI digolongkan
menjadi 5 kelompok penyebab, yaitu:

1. Kesalahan Program/Teknik Pelaksanaan (Programmatic Errors)


2. Reaksi Suntikan
3. Induksi Vaksin (Reaksi Vaksin)
4. Reaksi lokal
5. Reaksi sistemik
6. Reaksi vaksin berat
7. Faktor Kebetulan (Koinsiden)
8. Penyebab Tidak Diketahui
Jenis KIPI dan Tips Penanganan
1. Rasa Nyeri di Tempat Suntikan
 Klasifikasi KIPI: Reaksi Suntikan
 Deskripsi: Timbul rasa nyeri pada daerah suntikan
 Penanganan: Jika nyeri dirasa sampai mengganggu aktivitas, maka boleh
diberikan paracetamol dengan dosis sesuai usia dan berat badan
2. Sinkop / Fainting / Pingsan
 Klasifikasi KIPI: Reaksi Suntikan
 Deskripsi:
o Sering terjadi pada anak usia > 5 tahun
o Terjadi beberapa menit pasca imunisasi
 Penanganan:
o Tidak perlu penanganan khusus
o Hindari stres saat anak menunggu
o Hindari trauma akibat jatuh → posisi saat vaksinasi sebaiknya duduk
3. Hiperventilasi Akibat Ketakutan
 Klasifikasi KIPI: Reaksi Suntikan
 Deskripsi: Napas menjadi cepat akibat ketakutan (biasanya ketakutan ketika
melihat jarum suntik)
 Penanganan
o Tidak perlu penanganan khusus
o Hindari stres saat anak menunggu
o Hindari trauma akibat jatuh → posisi saat vaksinasi sebaiknya duduk
4. Kejang Demam

 Deskripsi:
o Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh dengan suhu
lebih dari 37,5 °C
o Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun
o Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam
o Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak
termasuk dalam kejang demam

 Klasifikasi:
o Kejang Demam Sederhana
 Berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan
berhenti sendiri
 Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam
o Kejang Demam Kompleks. Kejang demam dengan salah satu ciri
berikut ini:
 Kejang lama > 15 menit
 Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15
menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak
sadar
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
 Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari,
di antara 2 bangkitan kejang anak sadar
 Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

 Penanganan:
o Tetap tenang dan tidak panik
o Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
o Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
o Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu
kedalam mulut
o Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
o Tetap bersama pasien selama kejang
o Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah
berhenti.
o Berikan diazepam rektal 0,5 - 0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat
badan lebih dari 10 kg
o Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit
o Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih
5. Demam
 Deskripsi: Kenaikan suhu tubuh lebih dari 37,5 °C
 Penanganan:
o Berikan obat penurun panas (antipiretik) paracetamol dengan dosis
sesuai berat badan 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5
kali
o Jika hanya ada ibuprofen, maka bisa diberikan dengan dosis sesuai
berat badan 5-10 mg/ kg/kali, 3-4 kali sehari
o Jika demam tidak kunjung turun walaupun sudah diberikan antipiretik,
maka perlu dibawa ke rumah sakit
6. Syok Anafilaktik
 Deskripsi: Suatu keadaan mengancam nyawa yang perlu penanganan segera
oleh tim medis. Ciri-ciri:
o Terlihat sulit bernapas
o Napas cepat dan pendek-pendek
o Harus segera dibawa ke IGD terdekat, tidak boleh ditunda! Setiap
detik sangat berharga
referensi: Ranuh ICNG, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto,
Soedjatmiko, Gunardi H, et al. Pedoman Imunisasi Di Indonesia, Edisi Keenam
Tahun 2017. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Anda mungkin juga menyukai